Senin, 21 Desember 2009

TERIMA KASIH



Terima kasih bagaikan petikan dawai yang terdengar indah dan merdu di telinga. Bagaikan sentuhan harpa di siang hari. Bagaikan kucuran oasis di tengah savanna yang kering gersang. Setiap orang suka kata indah itu. Apakah terima kasih hanya bertengger dalam kata, tak mengakar di tubuh batiniah? Kata terima kasih pada hakikatnya gema suara yang terlahir dari hati. Hamzah Fansuri mengungkapkan, terima kasih berasal dari dua rangkaian kata, yakni kata terima dan kasih. Terima diartikan sebagai menerima segala apa yang datang dari Allah tanpa mengeluh. Dan kasih, mengasihkan atau mempersembahkan kembali apa yang diterima pada Allah kembali. Sementara selain Allah hanyalah sebagai the channel of thanksgiving (saluran pengungkapan terima kasih). 

Terima, berarti menerima segala hal yang datang pada dirinya, dan disadari sebagai kebaikan yang datang dari Allah SWT. Tak ayal, karena merasa semuanya datang dari Allah SWT, maka pantulan yang berkumandang ke dalam hatinya hanya kebahagiaan semata. Mengapa bahagia? Ya, karena dia selalu bertemu dengan Sang Pemberi Hadiah. 

Dia tak terpukau dengan hadiah yang diberikan Allah, tetapi selalu merasa disambangi, disertai, dan diperhatikan Allah SWT. Merasakan kehadiran Allah setiap saat itulah yang turut memantik kebahagiaan di dalam hatinya. Orang yang bermental “terima”, maka setiap kejadian dan peristiwa yang menyapanya akan selalu menitipkan kekayaan ruhani. Bukankah kekayaan itu hanya melekat pada orang yang menerima. Tanpa protes, tanpa mengeluh, tanpa marah, yang terpancar hanya kesukacitaan menerima setiap realitas sebagai suguhan dan sajian maha lezat dari Allah SWT. Mental “terima” inilah yang juga disebut dengan sikap ridha. Ridha bakal melahirkan kelapangan bagi setiap insan, sehingga tergerak untuk berbagi pada sesama. Orang yang ridha, akan berimbas pada perilaku “kasih.” Orang yang ridha bakal bahagia, dan orang bahagia bakal selalu tergerak membagikan kebahagiaannya pada sesama. Begitulah mental kasih itu. 

Mental “kasih”, berusaha mengasihkan apa yang ada di tangannya pada Allah. Semua dipersembahkan demi mendekatkan diri pada Allah SWT. Pribadi ini telah kehilangan “rasa kepemilikan,” yang terbenam dalam jiwanya, pemilik hakiki hanya Allah SWT. Tak ada pilihan lain, bagi yang tidak merasa memiliki, kecuali menyerahkan kembali apa yang diterima pada Pemilik Hakiki, melalui saluran-saluran yang disukai Pemiliknya. Artinya, kita mengasihkan apa yang kita terima pada makhluk-makhlukNya. Karena kita bisa melayani dan mempersembahkan sesuatu pada Allah dengan melayani makhluk-makhlukNya. Jika kita telah sampai di peringkat terima kasih, maka kita bakal menemukan kebahagiaan dan keberkahan hidup. Bukankah al-Qur’an sudah menjanjikan akan menurunkan keberkahan (ziyadah) bagi orang-orang bermental “terima kasih”. Bahkan kalau kita berusaha menggali ke kedalaman, orang bermental terima kasih tidak hanya menuai berkah, bahkan berkah telah membadan pada dirinya.  

Khalili Anwar, Penutur dari Jalan Cahaya

Senin, 07 Desember 2009

DOSA, JALAN SUTERA MENUJU KEKASIH

Dosa sebingkah kata yang begitu menakutkan. Saking besarnya rasa takut, tanpa disadari kita tak jarang terjebak pada dosa itu sendiri. Kita membenci dosa, namun kita kerap terjaring dalam perbuatan dosa. Makin takut pada dosa, dan fokus pada ketakutan itu, membuat orang makin terjungkal. Seumpama orang yang berada di puncak ketinggian gunung, sembari melihat jurang yang curam. Jika fokus perhatiannya pada jurang yang curam tersebut, maka perhatiannya terdorong pada jurang, dan bisa jadi tanpa disadari akan terjatuh ke kawah tersebut. Semua orang mendamba hidup tanpa dosa, tapi kendati demikian manusia harusnya mengarahkan fokus pada penggapaian kebajikan. Sehingga setiap saat, hanya menghimpun kebajikan yang turut menerangi jiwa. 

Kini, perlu kiranya kita memahami secara utuh, apa hakikat dosa. Bagaimana agar dosa tidak sekadar menyetorkan derita, tetapi bisa menjadi jalan menggapai kebahagiaan hakiki, bahkan bersua kekasih. Mungkinkah orang bisa menemukan kebahagiaan lewat dosa? Sepertinya sih dosa hanya produktif mengirimkan derita ke ranah batin, dan dimaklumi akan selalu menyeret pelakunya ke ruang kegelapan, kekacauan, dan kerusakan. Sebagaimana dimaklumi, dosa sama dengan kegelapan, dan di setiap pojok kegelapan kita tidak akan bisa melihat kebenaran. Lain halnya, ketika manusia dipenuhi pahala, niscaya bakal berkilauan, sehingga akan selalu bersentuhan dengan kebajikan. Apakah benar dosa membuat orang terseret dalam kegelapan, dan pahala membikin orang mudah menjaring cahaya? Apakah benar orang yang mengumpulkan pundi-pundi pahala menggapai kebahagiaan, dan orang yang berdosa selalu tersorong suasana derita yang tak pernah memudar. 

Dosa dan pahala sebuah akibat perbuatan. Sementara kita berusaha menggali sebabnya sebab, dan akibatnya akibat. Ketika kita berusaha menjejaki medan dualitas, niscaya kita tak pernah menggapai kedewasaan ruhani. Kedewasaan ruhani bukan diukur seberapa besar pahala yang direngkuh, tetapi seberapa agung sikapnya di setiap momen peristiwa dan kejadian yang hadir. Dari sudut kearifan, keagungan seseorang tidak diukur kaya dan miskin secara materi, tetapi diukur dari keagungan dan kemuliaan dalam bersikap. Memang, yang membuat orang namanya terus menjulang adalah sikap-sikap agung yang ditampilkan dikala bertegursapa dengan peristiwa dan kejadian. 

Jika ada dosa pasti juga ada pahala, dan benarkah pahala menjadi hal mutlak orang bahagia, dan dosa selalu meringkus manusia dalam penjara derita? Sungguh, kebahagiaan itu bergantung sikap kita dari setiap perbuatan yang mengalir. Kita sadari, sesungguhnya perbuatan buruk itu bukan kehendak hati nurani kita, tetapi terilhami hawa nafsu. Pada hakikatnya hati nurani selalu mendorong kita pada kebajikan, dan hawa nafsu cenderung merongrong dan menyeret manusia pada keburukan. Apa padam nafsu ketika berdosa, dan mulai menggelegar kembali hawa nafsu saat menumpuk pahala. Kadang, ketika manusia telah berbuat kebajikan meletup perasaan puas, sembari membanggakan diri. Seolah perbuatan baik yang ditampilkan murni datang dari kekuatan dirinya. Sikap egoisme yang melambung tinggi lantaran perbuatan bajik yang dilakukan telah meruntuhkan seluruh kebajikan yang telah dijalani. Merasa bajik akan melunturkan, bahkan menghapuskan kebajikan itu sendiri. Tapi orang yang merasa berdosa, akan menghapus dosa itu sendiri. Karena dosa dihapus dengan rasa bersalah dan menyesal.

****
Kini, diantara Anda bakal bertanya, bagaimana dosa membuat orang dekat dengan kekasih. Bukankah dosa sendiri suatu yang dibenci oleh Kekasih? Dosa suatu yang berlawanan arus dengan harapan kekasih, tetapi sesungguhnya lebih dari sekadar itu, Allah melihat apa sikap yang dicetuskan setelah berbuat dosa itu. Andai dosa dilakukan dengan sikap penuh kebanggaan disertai rasa tak bersalah, niscaya makin menambahkan dosa kembali. Namun, ketika dosa disertai perasaan menyesal, sehingga bertobat, sungkem, dan merintihkan tangisan istighfar pada Allah akan dosa yang dilakukan, niscaya dosa menjadi batu lompatan orang menggapai kedekatan dan dicintai Allah SWT. Sebagaimana cuplikan firman Allah, “Sesungguhnya Allah mencintai orang yang bertobat dan membersihkan diri.” 

Apa kaitannya dosa, tobat, dan cinta? Bila kita melihat secara gamblang, seolah tak ada kaitan. Namun, ketika kita berusaha merenungi secara mendalam, maka akan ditemukan kaitan yang amat dialektis antara ketiganya. Ingatlah, saudaraku cinta diperoleh karena tobat, tobat muncul lantaran merasa ada dosa. Dosa sendiri hanyalah tesa, tobat antitesa, dan cinta adalah sintesa. Karena itu, tak ada alasan bagi orang beriman pupus harapan akan rahmat Allah. Karena sesungguhnya kalau mau dikuak secara mendalam, sesungguhnya rahmat Allah meliputi segala sesuatu. Bahkan perbuatan dosa yang dilakukan manusia juga disertai rahmat Allah di dalamnya. Bagi orang yang menyadari ini, maka dibalik segala sesuatu tidak pernah berpisah dan terlepas dari rahmat Allah. Bahkan ketika kita tengah menjalani keburukan, disana meresap rahmat Allah. Karena itu, tak ada alasan bagi seorang hamba berpikir buruk pada Allah. Pantas saja, pupus harapan itu hanya disandangkan pada orang kafir, yang terhijab dalam pengenalan pada Allah SWT. Betapa banyak orang yang nyungsep dalam perbuatan dosa, kemudian bangkit untuk menghadap pada cahaya pengampunan. Merintih, menangis, dan bertobat, kemudian dari kegelapan yang pekat dia dipendari cahaya yang membuatnya makin dekat pada Allah SWT. 

Ketika orang disusupi rasa berdosa, maka akan terus berusaha menghapus dosa, dengan tobat, terbetik rasa sesal yang mendalam, disertai amal kebaikan-kebaikan lain, sembari terpancar rasa optimis bahwa Allah akan mengampuni segenap dosa-dosanya, setelah meyakini sifat Allah Yang Maha Pengampun (Al-Afuwwu), bahkan Yang Maha Penghapus Dosa (Al-Ghaffar). Melihat diri yang berlumur dosa, maka akan terbersit perasaan rendah diri dan hina, dan ketika memandangi kasih sayang Allah, maka hidup menjadi optimis atas anugerah pengampunanNya yang tak terbatas. Merasa gelap penting, tetapi jangan terpaku oleh kegelapan, karena kita tak menemukan cahaya apapun. Kita boleh merasa gelap, tapi disertai rasa optimis bahwa cahaya pun bakal hadir. Begitu juga ketika kita berbuat dosa, janganlah merasa terpaku, dan terjebak untuk terus memikirkan segenap dosa, tanpa memandang horizon pengampunan Allah Yang Maha Luas. 

Ketika orang terjebak dalam dosa, dan merasa bahwa dia tak berkuasa sedikit pun untuk mengendalikan dan menguasai diri, hanya karena kehendak Allah semata perbuatan baik terlahir, niscaya dia akan ditolong Allah untuk makin dekat dengan kebajikan yang diharapkan, yang berarti dekat dengan Allah itu sendiri. Dan dia telah digerakkan Allah bisa mendaurulang keburukan sebagai kebajikan. Keburukan dosa-dosa telah menjadi sarana makin dekat pada Allah SWT. Karena orang-orang yang bertobat senantiasa dicintai Allah SWT, sebagaimana sabda Rasulullah SAW,” Sesungguhnya orang yang bertobat adalah kekasih Allah, dan orang yang bertobat adalah seperti orang yang tidak punya dosa.” 

Sekarang saatnya kita mencintai Allah dengan jalan bertobat terus-menerus, dengan merasakan tumpukan dosa, dan disertai rasa optimis bahwa Allah akan menganugerahi pengampunan sebagai tanda sifat kasih sayang dan pengampunanNya yang tak terbatas. 


Khalili Anwar, Penutur dari Jalan Cahaya

Jumat, 04 Desember 2009

SAYA MENDAMBA JADI MANUSIA PRIMITIF



Di sebuah kesempatan, guru kami yang mulia meluncurkan kearifan yang turut meniupkan kesegaran ke dalam hati. Menurut beliau, primitif bermakna asli, berakar dari bahasa Yunani Primus, dan diadopsi ke dalam bahasa Inggris menjadi Prime, yang berarti utama. Saya pun segera mencerna pemikiran yang didulangkan guru yang mulia. Andai primitive itu diartikan sebagai yang asli, original, otentik, berarti layak jadi gaya hidup yang terhormat. Tak ayal, sifat itu menjadi dambaan terdalam setiap insan? Ciri manusia primitive gampang berkata jujur, sulit berkata dusta. 

Jujur saja, kita menginginkan orang yang jujur, tidak berpura-pura, tidak gampang tipu sana-sini, dan selalu berkata polos. Kita menginginkan teman yang jujur, partner bisnis yang polos, mendamba relasi yang tak berbalutkan intrik. Dengan berbekal kejujuran dan keaslian, manusia bakal selalu menemukan terang dimana saja. Tuhan bermukim di hati orang yang jujur. Bukankah hanya orang yang berpikir dan berbuat apa adanya yang bakal selalu menemukan keindahan dalam hidup. Dan hanya orang yang mengada-ada, penuh pretensi yang melulu dibajak kekecewaan dan kepedihan. 

Hanya saja, selama ini kita sudah meremehkan manusia primitif dengan kesan sebagai manusia terbelakang, dan lebih akrab dijuluki manusia Jadul (jaman dulu). Mengapa mereka dianggap jadul. Ya, mereka dipandang jadul, lantaran ketika orang beramai-ramai bermain intrik dan menebar fitnah, dia masih sanggup berjuang dalam pusaran pengaruh integritas diri yang berisikan jujur. Ketika orang berlomba-lomba mengejar kedudukan bergengsi dengan beragam cara tuna nilai, dia hanya terlihat termangu-mangu dan merasa asing. Ketika orang bersaing membalut citra diri palsu, dia tetap memilih untuk menunjukkan apa adanya. Dia menyadari, balutan citra hanya kemasan sementara, ada saatnya kemasan itu bakal robek, dibuang, sehingga yang terlihat hanya isi semata. Apakah sama antara citra kemasan dan isi yang terbungkus? Disanalah integritas dan kejujuran dipertaruhkan. 

Apakah manusia primitif identik dengan orang yang tertinggal dalam informasi, teknologi, dan trendsetter bisnis? manusia primitif tidak terkait soal ketinggalan informasi, tetapi berkait dengan keteguhan memandang hati nurani sebagai panduan utama dalam melangkah. Dia masih menjadikan hati nurani sebagai commander yang mendorongnya bergerak dan berbuat. Pikiran, dan tindakan terpandu secara integral oleh hati nurani. Manusia yang masih tersambung dengan kejernihan hati nurani disebut manusia primitif (manusia utama) yang berada dalam arus sejarah. Karena mereka punya panduan lekat, berupa hati nurani yang jernih, maka perbuatannya selalu terarah menuju kebahagiaan. Kejujuran, penuh integritas, dan kredibilitas telah melekat kuat dalam dirinya, tak pernah sedikit pun bergeser antara suara hati dan perbuatannya. Karena perbuatan yang tergelar sebagai ekspresi yang dituangkan hati nurani. Tepatnya, perbuatan sebagai cetakan nyata dari hati nurani. 

Kini, terasa sekali bahwa jujur dan polos hanya layak dikenakan orang yang bermental terbelakang. Kejujuran terasa langka, bahkan dusta telah menjadi habit publik sebagaimana dipertunjukkan berbagai saluran media yang ada. Dari kebohongan pengusaha, hingga pejabat tinggi, mungkin rakyat kecil juga tertulari penyakit dusta tersebut. Di suatu kesempatan, saya chatting dengan teman semasa Madrasah Aliyah di Madura. Panggil saja namanya, Vinda Rosyidi. Di sekolah, dia termasuk siswa yang cerdas, vokal, dan selalu menguasai debat. Saya sebagai teman akrabnya, menyukai gaya bicaranya yang fasih dan segar, kadang-kadang disertai diplomasi. Tepat di awal tahun 2000 saya berpisah dengannya. Dia melanjutkan studi ke IAIN Syarif Hidayatullah, sementara saya sendiri melanjutkan ke kampus swasta di Surabaya. Sejak awal, saya menduga dia akan jadi politisi, setidaknya politisi kampus, terlihat dari keterampilannya mempengaruhi teman-teman aktivitas sekolah. 

Sudah lama saya tidak ketemu dia. Setelah saya punya akun facebook, alhamudlillah saya bisa menjalin komunikasi kembali dengannya. Di dalam percakapannya, dia mengutarakan bahwa hidup di Jakarta membutuhkan keberanian untuk tidak jujur. Siapa yang jujur akan hancur. “orang jujur tidak punya opportunity untuk bisa sukses, “ tambah dia lagi. Kata-kata itu sempat menyentak perasaan saya. Tersentak bukan karena perkataan itu, tetapi dia sendiri bersikap permisif dengan penyakit dusta yang mewabah selama ini. Di zaman sekarang, terasa manusia primitif –manusia yang dipandu dengan kejernihan hati—semakin langka. Ketika sikap primitive berupa kejujuran, integritas, dan krediblitas telah memudar dari horizon kehidupan manusia, pertanda semangat agama mengalami senjakala, ditelan peradaban yang beroientasi duniawi. Padahal kebahagiaan hanya berpihak pada orang yang berperilaku primitif tersebut. Orang yang penuh intrik dan dusta justru makin jauh dari medan kebahagiaan yang diharapkan. Alih-alih menggapai kebahagiaan yang sempurna, malahan terjebak dalam derita sepanjang masa. 

Sekarang, kita selalu berusaha menjadi manusia primitif yang mau memegang teguh nilai-nilai universal yang bersumber dari hati nurani dan diperkuat oleh agama. Kita harus tetap teguh kendati berada di tengah kepungan manusia modern yang menyingkirkan spirit kejujuran. Mari kita berlatih dengan keyakinan, menjadi manusia primitive itu lebih bahagia. Karena manusia primitive manusia berkesadaran hati nurani.  


Khalili Anwar, Penutur dari Jalan Cahaya

Senin, 30 November 2009

IDUL QURB DAN THANKSGIVING DAY



Baru saja, tanggal 10 Zulhijaah 1430H – tepat 27 November 2009—kita jelang Idul Qurb, sebuah perhelatan akbar tahunan yang menjadi momentum ekspresi syukur suci pada Allah SWT. Takbir, tahmid, dan tasbih terus berkumandang dari masjid, musholla, bahkan di jalan-jalan. Para remaja mengadakan takbir keliling, radio tak lupa menyebarluaskan gema takbir, televisi menyisipkan tagline-tagline berhembuskan takbir. Memang, hari raya Idul Qurb memberikan kesan mendalam bagi setiap pejalan ruhani. Karena, Idul Qurb, seumpama rute perjalanan, adalah stasiun terakhir perjalanan manusia. Idul Qurb, berarti kembali pada kedekatan. 

Mengapa kita terus berjuang agar kembali dekat? Saudaraku, pada mulanya, ketika berada di alam arwah –saat masih berupa janin—kita bersinggasana di ruhul qudsiyah, meresapi kenyamanan, ketenangan, dan kedamaian tak terperikan bersama Allah SWT. Ketika orang telah bersama Allah, sesungguhnya dia telah merasakan surga hati. Bukankah surga pantulan keindahan, kedamaian, dan ketenangan yang tak bisa dilukiskan oleh logika. Dan tidak ada ucapan yang meluncur dari lisan ahli surga, kecuali ekspresi rasa syukur. Memang, syukur sebagai sikap puncak (peak performance) dari sosok yang telah menghayati keindahan surgawi. 

Tidak ada kebahagiaan bagi pencinta kecuali perjumpaan dengan kekasih. Bagi lajang, kerinduan terhadap kekasih begitu membara, dan dia terus melukiskan kriteria yang bakal menjadi penghangat jiwanya tersebut. Ketika belum bersua, dia terus menuturkan dalam beragam ekspresi, kadang kata-kata, kadang lukisan, kadang senyum yang terus terkulum indah dari bibirnya. Akan tetapi, dikala dia bersua, berjumpa, dan beradu mata dengan kekasih yang dicarinya, bahkan hingga memadu kasih, maka tak ada yang bisa diekspresikan kecuali terima kasih, sebagai tanda kebahagiaan yang tak lagi bisa diekspresikan. Akal jadi lumpuh di hadapan kekasih, pikiran jadi lemah di hadapan sang kekasih, tetapi hati menjadi benderang, bagai memperoleh pasokan cahaya yang lebih besar. Hanya ucapan terima kasih yang melulu mengalir dari lisan orang yang telah menggapai pertemuan agung dengan kekasihnya. 

Apa pertautan antara syukur idul Qurb. Jika Idul Fitri sebagai ekspresi cinta yang terus bergolak dalam hati, maka Idul Qurb manandai adanya kedekatan dengan yang dicintai. Jika Idul Fitri mengekspresikan cinta dengan memberikan hadiah dan maaf, maka menjelang Idul Qurb, kita perlu mengungkan rasa syukur, karena yang dilihat hanya keindahan semata. Karena itu, ada sebagian ruhaniwan yang mengemukakan, Idul Qurb menjadi ajang mengekspresikan ucapan terima kasih pada siapapun dan apapun yang telah berjasa dalam hidup kita. Rasa terima kasih tak hanya diungkapkan pada sahabat dekat yang telah menguatkan perjalanan, perlu juga dihaturkan pada orang yang belum dikenal, tetapi tanpa kita sadari mereka juga berkontribusi dalam menjaga kehidupan ini tetap dinamis. 

Sepatutnya kita belajar berterima kasih pada orang-orang terdekat yang turut menguatkan perjalanan kita, berterima kasih pada sahabat, berterima kasih pada alam yang tidak pernah bosan memberikan kehidupan pada kita. Bayangkan, bagaimana rasanya ketika matahari pensiun berhari-hari, tak lagi memancarkan sinarnya? Berterima kasih pada air, yang dari air kita bisa mempertahankan kehidupan. Berterima kasih pada hewan ternak yang telah membantu mengurangi beban hidup. Apakah berterima kasih pada selain Allah tidak dekat dengan syirik? Ingatlah saudaraku, rasa terima kasih yang kita haturkan pada siapapun dan apapun bersumber dari rasa terima kasih mendalam pada Allah SWT. Rasulullah Muhammad SAW bersabda, “Barangsiapa yang tidak bersyukur pada manusia, berarti tidak bersyukur pada Allah.” Dan Allah pun berfirman yang artinya, “Bersyukurlah kepadaKU dan kepada orang tuamu.”

Pitutur itu cukup untuk dijadikan landasan mengungkapkan rasa syukur pada siapapun dan apapun yang telah berjasa pada kita. Apakah kita hanya bersyukur pada orang-orang yang berlaku baik pada kita? Kita harus menebarkan syukur pada seluruh kehidupan, karena kehidupan ini telah dirancang secara interdependen. Apakah kita pantas mengungkapkan syukur pada musuh? Ya, kita masih layak menuturkan rasa syukur pada musuh, karena lewat gangguan musuh rasa sabar kita tertempa dengan baik, bahkan musuh itulah yang telah membentuk kematangan ruhani kita. Tak aneh, untuk melejitkan derajat seorang hamba, Allah kadang mengirimkan musuh yang menebarkan fitnah sana-sini, dan ia sendiri dipandu Allah untuk bisa bersikap sabar dengan aneka fitnah, berikut dipertemukan dengan mutiara hikmah yang menyegarkan dan mendewasakan jiwanya.

Saat Idul Qurb tiba, tidak ada alasan tidak berterima kasih pada siapapun. Mungkin konglomerat kaya raya, tidak pernah terikat bisnis secara langsung dengan petani, tetapi ia setiap hari makan nasi, dan nasi itu dari padi yang ditanam para petani. Kendati tidak berhubungan langsung dengan petani, selayaknya konglomerat tersebut mengirimkan pesan syukur pada petani. 

Dan Saat kita menghayati rasa syukur yang dibagikan pada siapapun dan apapun, niscaya akan terbersit kesadaran dari hati nurani terdalam, pada hakikatnya kita, alam, dan seluruh jagat semesta ini satu. Karena itu Allah telah mengikat kita secara interdependen, saling membutuhkan satu sama lain. 

Mencerna pesan suci yang terbungkus di Idul Qurb itu, maka saya meyakini Islam sebuah agama yang sempurna yang memandu umatnya agar punya kualitas sikap luhur dan tinggi, tak perlu menunduk-nunduk, dan meniru dan minder pada bangsa lain yang pada hakikatnya terbelakang. Jika barat baru menemukan thanksgiving day, sesungguhnya Islam telah menyodorkan Idul Qurb, media untuk mengekspresikan rasa syukur. Wallahu A’lam Bis Showaab. 

Khalili Anwar, Penutur dari Jalan Cahaya

Sabtu, 28 November 2009

IDUL FITRI DAN IDUL QURB



Hari raya terbagi dua, hari raya Fitri dan hari raya Qurb. Adakah sama pesan dibawa dari dua hari raya tersebut? Apa makna yang bisa ditangkap di dua hari raya tersebut dalam konteks pertumbuhan keimanan kita? Kita berusaha membedah dengan hati-hati pesan agung yang tersirat di dua hari raya tersebut, seraya berharap kita bisa merengkuh pencerahan agung, yang membuat kita merasakan kebahagiaan bersama Allah SWT.  

Tentu, kita mendapati kesan, hari raya tanda sebuah pesta kegembiraan, kebahagiaan, dan kemakmuran. Orang mendapati kegembiraan dan kepuasan setelah menjalani beragam pernak-pernik masalah yang menghujani selama ini. Tabrakan masalah telah membentuk kepribadian hidup lebih matang, dan beragam masalah itu pula yang terus membuat jiwa tumbuh pesat. Ya, hanya karena berhasil melewati sekian tantangan hidup, manusia merasakan kepuasan. Lebih dari itu, akar kesuksesan adalah kesabaran. Tepatnya, kesuksesan bersembunyi dibalik kesabaran. Manakala orang telah berlaku sabar, insya Allah bakal merasa kesuksesan benar-benar nikmat. 

Tanpa kesabaran tak ada kesuksesan, bahkan hanya sebentuk kesuksesan instant yang tak pernah membekaskan kebahagiaan mendalam ke dalam hati. Mengapa? Karena kesuksesan tanpa dilandasi kesabaran tidak meniupkan makna. Padahal hanya makna yang membawa manusia pada kebahagiaan. 

Jadi, hari raya dihelat lantaran manusia menjalani masa-masa sulit guna mencapai tujuan hidup yang hakiki, berupa kebahagiaan. Jadilah hari raya sebagai momen untuk mempersembahkan syukur yang tulus pada Allah SWT yang telah menggenapi manusia dengan beragam anugerah. Anugerah terbesar yang perlu dirayakan berupa anugerah iman. Karena hanya dengan iman yang kuat, manusia akan merasa keamanan. Maksudnya keamanan internal. Dan bagaimana iman bisa mencapai pembuahan, maka diperlukan sebuah kesabaran dan ketekunan. Tanpa kesabaran justru iman, alih-alih berbuah, malahan akan mandul. Memang, hanya dengan ikhlas yang berakar dari kesabaran, iman akan berproses menjadi pohon, batang, cabang, bunga, dan akhir berbuah. 

Hari raya diadakan lantaran manusia telah berhasil menapaki perjuangan yang menggetirkan. Berarti tidak ada hari raya tanpa perjuangan. Apa perjuangan yang harus dijalani kita sehingga pantas menghelat hari raya? Hari raya selalu didahului dengan puasa. Hari raya Idul Fitri dimulai dengan puasa Ramadhan, dan Hari raya Idul Qurb diawali dengan puasa 1-10 zulhijah. Apa pesan yang bisa dipetak dari kedua hari raya tersebut. 

Hubungan Idul Fitri bagi Idul Qurb, bagai hubungan tanah bagi bangunan, wudhu bagi shalat. Hanya dengan mencapai suci, manusia menggapai kedekatan dengan Allah SWT, hanya dalam keadaan suci manusia bisa sambung dengan Allah SWT. Meminjam hadis Rasulullah SAW, “kesucian adalah syarat dari iman.” Orang yang belum suci secara batiniah, berarti iman belum menyusup ke dalam hatinya. Padahal hanya dengan iman itulah manusia bisa menjaring keamanan, kenyamanan, dan kebahagiaan yang bersifat internal dan personal. 

Idul Fitri: Proses Penyucian Diri

Pernahkah saudaraku mendengar, Ramadhan yang kita jalani setiap tahun sekali bermakna pembakaran. Maksudnya, pembakaran dosa-dosa yang menempel dalam hati. Hanya ketika dibakar, maka akan ada pembersihan. Bagaikan tumpukan kotoran yang menggunung di halaman rumah, maka cara membersihkan adalah dengan membakarnya. Adapun kotoran yang tersangkut ke dalam hati berkaitan bersumber dari hawa nafsu. Ketika manusia berhasil membakar hawa nafsu, berarti hati telah bersih dan mencapai penyucian. 

Bahkan, andaikan kita pernah mengonsumsi makanan haram, maka untuk membersihkan makanan “terlarang” yang mungkin telah mendarahdaging dalam tubuh kita, bisa dibersihkan dan disucikan dengan puasa. Ketika manusia telah menggapai kesucian, dan berarti hawa nafsu sudah tidak lagi bercokol, maka hati nurani yang menggemakan kesucian bakal terus mengalun merdu. Dan buahnya adalah ketenangan hidup. Ketika orang dikepung kotoran, niscaya terus didera rasa sumpek, gelisah, dan pikiran negatif, namun ketika kotoran itu telah terbakar dan lenyap, maka kebahagiaan personal bakal bergulir sejuk bak salju ke dalam kalbu. 

Hari raya Qurb: Menjalin kedekatan dan Keintiman

Qurb berarti dekat. Dekat tanda orang punya gelora cinta di dalam hatinya. Tanpa cinta, kedekatan tidak bakal dirasakan. Dan cinta sendiri adalah suatu yang suci. Maka tak bisa orang mengotori cinta, cinta tak bisa disentuh dengan suatu yang kotor. Cinta hanya keluar dari hati yang bersih, jernih, dan indah. Ketika cinta telah berkumandang dari hati, maka akan menjadi kompas, juga penarik untuk makin dekat pada Allah SWT. Ya, hanya dengan modal cinta mendalam, manusia akan diarahkan untuk makin mendekat pada Allah SWT. Bukankah hanya dengan magnit cinta yang jauh jadi dekat, yang berpisah jadi menyatu? Karena itu, ketika kita hendak merasakan kedekatan sedeka-dekatnya dengan Allah, maka perlu terlebih dahulu ditanamkan bibit cinta di dalam hati. Ketika cinta telah menghiasi hati kita, maka tanpa kita sadari terus dituntun menuju kedekatan pada Allah SWT. 

Bagaimana tanda orang telah menggapai kedekatan dengan Allah? ketika orang dekat pada Allah, maka akan timbul dua perasaan. Pertama, perasaan damai. Bukankah kebahagiaan seseorang berbanding lurus dengan kualitas kedekatan dengan yang dicintai? Dan kita tidak bisa melukiskan perihal perasaan damai, karena saking personalnya perasaan yang tertiup ke dalam hati kita. Ketika damai terus menerus bermukim dalam hati ini, berarti kedekatan telah memenuhi hati. Dimana ada rasa kedekatan, disana damai tengah menumbuhkan kebahagiaan tak terukur dan tak berbatas.

Kedua, merasakan kesatuan. Ketika rasa kedekatan telah memenuhi batin ini, maka kesatuan dengan Allah amat dirasakan. Telah berhasil melampaui dualitas dekat dan jauh. Karena dekat dan jauh sendiri sebagai cermin masih ada keterpisahan antara hamba dan Tuhan. Sementara sesungguhnya, manusia yang telah berada dalam samudera kesatuan, akan selalu merasa menyatu dengan Allah dimana saja. Saat rasa kesatuan itu telah terbenam dalam hati, maka kebahagiaan tidak pernah berhenti meluap-luap, dan kita terasa selalu berada dalam perhelatan pesta raya setiap saat. Lebih tepatnya, kita menjadi selebritis setiap saat.

Khalili Anwar, Penutur dari Jalan Cahaya 

Selasa, 10 November 2009

MENYEGARKAN KEMBALI PIKIRAN YANG LAYU



Sebulan lebih saya tak mengekspresikan perasaan dan gagasan jernihku lewat tulisan. Terasa ada kerinduan yang membuncah dari hati ini, untuk kembali bisa bertemu komputer sederhanaku, agar bisa menghaturkan kebajikan-kebajikan yang pernah kulihat, pernah kualami, atau pernah kurasakan saat bergaul dengan beberapa sahabat. 

Sebulan lamanya, saya berusaha mengondisikan hati untuk melewati hari-hari di medan tafakkur disertai adanya sebuah dorongan yang kuat di hati ini untuk mewakafkan diri di jalan dakwah secara ikhlas, dikala banyak orang meninggalkan medan dakwah ini. Jalan dakwah memang jalan sunyi yang ditempuh sedikit orang, jalan yang harus bisa menumbuhkan keikhlasan, dan tantangannya adalah bagaimana mengikis sikap tidak ikhlas yang cenderung melintas dari hati dan pikiran. Hanya saya yakin, Allah Maha Tahu usaha saya untuk melewati jalan-jalan yang sarat tantangan tersebut. 

Saya pun makin mantap untuk menekuni dakwah melalui keterampilan menulis dan berbicara di depan umum. Semoga dua keterampilan tersebut dialiri spirit Ilahi juga kerinduan yang tak pernah surut pada Rasulullah Muhammad SAW yang sapatutnya dijadikan model dari zaman ke zaman. Kendati demikian, saya menyadari bahwa menulis dan berbicara hanyalah pantulan dari perasaan (dzauq) yang membuncah di rongga hati ini. Semoga Allah menuntun pembicaraan saya, dan semoga pembicaraan itu terlahir dari kejernihan perilaku batin ini. Sungguh, orang yang sering menulis dan berbicara, namun tak selaras dengan semangat batin dan sikap hidupnya, maka tulisan dan pembicaraan yang diungkapkan hanya menambah kesempitan bagi jiwanya. Kemudian, bagaimana orang yang jiwa dan hatinya sempit dan gelap bisa menghadirkan kelapangan dan pencerahan pada orang lain. Bukankah hanya orang yang punya lampu yang bisa menerangi kegelapan? bukankah hanya orang yang punya air yang bisa memberikan air? Dan bukankah hanya orang yang punya uang yang bisa memberikan uang? Berarti, hanya orang yang memiliki pencerahan di dalam hatinya yang bisa menyuguhkan pencerahan ke hati orang lain. 

Memang, cara efektif untuk bisa memberi pencerahan adalah dengan berusaha memenuhi diri dengan pencerahan lewat perenungan dan mendekati orang-orang yang telah mendapati pencerahan dalam hidupnya. Membaca Qur’an sembari merenungi pesan-pesannya, juga bisa lewat membaca buku-buku yang mengandung pencerahan amat penting untuk memantik pencerahan dalam hati sendiri. 

Mana yang terpenting dari semua itu. Semuanya penting. Ya kalau kita bertanya mana yang penting dari semua itu, memang semuanya penting. Namun, ada yang amat penting dan menjadi perihal primer dari semuanya adalah al-Qur’an yang hidup, yakni guru, yang tak hanya sebatas menginspirasi kita lewat kata, tetapi juga lewat perilaku dan sikap hidup yang dipantulkan. Guru amatlah penting selaku tempat bercermin sekaligus hati bagi seorang murid. Bukankah ketika hati baik, insya seluruh organ menjadi baik adanya. Ketika guru yang dijadikan cermin hidup berkarakter baik, insya Allah murid pun terpandu ke jalan kebajikan seperti yang ditempuh para suci. Bagi saya, guru adalah sumber mata air jernih yang mengalir, sementara hatiku dipenuhi kotoran yang terpercik dari comberan. Alangkah baiknya, kalau aku membasuh lekat-lekat kotoran dengan mandi di sumber yang jernih tersebut, sehingga mendapati wajahku yang penuh kotor berubah menjadi bening dan jernih. 

Dari situ, bisa dimaklumi bahwa guru adalah pemandu ruhani yang bisa memasukkan nilai-nilai indah ke dalam hati. Sehingga keterampilan yang melekat pada diri bisa menjadi lebih bermakna dan menebarkan manfaat yang lebih luas lagi. Beberapa kali guru yang mulia sering meyakinkan saya untuk tetap menekuni dunia tulis menulis. Semoga spirit beliau senantiasa mamantul di setiap ekspresi kalam dan qalam saya. 


Khalili Anwar, Penutur dari Jalan Cahaya

Rabu, 04 November 2009

IKHLAS SEPERTI AKAR



Andaikan pohon, buah dari sikap hidup kita adalah syukur dan akarnya adalah ikhlas. Buah memantulkan semangat syukur, sehingga tak ada yang dilakukan kecuali memberi, tanpa meminta sedikit pun terhadap kehidupan. Adapun ikhlas adalah prinsip akar yang sejatinya memiliki peran yang amat besar bagi pertumbuhan pohon hingga menghasilkan buah.

Dalam ulasan sederhana ini, saya hendak menguak semangat ikhlasnya akar. Bagaimana akar sebagai simbol ikhlas. Ingatlah, ikhlas adalah wajah kembar dari kesabaran. Dalam usahanya dia terus berusaha memberi tanpa pamrih, dan tak pernah memperlihatkan diri sebagai yang amat berjasa terhadap pertumbuhan pohon hingga mencapai pembuahan. Bahkan ketika pohon semakin besar dan tinggi akar makin menghunjam ke tanah, demi bisa meneguhkan posisi pohon. Namun, ketika sudah berbuah, mungkin perhatian orang terlepas pada akar, dan hanya tertuju pada buah.

Buah diperkenalkan kemana-mana, ke banyak orang, tergelar di pasar tradisional, pun bisa melanglang ke gerai-gerai supermarket, supermall, sementara akar tetaplah menghunjam ke tanah sembari berusaha meneguhkan pohon agar sanggup menghaturkan buah kembali. Saking ikhlasnya akar, dia tak pernah sedikit pun mau terlihat sebagai yang berjasa, hingga pohon itu ditebang, akar pun tak mau terlihat, bahkan dia masih berusaha menyalurkan energi positif agar pohon yang sudah tumbang bisa tumbuh kembali. Seperti akar jambu, kendati pohonnya sudah ditebang, dia berusaha menumbuhkan pohon kembali. Betapa akar memiliki jasa yang amat penting bagi pertumbuhan pohon, tetapi tidak pernah sedikit pun terbersit untuk pamer dan menunjukkan sebagai yang paling berjasa. Dia hanya ingin terus memberi dalam kesunyian dan kerendahan dirinya di tanah.
***
Perlu kiranya kita belajar pada kearifan akar untuk peneguhan keikhlasan. Semakin banyak memberi, bukan makin mendongak, malahan makin merendahkan diri. Mengapa mereka merendahkan diri? Karena merasa bahwa ia dianugerahi peluang untuk memberi bukan lantaran usahanya tetapi oleh karena rahmat Allah. Memang, manusia hanya sebatas alat peraga Allah untuk menyalurkan cinta dan kasih sayang-Nya. Tak sepatutnya orang bersikap pamer dan haus pujian dengan aneka jasa yang dipersembahkan. Bahkan terus menghadapkan hatinya pada Allah dengan semangat ikhlas yang utuh, sembari menyadari semua kekuatan untuk bisa memberi bukan karena datang dari dirinya, tetapi karena kasih sayang Allah. Lebih dari itu, terbetot dalam kesadaran, apa yang diberikan dan sifat dermawan hingga dia bisa memberi bukanlah kehendak personal semata, namun merasa telah didesain dan dirancang oleh Allah SWT. Andaikan Allah mau, bisa jadi kita tak diberi kemampuan memberi apapun, bahkan walau yang diberikan ada, kadang kita tercegah untuk memberi karena sifat kelembutan berupa dermawan dan belas kasih belum menyusup ke dalam hati ini. Terbukti, ada orang yang telah menjalani hari-hari sebagai pengemis dari pintu ke pintu, sehingga tak terilhami sedikit pun untuk memberi pada sesama, lantaran dia masih kekurangan dan berjungkir-balik untuk sekadar bisa mengais makanan sehari-hari.

Selain itu, ada orang yang telah dianugerahi kekayaan yang berlimpah, namun tak disaluri sifat belas kasih dan dermawan, hingga kekayaan harta menjadikan jiwanya makin sempit, tak pernah terbersit sedikit pun untuk memberi pada sesama, bahkan dia didera rasa haus untuk bisa menumpuk dan menimbun harta sebanyak-banyaknya. Walau dia kaya secara lahiriah, tetapi miskin secara ruhani. Tak ada sifat qanaah dalam hatinya, akibatnya dia terus diterpa rasa khawatir, takut harta yang diperoleh hilang, juga didorong semangat untuk mendapat lebih banyak lagi. Pun, andai dia memberi tak jarang disertai harapan untuk mendapatkan lebih banyak. Spirit ikhlas tidak tertanam kuat dalam hatinya, padahal tanpa ikhlas orang akan berada dalam keadaan batin yang goyah. Seperti pohon tanpa akar.

Kita pasti mendamba sebagai pohon yang berakar, sehingga hari-hari kita terus diselimuti semangat keikhlasan yang tak terbatas. Bukankah hanya dalam semangat ikhlas orang melulu mencerap kebahagiaan yang hakiki, karena saat ikhlas manusia tengah “bergandengan” dengan Allah SWT. Makanya, begitu bahagia orang-orang yang hatinya diluapi spirit ikhlas. Pekerjaan orang ikhlas adalah memberi, dan kebahagiaan memantul saat bisa memberi. Dan lebih bahagia lagi, ketika pemberian itu hanya diketahui Allah SWT. Dari waktu ke waktu kita harus terus memproses diri agar tersaluri spirit ikhlas, dan selalu bergerak untuk memberi lebih banyak tanpa disertai kehendak sedikit pun untuk mendapatkan pujian dan sanjungan. Karena orang yang terpana dan silau dengan pujian dan sanjungan, akan mengalami kegoyahan iman. Dan orang yang memberi tanpa disertai ikhlas, berarti memberi tanpa disertai iman. Padahal hanya amal yang disertai iman yang bakal meneguhkan jiwa dekat pada Allah SWT.

Khalili Anwar, Penutur dari Jalan Cahaya

Kamis, 22 Oktober 2009

MALAM PURNAMA SEMPURNA


Tepat malam 15 Ramadhan, hatiku berbunga-bunga menyambut bulan yang memendarkan cahayanya yang purnama. Saat itu, bibirku tak henti-henti melantunkan salawat Nuril Anwar, sambil menghayati kehadiran Rasulullah SAW sebagai sosok yang selalu dipersonifikasi sebagai rembulan. Kupandangi lekat-lekat, bulan itu ternyata dalam keadaan duduk tasyahud, seperti berdialog dan menyaksikan Tuhan dengan seluruh kemuliaanNya yang sempurna. 


Tak luput, kulihat bunga-bunga, pohon-pohon, dan pelangi seakan turut memanjatkan tasbih menyambut rembulan yang terus memancarkan sinarnya yang sempurna. Aku pun berada dalam suasana dialog dengan purnama malam bersama seluruh jagat semesta yang khusyuk karena terpesona pada cahaya rembulan. Kala menatap rembulan, saya terus mengingat Rasulullah SAW yang telah berperan sebagai penerang yang nyata bagi kehidupan. Lantaran kehadiran Rasulullah SAW di jagat semesta inilah, begitu terasa adanya kehidupan rahmat yang memancar di setiap kisi-kisi kehidupan yang kualami. 

Hatiku berbunga-bunga menatap purnama, seakan cahaya rembulan itu menjadi dambaan setiap makhluk termasuk diri ini. Saya pun bertanya, mungkinkah cahaya rembulan yang begitu sempurna itu bisa menghiasi langit-langit hati yang gelap ini? Bisakah cahaya purnama itu terbit dari kesadaran terdalam ini? Bisakah diri ini menjadi rembulan yang kemana-mana hanya bisa menebarkan cahaya kelembutan? 

Dari sinar rembulan, saya menatap kelembutan Allah, yang gampang membuat orang terpesona dan masuk ke dunia spiritual yang amat dalam. Memang, manusia hanya bisa memandangi rembulan dengan cermat, tidak bisa melihat matahari. Bahkan ketika manusia berusaha menatap matahari yang memancarkan teriknya, niscaya matanya akan silau. Dan rembulan sendiri sebagai ekspresi dari cahaya matahari. Kedudukan rembulan di hadapan matahari, seperti kedudukan hamba yang paling terpuji Rasulullah Muhammad SAW di hadapan Allah SWT. Karena itu, untuk bisa mengenali matahari, maka manusia harus mengenali rembulan terlebih dahulu. 

Dalam pandangan ruhaniku, matahari adalah perlambang sifat jalal Allah, dan rembulan adalah perlambat sifat jamal Allah. Makanya, tak aneh untuk mengekspresikan kelembutan cinta, sepasang kekasih selalu menggunakan simbol rembulan bersama cahayanya yang memukau. Karena sinar cahayanya yang lembut, sebagai simbol kasih sayang dan keindahan Allah SWT. Karena itu, Rasulullah SAW yang dilahirkan sebagai mahkota kehidupan bersematkan citra kepribadian yang lemah lembut dan penuh belas kasih.  

Dakwah Rasulullah Saw benar-benar menggunakan kepekaan hati, dan adapun modus kekerasan (tegas) hanya dipergunakan ketika menghadapi orang kafir yang berlaku dzalim dan menyerang Islam. Rasulullah SAW menjalani dakwah lebih sering menggunakan cara-cara kelembutan dan kasih sayang, tak ayal jika para sahabat sering merasa tenteram dan dimabuk cinta kala bertemu Rasulullah SAW. Tak ada sedikit pun sikap Rasulullah SAW yang menyakiti sahabat, semua perilaku beliau terpandu dengan akhlak qur’ani. Senada dengan jawaban siti Aisyah ketika ditanya sahabat perihal akhlak Rasulullah, dia berkata semua perilaku Rasulullah SAW menakjubkan, dan berakhlak dengan akhlak al-Qur’an. 

Begitulah, akhlak Rasulullah seindah rembulan purnama, tak sedikit pun terlihat cecat yang melekat padanya. Purnama hanya sebatas simbol keindahan akhlak Rasulullah SAW, namun pada hakikatnya rembulan itu tidak bisa mewakili keindahan akhlak Rasulullah SAW yang sempurna. Kalau kita begitu kagum dan terperangah dengan bulan purnama, niscaya akan lebih terperangah ketika melihat langsung cahaya akhlak Rasulullah SAW yang berkilau-kilau, yang siap membuat siapapun terpesona memandangnya. 

Ketika melihat purnama malam, terasa api kerinduan menggelora dari hati ini. Mungkinkah saya berjumpa dengan Rasulullah SAW, merasakan ditatap oleh beliau? Merasakan belaian kelembutan beliau? Saya benar-benar ingin bertemu dengan beliau, semoga pertemuan agung itu bisa kurasakan sepanjang hayat saya. Bukankah ada dari para kekasih Allah yang bisa bertemu dan bertatap muka langsung dengan Rasulullah SAW. Mungkinkah orang yang serba terbatas ini bisa bertemu dengan beliau? Sungguh, diri ini begitu terbatas dalam segala hal, ibadah terbatas, ilmu terbatas, keyakinan terbatas, bahkan kezuhudan terbatas. Mungkinkah diriku pantas bertemu dan berdialog secara intim dengan Rasulullah SAW yang menjadi pijar cahaya rembulan bagi kehidupan ini. Apakah Rasulullah berkenan menemui diri yang papa dan hina ini atau tidak, terpenting saya terus memenuhi hati dengan kerinduan tanpa akhir pada Rasulullah SAW, sang rembulan yang terus bercahaya. 

Khalili Anwar, Penutur dari Jalan Cahaya

Rabu, 14 Oktober 2009

SOSOK MUSLIMAH



Bertegur sapa dan bergaul kendati hanya selintas, tetap saja membekaskan kesan yang indah di dalam hati. Keindahan ini tidak bertaut dengan keindahan yang menguap dari hawa nafsu, namun berasal dari kesadaran terdalam. Saya terus berusaha meraba cermin indah dari setiap sosok yang kutemui agar bisa membersihkan dan menghias hati ini. Kadang-kadang saya merasa malu dengan pancaran akhlak dan kontribusi orang-orang sekitar saya. Salah satunya yang membuat saya terhenyak saat melihat sikap hidup mulia yang ditampilkan seorang ibu. Saya memanggil perempuan itu dengan Bunda Farhan, dikarenakan kami merasa amat diperhatikan dan dihormati beliau sekeluarga. Bunda ini punya 3 anak puteri yang paling tua, Nur Laili, ada di bangku SMP, putri kedua, Amelia, kelas 1 SD, dan putri ketiga, Anissa, masih baru berada di bangku TK. Pada mulanya, saya menganggap Bunda Farhan sebatas ibu rumah tangga yang mencurahkan tenaganya guna mendidik dan membimbing anak-anaknya, juga melayani suaminya. Namun, dibalik kesederhanaan yang ditampilkan, dia ternyata sosok hafidzah yang begitu pandai dan luwes bergaul dengan ibu-ibu yang berada di sekitar perumahan Sengkaling. Bunda Farhan bersama keluarga menempati perumahan tersebut beberapa minggu sebelum puasa. Sebelumnya, beliau bersama keluarganya tinggal di Sidoarjo.

Yang menakjubkan di hati saya, kendati Bunda ini beberapa minggu tinggal di perumahan itu, begitu gampang berbaur dengan ibu-ibu yang lain. Dan dia selalu berusaha menebarkan aura kebajikan pada ibu-ibu, agar bisa mengaji al-Qur’an dengan baik dan benar lewat aktivitas tadarus. Semangat berbagi kebajikan itulah yang membikin saya menaruh kekaguman pada orang ini. Saya optimis, dia menjadi pelopor dakwah bagi kalangan ibu-ibu, bahkan saking padatnya kegiatan ibu-ibu yang ada di Sengkaling pada bulan puasa, saya menaruh harapan, bisa jadi akan berdiri masjid megah dan sekolah di perumahan tersebut. Bermula dari keyakinan, ketika ruh jihad telah menyusup ke dalam hati setiap umat, insya Allah dakwah sekaligus fasilitas dakwah bakal gampang terealisasi. Sebagian jamaah berujar, “Kami bersyukur beberapa bulan ini komunitas perumahan mendapatkan keberkahan dengan hadirnya orang-orang saleh, seperti keluarga pak Dhiya’ (guru kita yang mulia) dan keluarga Pak Farhan. Semoga ini menjada isyarat baik bagi perumahan Sengkaling, menjadi perumahan yang lebih agamis.” Kata Pak Moga menaruh harapan selaku aktivis dakwah di perumahan tersebut.

Memang, di perumahan banyak orang-orang saleh yang selalu fokus melayani umat, tanpa pamrih sedikit pun. Saya mengenal ada Ustadz Nur, seorang hafidz, lantunan al-Qur’an-nya terasa begitu syahdu menyusup hati. Hanya saja Ustadz Nur belum bisa terlibat aktif di Mushalla. Jika ada waktu kosong, beliau shalat berjamaah. Mungkin aktivitas dakwahnya padat.

Kembali ke Bunda Farhan. Sosok ini begitu telaten mengajari ibu-ibu, bahkan dia berazam melahirkan ustadzah yang bisa mendidik anak-anak TPQ yang selama ini tidak terkelola dengan baik, kalau tidak mau disebut terlantar. TPQ tidak mengalami kemajuan, karena masih ditangani dengan cara konvensional, tanpa menggunakan metode belajar al-Qur’an yang mudah dan cepat, selain ustadzah-nya tidak benar fokus memberikan perhatian terhadap pertumbuhan anak didik di TPQ tersebut. Saya hanya bisa mendukung langkah yang bakal dirintis Bunda Farhan, karena saya belum merasakan kejituan metode yang dipergunakan. Adapun metode yang dipergunakan Bunda Farhan dalam mendidik anak-anaknya adalah metode UMMI. Saya melihat perkembangan anaknya yang masih kelas 1 sudah bisa membaca al-Qur’an Juz.

Selain mengajari ibu-ibu mengaji, dia juga mengundang ustadz yang bisa mengajari ibu-ibu tarjim al-Qur’an, dengan harapan para ibu tidak hanya bisa mengaji al-Qur’an dengan fasih, juga memahami makna yang terkandung di dalamnya, sehingga akan terbangun semangat untuk merenungi (tadabbur) atas ayat yang tersirat dalam al-Qur’an tersebut. Tarjim al-Qur’an memadukan kegiatan belajar bahasa Arab dan mengkaji al-Qur’an. Tujuan pamungkasnya, bagaimana ibu-ibu bisa belajar al-Qur’an secara menyeluruh, tidak hanya mengaji tetapi juga bisa mengkaji al-Qur’an.

Selain aktivitas tadarus, menerjemah, dan mengkaji al-Qur’an, Bunda Farhan juga mengadakan pengajian ibu-ibu yang dihadiri salah satu dosen dari UNMUH, Malang. Saat pertama kali ketemu dosen ini, saya begitu antusias lantaran ada orang yang mau mengisi pengajian di sebuah Mushalla kecil. Saya sempat berbincang sebentar dengan ustadz tersebut, kemudian dia segera membuka pengajiannya. Saya menguping kajian-kajiannya di dalam kamar. Hanya saja, saat masuk ke materi pembicaraan, dia banyak menjlentrehkan tentang taghut, dengan gampang mengalamatkan klaim-klaim syirik pada saudara muslim yang lain. “meletakkan tulisan doa di daun pintu itu syirik, meminum air doa itu syirik, juga meminta tombo ke Ponari syirik,” kata si ustadz.

Aneka ucapan yang berbau syariat begitu kental berikut menyalahkan praktik pemahaman kelompok lain membuat hati tidak basah dan sejuk, malah semakin kering dan panas. Uraian-uraiannya yang tidak pernah menyentuhkan kesegaran ke dalam batin, membuat diriku tergerak untuk berbicara dengan Bunda Farhan.

Terlintas dari pikiranku sebuah peristiwa, dimana ada komunitas NU yang membangun Mushalla di sebuah perkampungan. Hanya karena kesadaran agama komunitas itu menyusut, masuklah kawan salafi (bukan salafiyah) untuk memakmurkan masjid tersebut. Karena uraian-uraiannya yang sering menyalahkan kalangan NU, maka semua aktivis Salafi yang tinggal di Masjid tersebut diusir oleh warga. Saya tak berharap komunitas muslim Sengkaling terpecah lantaran perbedaan pandangan.

Sehari selepas pengajian itu berlalu. Tepat habis shalat dhuhur, saya minta izin ke Pak Farhan untuk bersilaturrahim ke rumahnya. Pak Farhan mempersilahkan dengan senang hati. Namun, sekitar jam 2, saat saya mengajari adik-adik TPQ, saya dipanggil Bunda Farhan. “Katanya Abi, antum mau silaturrahim ke rumah selepas Ashar. Mohon ma’aaf, saya nanti mau silaturrahim ke sahabat saya, dan sudah kadung janjian, “katanya.

“Ya rencananya, hanya ingin silaturrahim, ada hal yang hendak disharing-kan,” ujarku.

“Apa ya, maaaf kalau saya bersama keluarga ada kesalahan,”dengan jiwa merendah.

Saya pertama-tama menyinggung perkembangan tadarus ibu-ibu, dan masa depan pendidikan al-Qur’an di Mushalla. Beliau berbicara begitu antusias, dan saya mendengarkan sambil menunduk ta’dzim. Setelah beliau berbicara panjang lebar tentang mengaji al-Qur’an, saya pun masuk pada perkara inti yang hendak kuungkapkan.

“Pada hari jumat kemarin, saya mendengarkan ceramah dari ustadz yang didatangkan dari UNMUH. Sebagian besar materinya baik, hanya saja ada beberapa catatan yang perlu dikoreksi. Saya kira semua hujah yang diungkapkan beliau bisa benar menurut sumber yang diperoleh.” “Namun, suatu hal yang perlu dikritisi ketika menyinggung ritual pandangan golongan lain keliru, dan hanya golongannya saja yang benar. Saya yakin Muhammaddiyah menjalani ritual keagamaan berdasar pandangannya sendiri yang bersumber dari al-Qur’an dan hadist, NU juga memiliki pandangan sendiri yang bersumber dari al-Qur’an, hadist, dan Qiyas.” Lanjutku

“Pun bisa jadi golongan yang lain punya pemahaman sendiri. Perbedaan dalam umatku adalah rahmat, sabda Rasulullah SAW. Bagaimana perbedaan ini mencitrakan bangunan Islam yang indah. Bukan perbedaan dijadikan ajang saling menuding kesalahan kelompok lain. Kita semua ingin melihat Islam yang bersatu, rekat, dan rukun karena sikap kedewasaannya memandang perbedaan yang menghiasinya.”Kataku

“Apa perihal yang tidak berkenan bagi ustadz?”tanyanya

“Saya sempat terhenyak ketika seorang ustadz mengomentari praktik-praktik keagamaan yang dipandang syirik. Meletakkan tulisan doa di daun pintu disebut syirik, meminum air doa disebut syirik, mungkin berziarh ke kubur syirik. Menurut pandangan ahli tauhid yang disebut syirik adalah menganggap ada selain Allah yang bisa memberikan manfaat secara independent. Jika kita mengganggap air itu yang membuat kita sembuh, itu syirik, atau karena tulisan itu yang membuat kita selamat, berarti syirik. Bahkan ketika seorang pasien mengalami kesembuhan, berpikir karena dokter yang memeriksa atau obat yang dikonsumsi yang membuat sembuh. Itu pun syirik. Dalam pandangan saya syirik tidak melekat pada benda-benda, tetapi ada di pikiran. Bunda mungkin pernah mendengar penemuan terakhir Prof. Ermuto perihal kekuatan air. Dia meneliti ketika air dimarahi, maka memunculkan butir-butir kristal yang jelek, namun ketika dilontarkan kata yang penuh belas kasih, kristal-kristalnya menjadi membaik. Apalagi ketika dibacakan al-Qur’an kristalnya menjadi amat baguuuus. Dari penelitian tersebut, terasa ada hubungan yang menarik antara doa dan air. Dan saya pernah mendengar sabda Rasulullah SAW, “Sesungguhnya doa bisa merubah takdir,” uraiku.

“Sebenarnya ustadz kemarin menjelaskan tentang syirik tersebut agar orang hati-hati. Mungkin bagi orang yang tauhidnya sudah kuat, tidak perlu mendapatkan nasihat seperti itu. Saya juga berlatar keluarga NU, saya suka dengan tahlil, hanya kurang sreg ketika tahlil harus mengeluarkan banyak biaya untuk memberikan makan orang yang tahlil. Zikir (jahr) juga sepaham,” selorohnya

“Saya hanya kasihan pada umat, apalagi mushalla ini baru aktif beberapa tahun. Kita berharap kebersamaan dan kebersatuan jamaah jangan dikoyak lantaran didera hasrat untuk memperuncing perbedaan yang ada. Rasulullah SAW selalu mengedepankan akhlak dalam berdakwah, dan kita harus betul-betul berusaha meramu perbedaan sebagai keindahan yang menyejukkan. Ada yang qonut atau tidak saat subuh, tak perlu dipermasalahkan. Mereka punya standar pemahaman sendiri-sendiri. Kalangan NU bermazhabkan imam Syafi’ie, tetapi kalau mau melacak sejarah, sejatinya tahlil tidak difatwakan Imam Syafi’I, tetapi difatwakan Imam Hanafi. Sudah saatnya kita luwes menghadapi perbedaan, berikut menonjolkan kebersamaan,”tuturku.

“ya terima kasih atas sarannya ustadz. Saya berusaha menjaga kebersamaan itu. Sebenarnya, saya juga tidak mengerti latar belakang ustadz itu (yang memberikan ceramah), saya hanya diperkenalkan teman saya saat taklim.” Kata bunda Farhan.

“Maaf bunda, jika perkataan saya menyinggung perasaan bunda. Tetapi itu semua bermula dari semangat untuk bisa mempersatukan komunitas muslim Sengkaling ini, hingga makin rukun dan akrab satu sama lain,” kataku.

“Jazakallah, atas masukannya. Semoga saran tersebut jadi kebaikan bagi jamaah yang ada di sini,” ujar Bunda Farhan.

Saya pun melanjutkan mengajari adik-adik TPQ, dan Bunda Farhan pun melanjutkan aktivitas tadarusnya. Saya berharap saran yang kusampaikan akan dilanjutkan pada ustadz yang kumaksud. Alhamdulillah, seminggu setelah pengajian itu berlalu. Ustadz itu hadir, memberikan pengajian kembali. Materi pengajian lebih soft dan umum, dan tidak lagi menyinggung perbedaan yang ada. Semoga kerukunan diantara umat tetap terjaga di perumahan Sengkaling.

Saban ada kesempatan, Bunda Farhan selalu menanyakan seputar persoalan agama pada saya. Dan saya menjawab sebatas yang kuketahui. Saya berharap dia bersama keluarga akan menjadi sparring partner bagi guru kita yang mulia untuk menegakkan dakwah di perumahan tersebut.

Khalili Anwar, Penutur dari Jalan Cahaya

Senin, 12 Oktober 2009

DARI GUNUNG HINGGA TAUHID



Sepanjang Ramadhan saya banyak belajar. Belajar pada bunga yang sedang merekah indah, gunung yang menunjukkan kelembutan dibalik keagungannya, air yang terasa dingin, mengalirkan kesejukan keseluruh pori-pori. Kurasakan semua keadaan yang mengitari diriku tanpa resistensi sedikit pun. Ketika saya berusaha menyelami beberapa ayat Tuhan apa adanya, dan meninggalkan pikiran yang dualitas, seolah ada cerapan-cerapan nutrisi mengalir ke dalam kalbu. Karena itu pencerahan memendar dari momen ke momen. Pandanganku terpaku pada gunung puteri tidur, yang di bawah kaki sang putri berdiri kukuh gunung paderman. Dua gunung tersebut menggambarkan kepatuhan seorang anak pada sang bunda. 

Saya selalu ingat nasihat guru kami yang mulia, saat puasa tiba, layaknya dijadikan momen merenungi ayat-ayat Tuhan baik yang tergulung dalam Qur’an atau tergelar di alam ini, agar bisa mendulang hikmah suci. Bukankah ketika orang bisa mendulang hikmah, berarti dia mendapati yang banyak? Sebagaimana firman Allah, “Allah menganugerahkan hikmah kepada siapa yang Dia kehendaki. Dan barangsiapa yang dianugerahi al-Hikmah itu, ia telah benar-benar dianugerahi al-Hikmah itu, ia benar-benar telah dianugerahi karunia yang banyak. Dan hanya orang-orang yang berakallah yang dapat mengambil pelajaran (dari firman Allah). (QS. Al-Baqarah [2]:269)

Setiap hari saya selalu mencari obyek yang bisa direnungi, demi bisa mengenal Allah lebih dekat lagi. Bukankah dari merenung kita bisa menyalakan pelita dalam hati kita sendiri? Dan ketika hati telah bercahaya, berdampak pada kecermatan menangkap hikmah dibalik setiap peristiwa dan kejadian yang meruyak. 

Saat hari-hari pertama, berada di Malang, saya berusaha menyibak tabir rahasia dibalik gunung puteri tidur. Ada sedikit sentilan, andaikan ada orang yang bertanya gunung apa yang paling tinggi, tak ayal pikiran kita akan tertuju pada gunung Himalaya atau Everest, namun sesungguhnya gunung yang tertinggi adalah gunung puteri tidur, kata sebagian sahabat. “Tidurnya saja sudah tinggi, apalagi kalau ia terbangun dan berdiri dari tidurnya” canda sang sahabat. Ingatlah, guyonan ini tak perlu direnungkan.

Andai saya tak menghayati gunung tersebut, saya mungkin tak menemukan makna sakral yang melekat. Gunung yang ditumbuhi pohon, mampu menyerap air hujan dan memprosesnya, mengalirkan ke sungai, kemudian dibawa ke lautan. Ketika manusia telah berhasil menghujamkan iman di dadanya, maka dia akan menemukan kearifan yang mengembang indah. Di gunung tersebut tumbuh rerimbun tanaman yang menawarkan kesejukan bagi mata, dan matahari yang bersinar terik terserap pepohonan yang berjejer indah menghias gunung. Sehingga rasa panas yang potensial menyengat kulit tidak terasa, bahkan suasana alam terus berlingkup dalam suasana dingin.  

Kehadiran gunung menguatkan bumi, agar tak gampang mengalami goncangan. Memang, gunung memberikan manfaat yang besar untuk keberlangsungan hidup manusia. Bayangkan, andaikan Allah menciptakan bumi tanpa dipaku gunung, mungkin banjir bandang sering terjadi di dunia. Dalam pandangan ruhaniku, gunung adalah iman. Ketika iman tegak kokoh berdiri, maka manusia bakal mudah tersambung dengan Rasulullah SAW, dan manakala orang telah tersambung dengan Rasulullah, niscaya akan dihantarkan pada pengalaman ketuhanan yang lebih mendalam. Gunung adalah potret pribadi beriman. Gunung sebagai gambaran tegaknya iman yang mengalir ke sungai cinta pada Rasulullah SAW, kemudian dibawa ke lautan tauhid. Iman yang kokoh mengarahkan kecintaannya pada Rasulullah yang digambarkan sebagai sungai, dan Rasulullah Saw akan membimbing mereka kepada Allah, lautan penyerahan diri. Kita harus berproses agar bisa menggapai kebersatuan dengan Allah SWT. Dengan cara apa? Ya selalu berusaha menguatkan iman di dada, kemudian memancarkan cinta suci pada Rasulullah SAW, insya terbimbing untuk bisa menggapai pencerahan yang hakiki dalam hidup ini. Puncak pencerahan adalah penyatuan dengan Allah SWT dalam ikatan tauhid.  
 
Begitulah, lewat gunung saya berpikir rentetan makna yang tersimpul di dalamnya. Saya merasa gunung telah memberikan pelajaran agung, bagaimana pribadi beriman berhasil membebaskan dirinya hingga bisa menyatu dengan samudera luas. Melalui keyakinan kukuh yang mengakar kuat dalam diri, harus berhasil menyalakan spirit cinta, berujung pada pertalian atau kebersatuan dengan Allah, berupa kristal-kristal tauhid. Citra orang yang telah menyatu dengan Allah, adalah selalu berserah diri atas setiap ketentuan Allah yang menghinggapinya. Tak ada lagi sekat yang membatasi antara dia dengan Allah, karena dia sendiri telah berhasil meruntuhkan tembok keakuan yang kerapkali menghalangi perjumpaan seorang hamba dengan Sang Khaliq, antara seorang pencinta dengan Yang Dicintai. Orang yang telah sampai pada samudera tauhid, bersemai dari jiwanya penyerahan diri tanpa reserve. 


Khalili Anwar, Penutur dari Jalan Cahaya

Sabtu, 10 Oktober 2009

SOSOK MUDA YANG MENGAGUMKAN

Selama bergaul dengan masyarakat Perumahan Puncak Mutiara Sengkaling, Malang, saya mendapati kenyataan indah yang selalu membuat hati ini bahagia. Di sana, saya bersua dengan sosok yang berhiaskan tawadhu’ mendalam, namun memancarkan spirit izzah yang menjelma dari bongkahan jiwanya. Semakin hari saya melihat akhlaknya bersinar, tak ayal saya pun merasa malu dengan perilakunya yang begitu anggun dan mempesona. Saya mungkin bisa mempesona orang lewat kata-kata yang padat dengan muatan makna, namun penampilan dan sikap hidup yang ditunjukkan seperti telah menutupi pesona kata-kata yang kukatakan. Begitulah, kata-kata akan tertutupi cahaya penampilan dan sikap hidup. Mengapa kata-kata bisa kalah terhadap perbuatan dan sikap hidup? Ya, karena kata-kata hanya berupa ilmu yang potensial, sementara perbuatan atau sikap hidup sebagai realisasii ilmu itu sendiri. 

Saya masih berkutat dengan kata-kata, sementara dia telah berhasil merealisasikan kata-kata menjadi fakta. Saya menekankan pentingnya menumbuhkan rasa kasih sayang pada sesama, terlebih anak yatim, yang tidak punya tempat bersandar untuk memenuhi hidupnya, kecuali hanya terus memanggil Allah.. Allah… Allah. Sementara dia telah berhasil memungut anak yatim piatu, dan sekarang berhasil menyekolahkannya ke tingkat SMA tanpa meminta bantuan pada siapapun. Ia menanggung biaya hidup anak yatim dengan kemampuan ekonomi sendiri. Sebuah potret hidup yang amat menakjubkan. 

Ketika melihat sikap hidupnya yang begitu bersinar, saya tergerak untuk bisa belajar banyak tentang prinsip hidup yang mendasarinya dalam mengarungi tantangan yang begitu keras. Kendati saban harinya dia menekuni bisnis yang amat keras, selain jadi dosen di UNMUH Malang, tapi pancaran wajahnya tak pernah terlihat sebagai pribadi yang keras, malah kulihat ada keteguhan yang memancar dari wajahnya. Cahaya kelembutan pun selalu memantul di setiap tutur kata dan perilakunya. Dia pernah berkata penuh akrab pada saya, bahwa dia berproses dengan kehidupan yang pasang surut, yang telah membentuk jiwanya makin kuat dan tegar. Memang, dari situ kedewasaan hidupnya bisa terbentuk, sehingga dia tak pernah sedikit pun khawatir hidup yang dijalani, karena meyakini jaminan Allah. 

Hampir setiap hari, dia menghadiri pengajian yang saya asuh. Perasaan yang mengalir di batinku, “orang ini telah berhasil melampaui setiap kata-kata yang kuucapkan, dia hadir sebatas memantapkan semangat tawadhu’ terhadap siapapun.” Dia begitu terbuka belajar terhadap siapapun sepanjang selaras dengan prinsip-prinsip hidup yang diyakini. Keterbukaan dalam menerima ide-ide baru dan pencerahan positif, membuatnya makin tumbuh berkembang sebagai pribadi matang. Saya meneliti setiap kata yang terlontar dari lisannya, tak pernah sedikit pun menyinggung dan menghakimi orang lain. Saya merasakan betap pikiran dan hatinya begitu jernih dan bening, sehingga kata-kata yang diungkapkan, selalu menghadirkan keteduhan dan kesejukan bagi yang mendengarkan. 

Di usianya yang sudah kepala 3, dia terus berusaha menggali potensinya secara maksimal. Di tengah kesederhanaan hidupnya, dia amat suka berbuat dermawan pada siapapun, sembari memiliki rasa hormat yang mendalam pada siapapun, tak terkecuali pada saya yang hadir sebagai tamu di masyarakat tersebut. 

Di hari kedua, saya sampai ke perumahan tersebut, dia diperkenalkan oleh salah satu jamaah pada saya. Mulanya dia terkesan pendiam, tetapi memancarkan kharisme yang positif. Beberapa jam, dia mengantarkan spring bed ke kamar penginapan, sehingga sempat terbetik di pikiranku, “Waduuh jadi tidur terus nich, mujahadah jadi gagal ya.” Kendati demikian saya tetap bersyukur, dengan perhatian yang diberikan olehnya. Sejak saat itu, saya terdorong untuk mengerti orang ini dari dekat. Makanya pada saat kunjungan ke rumah-rumah jamaah, saya mengkhususkan lawatan ke rumahnya terdahulu, saya berbincang banyak hal dengan dia. Saya menyinggung tentang pentingnya seorang guru yang akan menjadi pemandu untuk mencapai pengenalan pada Allah SWT. “Walau pun al-Qur’an sudah bisa dipelajari secara digital, buku-buku berlimpah, internet menyediakan sekian pengetahuan keagamaan, audio-visual yang memudahkan orang belajar agama lebih cepat, ada satu hal yang amat penting dari itu semua, yakni guru,” ujarku 

“Sebanyak apapun pengetahuan kita, tanpa dibimbing guru yang dekat pada Allah SWT, maka pengetahuan itu hanya menjadi pengetahuan semata, tidak tumbuh menjadi kesadaran yang indah di dalam hati kita. Nabi Muhammad mencerap ruh wahyu dengan belajar pada Malaikat Jibril, karena itu umat Nabi SAW juga harus belajar pada buku yang hidup, yakni guru” “lebih dari itu, sesungguhnya kerangka ilmu itu tersebar di berbagai perangkat pengetahuan, buku, audio-visual, internet, dan bahkan bisa kita cerap melalui televisi, namun sesungguhnya ruh ilmu itu terpendam di dada setiap guru.”

Memang, sosok yang mengagumkan ini setiap harinya tak pernah lepas dari buku. Dia selalu membaca buku untuk menyegarkan dan meluaskan cakrawala berpikirnya. Setelah kukatakan kata-kata itu, dia pun mengiyakan, betapa sesungguhnya belajar tanpa guru seperti orang punya peta, tanpa pemandu arah, niscaya cenderung akan membuatnya tersesat. Ada sebagian jamaah yang menimpali, “bukankah ketika orang belajar tanpa guru, yang mengajari mereka adalah setan.” “benar sekali,” sahutku. 

Saya pun beralih pada tema yang lain, saya memperkenalkan siapa diri saya. Saya memberitahukan bahwa saya bukanlah seorang penceramah atau dai, saya hanya tukang jual kripik singkong, yang biasa mengantarkan kripik dari toko ke toko, dari sekolah ke sekolah. Adapun saya mendapatkan tugas berdakwah, sebenarnya hanya belajar untuk bisa menjalani proses tarbiyah menurut Nabi SAW. Rasulullah menggunakan pola mengajar ilmu dari sanad ilmu yang benar, menyucikan hati agar terpantul akhlak yang luhur, dan terakhir memiliki tanggung jawab untuk berdakwah. Artinya, berdakwah sebagai tugas dari majelis yang menerapkan pembelajaran ala Rasulullah Muhammad SAW. Berdakwah tidak harus berbicara di depan umum dengan cara menggebu-gebu, namun mempraktikkan ilmu dalam pergaulan sehari-hari juga bagian dari dakwah. Bahkan dakwah lewat pergaulan antar pribadi lebih efektif, ketimbang berbicara di massa yang berjubel. 

Mendengar saya hanyalah seorang sales kripik singkong, tentu saja dia menanggapi amat antusias, karena dia memang mendukung anak-anak muda yang hendak menekuni dunia wirausaha. Ia pun bercerita, berbisnis seperti menjadi bagian dari petualangan yang dijalani sejak kuliah. Saat masih mahasiswa dia pernah mendirikan bisnis rental komputer, sekarang dia menekuni bisnis loundry dengan memberdayakan anak-anak muda, juga bisnis perumahan. Memang, berbisnis harus menjadi semangat yang harus menyala di hati anak muda, demi bisa mewujudkan kebangkitan bagi bangsa ini. Ketika dia berbicara bisnis terasa ada getaran antusiasme yang saya tangkap, namun bisnis yang telah menjadi mindset dalam dirinya adalah bisnis yang berlandaskan akhlak islami. Walau dia seorang pebisnis tak pernah nampak dari guratan wajahnya bahwa dia seorang yang berorientasi duniawi. Karena saya menyaksikan sendiri, hampir sebagian materi kekayaannya diperuntukkan membantu sesama, dan bahkan saya dengar dari salah satu jemaah disana, dia salah satu tokoh yang berperan dalam pendirian Mushalla yang saya tempati. Inilah sosok pebisnis yang dididik dengan ruh iman. 

Khalili Anwar, Penutur dari Jalan Cahaya

Selasa, 04 Agustus 2009

MERAWAT BUNGA DALAM HATI

Allah telah menaburkan benih bunga “fitrah” di taman hati kita, namun karena kita jarang merawat, sehingga bunga itu tidak tumbuh, bersemai, berkuncup dan merekah. Kita jarang memerhatikan benih bunga yang tertanam dalam hati, lantaran kita cenderung mengalihkan perhatian pada bunga yang tumbuh di taman-taman duniawi yang meliarkan hawa nafsu. Harusnya keindahan bunga yang bertebar di luar menginspirasi kita untuk bisa menumbuhkan bibit bunga yang terbenam di dalam hati ini. Apa bibit bunga yang terbenam dalam hati kita? bibit bunga itu berupa kedamaian dan keindahan. Setiap pribadi pasti merindukan kedamaian dan keindahan. 

Ketika kerinduan terpantik dari dalam hati, sesungguhnya hendak mengabarkan pada kita bahwa apa yang dirindukan itu bersemayam dan bersembunyi dalam hati, hanya saja mungkin belum mengaktualisasi. Jika bunga batin belum tumbuh, rangkaian bunga hias yang bermekaran dan dicerap oleh indrawi tersebut tidak ampuh mengalirkan kedamaian dalam hatinya. Terbukti, banyak orang melakukan rekreasi demi melepaskan keletihan yang mengungkung hatinya, tetapi ternyata setelah menikmati pemandangan indah bersifat indrawi yang terbentang di taman rekreasi itu kadang tidak membekaskan kedamaian dalam hatinya. 

Seorang sahabat bercerita pada hamba, suatu saat keluarganya pergi rekreasi ke luar kota dengan harapan bisa menangguk kedamaian dan ketenangan hidup yang didambakan selama ini. Saat keluar dari rumah, kebahagiaan terasa merekah terlihat dari wajahnya yang berbinar-benar, dan mereka pun melacu pergi ke tujuan wisata. Pastinya di tempat wisata, mereka bertemu dengan keindahan dan bunga yang tumbuh di setiap taman rekreasi yang dikunjungi. Kedamaian dan ketenangan hidup yang diajarkan bunga di teman rekreasi mungkin bisa dibawa ke rumah dalam bentuk jalinan keluarga yang lebih harmonis. Sesampai dirumah, alih-alih keluarga yang berekreasi membawa kedamaian dan ketenangan, malah membuat suasana keluarga tidak kondusif dan tidak harmonis. Ada teriakan-teriakan bernada mencaci, menghina, memojokkan, dan sarkasme terdengar begitu keras. Sehingga bekas yang diterima keluarga yang lain hanya rasa sakit dalam hatinya. 

Dari sekilas cerita itu, saya bisa merengkuh pelajaran, keindahan bunga yang hanya dinikmati hawa nafsu tidak mewariskan kedamaian ke dalam batin kita. Namun, ketika keindahan bunga itu dicerap oleh lahan batin kita, berikut mengilhami tumbuhnya benih kedamaian di taman hati, maka kedamaian yang diajarkan bunga itu akan berbekas, bahkan bisa turut menumbuhkan bunga-bunga di hati orang lain. 

Bilamana benih bunga batin kita sudah tumbuh, bersemai, dan bermekaran, maka kemana-mana kita selalu diliputi kebahagiaan. Sudah merasa amatlah cukup anugerah Allah yang diberikan pada kita, berupa kebahagiaan itu sendiri. Kebahagian yang tumbuh berupa bunga batin ini, sebuah kebahagiaan yang tidak bisa dijelajah dengan instrument indrawi, hanya bisa dirasakan oleh mata hati yang bening. Bunga kebahagiaan ini bakal tumbuh ketika terpantik perasaan cinta yang mendalam pada Allah, karena cinta itu sendiri ditandai oleh mengembangnya bunga kebahagiaan dalam hati kita. Tak salah kalau ada ungkapan “cinta berbunga-bunga.” Yah, cinta pada Allah membuat hati kita berbunga-bunga. Dan bunga batin ini tidak bisa ditukar oleh yang lainNya. Karena bunga ini menjadi inspirasi awal dari seluruh bunga yang tertanam di taman-taman rekreasi indrawi. Kalau di jagat alam ini tertanam bunga yang katanya bisa menyajikan kedamaian dan kebahagiaan, sesungguhnya di hati telah tumbuh bunga yang mendasari energi seluruh bunga dan bisa membekaskan kebahagiaan yang abadi. 

Ketika bunga batin ini sudah tumbuh dan bersemai, maka diri kita akan selalu diharu-biru kebahagiaan yang tak pernah memudar, bahkan kilatan cahaya kebahagiaan itu akan memancari orang sekeliling kita. Amatlah bersyukur, jika kita bisa memandu orang lain untuk bisa menemukan bunga dalam hatinya. 

Bagaimana tanda tumbuhnya bunga dalam hati? Jika hati kita dihiasi perasaan tawadhu’, merendahkan diri. Ketika sikap merendahkan dan menghinakan diri telah sempurna berikut mengagungkan kemuliaan Allah Yang Maha Tunggal, maka lahan hati ini akan berubah menjadi “gempur dan subur” untuk tumbuhnya bunga kebahagiaan. Rasakan kebodohan, kedunguan, dan rasa fakir di hadapan Allah, sehingga perlahan-lahan mekar rasa cinta yang mendalam pada Allah. Selain merendahkan diri, tumbuhnya bunga cinta ditandai oleh semangat beribadah yang makin bergelora, dan perasaan batin tidak pernah jenuh dan bosan untuk beribadah dan bermunajat padaNya. Bahkan mulai terasa kelezatan dan kemanisan munajat padaNya. Saat orang sudah merasakan kelezatan munajat, berarti bunga yang tertanam dalam hati sudah mulai tumbuh. Selain merasakan kelezatan munajat, tumbuhnya bunga batin ditandai pula oleh semangat memberi. Memberi akan melapangkan batin kita, bahkan dalam bingkisan pemberian itu terpantul kebahagiaan ke dalam batin. Karena itu, kita berusaha untuk rajin memberi dengan hati, demi tumbuhnya kebahagiaan dalam hati. Insya Allah. 


Penutur dari Jalan Cahaya

Jumat, 31 Juli 2009

BUNGA KEDAMAIAN TERTUNDUK LAYU

Hati bangsa bergetar kala mendengar ada ledakan bom yang berakibat tewasanya beberapa WNA dan WNI pada tanggal 17 Juli 2009. Jiwa kamanusiaan bangsa tergugah kembali, diminta hati-hati terhadap serangan tiba-tiba yang memporak-poranda bangsa di berbagai sudut. Rasa takut menyebar ke seluruh sisi negeri ini, dan WNA pun harus berpikir berkali-kali untuk memasuki negeri ini. JW Marriott dan Ritz-Cariton saksi tercecernya darah kemanusiaan, dan menggugat keamanan wilayah ini. Kedamaian menjadi kebutuhan dasar bagi setiap orang. Tanpa rasa aman, maka tersebar virus rasa takut yang luar biasa di hati setiap warga, dan merasa kematian bisa menjemput kapan saja dan dimana saja dengan kondisi keamanan yang amat lemah. Jiwa-jiwa benderang digugah turun ke jalan mendeklarasikan kembali keamanan negeri ini, dan melebarkan perasaan cinta. Mengetuk hati-hati yang gelap lantaran tersumbat kebencian tak beradab. Apakah sayap-sayap cinta sudah lumpuh di negeri ini, atau memang ada orang yang ingin menancapkan realitas baru, negeri ini telah kehilangan rasa cinta?

Suasana sejuk dan damai tengah dibutuhkan negeri ini, diharapkan siapapun merasakan kesejukan setelah berkunjung ke negeri yang terbentuk dalam keanekaragaman ini. Segenap pemimpin bersinergi membingkai Indonesia yang melahirkan warna sejuk di hati rakyat. Tak ada lagi kekerasan agama meletup, tak ada lagi bom meledak, tak ada lagi baku hantam antarsuku, kita mengupayakan kejernihan yang menerbangkan setiap jiwa menuju medan universal, tak tercabik-cabik oleh perbedaan yang amat dangkal. Pasalnya, kalau kita mengerti jiwa yang universal ini, sungguh lebih banyak kesamaan daripada perbedaan yang melekat pada seluruh manusia. Lalu mengapa permusuhan dan dendam sejarah harus terus diabadikan? Sudah saatnya akal sehat perlu kembali dioptimalkan, sehingga tak ada pembenaran atas kekerasan di negeri ini.

Negeri pencinta ini tak perlu menuduh siapa terkait kejadian yang menggetarkan itu, namun perlu menjadi bahan koreksi mendalam atas apa yang dilakukan pemimpin kita. Apakah karena keamanan negera yang lemah, sehingga dengan gampangnya teroris memberangus wajah kemanusiaan Indonesia. Atau karena deposito cinta negeri ini telah terkuras habis, dan yang tersisa hanya permusuhan yang tak pernah berakhir? Seluruh warga dan pemimpin ini pasti mendambakan kedamaian dan kesejukan. Tak perlu kita jadi ladang empuk bagi kekerasan, karena semua warga kita mencintai kelembutan dan keramahan. Teroris membuat wajah negeri ini menjadi angker, beringas, dan seakan monster yang gampang menumpahkan darah kemana-mana. Padahal, cinta itu terus tumbuh dan bersemai di negeri ini, dan hanya sosok-sosok tak beradab yang keluar dari ideologi keindonesiaan yang damai.

Perlu kembali digaungkan ke seluruh warga dunia, Indonesia adalah negeri damai, negerinya para pencinta yang berusaha memberikan yang terbaik bagi kehidupan. Indonesia tak berwajah beringas, tetapi begitu ramah dengan siapapun, terbukti Indonesia meraih gelar negeri murah senyum menurut survey smiling report 2009. Senyum adalah jelmaan keindahan dan kesejukan. Boleh orang merusak bangunan indah, tetapi tak bisa merusak keindahan yang tengah mekar di hati bangsa ini. Mungkin mereka berhasil mengebom dan meledakkan tempat penjualan, restoran, dan hotel tetapi mustahil menjarah kedamaian yang menempati lubuk hati setiap personal bangsa ini. Kesantunan dan keramahan Indonesia tercermin dari kesanturnan pemimpin bangsa yang selalu mengedepankan sikap terbaik dalam menyelesaikan masalah.

Terorisme memang menjarah terlalu banyak bunga keindahan yang bermekaran, yang membikin warga dunia tak tertarik pada negeri yang multi-kultural ini. Negeri ini dikitari belantara alam yang begitu indah, dan keindahan alam ini harusnya menginspirasi negeri menjadi indah secara batiniah. Keindahan alam tanpa ditopang keindahan batiniah bangsanya, niscaya hanya nampak wajah hipokrit yang hanya mencoreng-moreng negeri ini. Keindahan utuh senantiasa dinanti warga dunia. keindahan Indonesia tak hanya sebatas permukaan, tetapi di dalamnya juga indah. Pemimpin pun tidak hanya permukaanny terlihat indah, tetapi sikap batinnya juga harusnya terlihat indah. Bila keindahan holistik dan hakiki itu telah bersemai di hati pemimpin, maka akan memancarkan keindahan ke seluruh atmosfir kehidupan masyarakat. Keindahan di hati pemimpin tak hanya tertuju pada Presiden sebagai kepala negara, bahkan seluruh tokoh bangsa harus berhati indah, untuk memancing mata dunia tertarik kembali menyapa dan bergaul dengan Indonesia.

Terorisme hanyalah oknum kecil yang mencitrakan Indonesia sebagai negeri yang menakutkan, namun sosok pemimpin dan tokoh bangsa yang sejuk lebih memiliki daya tarik ketimbang kejadian menakutkan itu. Jika keindahan telah menjelma di setiap hati pemimpin dan perangkat negara, tercermin dari ketulusan untuk membawa negeri ini ke ranah yang damai, berikut dapat mengikat rasa cinta yang tulus pula dari rakyat, tak ayal seluruh warga dunia akan menaruh cinta dan kagum pula pada negeri ini.

Negeri yang tengah berduka ini akan menjelma kembal sebagai pesona keindahan dunia, manakala setiap pribadi yang berada di dalamnya, berpikir memberi, memberi, dan memberi. Jiwa memberi yang memasuki sudut hati setiap rakyat Indonesia, niscaya akan membuat negeri ini lebih damai dan aman. Kerusakan negeri ini juga mulai dibangun dengan saling memberikan maaf dan menyatukan kembali negeri yang berkeping-keping dalam budayanya dengan rasa kasih tulus yang terjalin diantara seluruh komponen bangsa.



Khalili Anwar, Penutur dari Jalan Cahaya

Sabtu, 18 Juli 2009

CINTA MEKAR DARI TANAH KEDUKAAN

Setiap insan mendambakan energi cinta. Pasalnya, cinta membersitkan kebahagiaan hakiki di hati. Kehadiran cinta menjadikan setiap momentum sarat inspirasi. Namun, apakah cinta hanya bisa dijala saat dikitari kesenangan semata, dan saat derita menjerat hari-hari kita, berarti cinta tak berkunjung bahkan pudar dari ruang hati ini? Nikmatnya cinta tak sebatas dirasakan pada saat manusia dihias oleh kesentosaan dan kemakmuran. Pun saat derita, duka, dan bencana mendera, pintu-pintu cinta terbuka di balik lubuk sanubari. Dari pintu derita kadang cahaya cinta terbit menghampiri manusia dengan penuh daya tarik. Bahkan adikarya cinta terlahir dari rahim derita yang dijalani dengan tulus.

Begawan cinta lahir dari kota penuh derita, bayangkan Syekh Jalaluddin Rumi berhasil melahirkan karya mengharukan setelah beliau ditinggal sang guru, pemasok cahaya cinta di dadanya, Syamsuddin Tibriz. Kahliel Gibran mampu mengobarkan adikaryanya di bawah arakan awan derita yang dialami lantaran tak bisa bertemu sang kekasih. Kegetiran dan kepahitan jiwanya telah mengantarkan karya agungnya. Kalau kita memetik kemblai dawai spirit perjalanan cinta Laila—Majnun, terekam kesimpulan bahwa di tengah derita yang mencengkram sepasang kekasih tersebut, cahaya cinta menemaninya terus-menerus, bahkan Laila—Majnun merasa menikmati percintaan agung saat derita itu mengharu-biru. Manusia Agung, Rasulullah Muhammad SAW, yang hingga hari ini telah menggelar cinta semesta, menjalani masa kegetiran, dibentur tantangan demi tantangan, sehingga beliau pun didapuk sebagai pencinta sejati, dan bergelar rahmat bagi seluruh alam.

Lewat perjalanan tokoh pencinta agung tersebut, saya menyimpulkan, mutiara cinta sering ditemukan dalam kedukaan yang berkecamuk di dada. Seorang pencinta sejati bakal merasakan asupan energi cinta, bila telah berhasil melewati ranjau derita yang amat menggetirkan. Tak ada pencinta yang dilahirkan dalam kemudahan dan serba fasilitas. Pejalan-pejalan cinta menelusuri perjalanan hidupnya penuh kedukaan, dari kaki derita inilah ia mengumpulkan keteguhan untuk menguatkan jiwanya agar sampai di puncak gunung maha daya cinta.

Guru kami yang mulia pernah menegaskan, “tanpa duka, suka kehilangan maknanya,” beliau mencontohkan seperti dua orang yang sama-sama sampai di puncak gunung. Yang pertama sampai ke puncak gunung dengan menaiki hilokopter, tepat terbang di atas gunung, ia pun turun dari hilokopter menuju puncak gunung itu. Yang kedua, ia sampai ke puncak gunung, setelah melewati proses pendakian amat meletihkan, melewati batu terjal yang siap menggores kaki hingga berluka, atau berhadapan dengan binatang berbisa yang tiba-tiba menyergap dan mamatoknya. Kiranya, kebahagiaan hakiki itu berpihak pada siapa? Maka kebahagiaan itu berpihak pada orang yang kedua. Karena telah melewati kedukaan luar biasa, maka kesuksesan itu menjadi begitu bermakna.

Bagi pencinta, menyambut kedukaan amatlah antusias sebagaimana ia menyambut kesenangan. Dia merespons nikmat dan musibah penuh syukur, karena meyakini dibalik semua yang tergelar itu bisa menumbuhkan bibit cinta yang masih terbenam di dada. Respons yang membuat kita membutuhkan dan merindukan Allah bakal memantik maha daya cinta dalam diri.

Bagi kebanyakan orang, penderitaan dan kedukaan yang dialami para pencinta begitu memperihatinkan, karena mereka melihat kebiasaan-kebiasaan di luar orang kebanyakan. Di kala banyak orang menghambur-hamburkan uang untuk memenuhi perut, sang pencinta harus menahan sekuat tenaga dari makan, melewati hari-harinya dengan puasa. Ketika banyak orang tidur terlelap, dia memilih untuk bangun dan terjaga, mengadukan kebutuhan dan kerinduan pada Allah. Disana dia merasa tak memiliki apa-apa yang bisa dibanggakan, sehingga dia selalu mengadu, merintih, dan meraung-raung di hadapan Allah SWT. Di tengah banyak orang terbuai dalam keramaian sarat kesenangan, dia memilih menyendiri, mengunci diri dalam kesunyian, menyatu dalam medan tafakkur perihal kekuasaan Allah yang Maha Luas. Dia mendera fisik dan hawa nafsu agar tak merasa nyaman, bahkan berteriak begitu lantang atas setiap perbuatan yang diilhami hawa nafsu. Dia berhasil menundukkan hawa nafsu di hadapannya.

Petualang sarat tantangan itu dilewati semata-mata guna menumbuhkan bibit cinta. Tanpa ditempa dan didera, terasa sulit membuat gumpalan keakuan meleleh. Seperti membakar besi, maka keakuan juga harus dibakar dan ditempa agar meleleh. Kala keakuan telah meleleh dan lunak, maka cinta pun berkunjung ke dalam hati yang penuh damai. Saya menyadari bahwa mengarungi samudera cinta harus berhadapan dengan ombak derita yang bisa jadi tiba-tiba menghantam, dan membuat diri terjungkal dalam derita nestapa. Untuk menunjukkan cinta memang membutuhkan pengorbanan. Seperti kedelai yang dibenam dalam tanah, maka untuk bisa tumbuh dan mekar, bahkan berbuah, ia harus melewati perjuangan yang luar biasa, bagaimana caranya agar bibit yang tumbuh dan mekar harus menembus kerasnya tanah yang mengatup. Berapa besar perjuangan bibit biji kedelai itu agar bisa menjulangkan daunnya? Disanalah perjuangan cinta diuji.

Pejalan-pejalan sunyi selalu menghibur dirinya kala didepak derita bertubi-tubi. Mereka menganggap derita yang membakarnya tengah memproses dirinya menjadi sang pencinta hakiki. Sang pencinta bakal cepat hampir pada yang dicintai, ketika bisa tersenyum dalam derita, tanda bersinarnya cahaya ridha. Ketika kita berani tersenyum dengan tulus atas derita yang menghujam, maka Sang Pencinta pun akan tersenyum dan menaruh perasaan haru pada pejalan ini.

Sang pencinta akan memeluk derita sama eratnya dengan memeluk kenikmatan. Bahkan sang pencinta menganggap semuanya adalah anugerah, sehingga ia memeluk erat-erat semua yang datang padanya, dan tinggal dia mendapati kejutan-kejutan yang membuatnya tertawa, dan Tuhan pun ikut tertawa. Ketika senyum mengembang dari bibir sang pencinta, sesungguhnya menjadi refleksi senyum Allah yang memancari makhluk dengan penuh kasih tanpa syarat tanpa batas.

Khalili Anwar, Penutur dari Jalan Cahaya

Selasa, 14 Juli 2009

MENIKMATI SETIAP MOMEN

Setiap momen dan keadaan telah dirancang dengan akurat dan bijaksana oleh Allah SWT. tak ada kekeliruan dibalik beragam kenyataan yang tersuguh di hadapan kita, bahkan dibalik itu meresapkan makna bagi orang-orang yang berpikir jernih. Manakala saya tahu ada makna dibalik kejadian, niscaya saya akan menikmati dan sontak menemukan keindahan di dalamnya. Karena makna sendiri saripati yang dituju dari setiap kejadian. Namun, ketika saya merasa tak mendapati makna dibalik kejadian, maka di hati ini sesak oleh kegelisahan, kegundahan, dan rasa jengkel yang tak bisa dielakkan. Suasana hati itu bergumpal menjadi kehampaan.

Tak bisa dipungkiri, kenikmatan yang saya peroleh selama ini lebih banyak didorong oleh kehendak nafsu rendah, sehingga tak bisa merengkuh kenikmatan di setiap keadaan. Padahal setelah ditelusuri kenikmatan model hawa nafsu berbeda dengan kenikmatan menurut hati nurani. Ketika nurani nikmat, maka seluruh keadaan menjadi nikmat. Namun, keniikmatan nafsu cenderung memilih, dan memilah. Tak ayal, ada sisi yang berlawanan, berlingkar dalam dualitas semu yang tak pernah berakhir. Terlintas dari hawa nafsu cantik-buruk, bertemu-berpisah, sehat-sakit, untung-rugi, dan segala keadaan yang berlawanan.

Saya merasakan sendiri, ketika kenikmatan dirasakan saat memeroleh perihal positif menurut pikiran dan hawa nafsu, seperti mengambil bertemu dan melepas berpisah, meletakkan sehat dan membuang sakit, merangkul untung dan menolak rugi, maka kenikmatan yang kuperoleh tak lebih sebagai kenikmatan yang semu, berputar-putar dari satu keadaan ke keadaan yang lain, sehingga jiwaku terasa letih.

Mengapa saya harus berputar-putar pada keadaan di luar yang datang silih berganti? Ya karena sepanjang hidup diri ini hanya terbetut dengan keadaan luaran, tertarik dengan gerakan permukaan yang menyuguhkan beragam keadaan baru. Dari luar, banyak hal berubah tumbuh dengan cepat, belum merasakan yang satu sudah datang suguhan berikutnya. Pikiran makin terarah keluar, menyemburkan keinginan, padahal banyaknya keinginan sumber dari segala derita. Ya, tetapi mengapa pikiran terlalu berpihak pada beragam kenikmatan luaran? Dan apakah diri ini harus terbelenggu dalam keadaan berjungkir balik terus-menerus? Sudah saatnya saya memendam keinginan dan tak terlalu risau dengan tebaran gaya hidup yang datang silih berganti. Karena banyaknya keinginan itu, saya tak bisa menikmati momen demi momen yang kulewati sebagai anugerah dari Allah.

Betapa sering saya meremehkan anugerah Allah, dengan berpikir pada anugerah yang lain. Padahal, kalau dicerna dengan hati lembut, seluruh anugerah itu telah diramu oleh Allah sendiri. Apakah ada suguhan yang diramu langsung oleh Pencipta yang Maha Agung tidak nikmat? Semua suguhan yang diramu Allah pasti nikmat dan mendamaikan, kecuali orang-orang yang sakit. Ketika orang berkunjung ke sebuah restoran ternama, disana dihidangkan menu yang paling mahal, namun ketika menu itu sudah berada di depan meja, orang tersebut tak bisa menikmati dengan lahap, suguhan itu tak berasa dan kurang nikmat. Bisa jadi suguhan itu nikmat, hanya saja mungkin orang tersebut sedang sakit fisik, hatinya sedang sakit, dipenuhi rasa jengkel dan marah-marah, atau memang dia tidak bisa menikmati menu tersebut lantaran pikirannya sesak oleh pekerjaan berikutnya.

Betapa sering saya tidak menikmati hidangan yang datang dari Tuhan. Saya bersusah payah membeli makanan di sebuah warung, tetapi tiba-tiba ketika makanan sudah terhidang di depan mata, pikiran saya melompat pada perkara lainnya, sehingga tak bisa menikmati menu tersebut. Padahal, sebelumnya makanan tersebut menjadi pikiran saya ketika perut berkriuk-kriuk. Seharusnya shalat harus dinikmati, tetapi saat shalat tengah dijalani kadang terlintas di pikiran untuk membaca sebuah buku yang baru saja kubeli, dan ketika buku sudah berada di hadapanku, kemudian kubaca, pikiranku melayang ke perkara yang lain. Akhirnya, saya tak bisa menikmati momen demi momen yang kulalui dengan sebaik-baiknya.

Sungguh sangat merugi diri ini, jika tidak pernah menikmati dengan sungguh akan setiap jengkal ruang yang ditempati, setiap waktu yang dilalui, dan setiap momen yang ditempuh. Padahal pertumbuhan pribadi manusia bermula dari sikap yang dipancarkan di setiap momen yang dilalui. Ketika kita bisa menikmati momen demi momen degan efektif, niscaya bakal tergelar inspirasi yang luar biasa di setiap momen.

Mari kita berusaha menikmati shalat, menikmati bersedakah, menikmati makanan, dan menikmati hal positif lainnya agar semua aktivitas yang kita lakukan bisa menghadirkan inspirasi dan kedamaian ke dalam jiwa. Kita insya Allah bisa menikmati segala sesuatu dengan baik ketika kita bisa menghadirkan hati di setiap momen yang kita lalui. Hadirkan hati, maka disana kita mendapati beragam rahasia yang membuat kita makin kagum pada Allah SWT.

Khalili Anwar, Penutur dari Jalan Cahaya

Senin, 06 Juli 2009

MENDENGARKAN BISIKAN HATI NURANI

Dawai cinta itu terus mengalun dibalik hati yang jernih nan bening. Manakala hati telah berlabur dan berhias cinta, maka seluruh sisi batiniah ini melulu menggemakan nyanyian indah, mengalirkan kedamaian ke prana jiwa. Gema nyanyian dalam hati tidak identik dengan nyanyian yang memekakkan telinga, namun berupa nyanyian yang selalu mengalunkan kesyahduan dan perasaan rindu tak terperikan pada Allah SWT. Nyanyian itu mengantarkan denyut kerinduan, impresi batin, dan perasaan hendak menyatu.

Nyanyian jiwa berupa hymne kudus yang dikidungkan semesta, malaikat, dan para Nabi sebagai tanda pengagungan pada Allah Azza Wajallah. Namun tidak semua orang bisa mendengarkan hymne kudus ini. Hanya segelintir orang bisa merasakan getaran hymne yang sudah menyatu dengan kosmik. Karena dari kosmik inilah terpancar nyanyian kudus yang dialunkan begitu merdu, menembus batas kesedihan dan kesusahan yang kerap merenggut jiwa. Bagi saya, sebagai pemula di jalan ini, demi mendengarkan nyanyian kudus itu masih harus melewati aral tantangan yang amat besar. Terutama, tantangan dari dalam diri sendiri.

Bisikan nurani seperti bisikan lembut yang bisa diterima orang-orang lembut, berteduh dalam keheningan, menelusuri tapak-tapak yang terbuka di ruang jiwa. Tak ayal, ada orang begitu peka menerima suara kejernihan yang terbuka dari langit-langit batin, sehingga gampang menitikkan air mata, mudah terpengaruh pesona yang tersebar di langit-langit batin ini. Saat kita merasakan kesyahduan batin tersebut, seolah pikiran menyentuh arasy, menyatu dengan kosmik yang terbentang melampaui penyaksian lahiriah.

Bagaimana kita bisa mendengarkan atau bahkan mengalunkan nyanyian kudus yang terhantar oleh hati nurani? Bisakah kita terus bernyanyi demi meneguhkan jiwa yang rapuh ini? Dimana kita mencari nyanyian itu, dan bagaimana bisa memperdengarkan bisikan nurani yang syahdu tersebut pada orang lain?

Nyanyian kudus tak bisa dihantarkan dalam keadaan hati yang dongkol, jengkel, marah, atau remuk redam. Pendeknya, hati gelap, kering, dan dangkal tak bisa mengantarkan nyanyian pengabar kedamaian ke prana batin ini. Pasalnya, kegelapan dan kedangkalan hati yang ditandai dengan amukan kemarahan, kejengkelan, dan dendam hanya bertemu dengan kasarnya hawa nafsu. Manakala hawa nafsu masih mendominasi dan mengitari jiwa dengan kuat, maka nyanyian kudus itu tersumbat dan tak bisa didengarkan dengan indah. Perlulah kita melunakkan hawa nafsu, memadamkan bara hasrat. Bagaimana cara melunakkan hawa nafsu?

Kata para ahli bijak, melunakkan hawa nasfu hanya dengan mengendalikan pikiran, jika orang bisa mengendalikan pikiran, insya Allah bisa mengendalikan keinginan dan hasrat nafsu yang kerap mengembara tanpa kendali. Janganlah sampai kita dibuai oleh pikiran, sehingga kita tidak pernah menyadari dengan kesadaran nurani atas hal yang diperbuat. Ketika pikiran tak terkontrol, emosi pun ikut tak terkontrol, sehingga perbuatan tak terarah, dan minus makna. Pikiran, sebagai jerat setan yang memerangkap manusia dalam perbuatan yang nihil. Apakah berarti pikiran berbahaya? Pikiran diperlukan sebagai pelayan, bukan sebagai master, atau tuan dari kehidupan kita.

Jika pikiran diposisikan sebagai pelayan, tentu selalu berada dalam kontrol diri kita, ketika pikiran terkontrol, maka aktivitas yang kita lakukan juga terkontrol secara efektif, sebagai pertanda mengikuti jalan cahaya. Apa pengontrol pikiran? Zikir menjadi pengontrol pikiran yang mudah, namun sulit bagi orang yang tidak memiliki komitmen berdzikir. Dan komitmen berdzikir sebagai rahmat dari Allah. Kala berzikir, terasa ada energi ketenangan menyusup ke dalam dinding hati kita, goncangan-goncangan kecil yang beriak di hati akan mereda, dan terasa ketenangan mengalir luas ke lubuk batin ini. Zikir berarti ingat, mengingat Allah dengan kesadaran jernih. Mengingat Allah dalam hati, sekaligus merasakan kehadiran Allah terus-menerus.

Sesekali kita juga perlu memerhatikan kerja pikiran. Seringkali kerja pikiran melebar kemana-mana, bayangkan kalau berbicara dengan teman, kadang melompat-lompat, dari satu tema ke tema yang lain, alur pembicaraan terputus dari topic perbincangan ke topik lain yang tak relevan. Berbicara burung piaraan, hingga perseteruan elite politik. Dari bisnis ngalantur ke perkara jodoh. Pembicara yang ngalur-ngidul menandakan fokus pikiran terganggu, dan setiap pembicaraan terkesan out of context. Padahal, rasa-rasanya tanpa disertai fokus, kerja apapun terasa tidak maksimal, dan kurang bisa memberikan kepuasan optimal. Pekerjaan yang tidak terlalu sulit, kalau tidak mau disebut gampang, menulis. Menulis, tanpa disertai semangat fokus dan gairah yang positif, kadang sering keseleo, ide berkelana tanpa tujuan yang jelas. Dan mungkin ide menjadi buntu, ngadat. Alangkah indahnya ketika bisa memfokuskan diri dan menikmati setiap aktivitas agar membekaskan kenikmatan mendalam bagi kita.

Patutlah kita menyisakan waktu membaca pikiran kita, apa yang dipikirkan sang pikiran ini. Apakah benar-benar fokus, atau sering ngelantur. Bagi orang yang tidak menjejakkan perhatian pada satu fokus, berarti pikiran masih terus berterbangan tanpa arah yang jelas. Kalau kita mengenali dengan akrab kerja pikiran, semoga menjadi pemicu kita untuk mengoptimalkan pikiran pada perihal yang bermanfaat. Selain itu, kita memiliki kuasa mengendalikan pikiran, sehingga ada saatnya pikiran dipergunakan, dan adakalanya diistirahatkan. Saat pikiran istirahat, maka suara nurani insya Allah melengking merdu dengan nyanyian kudus.

Dari seluruh tuturan yang berpanjang-panjang, saya meyakini untuk mendengarkan bisikan nurani, perlu mengatur dan mengendalikan pikiran, bahkan ada saatnya mengistirahatkan pikiran agar bisa berteduh dalam kedamaian sembari mendengarkan bisikan nurani tersebut.

Khalili Anwar, Penutur dari Jalan Cahaya

Jumat, 03 Juli 2009

MERENDAHKAN DIRI

Setiap orang tak berkenan direndahkan “harga” dirinya. Selama ini kita dicekoki kepercayaan, setiap orang harus memiliki harga diri yang tinggi (high-selfesteem), sehingga jika ada yang merendahkan, bisa saja naik pitam, bersikap dongkol, berujung pada pertengkaran yang sengit. Memang, harga diri menjadi perjuangan setiap orang untuk meneguhkan egonya, hanya sebagian kecil manusia yang emosinya tetap tenang kala direndahkan. Hanya orang-orang yang menyadari siapa dirinya yang semakin menundukkan diri dan kata yang merendahkan bisa mengalirkan kesadaran yang jernih soal bertumpuknya dosa yang melekat pada dirinya. Mereka pun memandang bahwa cacian dan makian itu sebagai bentuk utusan dari Allah agar semakin gigih memperbaiki diri secara tulus dan jernih.

Merendahkan diri bukan tanda kehinaan, tapi tanda kemuliaan. Pun kerendahan diri bukan tanda sikap hidup pesimis, mediocre, atau pecundang, bahkan merendahkan diri sebagai refleksi keteguhan diri yang tertanam kuat dan menjadi bentuk sikap optimis yang membersit dari kesadaran nurani terdalam. Saya sering menemui sosok yang bersikap merendahkan diri di hadapan orang lain. Alih-alih dari sikap tersebut mendapatkan kehinaan, malahan menarik sikap respek orang lain terhadapnya. Saya bertemu dengan putera seorang kiai yang amat terkenal di negeri ini. Sebelum mengenal beliau lebih dekat, saya tak melihat tanda-tanda beliau seorang putra kiai, hanya saja beliau selalu berlaku sopan, lembut, dan bersikap mau melayani tamu dengan tulus. Bahkan, beliau sempat menyapa dengan suara lembut, merendah, dan mempersilahkan saya untuk mencicipi hidangan yang sudah disediakan. Karena saya belum mengetahui beliau yang sebenarnya, saya bersikap biasa saja, “mungkin dia pelayan ndalem?” batinku.

Beberapa saat berikutnya, beliau ternyata tidak sebatas melayani, namun ikut melontarkan usulan-usulan cerdas di forum, dan beberapa peserta yang hadir memanggilnya Gus. Saya pun tergugah untuk bertanya, siapa sejatinya sosok yang amat cerah dan tulus tersebut? Setelah bertanya, saya mendapatkan jawaban mengejutkan dan membuka rasa hormat saya pada beliau. Beliau adalah putra kiai ndalem yang insya Allah akan menjadi pengganti kiai ke depan.

Belajar dari kerendahan diri “Gus” saya mengambil kesimpulan, ternyata merendahkan diri tak bisa menghacurkan kehidupan kita, malahan meneguhkan kejayaan dan membangkitkan kecemerlangan yang terselubung dalam diri kita. merendahkan diri bukanlah refleksi rasa putus asa, bahkan sebagai pemancar rasa optimis yang bisa menebarkan energi positif bagi orang-orang sekitar kita. Rasulullah SAW bersabda, “ Barang siapa yang bersikap sombong niscaya akan direndahkan oleh Allah, dan siapa yang bersikap merendahkan diri niscaya akan diangkat derajatnya oleh Allah SWT,”

Bagaimana kita mengembangkan sikap merendahkan diri tersebut?

Pertama, Pandanglah orang lain sebagai yang terbaik. Ketika Anda bertemu dengan seseorang, pandanglah dia sebagi sosok cemerlang dan memiliki prestasi luar biasa. Pendek kata, diposisikan sebagai sosok terhormat di hadapan Anda. Pancarkan rasa syukur Anda, lantaran bisa bertemu orang yang begitu luar biasa tersebut, sembari berharap Anda bisa memeroleh pelajaran berharga darinya. ketika Anda menilai orang itu luar biasa, maka akan timbul rasa apresiasi yang tinggi, dan selalu menikmati pertemuan itu sebagai momen istimewa. Ketika orang diperlakukan istimewa dan terhormat, selain mengalirkan kebahagiaan pada orang tersebut, pun hati Anda dipenuhi dengan energi kebahagiaan yang tak terbatas. Dari situ, orang yang diperlakukan terhormat akan menaruh sikap hormat terhadap Anda. Gamblangnya, sikap orang lain terhadap kita adalah pantulan sikap kita terhadap orang tersebut.

Kedua, mengenali diri Anda dengan segenap kelemahan yang melekat. Allah Maha menutupi cacat yang ada pada makhlukNya. Dia telah menutupi cacat kita, andaikan Allah membuka selubung cacat yang melekat pada kita, mungkin banyak orang yang akan menjauhi kita, hingga mengisolasi kita dalam pergaulan. Hanya dengan kasih sayang Allah, cacat kita tak terungkap, pun Allah menuntun kita untuk melakukan kebaikan. Memang hanya dengan rahmat Allah semata kita bisa berbuat baik. Sesungguhnya kita tidak kuasa untuk berbuat yang terbaik, dan kebaikan yang melekat pada kita hanya sebatas anugerah dari Allah. Betapa banyak pelajaran yang bisa digali dari realitas hidup yang terbabar di sekitar kita, ada orang yang pada mulanya bersungguh-sungguh berbuat baik, kemudian terperangkap dalam perilaku jahat. Pada mulanya begitu tekun shalat berjemaah di masjid, tapi tanpa mengerti apa sebabnya, dia pun menjauhi kegiatan-kegiatan masjid. Dari situ, saya berkesimpulan, hanya dengan rahmat Allah kita bisa berbuat kebajikan. Karena itu, tak pantas kesombongan melekat pada diri manusia, karena seluruh kedirian manusia terhantar oleh rahmat Allah SWT semata.

Merendahkan diri perlu dikristalisasi dalam kesadaran kita, sehingga kita akan mendapati keagungan dan kemuliaan. Bukankah yang tempat yang rendah yang akan ditempati genangan hujan. Hanya hati yang merendahkan diri yang insya Allah akan selalu dialiri rahmat Allah SWT. Karena itu, tak layak kita mempersepsi merendahkan diri refleksi keringkihan mental, bahkan itu keteguhan mental, karena kala merendahkan diri, dia bersua dengan keagungan Allah yang tak tertandingi. Insya Allah.

Khalili Anwar, Penutur dari Jalan Cahaya