Selasa, 31 Maret 2009

BELAJAR SUFI PADA BOB SADINO

Dua pekan yang lalu saya berkunjung ke toko Buku Gramedia. Biasanya, setiap kali saya tiba di toko buku, perhatian pertama menjurus pada rak buku berdaras agama, terlebih yang berkaitan dengan wacana sufistik. Di rak buku agama, tidak ditemukan buku baru yang bisa memikat diri untuk membacanya. Beberapa menit saya mengitari rak buku agama, tetap saja tidak ditemukan buku yang menggugah untuk dilahap. Berselang beberapa menit, saya berkeliling ke rak buku yang lain. Setelah membaca buku agama, pandangan saya langsung tertuju pada buku-buku yang berdaras bisnis. Saya biasa melahap buku bisnis juga untuk mencerap pencerahan mengenai bisnis, setidaknya mendapatkan panduan yang mantap dari master bisnis yang teruji.

Di gerai buku-buku baru, tampak buku yang bersampul keren dengan pose Bob Sadino tengah mendorong gerobak. Buku ini membedah perjalanan Bob Sadino, dikemas dengan bahasa yang apik oleh editor kenamaan, Edy Zaques (EZ). Buku itu mengungkapkan petualang Bob Sadino di debut bisnis yang demikian menantang. Bagaimana dia memulai bisnis dari sebutir telur yang membiak menjadi kerajaan bisnis mengagumkan ? Pun terkuak rahasia-rahasia kegetiran yang dialami dalam membangun kerajaan bisnisnya. Buku ini tak terlalu kenyal dengan nuansa sufi, karena editornya sebatas meramu pengalaman bisnis yang kiranya bisa menginspirasi spirit entrepreneurship bagi kalangan muda. Kebetulan EZ juga seorang entrepreneur yang bergerak di bidang kepenulisan. Saya mengenal tulisan EZ di pembelajar.com. Tulisannya banyak menginspirasi pembacanya agar bergairah menulis. Saya juga ikut terinspirasi olehnya.

Belum usai membaca buku ihwal Bob Sadino yang diracik begitu lezat oleh EZ, mata saya tertuju pada sebuah buku yang juga menguak rahasia bisnis Bob Sadino. Di buku inilah terasa kental dengan nuansa sufi. Bob Sadino berani bersebrangan dengan kelaziman yang dikemukakan beberapa ahli manajemen dalam mengembangkan bisnisnya. Ada kalimat magis yang disematkan sebagai kata kunci di sampul buku tersebut, yaitu tanpa rencana, tanpa tujuan, dan tanpa harapan. Dia mengisyaratkan, rencana dalam berbisnis tidak penting, sebagai tanda ketundukan pada rencana Allah. Dan Allah adalah “masterplanner,” perencana terbaik. Dan setiap apa yang direalisasikan pasti sebuah kebaikan. Sebenarnya konsep tanpa konsep yang diajukan Bob Sadino hendak memudarkan pakem lama yang berkarat di otak manusia modern yang berkeyakinan bahwa tanpa rencana, bisnis tidak bisa menggapai kesuksesan. Bagi Bob Sadino, paling penting dalam berbisnis adalah melangkah. Langkah pertama akan menghasilkan ide kreatif setelah menyapa dan menyelami keadaan.

Dari kearifan itu, Bob Sadino bisa ditempatkan pada jajaran pebisnis sufi. Bukankah tanpa rencana kalimat yang akrab di kalangan sufi? Sufi tidak membuat rencana karena telah menyandarkan hidupnya pada rencana Allah. Percaya mantap pada Allah. Meyakini bahwa Allah lebih tahu akan apa yang terjadi, pun meyakini bahwa Allah amat mengasihi hamba-hambaNya melampaui kasih seorang ibu pada anaknya. Rencana Allah maha hebat ketimbang rencana manusia, dan setiap rencana Allah pasti terjadi. Sementara rencana manusia belum tentu terjadi. Mengapa demikian? Karena rencana Allah dibalut dengan kuasaNya yang tak terbatas, sementara rencana manusia begitu lemah karena kekuasaannya yang amat terbatas.

Saya hendak memaparkan lebih lanjut mengenai pelajaran yang terbabar dari buku yang mengupas mengenai terobosan Bob Sadino berikut keyakinan yang melandasi setiap langkah-langkah bisnisnya.

Pertama, tanpa rencana, tanpa tujuan, dan tanpa harapan. Kalimat magis tapi mengherankan itu mungkin akan membuat para pengamat ekonomi mengerutkan kening, pelik memikirkannya. Andaikan ada orang yang tersuntik virusnya Bob Sadino, maka dia harus berpikir untuk tidak menggunakan pikiran. Bagi Bob Sadino, ketika membuka bisnis dimulai dengan memikirkan konsepnya, niscaya bakal menimbulkan rasa gamang dan ragu. Dan keraguan membuat orang tidak bertindak. Padahal, langkah pertama yang perlu dilakukan dalam berbisnis adalah “melangkah.” Langkah pertama akan melahirkan langkah berikutnya. Langkah yang berkali-kali (repetitive step) bakal bisa memperbaiki strategi dan cara yang digalakkan dalam berbisnis. Pemikiran Bob Sadino yang nyentrik tapi topcer itu membuat orang begitu yakin, karena semua pemikiran dan kearifan bisnisnya bermuara dari pengalaman bisnis yang ditekuni. Di tataran ini, fomula Tung Desem Waringan, James Gwee, Tommy Siawira, dan bahkan konsep Abdullah Gymnastiar sudah tak laku lagi. Para ahli manajemen setiap hari membuat rencana bisnis yang indah-indah, sementara Bob Sadino membuat rencana untuk tidak berencana, tanpa tujuan, dan tanpa harapan. Begitulah, manusia akan makin lemah dan terkungkung oleh batasan-batasan yang dibuatnya sendiri lantaran telah menggantungkan dirinya pada rencana, tujuan, dan harapan yang dibuatnya sendiri. Bukankah hanya orang yang berencana dan berharap yang mudah dikena kecewa?

Kedua, rugi menjadi pilihan sebagaimana beruntung menjadi pilihan. Aneh kan? Bagi orang yang sudah memasuki tataran kearifan, rugi dan untung tak ada bedanya, alias sama saja. Karena sejatinya rugi dan untung akan memberikan pelajaran yang luar biasa bagi orang merenungi dibalik kerugian dan keberuntungan tersebut. Ia mengumpamakan gelas, selain bisa penuh, setengah isi, atau kosong. Kalau gelas boleh kosong, mengapa bisnis juga tidak boleh rugi? Bahkan ia ingin sekali rugi. Bukankah gelas yang kosong pertanda akan mendapatkan isi yang penuh. Sosok ini sudah tidak lagi memikirkan uang, bisnis melampaui uang, atau melampaui untung dan rugi. Dia berfokus agar bisa memungut mutiara kearifan dari setiap perjalanan bisnis yang dijalani. Dialah suhu entrepreneur yang bisa dijadikan model dan pembimbing dalam berbisnis. Modal utama bagi Bob Sadino dalam melangkah adalah keyakinan. Memang keyakinan sebuah kekuatan nyata dalam melahirkan tindakan-tindakan yang bernas, cerdas, dan inspiratif. Dia tak lagi membedakan untung dan rugi lantaran dia sendiri menganggap untung dan rugi sebuah pasangan yang amat serasi. Untuk mendapatkan untung yang besar, maka orang harus mengalami “kerugian” atau resiko yang besar pula. Tak ada keuntungan besar dalam resiko yang kecil.

Ketiga, belajar berbisnis harus “goblok.” Kalau mau belajar, maka seorang murid harus merasa goblok. Dalam artian, ketika belajar seorang murid harus membasuh konsep-konsep bisnis yang masih melekat di pikirannya. Meminjam kalimat Billi S. Lim, motivator dari Malaysia, learn to unlearn, belajar untuk tidak belajar. Artinya menghapus seluruh data lama yang sudah usang, atau kosongkan seluruh data, agar bisa dikucuri data baru yang membuat si murid makin lincah dalam bertindak dan membuat terobosan. Tidakkah konsep ini selaras dengan apa yang dipahami oleh darwis di kelompok sufi? Untuk mendapatkan ilmu ladunni, maka murid harus membasuh seluruh konsep dan dan kerangka pemikirannya sendiri, ujung-ujung meleburkan keakuan di hadapan guru. Sepintar apapun seorang murid, harus merasa goblok di hadapan seorang guru. Merasa kosong di hadapan yang telah berisi. Di saat kosong itulah, niscaya murid akan mendapatkan pencerahan yang melapangkan dadanya. Atau bersamaan dengan hancurnya tembok keakuan, maka pengetahuan murid bakal menyatu dengan pengetahuan guru yang amat luas.

Semoga kita mendapatkan pelajaran yang amat penting dari perjalanan bisnis Bob Sadino. Dengan membacanya, kita akan terpengaruh untuk ikut memasuki dunia esensi yang telah dihuni oleh Bob Sadino.

Khalili Anwar, penutur dari jalan cahaya




Senin, 30 Maret 2009

MEMELUK DIRI SENDIRI

Setiap saat perhatian kita tersita oleh urusan-urusan di luar diri sendiri. Terkait dengan target yang harus dicapai. Menjajahi beragam hiburan untuk menyegarkan otak. Atau tersita oleh permainan yang berguna sebatas untuk melepaskan keletihan otak yang hampir hank karena kepenuhan data. Setiap hari manusia terus dipacu aneka rencana yang menggelorakan semangatnya untuk bekerja keras, sehingga tak ada kesempatan berhenti sejenak pun untuk mengistirahatkan pikiran dan menjernihkan hati. Siang hari dihabiskan seluruhnya untuk menuntaskan seabrek tugas yang harus diselesaikan, dan malam hari dihamburkan untuk menonton televisi, sekadar untuk menyegarkan pikiran. Kelihatannya seluruh kegiatan itu untuk memenuhi diri sendiri, akan tetapi, nyatanya, menghempaskan atau menggerus kesegaran diri sejati. Bukankah semua kecenderungan itu hanya untuk pemenuhan hawa nafsu, dimana manusia bisa mengasuh kesegaran bagi jiwanya?

Saban hari manusia didera oleh sasaran dan rencana kerja yang terinspirasi oleh impian yang melambung tinggi. Ia terikat dengan masa depan. Dia pun tidak bisa menghayati dan merasakan keindahan yang terhidang hari ini lantaran perhatiannya hanya tertuju pada masa depan berikut ilusi yang menyelubungi pikirannya. Bagaikan orang yang telah memesan menu yang paling lezat di sebuah restoran, setelah menu itu berada di depan meja, dan siap disantap, tiba-tiba pikiran terbajak oleh rencana yang harus dijalankan beberapa saat kemudian. Karena pikirannya terjerat oleh urusan berikutnya, maka saat itu dia tidak bisa menikmati kelezatan makanan yang terhidang di depannya. Begitulah, makanan yang mahal dan amat lezat, lantaran tidak diikuti oleh perasaan mahal dan lezat, dia pun gagal untuk mencerap kelezatan makanan tersebut.

Saat ini kita berada dalam sebuah ruang publik yang amat kecil (mini-sphere), seolah-olah ruang aktivitas manusia makin meluas, hanya saja sering menyempitkan ruang hati. Jaringan manusia makin meningkat, meluas, akan tetapi esensinya terasa rapuh, garing, dan tak berasa. Saat teknologi mempermudah manusia untuk menjalin relasi, maka manusia terus disibukkan oleh komunikasi lewat beragam karakter manusia Seakan dunia tidak pernah berada dalam kesepian, kesunyian, atau kesenyapan, akan tetapi selalu dipenuhi dengan suasana riuh rendah dan ramainya komunikasi yang hampir tanpa jeda. Adanya ponsel telah menggerus perhatian manusia terhadap dirinya sendiri, karena akan terus ada proses komunikasi yang tak pernah berhenti, kecuali bagi orang yang disiplin mengelola komunikasi. Tambah lagi, dunia maya pun tak ketinggalan menawarkan berbagai teknologi yang memudahkan kita berbagi perasaan, berbagi foto, hingga berbagi selera lewat e-mail, facebook, blog yang membuat manusia haus untuk makin memperluas jaringan. Sebuah jaringan yang kiranya bisa menyuguhkan kesenangan dan menyapu rasa kesepian.

Pabila manusia telah berada di pusaran keramaian yang tak berkesudahan, dampaknya mereka akan mengalami kesulitan untuk menyapa, mencium, dan memeluk diri sendiri. Ketika kita menghabiskan waktu untuk berbicara dengan orang lain, niscaya kita tidak memiliki waktu untuk bisa berbicara atau berdialog dengan diri yang terdalam (silolukai). Padahal, bila semangat dialog dengan suara terdalam telah terhambat, kekeriangan batin terasa meruap, dan goncangan pun tak henti-hentinya mendera perasaan jiwa kita. Ada kehampaan yang menyebar begitu saja ke dalam hati. Karena itu, jarak manusia dengan dirinya sendiri makin menganga. Kadang ia lebih mengenal orang lain ketimbang dirinya sendiri. Mengapa begitu? Karena sudut pandangnya hanya dipergunakan untuk meneropong keadaan di luar dirinya, dan dia tidak bisa meresapi setiap keadaan yang mewarnai perjalanan hidupnya. Makin hari hatinya makin mengalami kehampaan dan kekeringan lantaran tidak pernah bisa berdialog dengan kejernihan yang bermukim dalam hatinya.

Bagaimana agar kita bisa berdialog bahkan bisa memeluk diri sendiri? Diri kita adalah aset utama yang dianugerahkan oleh Allah SWT. Andaikan kita tidak bisa menghargai aset paling agung ini, niscaya kita bakal tergerak untuk mengagungkan aset selain diri sejati. Andaikan kita menyadari diri kita sebagai aset yang paling berharga, maka kita harus memiliki waktu istimewa untuk bisa menyapa diri kita lebih dekat . Lepaskanlah sekat-sekat yang membuat kita sering berjarak dengan diri sendiri. Rasakan setiap kenikmatan yang dianugerahkan pada kita, bahkan kita terus menghayati dari aras jasmani hingga aras batin. Saat kita bisa menghayati dan menikmati proses penjelajahan dari luar ke dalam itu, niscaya kita bakal merasakan suatu hal yang agung, dimana didalamnya bermukim seluruh harapan inti yang didamba oleh manusia, berupa kebahagiaan.

Ada saat prima kita bisa menyapa diri sendiri, misalnya selepas shalat, kita meluangkan waktu menyelami keadaan diri, menyapa kesegaran batin lewat upaya tafakkur yang mendalam. Mungkinkah dari setiap lintasan aktivitas yang dijalani selama ini, ada suatu yang menorehkan luka di hati orang lain, atau membekaskan rasa gelisah di dalam hati kita sendiri? Sembari menggemakan zikir, kita terus merasakan kedamaian yang meruap dari kedalaman hati. Bangunlah rasa hormat pada diri sendiri, perlahan-lahan suara keagungan pun berdentang dari diri kita. Suara keagungan itu mengekspresikan suara kebijaksanaan yang ditunggu untuk menenangkan jiwa. Terpenting setiap hari kita meluangkan waktu untuk berbicara dengan diri sendiri, entah di pagi hari, di siang hari, terutama di malam hari untuk bisa mengevaluasi diri secara ketat, agar kita bisa menemukan kelembutan yang bermukim di hati kita. Saat sepertiga malam yang penun berkah, kita berusaha menyusup ke dalam diri sendiri, mengorek segala sesuatu yang perlu diperbaiki, hingga di siang hari ada kecerahan yang terpancar dari wajah kita. Manakala kita bisa mengevaluasi diri sendiri disertai ketulusan untuk mengenal kedalaman diri sendiri, maka kebahagiaan hidup perlahan-lahan bakal menghiasi perasaan batin kita.

Khalili Anwar, penutur dari jalan cahaya

Minggu, 29 Maret 2009

KEBAHAGIAAN MEREKAH DIBALIK KESEDIHAN

Bunga adalah simbol keindahan yang tak pernah habis untuk dihayati oleh kepekaan rasa. Walau bunga itu sudah layu, masih saja terkenang keindahan yang melekat padanya. Ketika hati telah berhiaskan kedamaian, maka kita bakal memeluk sekuntum bunga yang berkuncup, merekah, sembari menebarkan harumnya yang membuat hati merasa terbang bersama keindahan itu. Ketika bunga itu telah berada dalam pelukan mesra, disana kebahagiaan hidup telah menyatu ke dalam sanubari kita.

Hanya saja bunga kebahagiaan itu tidak diperoleh lewat jalan-jalan yang bertaburkan permata, berhiaskan pernik-pernik yang menggeliatkan rasa, atau berjuntaikan permadani di sepanjang perjalanan mencapai keindahan itu. Meskipun memerlukan pengorbanan yang luar biasa untuk mendapatkannya, bunga yang didambakan itu tak berada di luar kita, akan tetapi telah menyatu ke dalam jiwa kita. Demi memungut bunga yang indah, manusia perlu menyusuri lorong-lorong yang bisa jadi dipenuhi rekahan-rekahan batu cadas yang demikian keras. Andaikan kita berhasil menerobosnya, belum tentu kita bisa mencium mesra bunga itu, bahkan masih tersisa kesedihan yang menguap dibalik setiap rasa. Bila hawa nafsu yang menurutkan kesenangan masih menghiasi jagat batin, bunga itu tidak pernah merekah dengan indah, atau belum tumbuh di taman hati kita.

Bagaimana bunga batin itu bisa merekah, dan dari sana kita bisa meresapi kebahagiaan sejati? Betapa banyak orang bisa memeluk mesra bunga setelah dia lama berurai air mata kesedihan, diterjang berbagai persoalan yang membuatnya berpikir, merenungi setiap halaman demi halaman kehidupan yang dilewati. Buktinya tokoh-tokoh dunia muncul di tengah gelombang kekacauan yang memberondong bangsanya. Jalaluddin Rumi, sufi kenamaan yang melejit dengan syair yang membawa hati bahagia, setelah pasukan Mongolia dan Salib mencabik-cabik Persia. Imam madzhab yang empat muncul pasca terjadinya tragedi Karbala yang membuat hati umat Islam tersobek-sobek dalam kesedihan dengan wafatnya cucu Rasulullah SAW, sayyidina Husain r.a. Dan di tengah penjajahan 3,5 abad lebih, Indonesia melahirkan deretan pahlawan kenamaan yang mengibarkan kemerdekaan Indonesia, Bung Tomo, Soekarno-Hatta, Agus Salim, Natsir serta tokoh lainnya yang telah berjuang dengan air mata dan darah. Di India muncul Mahatma Gandhi yang berhasil membebaskan negerinya dari penjajahan dengan jalan cinta. Manusia agung sepanjang sejarah, Rasulullah Muhammad Saw juga muncul di tengah pekatnya kegelapan peradaban, dan memuncaknya perang antara kabilah di dataran Arab.

Dari berbagai episode sejarah anak manusia itu kita bisa merengkuh pelajaran yang paling bijaksana, bahwa untuk mendapatkan bunga keindahan itu maka kita perlu membayar ongkosnya. Di setiap ongkos itu ada air mata kesedihan yang bakal terus mewarnai perjalanan untuk mencapainya. Memang bunga yang diperoleh tanpa sebuah perjuangan, niscaya bunga itu tak membekaskan kesan apa-apa. Seorang pemain akan merasakan kebahagiaan puncak ketika mendulang juara sembari dikalungi bunga. Ketika orang telah berhasil menikmati bunga yang merekah ke dalam batinnya, maka pada saatnya dia akan berucap terima kasih pada berbagai kesedihan yang pernah menggedor jiwanya. Terima kasih kesedihan, engkaulah utusan yang telah melahirkan kebijaksanaan dan keindahan dalam hidup. Engkau pula yang telah menumbuhkan bunga di jagat batin ini, sehingga hari-hari menjadi begitu indah dan membahagiakan.

Khalili Anwar, penutur dari jalan cahaya

Sabtu, 28 Maret 2009

MATILAH AKU KECIL MENUJU AKU BESAR

Sekian hari saya terusik oleh term aku. Saya melirik kata aku tertancap indah di poster disertai foto superkeren, membaca kata aku yang menghiasi media cetak. Melihat aku yang begitu narsis ditempelkan di facebook. Menatap aku bertengger di berbagai blog. Saking banyaknya kata aku, saya tidak bisa menghitungnya berapa kata aku yang saya rekam. Bahkan saya sendiri sering berucap aku. Betapa sering menyeruak pertanyaan tak sengaja, apa sih cita-citaku? Mau kemana aku melangkah? Kemana kompas kehidupan sang aku ini? Berjubel pertanyaan dan pernyataan sebagai bentuk ekspresi aku.

Di tengah berjubelnya kata-kata aku ini, menyeruak pertanyaan siapa aku sejati? Apa aku yang acapkali kita sebut-sebut sebagai aku yang didambakan? Dalam renungan sederhana, muncul kata menggelitik, bahwa aku yang acapkali terucap dalam bentuk kata-kata bukanlah aku sejati. Tetapi aku sejati tersimpan dalam hati nurani. Ya di medan hati bertapa aku yang sejati. Dialah aku yang tidak terkatakan, tak bisa digambarkan dalam tataran verbal. Pikiran pun tak bisa menggapainya. Disanalah kesenyapan dan keheningan yang melampaui pikiran dualitas bermukim. Disana taman surgawi terangkai begitu indah. Pabila kita berkunjung ke taman itu, maka kita bakal memetik bunga kebahagiaan yang keharumannya membekas dan abadi.

Bagaimana kita bisa menemukan aku sejati yang bisa melahirkan ketenangan dan kedamaian ke dalam jiwa? kita bakal merasakan ketenangan dan kedamaian jika kita berhasil menggerus aku kecil yang kerapkali menghambat kita untuk bisa kontak pada aku yang besar. Dalam kotak aku kecil meranggas sikap keakuan dan egoisme, dan memiliki kecenderungan untuk memenuhi diri sendiri semata. Tak ayal, kita terkurung oleh sikap negatif yang bakal menyingkirkannya dari medan ketenangan yang sesungguhnya.

Dalam aku kecil tersimpan rasa marah, iri, dengki, semangat popular, riya’, serakah, merasa bisa, dan sebangsanya. Katanya kepuasan aku kecil akan diperoleh jika bisa menyalurkan seluruh kecenderungan negatif tersebut. Banyak orang menyangka bahwa dengan pencapaian aku kecil orang bakal merengkuh kebahagiaan? Dia berkeyakinan bahwa dia merasakan kebahagiaan ketika bisa mewujudkan harapan. Atau secara tiba-tiba mendapatkan kekayaan yang melimpah. Memiliki rumah mewah. Aku kecil selalu membangun kontak dengan pengaruh terluar. Padahal apapun yang terluar tidak bisa menghias hati menjadi tenang dan damai. Karena damai itu telah bermukim dalam diri sendiri, bermuara dan menyatu ke dalam diri kita yang sejati. Meminjam argumen salah seorang seniman besar India yang bernama Kabir, ‘Janganlah datang ke taman, dalam tubuh kita sudah ada taman. Duduklah di atas pohon lotus, dan temukan suka cita di sana’.

Meski diberi penyadaran seperti apapun, aku kecil tidak pernah bisa memahami bahwa kebahagiaan dan ketenangan hidup itu terletak di dalam diri, terbukti aku kecil selalu menjelajahi dan merambahi kebahagiaan di luar dirinya. Ia berwisata untuk bisa menikmati pemandangan yang anggun nan eksotis. Ia berusaha bekerja keras hanya untuk berjuang memperbesar rumah, bisa membeli mobil terbaru, atau mengangkat prestise dengan membeli benda-benda trendy. Padahal segala aksesori yang tergelar di luar bakal terus berubah, sehingga peta hasrat manusia juga terus berubah seirama dengan perubahan yang tergelar di luar.

Aku kecil adalah eksistensi diri kita yang palsu. Karena itu aku kecil selalu menumbuhkan aneka hasrat yang palsu pula, dalam bentuk dorongan hawa nafsu. Kalau manusia masih terjangkit dan terperangkap dengan hawa nafsu sebagai ikutan dari aku kecil, maka manusia tidak bakal bisa terbang untuk mencapai superego (Aku yang besar). Bagaimana agar orang bisa mencapai aku yang besar? Seperti pesawat ulang-alik yang hendak terbang, maka perlu melepaskan beban yang menghambatnya bisa terbang. Andaikan beban itu masih melekat pada pesawat, niscaya pesawat itu tidak bakal tinggal landas, akan tetapi tetap berada di landasan. Agar aku besar bisa terbang, maka kita dengan rela melepaskan aku kecil. Bagaimana melepaskan aku kecil untuk menggapai aku besar?

Cara melepaskan aku kecil adalah dengan meniadakan diri. Ketika manusia telah merasa kosong, pertanda aku besar bakal terbang. Dia telah berhasil melepaskan seluruh keangkuhan pikiran dan hawa nafsu yang kerap menjadi rujukan dalam membuat keputusan apapun. Manifestasi dari pengosongan diri adalah penyerahan diri yang total pada Allah SWT. Penyerahan diri membuat manusia mencapai pembebasan yang sebenarnya. Bukankah kebebasan merupakan dambaan setiap orang? Bahkan sejatinya dambaan kebebasan itu sebuah ekspresi dari aku besar. Ketika orang telah berhasil meniadakan diri, maka dia bakal menyatu dengan ketunggalan yang membawanya terbang ke langit-langit cinta yang tak pernah membosankan. Seluruh aktivitas melahirkan hikmah agung dan menginspirasi pelajaran agung pula bagi orang lain lantaran kehidupan telah dipimpin oleh aku yang besar.

Khalili Anwar, penutur dari jalan cahaya

Jumat, 20 Maret 2009

TUMBUHKAN CINTA PADA NABI SAW



Kita masih berada di bulan agung, bulan dimana Rasulullah SAW dilahirkan. Perlulah kiranya kita merenung, bertukar pikiran dan berbagi pengalaman ruhani demi memantik kecintaan pada beliau SAW. Lewat kecintaan yang sempurna pada beliau, insya Allah kebahagiaan hidup bakal meresap ke dalam pori-pori kesadaran kita. Hampir seluruh kekasih Allah adalah termasuk sosok yang begitu kuat rasa cintanya pada Rasulullah SAW. Manakala kita bisa mengekspresikan spirit cinta pada Rasulullah Saw, pada gilirannya semangat kita pun bakal terpompa untuk meneladani akhlak Rasulullah SAW, sang kekasih Allah. Mengapa cinta pada Rasulullah SAW menjadi bekal untuk meraih keindahan dan kebahagiaan hidup?

Perlu diketahui kemuliaan bulan atau tempat bergantung apa yang dihadirkan di dalamnya. Ramadlan menjadi begitu mulia karena di dalamnya menjadi momen diturunkannya al-Qur’an. Dan ketika madinah masih menjadi kota Yastrib, Rasulullah belum melakukan hijrah di sana, maka kota itu tidak memiliki keistimewaan apapun. Tidak diperhitungkan. Tetapi setelah Rasulullah berada di Madinah, maka kota madinah dijuluki sebagai kota suci. Pun begitu, bulan Maulid menjadi begitu istimewa karena didalamnya telah dilahirkan manusia terbaik sepanjang sejarah, yaitu Rasulullah SAW. Kalau bulan Ramadlan begitu mulia, maka bulan maulid justru lebih mulia. Mengapa? Karena kalau bulan Ramadlan, menjadi momen turunnya al-Qur’an, yang notabena menjadi rahmat bagi orang beriman. Adapun bulan maulid menjadi momen lahirnya Rasulullah SAW, sebagai manifestasi rahmat bagi seluruh alam.

Bulan Ramadlan menjadi momen kegembiraan bagi manusia, karena disitu kita mendapatkan pelipatgandaan pahala, bahkan grasi atas dosa-dosa yang diperbuat selama ini. Adapun bulan maulid menjadi momen yang mengembirakan Allah SWT, karena saat itulah kekasih-Nya dilahirkan. Rasulullah Muhammad SAW adalah buah dari penciptaan. Hanya karena Nabi Muhammad jagat semesta ini diciptakan dan digelar oleh Allah SWT, firman Allah dalam hadist Qudsi, “Kalau tidak karenamu (Muhammad) Aku tidak menciptakan semesta ini.”

Andaikan kita menanam pohon mangga, tentu saja yang kita harapkan adalah buah mangga. Ketika buah mangga sudah bisa dipanen, betapa kebahagiaan menyusupi hati kita. Seumpama seorang ayah bekerja keras mengelola sebuah perusahaan berkata pada anaknya, “Kalau tidak karena engkau anakku saya tidak membangun perusahaan dengan cara segigih ini.” Rasulullah SAW adalah tujuan penciptaan semesta ini. Pun kita begitu berbahagia dihidupkan sebagai umat Nabi Muhammad SAW. Kita berada di zaman buah. Ya buah dari seluruh ajaran kenabian, sehingga kita tinggal memetik saja kearifan yang diajarkan oleh seluruh Nabi. Karena itu, umat ini lebih mudah untuk mencapai maqam spiritual dibandingkan dengan umat sebelumnya. Nabi Muhammad SAW. tidak hanya penyebar rahmat bagi seluruh alam, bahkan beliau sendiri rahmat bagi seluruh alam. Lewat kehadiran beliau, kita bisa mendulang hidup yang berkah. Rasulullah sendiri rahmat yang diutus oleh Allah ke alam dunia, karena itu berbahagialah atas diutusnya Rasulullah SAW. Kehadiran beliau menjadi kran tersalurnya rahmat Allah yang begitu melimpah. “Dengan kurnia Allah dan rahmat-Nya, hendaklah dengan itu mereka bergembira. Kurnia Allah dan rahmat-Nya itu adalah lebih baik dari harta yang mereka kumpulkan”. [QS. Yunus: 58].

Kita begitu bergembira mendapatkan harta, bergembira mendapatkan kedudukan yang bergengsi, dan bergembira mendapatkan anugerah anak. Harusnya kita lebih bergembira dengan anugerah di atas anugerah yang diberikan oleh Allah SWT, berupa diutusnya Rasulullah SAW di alam dunia ini. Bergembira atas kehadiran Rasulullah tercermin dari rasa cinta yang dilandasi rasa suka cita dan ketulusan. Kita perlu menunjukkan kecintaan kita pada Rasulullah SAW setiap saat, terlebih di bulan Maulid, momen dimana Nabi Agung SAW itu dilahirkan. Rasulullah adalah Kekasih Allah SWT, dan agar kita pun terhimpun dalam majelis kekasih Allah, baiknya kita menjadi kekasih Rasulullah SAW, dengan mencintai beliau SAW.

Dalam suatu kesempatan hendak shalat berjemaah, dan beliau SAW sudah hendak bertakbir seorang badui menerobos dari belakang, da menjawil Rasullullah, sembari bertanya, “Kapan hari kiamat itu?” Rasulullah SAW mengisyaratkan untuk sholat terlebih dahulu sembari tersenyum. Usai shalat berjamaah, Rasulullah pun menjawab dengan bertanya balik, “Kamu bertanya, kapan hari kiamat, apa yang sudah kamu persiapkan untuk itu?””Saya tidak punya persiapan dan bekal apa-apa, tetapi saya sangat mencintaimu ya Rasulallah,” tutur badui. Maka Rasulullah SAW pun berkata “Seorang dikumpulkan bersama dengan orang yang dicintai.” Sontak saat itu seluruh sahabat bergembira ria, ada yang menari-nari, bahkan Sayyidina Abu Bakar pun sampai di rumah dengan begitu bergembira. Sejak itu para sahabat merumuskan “hubbun nabi, khairuz zadzi,” cinta pada Nabi SAW adalah sebaik-baik bekal.

Bahkan pertanda orang beriman pada Allah adalah mencintai Rasulullah SAW, sabda Nabi SAW. “Tidak sempurna iman salah satu kamu sekalian hingga Aku lebih dicintai dari pada ayahnya, anaknya dan seluruh manusia,” Sayyidina Umar r.a berkata. “Ya Rasulallah, engkau adalah orang yang paling aku cintai melebihi siapapun, kecuali diriku sendiri. “Belum sempurna imanmu hingga aku lebih engkau cintai daripada dirimu sendiri,”kata Rasulullah SAW “Sekarang ya Rasulallah, engkau adalah yang paling aku cintai melebihi siapapun termasuk diriku sendiri. “Sekarang sempurnalah imanmu,” Kata Nabi SAW.

Perlu diketahui saudaraku, kita memang tidak memiliki bekal apa-apa untuk masuk surga apalagi bertemu Allah SWT. Di tataran ibadah, kita kalah pada para sahabat yang dahulu masuk Islam, tabi’it-tabi’in dan para wali, bisa jadi shalat kita masih penuh cecat, sedakah kita masih disertai perasaan riya’, haji kita belum benar-benar sempurna. Di tataran ilmu, ilmu kita amatlah sedikit ketimbang para imamul mujtahidin dan ulama’ salafus saleh yang begitu genius, dan bisa melahirkan beragam kitab. Pendek kata, di tataran ilmu dan amal kita tidak punya apa-apa, bagaimana kita bisa merapat pada saf pertama dari ahli surga. Meski demikian, sesungguhnya ada lompatan untuk mencapai surga itu adalah dengan mencintai Rasulullah SAW. Karena siapapun yang mencintai Rasulullah, akan dikumpulkan dengan Rasulullah SAW. Cintailah Rasulullah SAW, dan kebahagiaan hidup pun bakal terus mengalir di hati kita. Wallahu A’lam bis Showaab.

Kamis, 19 Maret 2009

CAHAYA MATA

Mendengar cahaya mata, pikiran saya langsung tertuju pada instrument hingga dengan izin Allah saya bisa melihat. Ada bashar, melihat suatu yang nampak oleh mata lahiriah. Juga ada bashirah, yakni melihat dengan mata hati. Andaikan kita tidak memiliki cahaya mata, niscaya kita tidak bisa melihat apa yang ada di depan kita, walau keadaannya terang benderang. Beberapa hari ini, saya merenungi apa arti cahaya mata, dalam kasidah Maulid Rasulullah SAW yang disitir “Nurul ‘Aini.” Disitu Rasulullah SAW disebut-sebut sebagai Cahaya Mata, yang berarti hanya dengan cahaya mata itulah kita bisa melihat. Tanpa cahaya mata itu kita akan gagal membedakan yang baik dan yang benar. Bukankah suasana hati seorang bergantung responsnya saat itu? Bukankah setiap efek berawal dari cara pandang orang tersebut? Sepahit apapun sebuah masalah pabila dipandang dengan kacamata yang jernih dan bening, insya Allah masalah itu bakal menyembulkan bunga keindahan dan kebahagiaan yang kekal dalam hati. Sebaliknya, seindah apapun suatu horizon yang melingkupi kita, tetapi dilihat dengan kacamata pikiran yang kotor, justru keadaan itu hanya mengantarkan kita dalam derita yang terus bergolak dari dalam hati. Gamblangnya, dengan mata yang bening kita bakal bisa melihat kebaikan dalam setiap kejadian yang tergelar di hadapan kita, dan dengan mata yang kotor tak bercahaya, kita hanya melihat kotoran.

Kata Jalaluddin Rumi, “keburukan itu tidak melekat pada orang lain, tetapi melekat pada pikiran kita.” Keburukan itu bermukim di pikiran kita sendiri, adapun suatu yang ada di luar kita, adalah kebaikan yang sempurna. Ketika orang bisa melihat sebuah kebenaran, berarti pikirannya dihias oleh kebenaran. Ketika pikiran menjadi negatif, maka segala sesuatu yang terhampar di sekelilingnya terkesan negatif dan melahirkan kebencian. Suatu kali, saya berburuk sangka pada pemakalah di sebuah seminar, maka setiap untaian kata yang dituturkan seakan menjelmakan keburukan di pikiran saya, dan membuat hati makin panas dan muak. Dan di kesempatan yang lain, saya menyetel pikiran dengan hal-hal positif, maka justru saya menemukan sisi kebaikan dari pemakalah tersebut. Dari situ saya menyimpulkan bahwa kebaikan dan keburukan itu bermukim dalam pikiran saya sendiri.

Apa kaitannya antara pikiran dan cahaya mata? Cahaya mata adalah sisi yang bisa melihat suatu yang ada di hadapan kita dengan cara yang netral. Ketika mata kita buta dan tak bercahaya, justru kita tidak bisa menatap keadaan yang ada di luar kita. Tetapi ketika mata bercahaya, maka kita bisa menatap dengan seksama apa yang terhampar di depan kita. Karena itu, ketika menggunakan cahaya mata yang bening, maka kita bakal menemukan kumpulan keindahan yang berserakan di sekeliling kita. Artinya, pabila kita mampu menangkap segala keadaan dan sesuatu lewat cahaya muhammaddiyah, maka kita bakal menemukan aneka kearifan yang tergelar begitu sempurna dan indahnya. Dan kita bakal merasakan bahwa setiap peristiwa dan kejadian yang menjelma dalam kehidupan kita, bukanlah suatu yang acak tanpa rencana yang terpola. Tidak ada suatu yang kebetulan. Karena meyakini tak ada suatu yang kebetulan, maka setiap peristiwa dan kejadian yang menyeruak pasti membekaskan hikmah yang mendalam dan menyentuh.

Rasulullah SAW bukanlah cahaya mata lahiriah, tetapi lebih sebagai cahaya mata batin. Ketika kita bisa menatap, memandang, dan meneliti segala keadaan dan kejadian yang menjelma dengan cahaya mata batin itu, maka kita bakal mengakhiri respons hidup dengan bersyukur dalam setiap keadaan. Tak ayal, jika orang telah meresapi semangat Nabi SAW di dalam hatinya, niscaya bakal merasakan luapan kebahagiaan yang tak terhingga. Musibah yang menggelisahkan dan ujian yang menyakitkan menjadi tertindih kebahagiaan lantaran rasa syukurnya yang begitu meluap-luap dijadikan umat Nabi SAW. Ada seorang kyai bertutur, “Kita sungguh amat bersyukur menjadi umat Nabi SAW, karena beliau SAW menjadi garansi bagi umatnya. Karena itu, saya tidak pernah bisa menangis, hanya terus tersenyum dalam syukur yang tak pernah jeda karena saya telah ditakdirkan sebagai umat Nabi Muhammad SAW.” Manakala kita melihat dengan cahaya mata Nabi SAW, maka hati kita bakal dihiasi oleh kebahagiaan yang tak terhingga. Manakala orang bisa melihat segala sesuatu dengan cahaya mata (cahaya muhammaddiyah), maka justru dia bakal merasakan ada kesejukan batin yang sulit dilukiskan dengan kata-kata.

Dengan cahaya mata itu kita melihat kebenaran universal, setala dengan sabda Rasulullah SAW, “Siapa yang melihat saya, sungguh melhat kebenaran.” Ketika kita bisa melihat dan menatap setiap keadaan dengan cahaya Muhammaddiyah, niscaya kita bakal merasakan surprisingly terus-menerus, ternyata setiap keadaan itu melahirkan hikmah yang menyejukkan hati kita. Artinya ketika bisa melihat dengan Cahaya Mata (Nurul “Aini) itu, niscaya hati kita bakal diliputi dengan kesejukan mata (Qurratul ‘Aini). Semoga kita bisa mencapai mata hati yang sejuk dengan selalu bisa menatap keadaan dengan sang Cahaya Mata, Rasulullah SAW. Wallahu A’lam Bis Showaab.

Senin, 09 Maret 2009

BIBIT DAN BUAH SEMESTA

“Sesungguhnya perintahNya apabila Dia menghendaki sesuatu hanyalah berkata kepadanya,”Jadilah!” Maka terjadi ia.” [Yaasin:82]

Ada sebagian ahli hakikat menegaskan, kun itu dirangkai oleh huruf kaf dan nun. Kaf singkat kata dari kamil yang berarti sempurna, dan nun singkat kata dari nur yang berarti cahaya. Kalau demikian berarti kun itu itu adalah cahaya sempurna. Cahaya yang dimaksud adalah cahaya kenabian, cahaya muhammaddiyah. Allah cukup dengan berfirman ‘kata sakti’ kun, maka terjadilah ia. Setiap kehendak Allah pasti terjadi, karena kekuasaanNya yang tak terbatas. Kun dalam Surat Yasin itu disebut fi’il amar, atau kata perintah. Setiap ada kata perintah, maka pasti ada yang diperintah. Menurut guru saya, tentu saja Allah tidak memerintahkan kekosongan. Kemudian apa yang diperintah oleh Allah? yang diperintah oleh Allah adalah cikal bakal mengejawantahnya alam semesta, itulah Nur Muhammaddiyah.

Apa hakikat dari nur muhammaddiyah? Nur muhammaddiyah adalah nur yang mengada sebelum Nabi Adam AS diciptakan. Itulah bibit terlahirnya semesta ini. Dan hanya karena bibit itulah, Allah menciptakan jagat kehidupan di alam dunia ini. Dialah seutama-utamanya kasih sayang Allah SWT. Ia berada saat Nabi Adam AS masih sebagai lempung, ia berada di sulbi Nabi Nuh AS yang bisa selamat diantara banjir bandang yang ekstrim, ia berada di sulbi Nabi Ibrahim saat beliau dalam kepungan Api Namrud, berubah menjadikan api sejuk. Sayyidina Abdullah bin Abbas ra meriwayatkan bahwa Nabi Saw bersabda: Sesungguhnya ada seorang Quraisy yang saat itu masih berwujud nur di hadapan Allah 2000 tahun sebelum penciptaan Nabi Adam as. Nur itu selalu bertasbih kepada Allah. Dan bersamaan dengan tasbihnya itu bertasbih pula para malaikat mengikutinya. Ketika Allah akan menciptakan Adam, nur itu pun diletakkan pada tanah liat asal kejadian Adam. Lalu Allah menurunkan nur itu ke muka bumi melalui punggung Nabi Adam. Dan Allah membawaku ke dalam kapal dalam tulang sulbi Nabi Nuh AS, dan menjadikan aku dalam tulang sulbi Nabi Ibrahim Al-Khalil, ketika ia dilemparkan ke dalam api. Tak henti-hentinya Allah memindahkan aku dari rangkaian tulang sulbi yang suci, kepada rahim yang suci dan megah. Hingga akhirnya Allah melahirkan aku melalui kedua orangtuaku yang sama sekali tidak pernah berbuat serong. (dikutip dari kumpulan Diba’ Maulid Nabi SAW).

Ketika Nur Muhammaddiyah bertemu dengan jasad Nabi Muhammad Saw, maka di saat itulah kita menemukan muara seluruh ajaran kenabian, buah dari seluruh ajaran yang telah diperjuangkan para Nabi. Rasulullah SAW telah memberikan buah agama pada kita berupa tuntunan akhlak yang agung dan anggun. Itulah rahasia dari sabda Rasulullah Muhammad Saw, “Saya diutus untuk menyempurnakan akhlak yang mulia.” Bukankah akhlak adalah puncak pencapaian dari agama? Seumpama pohon, akhlak adalah buahnya. Sementara aqidah adalah akar, dan syariat adalah pohon atau batang. Sungguh aneh ketika masih ada orang yang bertengkar soal aqidah dan syariat hingga melupakan esensi dari akhlak. Betapa banyak persaudaraan terpecah karena hanya perbedaan cara pandang. Harusnya kita mengedepankan akhlak dalam setiap perbedaan dan aktivitas yang kita lakukan. Ingatlah, pohon bukan tujuan, tetapi akhlaklah tujuannya.

Andaikan teknologi, maka Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW adalah Islam yang paling canggih dan relevan dengan keadaan zaman. Sungguh aneh, kalau ada yang masih terbonsai oleh teknologi masa lalu yang sudah usang. Seperti orang yang menggunakan mesin ketik manual saat sudah tersedia komputer yang amat canggih. Sungguh untuk mencapai maqam yang terpuji di hadapan Allah di akhir zaman ini, tidak sesulit di saat-saat sebelum kenabian Muhammad SAW. Usia umat Nabi Muhammad Saw pendek, tetapi satu kali amal bisa dilipat 10 kali, hingga 700 kali lipat, bahkan sampai dangan hitungan yang tak terbatas. Bukankah orang yang bersabar dan berbuat ihsan bakal mendapatkan pahala tanpa batas? “Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas.” [Az-Zumar: 10]. Itulah beragam kemudahan yang dianugerahkan pada umat Nabi Muhammad. Kemudahan itu diberikan karena Nabi Muhammad SAW. Nabi Muhammad SAW adalah buah dari seluruh kesadaran, dan Islam yang dibawa Nabi Muhammad Saw pun adalah buah dari agama Islam yang dibawa oleh Nabi-Nabi sebelumnya.

Patutlah kita bergembira dihidupkan di akhir zaman sebagai umat Nabi Muhammad SAW. Kita menjadi umat terbaik dan terpuji, karena Nabi Muhammad adalah sosok yang terbaik dan terpuji. Saking memesona dan agungnya kedudukan Nabi Muhammad SAW di hadapan Allah, Nabi Musa AS pun ingin sekali menjadi umat Nabi Muhammad. Pun Rasulullah bersabda, “Kedudukan ulama bagi umat seperti kedudukan Nabi Bani Isra’il bagi umatnya.” Luar biasa!

Khalili Anwar, Penutur dari jalan cahaya

Minggu, 08 Maret 2009

HARUSKAH KONSER CINTA RASUL?



Ada seorang sahabat mengirimkan surat lewat e-mail saya. Setelah membaca artikel saya yang berjudul “Konser Cinta Rasul”, dia berharap agar artikel itu dilengkapi dengan dalil yang melatarbelakangi adanya konser cinta Rasul agar orang merasa memiliki landasan yang kuat . Mengapa konser cinta Rasul harus diselenggarakan? Adakah landasan yang membolehkan kita mengekspresikan cinta pada Rasulullah SAW?

Di bulan Maulid ini, saya ingin mencurahkan perasaan saya untuk memantik cinta pada Rasulullah Saw ke dalam diri ini. Walau saya meyakini, bahwa tulisan-tulisan saya tidak bisa mewakili secara utuh tentang bagaimana sepatutnya kita mencintai Rasulullah SAW. Saya amat berterima kasih pada sahabat yang hendak berbagi pengetahuan dan pengalaman ruhani yang menyiratkan tentang perasaan (dzauq) pada Rasulullah SAW, hingga hari demi hari tangki cinta kita pada Rasulullah SAW makin bertambah. Ingatlah saudaraku, kalau Rasulullah bersabda, “almaru ma’a man ahabbahu,” orang akan dikumpulkan bersama dengan yang dicintai. Setiap yang mencintai Rasulullah Saw akan berkumpul dengan Rasulullah Saw. Pun demikian, bahwa orang yang mencintai Rasulullah tidak sebatas berkumpul dengan Rasulullah SAW, tapi juga berkumpul dengan kelompok yang sama-sama mencintai Rasululllah SAW. Bukankah dengan satu perasaan orang itu bakal berkumpul? Bukankah hanya yang sesifat yang bakal dikumpulkan? Bukankah hanya yang punya kecenderungan sama yang bakal dipersatukan? Demikian seterusnya.

Saya berharap lewat blog ini, sahabat bisa berbagi kisah, inspirasi untuk bisa saling menguatkan cinta pada Rasulullah Saw. Pun bakal terbentuk spirit cinta kita karena Allah dan RasulNya. Bukankah hanya persaudaraan yang diikat karena Allah dan RasulNya yang bakal kekal melampaui umur? “Teman-teman akrab pada hari itu sebagian menjadi musuh bagi sebagian yang lain, kecuali orang-orang yang bertakwa,” [az-Zukhruf:67].

***

Sudah tiba kesempatan bagi saya untuk mengutarakan mengapa kita harus mengadakan konser cinta Rasul? Rasulullah Saw adalah makhluk termulia yang harus dicintai oleh kita melampaui yang lain. “Katakanlah, “jika bapak-bapak, anak-anak, saudara-saudara, istri-istri kamu, keluarga-keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatirkan kerugiannya, dan rumah-rumah tempat tinggal yang kamu sukai adalah lebih kamu cintai daripada Allah dan RasulNya dan (dari) berjihad di jalanNya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusanNya.” Dan Allah tidak memberi petunjuk pada orang-orang fasik.” [At-Taubah:24].

Betapa kita harus meletakkan Allah dan RasulNya dan jihad di jalanNya pada urutan teratas dalam piramida cinta. Jangan sampai kecintaan pada trilogi dikalahkan oleh kecintaan pada yang lain. Cinta teratas dari seluruh cinta adalah cinta pada Allah SWT. Dan bagaimana posisi kecintaan kita pada Rasulullah SAW? Cinta kita pada Rasulullah adalah pertanda kecintaan kita pada Allah SWT. Semakin meluap perasaan cinta kita pada Rasulullah SAW, berarti kecintaan kita pada Allah pun makin membuncah. Kita mencintai Allah dengan cara-cara mencintai siapa-siapa yang dicintai Allah SWT. Adapun Rasulullah SAW adalah kekasih Allah yang terdekat denganNya.

Kita sekarang menarik pada satu poros bahasan, mengapa kita harus mencintai Rasulullah SAW, hingga harus menciptakan konser cinta dalam bentuk pesta shalawat? Tidakkah Anda ketika mendapatkan rumah baru menyelenggarakan syukuran besar-besaran? Apakah syukuran seperti itu diperbolehkan. Ketika Anda mengalami promosi jabatan Anda pun bersyukur, bahkan mengadakan pesta makanan besar. Ketika anak Anda lahir, Anda pun bersyukur dalam bentuk aqiqah. Begitu seterusnya. Jika pada rumah, anak-anak, jabatan Anda begitu bersyukur dengan penuh kegirangan, apalagi dengan nikmat di atas nikmat yang diutus oleh Allah pada kita, yakni Nabi Muhammad SAW. Nabi Isa AS menjadikan momen turunnya hidangan dari langit menjadi hari raya, dan permohonan itu tidak dilarang oleh Allah SWT. “Isa putra Maryam berdoa, “Ya Tuhan kami, turunkanlah kiranya kepada kami suatu hidangan dari langit (yang hari turunnya) akan menjadi hari raya bagi kami, yaitu bagi orang-orang yang bersama kami dan yang datang sesudah kami, dan menjadi tanda bagi kekuasaan Engkau; beri rezekilah kami, dan Engkaulah pemberi rezeki yang paling utama.” [al-Ma’idah:114].

Menurut guru saya, kalau turunnya rezeki saja dijadikan hari raya oleh Nabi Isa dan kaumnya, dan tak dilarang oleh Allah SWT, apalagi turunnya Rasulullah SAW yang dijuluki sebagai rahmat bagi seluruh alam. Rasulullah SAW adalah rahmat Allah yang utama yang memantik datangnya kenikmatan yang lain. Beliau juga mengungkapkan, andaikan turunnya al-Qur’an perlu kita peringati, apalagi turunnya Rasulullah SAW yang karena beliau al-Qur’an itu diturunkan, harusnya kita lebih bersemangat untuk memperingatinya.

Memperingati Maulid Rasulullah SAW merupakan sebuah wahana untuk mengekspresikan rasa cinta yang begitu mendalam pada Rasulullah SAW. Rasa cinta ini tidak bisa dilukiskan dengan kata-kata, dan hanya bisa diekspresikan dalam bentuk kepekaan rasa. Karena itu diperlukan menghiasi bacaan shalawat jama’I untuk menyemarakkannya. Apakah ceramah, pidato juga penting untuk memantik kerinduan pada Rasulullah SAW. Ceramah juga penting, tetapi soal cinta bukanlah wawasan, tetapi perasaan yang harus diekspresikan dengan bahasa-bahasa perasaan yang mendalam. Membaca shalawat adalah cara efektif untuk memantik cinta dan kerinduan pada Rasulullah SAW.

Khalili Anwar, Penutur dari jalan cahaya

Jumat, 06 Maret 2009

KONSER CINTA RASUL



Saya dapat berita dari seorang teman yang pernah mengikuti peringatan maulid Nabi Muhammad SAW di sebuah daerah di Madura. Disana serasa ada getaran kerinduan yang begitu mendalam pada Rasulullah Saw. Mereka menghadirkan Rasulullah di dalam hati, jiwa, dan perasaannya. Mereka begitu gembira menyenandungkan untaian shalawat berzanji yang diungkapkan dengan jiwa. Di tengah semarak lagu-lagu shalawat itu, ada beberapa orang yang mengalami ekstasi, mereka menari-nari, seakan bertegur sapa, berangkulan, dan menyatu dengan Rasulullah SAW. Dia terus bernyanyi-nyanyi, terasa ada pesona spiritual yang mengalir di pusaran shalawat tersebut. Kerinduan seperti itulah yang selalu ditunggu oleh para suci. Yakinilah, cinta pada Rasulullah Saw adalah anugerah, dan sebuah pertanda adanya panggilan khusus dari Rasulullah Saw. Tanda Rasulullah amat memperhatikan seorang umat, manakala hatinya telah dibelai kerinduan yang tak pernah jeda pada Rasulullah Saw.

Betapa begitu indahnya, manakala hati ini juga bisa meresapi perasaan rindu pada Rasulullah SAW. Karena saat kerinduan itu membelai hati ini, berarti Rasulullah pun telah hadir dalam kehidupan kita. Dalam pandangan saya, kerinduan pada Rasulullah hanya dipersembahkan di hati orang-orang terpilih. Bersyukurlah andaikan ada dari saudaraku yang tengah mereguk cawan cinta dan kerinduan yang begitu memesona pada Rasulullah SAW. Karena kecintaan dan kerinduan pada Rasulullah Saw bakal menghadirkan hati yang sakinah, tenang, dan melahirkan wajah yang berseri-seri. Tak ada pencinta Rasulullah Saw yang sedih karena memikirkan perihal duniawi. Kesedihan pencinta Rasulullah SAW terpantik jika melihat umat semakin jauh dari ajaran Rasulullah Saw.


Jika kerinduan telah bersarang di hati kita, berarti kita telah terjalin dalam jaringan cinta Rasul. Hati kita bertemu dengan hati Rasulullah SAW. Ketika kita merindukan Rasulullah SAW, niscaya timbul sebuah kerinduan bagaimana bisa mengabadikan perjuangan Rasulullah Saw dalam kehidupan sehari-hari. Ingatlah saudaraku, Rasulullah Saw selalu melihat perbuatan dan aktivitas yang kita perbuat, dan andaikan kita berbuat baik yang dikemas dengan kerinduan mendalam pada Rasulullah Saw, justru Rasulullah begitu bahagia melihatnya. Janganlah kita berpisah dari Rasulullah SAW. Sekali kita berpisah dari Rasulullah, maka kita bakal terpental jauh dari poros kebenaran hakiki. Ketahuilah saudaraku, Allah adalah hakikat kebenaran yang tersembunyi. Sementara Rasulullah Saw adalah simbol kebenaran yang dipresentasikan oleh Allah SWT. Artinya dengan merasakan kebenaran Nabi SAw, maka kita bakal mengakui kebenaran yang hakiki. Akhlak Allah Maha Agung, dan Allah mewujudkan keagungan akhlakNya lewat pribadi Rasulullah SAW. Akhlak Rasulullah Saw yang begitu luhur, telah membikin banyak orang terpikat dan terpesona, terpaku, karena memang tak ada orang sebelum dan setelah beliau Saw yang akhlaknya begitu bersinar. Dan andaikan kita mengagungkan akhlak Rasulullah disertai kerinduan yang mendalam, berarti kita telah mengagungkan Allah SWT yang telah mendesain sosok yang amat mulia yang dikagumi oleh seluruh makhluk, baik makhluk yang berada di bumi, dan lebih-lebih para penduduk langit. Dan andaikan ada yang mencela dan meremehkan Rasulullah Saw, doakanlah mereka, semoga mendapatkan jalan keindahan dalam hidupnya untuk segera mengenali jati diri Rasulullah. Mereka mencela karena memang mereka tidak mengerti harga Rasulullah SAW. Seperti anak-anak yang belum bisa membedakan antara kerikil dan intan, maka dia tidak bisa membedakan antara harga kerikil dan intan tersebut. Hingga bisa jadi intan yang berada di genggaman dilempar jauh, dan dia memilih untuk menyimpan kerikil yang tak bermakna.


Di bulan Maulid, tepat bulan dimana Rasulullah SAW dilahirkan, kita bakal bertemu dengan beragam bentuk konser cinta Rasulullah SAW yang dikemas dengan beragam cara dan gaya. Memang ungkapan kerinduan kadang tidak membutuhkan pola yang pakem. Ada yang mengungkapkan perasaan cinta dan rindu Rasul dengan cara banyak membaca shalawat, ada yang menapaktilasi perjuangan Rasulullah dengan membaca Sirah Nabi SAW. Ada juga yang melakukan amal kebaikan yang menyerupai amal kebaikan Nabi, seperti bersedakah pada anak yatim dan fakir miskin. Ada yang berkunjung pada keturunan Rasulullah SAW, sehingga bisa merasakan vibrasi Rasulullah lewat keturunannya. Ada dengan cara mendengarkan ceramah-ceramah yang makin menguatkan perasaan rindu dan cinta pada Rasulullah SAW. Pendek kata, orang yang cinta dan rindu Rasulullah SAW mengekspresikan kerinduannya dengan berbagai cara dan pola. Inilah momen ‘pesta’ dan kegembiraan dari para pencinta Rasul yang tak bisa dilukiskan akal biasa. Saking membuncahnya kerinduan pada Rasulullah SAW, membawa mereka masuk ke ranah ekstasi yang terus-menerus. Itulah bahasa kerinduan, yang tidak bakal dirasakan oleh orang-orang yang beragama hanya berlandaskan pikirannya semata.


Mari kita meriahkan konser cinta Rasulullah SAW, agar syiar Islam kembali menghiasi kehidupan kita.


Khalili Anwar, Penutur dari jalan cahaya

Kamis, 05 Maret 2009

SHOLAWAT, MEMANGGIL SANG CAHAYA

Bersholawatlah pada Rasulullah Saw. Demikianlah seruan yang sering mengalir dari lisan orang sholeh, ungkapan syukur pada Rasulullah dalam bentuk jingle“Allahumma sholli ‘ala Muhammad”. Kata-kata ini sudah sering saya dengar saat masih tinggal desa. Warga melulu menjadikan Nabi sebagai contoh teladan yang tetap menghunjam di hati. Bila mereka berkumpul, biasa melantunkan kata-kata thayyibah, seperti dzikir bersama, juga disudahi dengan sholawat pada Rasulullah Saw. Sudah menjadi tradisi, bila orang pada membubarkan diri dari majelis, maka pemimpin majelis menyerukan dengan lantang kalimat “Allahumma sholli ‘ala Muhammad”, dan disambut dengan deru suara“Allahumma shalli ‘alaih”. Tidak hanya ketika berkumpul di majelis dzikir, saat warga gotong royong merenovasi rumah, menanam atau memanen hasil tanam di sawah, dan bahkan ketika mau berpisah di jalan, orang sering mengkhiri dengan sholawat pada kanjeng Nabi. Sungguh ‘virus’ cinta Rasul benar-benar menular ke hati orang-orang di desa. Cinta Rasul menebar dari majelis dakwah, di trotoar, di sawah, dan bahkan di pasar. Betapa indahnya hidup ini, ketika setiap hari diperdengarkan salam cinta pada Rasulullah Saw.

Semasih saya berada di desa, terasa tidak ada yang istimewa dari kebiasaan mengakhiri pertemuan dengan jingle ‘allahumma sholli ‘ala muhammad’, saat saya sudah di kota, jarang kudapatkan teriakan indah sholawat itu. Ketika sudah lama tidak bertemu dengan orang-orang desa, terasa ada sesuatu makna yang hilang. Demikian juga yang dialami saya, ketika suasana sholawat ala orang desa tidak lagi didengar, saya jadi tertarik untuk mencari rahasia terdalam dari gema sholawat itu. Ketika saya mendengarkan vibrasi sholawat, seolah ada suasana tenang hadir ke dalam hati, betapa sholawat bagaikan suntikan yang mengalirkan kedamaian ke sumsum ruhani. Sama halnya, ketika kita mengingat Allah sepenuh hati, maka relung-relung jiwa seperti mendapatkan air surgawi yang hangat nan sejuk. Mengapa? Karena Allah adalah mata air kebaikan, dari mana seluruh kebaikan itu muncul. Allah mewujudkan seluruh kosmos ini dengan sentuhan kasih sayang dan sejuta kebaikan. Ketika kita menyebut-Nya, maka tentu sifat-sifat kebaikan itu pun berpendar dalam hati kita seperti cahaya. Bayangkan, kalau kita mengucapkan citra kebaikan, maka angin kesegaran dan hawa sejuk seperti menyelusup ke dalam hati kita. Rasulullah Saw adalah pribadi yang berakhlak dengan akhlak Allah. Beliau telah diutus menjadi wakil Allah dimuka bumi, dan setiap yang mewakili tentu sesifat akhlaknya dengan yang diwakili. Akhlak baik yang melekat pada Allah menjelma dalam kepribadian Rasulullah Saw.

Rasulullah memiliki merk pribadi elok, seluruh sifat baik bertumpu pada pribadi yang menyejarah ini. Beliau menjelmakan citra ilahiyah secara sempurna. Ya, itulah alasannya, mengapa ketika mengingat beliau seperti ditetesi embun pagi yang menyusupkan rasa dingin yang sejuk. Ketika Anda mendengarkan atau mengingat sosok yang pernah berbuat baik berbalutkan karakter elok menawan hati, maka hati Anda akan bergetar dan terasa ada keindahan menyeka batin Anda. Mengapa? Sifat-sifat kebaikan itu akan menyuburkan suasana kedamaian dalam hati, orang yang telah mendapatkan label baik akan meluberkan kedamaian dan keindahan ke dalam hati setiap orang. Rata-rata orang terpesona dengan karakter baik yang melekat pada seseorang. Orang menjadi terkenal di hati kita, karena kejernihan karakternya yang membuat diri kagum.

Pribadi terdekat yang bisa diangkat sebagai contoh adalah guru saya sendiri. Saya amat mencintai guru spiritual yang turut mendidik saya menuju tangga pengalaman spiritual. Saya menemukan sifat sederhana, supel, ilmiah, menebar spirit cinta pada Allah, Rasul, dan kehidupan, dan hatinya dipenuhi kelapangan untuk berbagi dengan fakir miskin. Kumpulan sifat itu membikin diri tertawan. Manakala mengingat beliau, hati saya langsung tertuju pada sifat-sifat kemuliaan yang melekat padanya. Beliaulah guru yang menuntun saya dengan keteladanan yang menjernihkan pikiran, hati, dan jiwa secara holistik. Ustadz Dhiyauddin Qushwandhi telah membawa saya ke jalan spiritual setapak demi setapak dengan spirit keteladanan yang tak pernah pudar. Bagi saya, pribadi ini layaknya berlian yang belum ditemukan banyak orang. Andaikan orang yang menemukan, maka kebaikan dan kemuliaan yang melekat pada dirinya akan menularkan perubahan yang efektif . Tetapi perlu diingat, rasa kagum, kasih, cinta, kemudian berbuahkan kedamaian dan kesejahteraan batin amat bersifat personal. Cinta membuahkan kedamaian, bukan cinta yang harus dipublikasikan kemana-mana, apalagi cinta itu dipasarkan ke banyak orang. Cinta itu amatlah intim. Saking intimnya spirit cinta itu sehingga tidak bisa diraba oleh orang lain.

Jika saya amat terkesima dengan guru spiritual yang sabar menuntun saya menuju puncak spiritual, betapa kita tidak kagum dan menaruh cinta yang amat mendalam pada mahaguru yang telah menggelar cahaya keindahan di dunia dengan karunia Islam. Dialah Rasulullah Saw, pribadi yang begitu sabar menuntun umatnya dalam cahaya Iman, Islam, dan Ihsan yang dipaket dalam aqidah, syariat, dan akhlak dan turut mengangkat kemuliaan umat manusia diatas segalanya, bahkan mengangkat umat Islam sebagai manusia paling unggul (human excellant) daripada umat yang lain. Cinta sebagai pengejawantahan rasa syukur, rasa syukur pada Rasulullah, cahaya yang diturunkan oleh Allah Swt untuk menunjuki jalan kebenaran melalui kompas al-Qur’an dan peta as-Sunnah.

Rasulullah Saw adalah cahaya yang menjadi embrio pengejawantahan jagat semesta. Andaikan beliau tidak diciptakan, dalam bentuk cahaya muhammadiyah, maka balantara kehidupan ini tidak akan dirasakan kita. Kalau kita kini sedang berada dalam lorong gelap yang penuh pekat, maka sudah saatnya kita memanggil-manggil kembali pusat cahaya dunia, Rasulullah Saw. Dengan mengingat dan memanggil beliau melalui daya spiritual yang kukuh, maka cahaya akan menyala di lorong kehidupan kita. Masuknya secercah cahaya pertanda menyusupnya sifat-sifat kebaikan ke dalam hati kita. Andaikan kita melulu mengingat dan memanggil Nabi ke dalam hati ini, maka perlahan-lahan mahadaya spiritual beliau akan memenuhi hati kita. Mendekati dan memungut cahaya berlian dari tangan beliau yang selalu terbuka perlu dijalankan dengan memanggil beliau dengan spirit cinta. Tanpa cinta tak bersyarat, maka mahadaya Nabi tidak akan pernah meresap ke dalam hati kita. Ketika kita mendekati Nabi dengan sebingkah cinta, maka beliau akan mendekati kita dengan 10 bingkah cinta. Andaikan, kita bisa membebaskan cinta kita pada beliau melampaui seluruh jagat semesta ini, sungguh cinta Rasulullah tidak akan pernah terhitung, dan karunia nur muhammaddiyah pun akan meresap dalam kesadaran kita secara utuh.

Sirnakan kegelapan dengan memanggil master dari cahaya kehidupan, Rasulullah Saw. Sadari bahwa kita hanyalah kegelapan, tanpa rahmat Allah dengan menurunkan energi cahaya yang abadi, maka kita akan terus berada dalam kegelapan. Tanda kegelapan kita, adalah tidak adanya setitik kesadaran tentang kehidupan. Hidup sejati bagi kita bukan hidup jasmani, tetapi kehidupan ruhani yang berjalan di tengah-tengah cahaya dengan kesadaran yang melulu terjaga. Tanpa cahaya tidak ada kehidupan, hanya karena ada cahaya kehidupan ini bisa dirasakan dengan seluruh keanggunan dan keelokan yang melekat. Sementara titik pusat cahaya itu adalah beliau Saw, berarti tanpa kehadiran beliau, maka jagat dunia dengan segala kemegahannya ini tidak akan terlahir. Andaikan Anda menonton bioskop, Anda bisa melihat benda-benda indah, wanita cantik, artis tampan dan macho, mobil gress, dan beragam pernak-pernik lain yang membuat hati anda terkagum-kagum bukan karena mata Anda yang bisa melihat itu. Tetapi karena adanya cahaya yang menunjuki segenap sosok itu. Andaikan tak ada cahaya, mata pun tidak bisa menangkap pernak-pernik yang mengagumkan itu. Banyak orang terpesona dengan materi-materi itu, sehingga melupakan cahaya yang mengantarkan adanya materi yang mengagumkan tersebut. Sayang, di akhir zaman Rasulullah Saw hanya ditempatkan sebagai pribadi yang mengantarkan ajaran-ajaran Islam, bukan cahaya itu sendiri. Tak ayal, banyak orang belajar tentang ajaran Islam, tetapi kinerja islami tidak lekat dalam kepribadiannya. Mengapa? Karena orang hanya mengingat ajarannya saja, tetapi tidak memasukkan kecintaan pada Rasulullah Saw sebagai jalan indah untuk memetik kehidupan penuh cahaya.

Dendangkan terus-menerus kidung-kidung cinta rasul di masjid, langgar, rumah, bahkan di tempat kerja, sehingga kerinduan pada Rasulullah Saw benar-benar terpantik. Saat kerinduan pada beliau memuncak, maka ketenteraman dan ketenangan hidup akan menjelma dalam kehidupan kita.

Khalili Anwar, Penutur dari jalan cahaya

Rabu, 04 Maret 2009

IZINKAN AKU MEMUJIMU




Lawlaaka lawlaaka ma kholaqtu aflaaka, “Kalau tidak karenamu (Muhammad), Aku tidak menciptakan alam dunia ini.” Demikian saya temukan hadis Qudsi ini di sampul belakang kitab Risalatul Mu’awanah, karya Syaikh Abdullah bin ‘Alawi bin Muhammad al-Haddad R.hum. Nabi Muhammad SAW adalah tujuan dari penciptaan semesta. Kita bisa mereguk kenikmatan dunia ini, karena adanya Rasulullah SAW. Harusnya kita memuji sang junjungan tersebut di hadapan Allah SWT, betapa beliau SAW hadir ke dunia dengan membawa rahmat ke seluruh lekuk alam semesta. Rasulullah SAW sebagai kenikmatan yang menyusup ke seluruh pori-pori kehidupan ini.

Mengapa Rasulullah disebut sebagai rahmat bagi seluruh alam? “Dan tiadalah Kami mengutus kamu (Muhammad), melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam. [QS. Al-Anbiya: 107]” Karena Rasulullah SAW, selain menerangi kegelapan jahiliah, dan lewat beliau pula alam ini diciptakan oleh Allah. Kalau boleh dikatakan, melalui rahim Nabi SAW alam ini dilahirkan. Memang Allah menghadirkan Nabi sebagai rahmat bagi seluruh alam. Kalau kita menganggap seluruh kenikmatan yang kita peroleh begitu penting, harusnya kita menganggap Rasulullah SAW sebagai kenikmatan di atas kenikmatan justru menjadi super penting. Karena lewat Rasulullah SAW kita bisa mencerap berpundi-pundi kenikmatan di alam ini. Kalau Rasulullah sendiri sebagai kenikmatan, apakah kita menjadi bakhil untuk mengungkapkan syukur pada Rasulullah SAW sebagai tanda bersyukur pada Allah SWT. Siapa yang meninggalkan memuji Rasulullah SAW, sama halnya dia tidak pandai bersyukur pada Allah SWT. Mengapa demikian? Rasulullah bersabda, “Siapa yang tidak bersyukur pada manusia, berarti tidak bersyukur pada Allah, siapa yang tidak bersyukur pada yang sedikit, niscaya dia tidak bersyukur pada yang banyak”

Nabi Muhammad memang pantas dipuji. Teliti saja makna dibalik gelar “ahmad, muhammad, dan mahmud” pujian, yang memuji, dan terpuji menyatu pada Nabi Muhammad SAw. Allah telah menganugerahi nama Muhammad pada Rasulullah SAW, itu penanda bahwa Rasulullah makhluk yang terpuji. Dan sungguh kalau dalam hati Anda ada kejujuran, niscaya Anda bakal terus mengalunkan pujian pada Rasulullah SAW. Allah saja begitu serius memuji Nabi Muhammad SAW, “Dan sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung” [QS. Al-Qalam: 4]. Kalau Allah saja memuji Rasulullah SAW, apalagi kita sebagai umat Nabi Muhammad, harusnya lebih gembira dalam memuji beliau SAW. Walau demikian, pujian kita pada Rasulullah Saw tidak bakal bisa melampaui pujian Allah pada beliau Saw. Karena itu, teruslah puji Rasulullah, dan Anda pun mendapatkan pancaran cahaya dari Rasulullah SAW. Ketika orang telah begitu fokus memuji Rasulullah SAW, maka dia bakal selalu terserap dalam oase kebahagiaan dalam kerinduan bersama Rasulullah SAW.

Rasulullah adalah sosok paripurna yang telah menyatu dengan pujian. Dan andaikan ada orang mencela beliau Saw, niscaya tidak bakal mengurangi kedudukan beliau di hadapan Allah yang amat terpuji. Pun demikian, ketika Anda memuji Rasulullah SAW tidak bakal menambah kedudukan Rasulullah SAW, bahkan hanya orang yang telah berselawat dan memuji Rasulullah Saw dengan penuh kerinduan yang insya Allah bakal memeroleh pantulan kebahagiaan. Ketika kita mempersembahkan satu shalawat pada Nabi Saw, maka kita mendapatkan pahala 10 shalawat dari Allah SWT. Rasulullah Saw bersabda,” Barangsiapa yang bershalawat padaku satu shalawat, maka Allah menganugerahi shalawat padanya 10 shalawat dan menghapus baginya sepuluh kesalahan.” (Kitab Tanbihul Ghafilin, Bab keutamaan shalawat pada Nabi Saw).

Kalau demikian amatlah dianjurkan memuji Rasulullah Saw terus-menerus, hingga Allah pun bahagia dengan pujian tersebut. Ingatlah saudaraku, tidak ada dibalik pujian kecuali syukur. Tidak ada syukur kecuali karena merasa adanya kenikmatan. Dan tak ada kenikmatan yang lebih besar ketimbang Rasulullah SAW. Ketika kita bisa menempati rumah baru, kita mengadakan syukuran sebagai wujud kebahagiaan kita, dengan mengundang tetangga kanan kiri. Kalau diberi anugerah pasangan, kita sontak mengucapkan syukur. Jika petani bisa panen raya, dia bersyukur penuh kegirangan. Andaikan hanya dengan rona kehidupan duniawi itu saja kita harus bersyukur apalagi soal ruhani, apakah kita tidak mau bersyukur? Rasulullah SAW adalah washilah sampainya sinaran hidayah ke dalam dada kita. Dan iman adalah kenikmatan yang amat agung daripada yang lainnya. Bahkan tanpa iman seluruh kenikmatan ini menjadi hambar. Andaikan iman itu kenikmatan dan perlu disyukuri, maka sosok yang telah menjadi jalan sampainya hidayah iman pada kita juga menjadi kenikmatan yang perlu disyukuri. Lebih dari itu, Rasulullah SAW tidak sebatas mengantarkan risalah pada kita, tetapi Rasulullah SAW pula yang bakal membimbing kita untuk merasakan kedekatan dengan Allah SWT.

Begitu besarnya jasa baginda Rasulullah SAW pada kita, maka seluruh pujian dan shalawat yang kita haturkan tidak cukup untuk membalas jasa baiknya. Kita saja tidak bisa membalas jasa ibu kandung yang telah memelihara kita sejak janin hingga dewasa apalagi membalas jasa Rasulullah SAW yang begitu besar. Ibu hanya mewarisi perihal jasmani, sementara Rasulullah SAW telah mewarisi pundit-pundi ruhani ke dalam hati kita. Ibu mengantarkan kita ke dunia yang fana ini, sementara Rasulullah Saw mengajak kita untuk kembali pada Allah SWT, tujuan dari segala tujuan yang dicari semua makhluk. Sebagai tanda syukur kita pada Rasulullah Saw, maka berusahalah untuk memuji Rasulullah Saw terus-menerus, hingga hati kita terus membuncah dengan kerinduan agung yang tak terperikan pada Rasullah SAW. Kita rindu pada Rasulullah SAW, dan puncak kerinduan itu akan terasa hingga kita sampai pada realisasi sabda Rasulullah SAW, “al-maru ma’a man ahabbahu” “Orang bersama dengan orang yang dicintai.” Ana Uhibbuka Ya Rasulallah, Ana A’syiqu ya Rasuul.


Khalili Anwar, penutur dari jalan cahaya

Selasa, 03 Maret 2009

DENGKI Vs SEDAKAH

Setiap hari manusia mendambakan hidup bahagia, tetapi kebahagiaan sendiri kadang tidak benar-benar didambakan. Hanya sebatas keinginan, tidak nampak usaha untuk meraih kebahagiaan itu. Bahkan kadang yang terlihat, manusia kerap melakukan tindakan yang berlawanan dengan kebahagiaan itu sendiri. Tak ayal ketika dampak perbuatan diterima, terlontar kata-kata penyesalan, dongkol, dan bahkan marah-marah. Kalau diketahui setiap suasana hati amat berkait kelindan dengan perbuatan manusia sendiri. Suasana hati yang baik sebagai pantulan dari perbuatan baik, penderitaan sebagai pantulan dari perbuatan buruk. Ketika orang hendak mencabut akar penderitaan dalam hati, tentu dia akan berusaha mencari dan mencabut akar penyakit yang membuat diri selalu berada dalam atmosfir hati penuh derita, berikut memasokkan program yang membikin hati merekah seperti bunga yang menampilkan keindahan dan kebahagiaan.

Penyakit yang acapkali tertular dalam hati adalah penyakit dengki. Mengapa dengki membuat manusia menderita? Karena kedengkian sendiri akan memupus spirit kebajikan yang ada di dalam hati. Anda pernah menjumpai sabda Rasulullah: “sesungguhnya dengki akan menghapus kebaikan, seperti api yang memakan kayu bakar,” . Betapa menderitanya ketika akumulusi kebaikan yang menghiasi hati digerus oleh virus kedengkian. Saya pernah menghimpun artikel tulisan saya, setiap pagi dan malam hari saya menulis beragam artikel itu dengan menggunakan komputer. Saya mengerahkan hampir sekian waktu untuk mencurahkan gagasan segar yang melesak dari pikiran saya. Saya menganggap ide ini memiliki makna untuk pengembangan wawasan dan pengetahuan saya ke depan. Suatu saat saya mengunjungi sebuah warnet untuk mensurfing sekian artikel, demi mengayakan wawasan. Seusai dari warnet, saya menancapkan flashdisk ke komputer saya. Awal-awalnya, mengetik masih terasa enjoy, dan saya bisa memasukkan data-data untuk suplemen pikiran saya. Kemudian komputer itu pun di shut-down. Hanya berapa menit saja saya hidupkan lagi, ternyata sudah hang, ringkas kata, seluruh data yang ada di hardisk itu hilang percuma, tak bisa diselamatkan. Akhirnya saya harus hati-hati memasukkan flashdisk ke komputer saya, bahkan saya mencari sebuah anti-virus yang amat canggih demi bisa mengarantina bahkan mematikan virus itu.

Mungkinkah itu sebuah pelajaran yang bisa dipetik dari kedengkian. Ketika virus dengki menerobos ke dalam hati, maka seluruh kebaikan yang telah diprogram di dalam hati akan lenyap. Jadi sia-sia semuanya. Kedengkian rentan menyerang siapa saja, tidak hanya orang yang bodoh soal agama, bahkan seorang kyai pun bisa dijangkiti virus kedengkian ini. Bisa jadi ustadz dengki pada ustadz lainnya yang memiliki jamaah yang lebih banyak, politisi dengki pada sesama politisi yang memiliki popularitas lebih unggul, tukang jual bakso dengki pada tukang jual bakso yang lainnya karena lebih laris, dan rentan sama tetangga timbul kedengkian, karena tetangganya memiliki rumah megah, mobil mewah, sementara dirinya sendiri masih bermukim di rumah kontrakan, mobil apalagi. Hampir dipastikan orang yang dengki karena memiliki kesamaan dari berbagai sisi, hanya saja keberuntungan yang berbeda.

Sungguh aneh, ketika dua anak muda kampung sama-sama berangkat ke kota untuk berjuang merubah standard hidupnya. Yang satu berusaha keras untuk memantapkan pekerjaan dengan menjual susu di pinggir trotoar, sehabis subuh hingga jam 7 pagi dengan semangat tinggi dia menjajakan susunya, dan keuntungan yang diperoleh bisa dibilang amat banyak setiap hari. Pendek cerita dia bisa membeli mobil dari profesi menjual STMJ. Yang lainnya memilih bekerja di pabrik, dan mengikuti ritme orang pabrikan yang bekerja dari pagi hingga sore. Melalui pekerjaannya yang keras pula, dia hanya bisa memenuhi kehidupan sehari-hari, lumayan bisa kredit motor. Hanya saja hidupnya masih pas-pasan. Mungkinkah yang punya motor itu timbul rasa dengki pada yang punya mobil? Andaikan dia dengki karena berasal dari kampung yang sama dan beroleh keberuntungan yang berbeda, tentu yang dengki tidak akan pernah bisa menjadi lebih maju dari sebelumnya. Karena energinya terkuras untuk memikirkan yang jualan susu setiap hari, dan jarang berpikir bagaimana bisa merubah sisi kehidupannya. Bisa jadi semakin hari karyawan pabrik itu semakin kurus kering, bahkan tidak enak makan karena selalu memikirkan si tukang jual susu. Tidak hanya dagingnya yang berkurang karena semakin kurus, tetapi juga amal kebaikannya akan berkurang karena pikiran hanya dipergunakan untuk mengempesi amal kebaikan orang lain. Padahal dengan dengki itu tidak bisa merubah apapun pada orang lain. Andaikan dia ridha dengan nasib yang menghiasi temannya tentu kelapangan dada pun akan memenuhi hatinya. Bagaimana ciri khas orang ridha, dan apa kekuatan yang bakal diperoleh dengan bersikap ridha?

Ridha tercermin dari sedakah. Hanya orang ridha yang akan bersedakah. Kalau dengki menghapus kebaikan, kalau sedakah malah akan menghapus seluruh keburukan. Anda mungkin pernah menjumpai sabda Rasulullah Saw. “Sedakah akan memadamkan keburukan sebagaimana air yang memadamkan api.” Ada juga sabda Rasulullah SAW, “Sedakah bisa menolak balak.” Betapa dahsyatnya kekuatan sedakah, bahwa sedakah bisa menghilangkan seluruh keburukan yang menyesaki dada, berikut beragam bentuk penderitaan yang mengitarinya. Bayangkan, ketika kita memberikan sesuatu pada sesama, air kebahagiaan seperti mengucuri hati kita, pembuluh kebahagiaan pun mengembang. Sedakah tidak sebatas mencabut penderitaan bergantikan kebahagiaan, bahkan akan menambah kebahagiaan yang semakin melimpah. Betapa banyak orang memperoleh keberuntungan melalui sedakah. Alkisah, ada dua orang yang tukang jual kacang ijo. Satunya terlihat laris, banyak orang yang mengerubutinya. Dan satunya sepi pembeli, walaupun ada juga yang laku. Yang jualannya sepi itu, ketika masih banyak sisa kacang ijonya, dia malah memilih bersikap proaktif dengan mensedakahkan pada orang-orang yang berada di sekelilingnya, tukang becak, juga pada pedagang kaki lima yang lain. Sungguh tidak seberapa lama, penjualannya pun meningkat. Itulah jawaban Allah bagi orang yang memilih bersedakah ketimbang dengki. Semoga kita menjadi orang yang bergairah untuk bersedakah, sembari belajar mengikis setiap penyakit dengki yang bisa jadi akan berkunjung setiap saat.

Khalili Anwar, penutur dari jalan cahaya

Senin, 02 Maret 2009

EDISI TERBARU, EDISI TERBAIK

Setiap hari kita memasuki dunia baru. Hanya saja kita memasukinya dengan cara berpikir dan konsep hidup lama (the old paradigm). Katanya sih konsisten. Atas nama konsisten pada pola berpikir lama itulah membuat kita terpental jauh dari kondisi yang tengah kita hadapi saat ini. Ketika kita tidak terbersit sedikit pun untuk bisa mengasah potensi, melincahkan bakat, dan meneguhkan tindakan, maka kita tidak bakal mengalami perubahan dalam hidup ini. Hidup melulu berada di dataran stagnan. Harusnya kita menemukan hal baru setiap saat yang menambah kualitas keimanan dan tindakan kita.. Rasulullah saja selalu berdoa “Tuhan, tambahkan padaku ilmu.”

Rasulullah tidak pernah berhenti untuk memperbaiki diri, dan menghadirkan dirinya yang terbaru. Terbaru berarti yang makin sempurna. Dan andaikan terbitnya matahari hingga terbenamnya tidak menambah pengetahuan dan wawasan baru bagi kita, maka sungguh di hari itu tidak bertambah keberkahan dalam hidup kita. Berarti tanda hidup kita berkah, ketika kita mendapatkan added value (nilai tambah) dari lintasan hari yang kita lewati. Bahkan Rasulullah SAW selalu berdoa, “Ya Allah, anugerahilah pada saya cahaya, cahaya bagi penglihatan saya, cahaya bagi pendengaran saya, cahaya bagi daging saya, cahaya bagi darah saya, dan cahaya bagi hati saya.” Rasulullah SAW, insan paripurna yang telah mencapai stasiun terdekat dengan Allah selalu memohon cahaya, apalagi kita yang setiap hari hanya terliput oleh dosa dan kesalahan. Apakah kita merasa mendapatkan cahaya? Apakah kita gengsi untuk memohon cahaya pada Allah? apakah kita merasa berliput dengan cahaya? Bagaimana hidup kita dikatakan bercahaya, kalau setiap hari kita hanya bergumul dengan hal-hal yang membuat diri makin jauh dari Allah. Harusnya kita lebih gigih untuk meneladani doa Rasulullah SAW, agar memeroleh cahayaNya. Rasulullah SAW yang telah dijadikan medan bermukimnya cahaya saja, yaitu nur muhammaddiyah, masih terus memohon cahaya, apalagi kita yang setiap hari selalu ‘keseleo’ dalam bertindak. Rasulullah SAW sosok paripurna tanpa dosa selalu menengadahkan tangannya untuk menjaring cahaya, apalagi kita yang setiap hari makin dekat dengan perbuatan dosa.

Setiap saat kita harus terus berusaha memperbaiki diri, mencerlangkan cahaya batin yang tertutupi oleh gumpalan dosa yang melekat di hati kita. Kita berusaha setiap saat untuk melakukan hal-hal terbaik yang menambah ketenangan bagi hati, hingga setiap apa yang kita lakukan bakal membawa efek positif dalam hidup kita. Bagaimana agar kita terdesain sebagai edisi yang terbaru? Kita bakal mendapatkan diri edisi terbaru yang terbaik, manakala kita selalu sibuk untuk memperbaiki diri setiap saat; meneliti kembali soal tutur kata yang terucap, apakah ada kata yang membuat orang lain tersinggung, sakit hati, atau hanya berupa perkataan sia-sia adanya, kata-kata yang tak membekaskan efek positif pada orang lain. Andaikan kata-kata kita belum berpengaruh dan menggugah, berarti kata-kata kita belum bercahaya. Andaikan penglihatan kita belum bisa mencerap hikmah dibalik apa yang ditatap, berarti mata kita masih jauh dari cahaya. Andaikan pendengaran kita masih kerap mendengarkan ucapan yang sia-sia, atau lebih sering menangkap hal negatif ketimbang yang positif, berarti pendengaran kita belum bercahaya. Kalau seluruh elemen kita belum bercahaya, mengapa kita tidak pernah serius untuk membenahi diri? Mengapa kita tidak bersungguh-sungguh membersihkan cermin hati kita agar benar-benar bercahaya. Padahal jika hati bercahaya, maka anggota tubuh yang lain insya Allah akan memperoleh pancaran cahayanya. Manakala pemimpin baik, insya Allah tentara pun akan baik. Karena sesungguhnya tentara akan bergerak sesuai dengan komando dari pemimpin.

Pun ketika hati telah bercahaya, insya Allah semua anggota tubuh kita bercahaya. Bercahayanya hati terpancar dari pikiran yang bercahaya, perkataan yang bercahaya, tindakan yang bercahaya, dan pendengaran yang bercahaya, dan tak ada sesuatu yang sia-sia dari apa yang datang darinya. Ketika seluruh elemen telah mendapatkan cahaya, dan apalagi telah berhasil merengkuh cahaya tertinggi, tidak memerlukan kata-kata untuk menggugah dan mencerahkan orang lain, diamnya saja bakal menularkan cahaya ‘kesadaran’ bagi yang menatapnya. Bagaimana tatapan seorang guru yang sejuk dan belas kasih bisa merubah seorang penjahat kelas berat? Sesungguhnya sang guru sudah tak berbicara dengan kata-kata, hanya lewat tatapan mata yang berasal dari hati yang bercahaya telah menembus kesadaran si penjahat, hingga si penjahat itu merasa tergedor hatinya, dan bersimpuh dalam tobatnya di hadapan si guru.

Agar kita mendapatkan diri kita edisi terbaru, maka berusahalah setiap hari untuk mengoreksi dan mengevaluasi diri kita secara sungguh-sungguh. Perhatikan kesalahan kita sendiri lebih keras ketimbang memperhatikan kesalahan orang lain. Karena setiap saat diri kita pasti menemukan sisi kelemahan yang melekat di diri kita, hingga kita bisa mengurangi atau menghapus secara total kekeliruan tersebut. Ketika kita telah bisa memperhatikan kesalahan kita, tindakan berikutnya kita harus berusaha untuk mengakui secara jujur atas kesalahan tersebut. Tak ada gunanya orang mengetahui akan titik hitam yang berada pada dirinya, tetapi ia tidak mengakui. Mengakui tanda adanya kejujuran, dan hanya kejujuran yang bakal melenyapkan kegelapan di hati kita. Setelah mengakui, maka kita bakal bertindak untuk membersihkan, sembari menyesali segenap kesalahan yang dilakukan. Saat penyesalan itu benar-benar membuncah dari hati kita, maka teruslah kita menemukan hal-hal baru yang membuat diri kita makin baik di hadapan Allah SWT. Perasaan Anda makin hari makin tenang, bahagia, dan terasa makin dekat pada Allah SWT. Ketika orang selalu merasa bersama dan disertai Allah SWT, maka dia tidak pernah merasakan keraguan sedikit pun, hingga dia terus berada dalam kebahagiaan yang tak terbatas. Dan dalam kebahagiaan itu, kita bisa terus berkontribusi yang terbaik, dan menghadirkan diri kita yang terbaru. Pemikiran terbaru. Akhlak yang lebih bagus. Kata-kata lebih berbobot. Perbuatan lebih bermakna. Makin kita merasakan kedekatan dengan Allah, insya Allah kebaikan pun makin dekat di hati kita, terpancar pula ke seluruh elemen tubuh kita. Insya Allah.

Khalili Anwar, penutur dari jalan cahaya