Sabtu, 31 Januari 2009

HIASAN DUNIA SEJATI

Merasa miskin di hadapan Allah adalah kekayaan sejati. Karena hanya orang yang merasa miskin yang bisa menatap dan terpesona dengan Yang Maha Kaya Allah Azza Wajalla. Dan hanya orang yang merasa miskin yang bakal cepat ditarik oleh Yang Maha Kaya. Makin sempurna rasa miskin kita di hadapan Allah, maka makin sempurna pula kedekatan kita pada Yang Maha Kaya. Kehidupan dunia ini pun telah dibangun oleh orang-orang miskin. Siapa yang membangun jembatan, ya orang miskin. Siapa yang telah membangun supermall yang berdiri megah di pinggir jalan? Ya orang miskin. “Yeh, bukankah investor superkaya yang membangunnya?” “Boleh Anda menganggap konglomerat itu yang membangun, tetapi saya masih meyakini bahwa orang miskin itulah yang telah membangunnya. Bukanlah lewat kegigihan dan kerja kerasnya gedung itu bisa berdiri megah? Dan konglomerat itu khan hanya bisa mengaku-aku saja. Dia hanya bisa berbuat dengan uang. Tetapi orang miskin telah berbuat dengan dirinya, setidaknya suatu yang melekat pada dirinya, berupa fisiknya.
Pun, orang miskin kadang harus mengorbankan jiwanya untuk menghias kehidupan ini. Betapa sering kita mendengar ada kuli bangunan terjatuh dari ketinggian sebuah gedung, dan tewas seketika. Tuh siapa yang telah berkorban? Bisa jadi saat dia tewas, si konglomerat sedang santai sambil nyeruput kopi di kedai kopi termahal. Jangan kira bahwa yang membuat kita hidup hari ini lewat jasa orang kaya. Tidak. Sekali lagi orang kaya hanya punya uang. Dan yang mengerjakan hingga tuntas adalah orang-orang miskin. Andaikan tidak ada orang miskin, saya kok memperkirakan hidup akan macet dan jumud. Ya macet. Sudah tak ada lagi yang mau menjadi buruh tani , karena pendapatannya kecil. Tak ada yang mau menjadi tukang parkir yang hanya bisa melihat mobil-mobil mewah lewat di hadapannya. Tak mau menjadi buruh pabrik, karena hanya disuruh-suruh saja dengan gaji yang kecil, hingga orang kaya pun tak lagi bisa memproduksi uang. Dan jalanan pun makin macet, karena semua orang memiliki kendaraan pribadi sendiri-sendiri.
Dari situ saya teringat dan makin yakin pada pitutur Imam Ali KW, yang mengatakan, “Sesungguhnya orang fakir dan orang miskin adalah perhiasan dunia.” Karena adanya orang miskin, roda kehidupan ini terus berputar, dan mengalami titik kemajuan. Bayangkan, di suatu negara yang pendapatan warganya telah mencapai di atas rata-rata perkapita. Dan seakan kemiskinan sudah benar-benar terhapus. Ternyata ada beberapa keluarga orang kaya bukan makin santai, malah bertambah sibuk. Karena semua orang sudah kaya, tak ada lagi yang mau melamar menjadi Pembantu Rumah Tangga. Karena itu dia sibuk dengan urusannya sendiri-sendiri. Ia harus nyuci sendiri, nyapu halaman rumah sendiri, ngelap kaca sendiri dengan luas rumah standar orang kaya. Nyuci mobil sendiri. Bahkan harus menguras kotoran WC sendiri. Bayangkan, kiranya rumah standar orang kaya membutuhkan berapa PRT? Ya minimal 3 orang. Andaikan 3 orang yang dibutuhkan sudah tidak ada. Apakah dia tidak pusing ngurus rumah yang begitu luas.
Karena itu, tidak hanya orang miskin yang berterima kasih pada orang kaya, tetapi orang kaya pun harus berterima kasih lebih pada orang miskin. Karena dari kerja keras orang miskin, ia bisa mendapatkan kekayaan yang makin melimpah, juga memiliki waktu luang yang lebih. Dan sungguh sangat dzalim, seorang pengusaha yang menganiaya karyawannya. Seorang kepala rumah tangga yang menganiaya dengan sadis PRTnya. Dia tidak bisa berterima kasih. Ketika dia tidak berterima kasih pada manusia, berarti tidak berterima kasih pula pada Allah. Saat orang tidak pandai berterima kasih maka hidupnya tidak bakal mendapatkan keberkahan. Bukahkah hanya orang yang berterima kasih yang beroleh keberkahan alias kebahagiaan? Wallahu A’lam Bis Showaab.
Khalili Anwar, penutur dari jalan hati

PENGARUH YANG ABADI, DAN PENGARUH YANG SEMU

Saya diajak oleh teman untuk menghadiri acara zikir bersama di Pondok Pesantren al-Fitrah yang diasuh oleh Gus Asrori bin Usman. Gus Rori, demikian beliau biasa dipanggil, adalah pimpinan tarekat Qadiriyah. Saya sampai di sana agak telat, dan terasa acara sudah hampir berakhir. Saya melihat beribu-ribu orang menjubeli tempat di lapangan tersebut, tetapi saat pidato seorang Presiden disampaikan, ternyata banyak orang mulai bubar, ngacir, dan ada yang pulang ke rumah masing-masing. Ya, saat itu Presiden Susilo Bambang Yudoyono hadir untuk me-launching bantuan untuk Madrasah seluruh Indonesia. Ini pertama kali saya menghadiri acara yang diselenggarakan oleh Pesantren al-Fitrah. Hanya saja menurut teman saya, bahwa masih ada acara yang lebih akbar dari itu. Kemudian saya bertanya, “apa kiranya magnit yang membuat orang mau berdesak-desakan di tempat tersebut, apakah karena SBY sang Presiden, atau Gus Rori sang pemimpin Tarekat itu?” “Tentu magnit yang paling besar, adalah karena Gus Rori,”kata teman.
Dari pernyataan tersebut, membuat saya berpikir bahwa sesungguhnya pemimpin agama insya Allah lebih mulia kedudukan di hati setiap umat, sederajat dengan kemuliaan di hadapan Allah SWT. Pemimpin spiritual akan menjadi abadi di hati umat, sementara pemimpin duniawi hanya sementara. Setelah jabatan dicobot darinya, maka kewibawaan itu pun bakal lenyap. Tengoklah Megawati Soekarnoputri? Gus Dur? Tentu saja tidak bakal menjadi kekal di hati umat. Itu menandakan bahwa pengaruh duniawi itu bersifat sementara dan semu. Hanya menjadi bayangan. Bagaimana mungkin orang bisa menangkap bayangan, sementara bayangan terus berpindah, dan timbul tenggelam. Tetapi, betapa banyak orang yang mengejar-ngejar bayangan yang palsu tersebut untuk merengkuh tahta kekuasaan yang perkasa, tetapi pada hakikatnya rapuh. Seorang penguasa duniawi dihormati karena kekuasaannya. Saat kekuasaannya sudah diletakkan maka orang tidak lagi memberikan penghormatan. Apapun bentuknya yang bersifat duniawi itu bersifat sementara. Artis yang tengah ngetop dan mekar-mekarnya, pasti dipuji oleh banyak fans-nya. Tetapi ketika pamornya sudah mulai memudar, maka pudar pula pujaan dari fans-nya. Bahkan fans-nya tidak mengenali dia lagi, dan pindah pada artis yang lebih kreatif meletupkan sensasi. Tak aneh, kalau ada seorang artis di saat mudanya, disibukkan dengan jadwal konser sana-sini, saat usia tua menghampirinya, dia menjadi pengangguran, dan hanya melihat masa lalu sebagai kenangan.
Tentu berbeda halnya dengan pemimpin spiritual, makin sepuh bukan ditinggalkan, tetapi makin mendapatkan penghormatan yang lebih dari umat. Hati umat telah menyatu dengan hatinya, sehingga rasa kasih sayangnya yang mengalir pada umat tergetar pula di hati umat. Setiap apa yang datang dari hati, akan kembali pula ke dalam hati. Ulama’ pada hakikatnya predikat yang amat mulia disisi Allah, dan tentu akan dimuliakan oleh kehidupan. Karena apa-apa yang dicintai dan dimuliakan oleh Allah, penduduk langit akan turut memuliakan dan pastinya akan mengilhami penduduk bumi untuk mencintainya pula. Ketika orang sudah kuat cintanya kepada Allah, dan cintanya pada Allah sudah diakui kesahihannya oleh Allah, tentu saja dia akan mendapatkan pancaran cinta dari umat. Ingatlah, cinta yang keluar dari hati terdalam tidak bakal pupus, bahkan hari demi hari bertambah kuat dan kukuh. Dan setelah diteliti orang yang mencinta Allah, justru akan menarik orang untuk mencintainya karena Allah. Benarlah apa yang disabdakan oleh Rasulullah Saw, “Berlaku zuhudlah pada duniawi, niscaya Allah akan mencintaimu, dan berlaku zuhud pada apa yang ada di tangan manusia, niscaya manusia akan mencintamu.” Sosok yang telah mendapatkan cinta dari umat, adalah tidak mencintai sesuatu yang telah dicintai oleh kebanyakan orang awam, yakni duniawi. Tetapi nyatanya, walau dia tidak mencintai duniawi, dia telah mendapatkan kepuasan hidup, dan bahkan terasa tidak kekurangan dengan materi dunia. Sudah menjadi hukum Allah, orang yang mencintai Allah, tentu akan mendapatkan surga di akhirat, dan merengkuh kebahagiaan hidup di dunia.
Bagaimana dengan orang yang menyukai kedudukan duniawi? Betapa banyak orang menjegal orang lain untuk mendapatkan kedudukan tersebut. Ketika ada 39 partai, maka keunggulan sebuah partai karena telah berhasil menjegal dan mengalahkan 38 partai yang lain. Ketika ada 4 calon presiden, maka untuk memenangkan kontes pilihan presidan, dia harus mengalahkan 3 calon presiden yang lain. Apakah ada zuhud di dalamnya? Pikir saja sendiri. Mungkin karena tidak ada zuhud itulah membuat kedudukan duniawi kadang tidak memberikan keberkahan hidup bagi seseorang.


Khalili Anwar, Penutur dari Jalan Hati

Rabu, 28 Januari 2009

MENGHIDUPKAN SIKAP WARA'


Berhati-hati. Itulah inti dari sikap wara’. Sikap hati-hati, takut ada sikap dan perbuatan yang bertolak belakang dengan perintah Allah. Sebelum teknologi merajai kehidupan manusia, wara’ sebatas soal makan-minum. Mengapa makan-minum? Karena lewat makan-minum, manusia bisa mengumpulkan energi. Dan energi itulah yang membuat manusia bisa beraktivitas. Kalau makanannya haram, niscaya akan melahirkan energi negatif, dan energi negatif akan menimbulkan aktivitas yang negatif. Demikian sebaliknya. Tetapi, ketiga teknologi telah merambah dan memiliki peran yang kuat dalam mempengaruhi sikap manusia, sudah saatnya kita menggemakan kampanye agar bersikap wara’ terhadap beragam makanan pikiran. Bukankah ketika pikiran kotor, cenderung menggerakkan orang untuk bertindak kotor. Kalau begitu, pikiran kotor sebagai sumbu yang membikin dosa terus berkobar dan menyala. Saban hari, bahkan setiap detik pikiran kita kerap digempur beragam informasi. Kalau kita mau terus mendengarkan informasi, kita bisa mendengarkan sambil istirahat dengan memejamkan mata, atau sambil tidur-tiduran. Informasi yang didukung teknologi visual membuat orang betah berlama-lama di depan televisi. Kalau kita hayati soal dampak televisi tersebut, sungguh amat luar biasa dalam memugar pola hidup kita. Bagi orang yang tidak piawai mengendalikan diri dalam menangkap informasi tersebut, justru pendiriannya gampang digoyahkan.

Dan karena orang tidak hati-hati (wara’) menangkap informasi, membikin mereka terus diperbudak oleh keinginan rendahnya. Bayangkan, beragam iklan sering nongol di televisi dengan menawarkan harapan, sensasi, dan siap membangkitkan setiap hasrat pemirsa untuk membelinya. Kalau mereka tidak wara’ dalam menyaksikan tayangan dan informasi, niscaya mereka makin dibelenggu oleh penyakit cinta duniawi. Karena itu, wara’ adalah pintu awal bagi kita untuk memasuki sikap zuhud. Kalau Anda belum bisa bersikap wara’ niscaya Anda tidak bisa bersikap zuhud. Padahal sikap zuhud itulah yang mengantarkan manusia memeroleh kebahagiaan batin yang tak terkira. Berbincang soal wara’, kira-kira hal apa saja yang perlu kita sikapi dengan wara’ (hati-hati)?

Pertama, wara’ dalam makan-minum. Persoalan perut masih menempati posisi teratas, karena dari makanan-minuman yang tidak halal dan baik inilah yang membikin manusia mengalami penyakit lahir dan batin. Saat ini kita telah disuguhi makanan siap saji, sehingga banyak ibu rumah tangga malas untuk masak sendiri di rumah. Sudah banyak warung berjejer di pinggir jalan dari kelas bawah hingga atas, bahkan ada rumah makan hingga restoran yang menyediakan makanan berkelas. Kalau kita tidak cerdas secara agama, justru kita akan tergiur mengonsumsi apapun yang terhidang di hadapan kita. Tetapi bagi orang yang dipandu oleh iman yang sehat, tentu saja dia amat hati-hati memilih makanan. Sekarang makanan dari berbagai menu telah disediakan, dari daging tikus hingga daging babi, sungguh keadaan yang membuat kita harus berhati-hati. Ingatlah, makanan itu akan menjadi darah dan daging kita, dan juga turut membantu terciptanya pikiran, dan pikiran menentukan tindakan. Ketika kita tidak hati-hati dalam soal makanan, niscaya kita tidak bisa hati-hati dalam persoalan yang lain. Kita berhati-hati soal menu yang terdiri dari daging, karena daging memungkinkan tercampur dengan daging lain yang tidak halal untuk dikonsumsi. Kehati-hatian kita terhadap makanan ukuran ketakwaan kita.

Kedua, wara’ dalam melihat dan mendengar. Ingatlah, banyak kemaksiatan berawal dari mata dan telinga. Awal perzinahan adalah dari melihat model artis yang kerap menampilkan diri dengan pakaian norak, sehingga timbul birahi. Saat birahi timbul, maka orang tersebut mencari lawan jenis, terjalin dalam pacaran, dan terjadilah perbuatan maksiat tersebut. Awal zina sesungguhnya adalah zina mata. Ketika orang tidak pernah berhati-hati dalam melihat atau mendengar, cenderung dia akan terseret ke dalam perbuatan maksiat. Awal orang kecanduan Narkoba, berasal dari melihat dan mendengar tentang narkoba, akhirnya dia ingin merasakan kenikmatan Narkoba tersebut. Ketika orang telah menangkap informasi yang salah, dan tidak berusaha mengevaluasi informasi tersebut, justru itulah yang bakal menghanyutkannya ke lembah kemaksiatan. Sebelum televisi merambah sebagai media komunikasi dan entertain, kita hanya bisa melihat orang cantik dan ganteng yang berada di sekeliling kita, dan ia pun berpakaian amat sopan, sehingga tetap terjaga kesopanan dan kesantunan dalam pergaulan. Tetapi dengan adanya televisi ditopang oleh jaringan internet sebagai media informasi global, telah membuat orang tidak sebatas melihat gadis desa, tetapi juga bisa melihat gadis dari negara lain (import girls) yang pakaiannya justru akan membangkitkan birahi.

Mesum dan perzinahan tidak sebatas membudaya di kota, tetapi telah merambah ke seluruh pelosok pedalaman sekalipun. Selama teknologi televisi masuk ke tempat tersebut, kemungkinan energi dan tarikan kemaksiatan pun bakal menggurita. Mengapa? Karena televisi tidak sebatas menginformasikan tetapi telah memberikan contoh-c0ntoh ekspresif bagaimana cara berpacaran yang ampuh, cara berciuman yang merangsang, dan bahkan seterusnya yang membuat hati makin pekat dalam penderitaan. Kalau televisi tetap saja dengan hidangan gambar yang eksotis dan norak, tentu saja bahasa-bahasa ulama tidak ampuh untuk menyelesaikan kemaksiatan umat. Apalagi ulama’ tidak bisa memberikan contoh otentik dari kebaikan. Ingatlah contoh yang visual lebih berdampak ketimbang kata-kata yang abstrak. Ketika orang sudah tidak lagi wara’ dalam melihat dan mendengarkan informasi, maka justru dia makin jauh dari kebahagiaan hidup. Karena setiap informasi kotor yang mengendap dalam pikiran bawah sadar kita bakal menciptakan tombol kesadaran negatif setiap saat. Jika kita tidak bisa memelihara mata dan telinga dari kemaksiatan, justru penderitaan makin langgeng di hati kita.

Ketiga, wara’ dalam berbicara. Makin banyak berbicara, makin besar peluang berbuat dosa. Memang sebagian dosa berasal dari lisan yang tidak terkendali. Zaman ini menuntut orang berbicara terlalu banyak. Kini, kita tidak hanya diajak berbicara kala berada di keramaian, pun dalam keadaan sepi orang bisa berbicara, bahkan lebih intim daripada dalam keadaan ramai. Jarak tidak lagi membuat kita kesulitan dalam berbicara dan berkomunikasi, karena telah dipermudah dengan kehadiran teknologi HandPhone. Andaikan kita tidak hati-hati dalam menjaga setiap kata yang keluar dari mulut kita, justru pembicaraan kita akan banyak mewariskan kesedihan dan kegalauan dalam hati. Ketika orang sering berbicara, justru akan makin kekurangan cahaya batin. Karena, saat berbicara dia tidak lagi berpikir secara mendalam. Bukankah berpikir mendalam itu hanya bisa dilakukan saat manusia berada dalam keadaan diam? Dan berpikir itulah yang berpeluang mengirimkan pelita ke dalam hati manusia.

Sungguh Rasulullah Muhammad SAW telah memberikan pedoman pada kita untuk hati-hati dalam berbicara melalui sabdanya, “berbicaralah yang baik atau diam.” Pesan tersebut amatlah sederhana, tetapi terasa sulit dipraktikkan bagi orang yang tidak memiliki tekad kuat disertai pertolongan dari Allah. Ketika orang telah berhasil menjaga lisannya berarti dia telah berhasil menjaga hatinya. Berbicara menunjukkan kualitas pengetahuannya. Saat orang banyak berbicara, menandakan pengetahuannya masih dangkal. Bagi orang yang berpengetahuan, tentu saja diam dalam tafakkur menjadi kebiasaan, sehingga setiap pembicaraan yang dilontarkan tertancap jitu di hati orang lain. Mereka berbicara sedikit tetapi begitu membekas dan mengubah orang lain. Betapa indahnya, sebuah pembicaraan yang sedikit tetapi berperan seperti ragi yang membuat singkong menjadi tapei. Pembicaraan yang sedikit menjadi menggugah dan mengubah hati yang bermasalah.

Sudah saatnya dibangun komitmen dalam hati kita agar bersikap wara’ dalam hal makan-minum, wara’ dalam melihat dan mendengar, serta wara’ dalam berbicara, agar seluruh aktivitas yang dilakukan kita bisa melahirkan keberkahan. Hanya aktivitas yang disertai sikap wara’ yang insya Allah akan melahirkan keberkahan di dunia dan akhirat.

Khalili Anwar, Penutur Dari Jalan Hati