Sabtu, 30 Mei 2009

MELUMAT DIRI YANG KASAR




“Ah…! mengapa begitu sulit melumat diri sendiri,” teriak batinku. Anda tahu sendiri setiap kata seolah memberi penerangan, namun mungkinkah ada lampu yang terang dalam hati? Kemunafikan kerap merongrong perasaan ini hingga sulit meraih kebeningan dalam setiap kata. Banyak kata belum menjelma sebagai perbuatan yang hakiki. Tak bisa dibayangkan, kalau diri saya seperti orang mengayak pasir, yang halus keluar, tetapi kerikil yang kasar masih melekat. Betapa sering terungkap kata-kata suci, sarat kearifan, meski sesungguhnya hati masih jauh dari kesucian dan kearifan itu. Mungkinkah ini yang dimaksud punguk merindukan rembulan? Masih sering menuding orang dengan segenap kesalahan, sehingga lalai akan kekeliruan yang lengket pada diri sendiri. Kerap kali berpikir perkara besar, namun lalai dengan urusan-urusan kecil. 

Tak kebayang, saat publik tengah terpesona oleh perbincangan tentang Pilpres, saya juga terbawa-bawa untuk mengulas, menganalisa, dan memberikan penilaian tentang tokoh, tak kalah dengan pengamat politik yang beken di negeri ini. Bedanya, kalau pernyataan politisi dituliskan dan disiarkan media massa secara luas, sementara kata-kata saya hanya didengarkan diri sendiri. Bagaimana orang lain mau mendengarkan, kalau yang dikatakan membuat orang bingung dan gamang. Alih-alih mendapatkan pencerahan politik, hanya sebatas menyisakan kemarahan yang menggumpal menjadi kesusahan. 

Di tengah sibuknya politisi meraih kekuasaan, saya kadang terlena menonton perang wacana yang dihelat mereka. Makin terlena, otak ini dipenuhi beragam informasi yang membuat diri makin jauh dari ketenangan, berikut saya dinyatakan positif “political addictive”. Seolah kalau tak membumbui perbincangan dengan politik, pikiran ini jadi gatal, dan terus didorong-didorong berbicara politik. Kadang menyalahkan langkah politik partai ini, capres ini, dan kadang ikut-ikut meneliti jejak rekam para capres-cawapres, tak kalah dengan KPK. Saat mendengar berita, calon pemimpin itu kaya raya, bahkan ada satu sosok yang punya kekayaan trilliunan, hatiku bergidik. Seperti apa uang 1 trilliunan? Bolehkah saya memegangnya sebentaaar saja? “Kok jadi hubbud dunya gini ya?”

Kalau elit berpikir kekuasaan. Tetapi sahabat saya berpikir memenuhi hidupnya yang masih kempang-kempis. Lumayan, ia masih baru membangun rumah tangganya. Memang, ia cepat-cepat menikah, untuk mengurangi kemaksiatan. Dia sempat meminta pertimbangan saya sebelum menikah, kendati saya sendiri belum menikah. Setelah mengetahui akar permasalahannya, saya memintanya menikah. Ya, sahabat saya ini, bukan karyawan, hanya seorang pemelihara burung. Ia tidak bisa menaksir pendapatan yang diperoleh dari memelihara burung tersebut setiap bulannya. Meski demikian, dia memeroleh pendapatan lain dari antar jemput anak SD. Cukuplah bertahan hidup bersama istrinya.

Suatu ketika, sahabat saya itu, sakit paru-paru. Memang, karena sudah bertahun-tahun berbatuk, dan batuk yang sekarang mengeluarkan darah mengental. Saat periksa di RS Dr Soetomo, dia mencari-cari pelayanan umum, yang kiranya memberikan pelayanan gratis. Eh, ternyata dia harus dirawat di kamar spesialis paru-paru. Namun, sebelum dirawat dia harus menandatangani perjanjian yang telah disediakan dokter. Melihat ada uang yang harus dibayarkan dalam perawatan tersebut, ia pun mengurungkan niat untuk diperiksa secara intensif. Kata dokter, “kamu harus dirawat inap, kalau tidak penyakitmu akan semakin parah,” “Biarlah dokter saya rawat di rumah saja, ketimbang harus mengeluarkan uang yang begitu banyak.” Ujar temanku dengan polos. “Mas, harus tetap dirawat disini, karena menurut UU Kesehatan, rumah sakit tidak boleh menolak pasien lantaran masalah uang, “tukas dokter lagi. “Enggak apa-apa pak, saya mau dirawat di rumah saja,” seloroh temanku.

Bercermin pada temanku yang amat sederhana ini, saya terpaku memikirkan diriku sendiri yang masih bisa terbang bebas, belum berkeluarga, sehat wal’afiat, dan masih bisa mempertahankan hidup di Surabaya dengan karunia Allah yang begitu melimpah. Ya, mungkin secara lahiriah saya amat beruntung, namun secara batiniah, temanku mungkin lebih beruntung, karena dia telah menjalani rentetan kehidupannya dengan semangat sabar yang tak memudar. Dia mampu bersabar dengan segenap latihan-latihan yang menghantam, gurat-gurat kedewasaan mulai terpancar dari wajahnya yang terlihat polos dan penuh kejujuran. 

Dia tetap bersabar dengan musibah yang datang. Namun, saya masih harus berguru padanya guna melatih kesabaran. Temanku adalah guruku yang telah mengajari tentang arti kesabaran. Sabar tidak benderang dalam kata, tetapi menjadi cahaya dalam sikap keseharian. Memang, sabar tak cukup hanya dilontarkan oleh tebaran kata, namun harus menjadi bagian dari sikap hidup sehari-hari. Dan dengan kekuatan sabar itulah, saya meyakini bisa “melumat diri yang kasar.” Manakala saya sudah berhasil melumat dan menggusur yang kasar, maka kehalusan budi bakal menghias hidup ini. Insya Allah. 

Khalili Anwar, Penutur dari Jalan Cahaya

Kamis, 28 Mei 2009

MARI MENONTON DIRI SENDIRI



Demikian beragam tontonan menguras perhatian kita selama ini. Betapa banyak diantara kita terbius oleh tontonan televisi, aneka pernak-pernik, kemilau duniawi yang serbaneka, pertunjukan para pemimpin yang tengah bertarung merebut kursi panas, dan seterusnya. Makin banyaknya tontonan yang tergelar sarat sensasi di hadapan kita, kadang membuat kita lupa menonton diri sendiri. Inilah saatnya kita menonton diri sendiri, memosisikan diri sebagai obyek yang ditonton. Bagaimana cara menonton? 

Menonton membutuhkan mata dan cahaya. Tanpa mata dan cahaya kita tak bisa menonton. Meski cahaya benderang menyinari kehidupan kita, namun tanpa didukung mata, niscaya obyek yang ditonton tak bisa dilihat. Sebaliknya, andai mata sehat, namun tak ada cahaya yang membersit, kita pun tak bisa menonton. Karena itu, ketika hendak menonton perlu memadukan kekuatan mata dan cahaya. 

Mata perlambang dari mata hati (akal). Saat Anda hendak menonton diri sendiri, hidupkan mata hati sehingga bisa melihat secara gamblang film kehidupan Anda sendiri. Cahaya simbol dari cahaya Ilahi. Cahaya Ilahi berupa petunjuk Allah SWT. Bersandarlah sepenuhnya pada kebaikan Allah, semoga cahaya Ilahi itu membersit dalam hati kita. Andai cahaya Ilahi juga belum menghinggapi diri kita, berusahalah berdampingan dengan sosok mulia yang telah tersaluri cahaya Ilahi. Rasulullah bersabda, “Orang beriman adalah cermin bagi orang yang beriman.” 

Cermin tempat kita berkaca tentang diri secara sederhana. Cermin akan memantulkan sosok kita yang sejati. Lewat cermin pula kita bisa mengukur, menimbang, dan menilai diri kita secara jernih. Sosok yang jernih dan terliput kebaikan patut dijadikan cermin, karena darinya terpancar magnet kebaikan yang berdaya pesona.

Sebelum menonton diri sendiri, kita perlu menghidupkan mata hati dengan cara menggerus biji egoisme yang masih bersarang dalam kesadaran kita. Karena egoisme sering menghalangi mata hati untuk melihat diri secara gamblang. Buatlah kita berjarak dengan diri sendiri, kita menonton diri seperti menonton orang lain. Tataplah lekat-lekat diri kita dengan mata hati, maka kita akan mengetahui secara jernih, siapa diri kita yang sebenarnya. Boleh kita memutar kembali film masa lalu yang pernah ditapaki. Dari rentetan film itu, kita bakal memahami secara dekat karakter dan kebiasaan hidup kita. Setelah itu kita memeroleh pemahaman “siapa diri kita”. 

Ketika kita terbiasa menonton diri dengan cara membuat jarak terhadap diri sendiri, maka kita tak akan terlalu terikat oleh keadaan yang datang silih berganti, entah musibah atau nikmat. Seperti kita menonton televisi, ada saja lintasan kesedihan dan kebahagiaan mewarnai penggalan demi penggalan adegan tersebut. Ketika kita menonton diri sendiri secara utuh, akan ditemukan keindahan-keindahan yang tak terlukiskan kata-kata. Juga dengan menonton diri sendiri, kita bakal menemukan kenyataan menakjubkan yang tak bisa dikadar dengan akal yang berlimit. Kebiasaan kita menonton diri sendiri juga akan memandu kita untuk menggerus jalan setapak sempit “berupa keakuan” bergantikan jalan raya ditandai oleh terbangunnya jiwa universal, cinta universal. Dan hidup Anda tergabung dengan jiwa kemanusiaan, bahkan jiwa semesta. 

Khalili Anwar, Penutur dari Jalan Cahaya

YANG TERJADI ADALAH YANG TERBAIK



Adalah kebaikan telah melekat pada segala sesuatu. Hanya orang yang tak bisa menelisiki kebaikan yang tak berhasil merasakan kebaikan dalam segala sesuatu. Mengapa setiap yang terjadi dipandang yang terbaik? Mesti diantara kita ada yang hendak protes, jika setiap kejadian dipandang suatu yang terbaik. Lantaran hidup terus didera kesulitan dan ditempa cobaan, menggerakkannya membuat kesimpulan, hidup tak terliputi kebaikan. Bagi seorang anak, yang dibangunkan sang ibu saat subuh tiba sembari diajak ke masjid untuk shalat berjamaah, maka akan muncul dua sikap. Jika tidur dianggap yang terbaik, niscaya si anak menilai perlakuan sang ibu – membangunkan dari tidur pulasnya – tidak baik. Sebaliknya, jika si anak menganggap perlakuan ibu untuk melatih kedisiplinan beribadah, maka itulah yang terbaik. Dan kalau disorot dari kacamata yang bening, motivasi sejati si ibu adalah untuk meneguhkan kedisiplinan si anak dalam beribadah. 

Kebaikan Allah itu melampaui kebaikan seorang Ibu. Setiap perbuatan Allah bagi makhlukNya telah diramu dengan spirit kebaikan. Hanya bagi orang tidak menyadari rahasia kebaikan Allah, tergerak untuk protes atau berlaku jengkel dengan apa yang terjadi. Mengapa perasaan jengkel, marah, dan kesal kerap menyelubungi hati dalam bentuk respons negatif terhadap kejadian? Karena mereka menilai kebaikan dari lensa pikirannya yang terbatas. Karena itu, perlu kiranya kita bercermin pada firman Allah, “… Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah Mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.” (QS. Al-Baqarah [2]: 216).

Bagi orang yang belum dewasa secara spiritual, cenderung berlaku resisten atau menolak atas peristiwa atau kejadian pahit yang menimpa dirinya. Namun, bagi yang dewasa selalu menggemakan spirit “alhamdulillah” di setiap kesempatan, lantaran mereka telah melihat kebaikan di langit-langit kehidupan ini. Mereka berhasil meliput secara utuh bangunan kehidupan ini. Ya, ketika kita melihat hidup secara parsial, bisa jadi banyak nuansa yang memancing kejengkelan, namun ketika melihat secara utuh, maka yang tersisa hanya kesan keindahan yang tak pernah pudar. 

Andaikan desain makro kehidupan itu kebaikan, mengapa banyak orang tidak bisa mencerap kebaikan dalam bentuk kebahagiaan? Yang membuat orang tidak mendapati kebahagiaan, lantaran lemahnya keyakinan yang berujung pada rapuhnya semangat berserah diri. Pribadi yang berserah diri telah memahatkan keyakinan dalam hatinya, Allah memiliki sifat Qudrah (Maha berkuasa), Iradah (Maha Berkehendak), Ilmu (Maha Tahu), dan Hayah (Maha Hidup). Lewat sifat Allah yang agung itulah peristiwa demi peristiwa dan kejadian demi kejadian menyeruak ke permukaan. Berarti, setiap peristiwa dan kejadian telah diramu dengan sifat-sifat Allah Yang Agung itu. Setiap peristiwa mencerminkan kuasa Allah, kuasa Allah mengikuti kehendak Allah, kehendak Allah mengikuti ilmu Allah. IlmuNya yang tak terbatas dan Maha Luas memantapkan keyakinan di hati, seluruh peristiwa dan kejadian telah ditata dengan ilmuNya. Manusia tak bisa menjangkau ilmuNya yang demikian luas. Lebih dari itu, setiap lekuk kehidupan terliput rahmat Allah yang demikian luas tak terbatas. “…Allah berfirman ‘Siksa-Ku akan Kutimpakan kepada siapa yang Aku kehendaki dan rahmat-Ku meliputi segala sesuatu…” (QS. Al-A’raf [7]: 165).

Berpijak pada ayat diatas, pantaslah bagi kita memilih sikap berserah diri selaku refleksi keyakinan utuh atas kebaikan Allah, sembari menyadari segala sesuatu telah diliputi rahmat Allah. Pun terpahat dalam kesadaran sejati, tak ada yang salah dalam takdir. 

Kala kita menyadari bahwa yang terjadi itulah yang terbaik, niscaya kita bakal berhasil menikmati kehidupan dari waktu ke waktu, dari detik ke detik, dan dari momen ke momen yang terus berjalan. Tak pernah tersandera masa lalu, lantaran cuma masuk dalam figura kenangan semata, dan tak tertarik dengan masa depan, karena masa depan hanya dalam mimpi. Dan hari ini sebagai kenyataan pasti yang harus dihadapi dan dinikmati dengan mental syukur. 

Sungguh, andai kebaikan disandarkan pada keinginan manusia, niscaya kehidupan ini akan karut-marut, sembrawut, dan terus mengalami benturan satu sama lain. Mengapa? Lantaran setiap orang memiliki keinginan masing-masing. Bayangkan, tukang jas hujan menginginkan hari-hari tetap dalam keadaan hujan agar produknya laku keras, namun tukang jual es menginginkan setiap hari terik matahari yang membuat manusia haus, sehingga esnya terjual. Ketika desain kehidupan disandarkan pada keinginan manusia, niscaya kehidupan menjadi sembrawut karena setiap otak punya keinginan sendiri-sendiri. 

Sungguh amat bijaksana, jika kebaikan bertumpu pada kehendak universal, yakni kehendak Allah SWT yang Maha Mengetahui rahasia kehidupan. Andaikan di depan kita telah dihidangkan menu makanan, kita tinggal melahap menu tersebut dengan jiwa syukur. Orang yang memiliki keinginan tak bisa hidup hari ini. Meski dia telah memeroleh apa yang diinginkan, niscaya akan tumbuh keinginan berikutnya. Betapa tersiksanya orang yang terpenjara oleh keinginannya. Jika ada orang yang hidup di istana bertatahkan emas, namun masih diberondong keinginan, maka kebahagiaan tidak memeluk dirinya. Dan ada gelandangan hidup di jalanan, namun ia tak terjebak dengan aneka keinginan. Bahkan, ia memilih untuk terus mengikuti arus takdir tanpa resisten sedikit pun. Dengan sikap tersebut, insya Allah kebahagiaan merambat ke dalam jiwanya. 

Pun kebahagiaan sulit mengembang di rongga hati lantaran selalu fokus dengan tujuan. Andaikan Anda pergi ke Jakarta dengan menaiki kereta api, tapi di pikiran Anda hanya terfokus pada Jakarta, didera rasa penuh terburu-buru agar segera sampai ke tujuan, niscaya Anda tidak bisa menikmati dan menghayati perjalanan menuju Jakarta. Sungguh, amat disayangkan perjalanan yang harusnya menghadirkan kenikmatan telah terbajak keinginan yang belum tentu terjadi. Selayaknya Anda bisa menikmati perjalanan itu dengan melihat petak-petak sawah yang dihiasi tanaman hijau, memandangi deretan pohon bergelantungan buah yang berdiri kokoh di pinggir jalan, atau bisa memandangi petani yang tengah bermesraan dengan pertaniannya. Sungguh, andaikan Anda berusaha menghayati dan meresapi setiap lekuk perjalanan itu, niscaya kenikmatan akan terasa menerangi kesadaran Anda. 

Patutlah kiranya kita tidak terlalu berlebihan memikirkan tujuan. Dikarenakan orang yang cenderung fokus memikirkan tujuan, akan terbajak dalam dunia ilusi. Dunia yang tidak membuatnya bisa hidup saat ini. Pikiran hanya tertuju pada impian, bayangan, dan ilusi masa depan yang belum tentu ditemui. Lantaran itu, mereka tidak pernah peduli dengan hari ini, apalagi menikmati. Meski pun hari ini menyodorkan emas, maka terasa sebagai tembaga. Meski disuguhkan makanan yang lezat, baginya terasa basi dan tak menggairahkan. Seberapapun uang berada di kantong, tanpa dijiwai dengan kekinian, niscaya kebahagiaan tak akan juga berkunjung. 

Demikianlah, ciri orang yang selalu terkurung dalam ilusi yang semu. Ilusi akan terus menyergap manusia dalam penderitaan dan kekecewaan, tak ayal wajahnya jauh dari kesumbringahan, keningnya pun terkesan selalu mengerut, sikapnya seolah selalu ditindih ketegangan demi ketegangan. Kalau demikian, darimana dia bisa merengkuh ketenangan atau kebahagiaan? Andaikan dia mengerti, ternyata kebahagiaan tak berada saat orang memikirkan yang akan datang. Kebahagiaan memantul kala manusia merenungi dan mensyukuri keadaan hari ini. Kebahagiaan akan mekar setara dengan semangat syukur yang mengembang atas keadaannya saat ini. Dalam syukur terbungkus kebahagiaan.

Pun agar kita bisa menghayati dan menikmati hari ini, perlu kiranya dibenamkan dalam hati kita masing-masing untuk berserah diri pada Allah. Karena bercokolnya panglima pikiran dalam hidup kita, sikap berserah diri kadang sulit dijalani. Kendati demikian, kita terus berlatih berserah diri dengan melepaskan jerat pikiran yang cenderung memilah dan memilih sehingga mau menerima kenyataan yang hadir dengan lapang. Tidak timbul sedikit pun sikap resisten atas kenyataan yang berkunjung. Andai kita telah luruh di hadapan Allah dengan hidup tanpa resistensi sedikit pun, terkristalisasi semangat berserah diri, walhasil insya Allah kebahagiaan akan tercurah dalam hati kita. 

Begitu bermakna dan pentingnya berserah diri, patut kiranya kita memungkasi tulisan ini dengan sepenggal kata hikmah penuh daya, “Ketika kita berserah diri dan menerima bahwa yang terjadi itulah yang terbaik, maka setiap saat akan menjadi saat yang penuh kebahagiaan.” Wallahu A’lam bis Showaab.

KH. Dr. M. Dhiyauddin Qushwandhi
Pentranskripsi: Khalili Anwar 

Selasa, 26 Mei 2009

DESAH NAFAS KEBAHAGIAAN



Bahagia tak bisa dilukiskan oleh tebaran kata-kata. Bahkan semakin dilukiskan, kebahagiaan itu tak berasa. Kebahagiaan melekat dalam kesenyapan dan diam. Saya merasakan bahagia kala berada antara tarikan dan hembusan nafas. Ketika saya menikmati dan menghayati hirupan dan hembusan nafas dengan detail dipandu kelembutan rasa, di ujungnya membersit kebahagiaan. Akan tetapi, bila saya tak meresapi dengan serius, setiap hirupan dan hembusan nafas, niscaya hidup yang kujalani seolah tak menyajikan makna bahagia. Bahkan cenderung menyodok di dataran kehampaan. Kunci memantik kebahagiaan adalah merasakan dan menghayati kekinian yang terus berjalan. Kebahagiaan berada antara lintasan awal dan akhir, bermukim di saat ini yang abadi. Kala kita bisa menikmati momen keabadian ini, kebahagiaan itu akan meluber dalam hati kita. 

Memaknai desah nafas berguna untuk memahami arti hidup. Andai hidup tidak menempel pada diri kita, mungkinkah kita bakal merasakan keindahan dari setiap lintasan kejadian yang telah kita tapaki. Modal dasar bernama hidup telah mengantarkan anugerah lainnya, dan berujung pada kebahagiaan. Berarti, lantaran adanya hidup, kebahagiaan bersemai dalam diri kita. Hidup disini tidak hanya hidup jasmani, namun hidup yang mendasari hidup jasmani, yakni hidup ruhani. Andai ruhani kita hidup, insya Allah kebahagiaan akan mengalir ke muara hati kita. 

Apa tanda dan bagaimana menghidupkan ruhani? Ruhani hidup ditandai dengan rasa, ya merasa ketenangan dan kebahagiaan yang hakiki. Bagaimana kala kita disalak kedukaan dan kesedihan? Kedukaan menyangkut hal duniawi menandakan matinya ruhani. Namun kedukaan lantaran merasa jauh dari Allah, adalah tanda hidupnya ruhani. Saya pernah bertutur pada teman saya, “Saat Anda merasa mengalami kematian ruhani, itu pertanda hidupnya ruhani.” Serupa dengan datangnya penyesalan pertanda terbitnya fajar kebahagiaan. Saat hati begitu lama terkurung dalam kegelapan, dan cahaya kebenaran menerobos bilik-bilik hati kita, maka kebahagiaan itu akan meresap di hati. 

Sudahkah kita merasakan kebahagiaan? Andai kebahagiana masih belum dirasakan, sepatutnya kita memeriksa diri sendiri, mungkin bertumpuknya dosa dan kesalahan telah menghalangi kita mencapai kebahagiaan itu. Atau mungkin keringnya rasa syukur di hati kita atas anugerah Allah yang amat berlimpah. Bukankah syukur sebagai resepsionis hadirnya kebahagiaan? Daya tarik berkunjungnya kebahagiaan ke dalam hati kita, lantaran hati kita selalu menyuguhkan rasa syukur yang tak pernah jeda. Kapan harus bersyukur? Syukur tak hanya digunakan saat menggapai kenikmatan, pun saat kejadian pahit menabrak, kita harus rela menyuguhkan syukur. Karena rumus yang hakiki, bukan kebahagiaan yang mengantarkan syukur, namun syukurlah yang mengantarkan kebahagiaan. Kalau kita hendak menyematkan kebahagiaan di hati, perlu kiranya kita membahanakan nyanyian syukur setiap saat, mengikuti tarikan dan hembusan nafas. 

Ketika tarikan dan hembusan nafas dialiri spirit syukur, insya Allah setiap tarikan dan hembusan nafas terasa ringan. Memang, dengan bermodalkan bahagia yang direnda dari syukur, insya Allah hidup bakal menjadi lebih ringan. Setidaknya mata tidak melotot, kening tidak mengerut, dan tangan tak mengepal. Yang terpampang penampilan diri berhiaskan senyum yang terus mengembang, wajah melulu menebarkan pancaran optimisme, dan tangan selalu berposisi terbuka. 

Mungkin saatnya saya menghayati kebahagiaan, bukan memikirkan kebahagiaan. Semoga Allah SWT mencurahkan hidayahNya pada kita semua agar terus bisa merasakan dan menghayati kebahagiaan lewat tarikan dan hembusan nafas. Wallahu A’lam Bisshowaab. 

Khalili Anwar, Penutur dari Jalan Cahaya 

Jumat, 22 Mei 2009

SAATNYA NU INTROSPEKSI


 

Kekalahan partai berbasiskan NU mengilhami para ulama 
mengintrospeksi diri secara kolosal. Introspeksi kolosal ini, selain 
diserukan pada kalangan ulama, juga seluruh warga NU. Pertemuan 
Langitan, Tuban, yang dihadiri 500 ulama se-Jawa Timur yang terdiri 
dari PBNU, pimpinan pondok pesantren, dan PWNU beberapa pekan yang 
lalu menghasilkan kesimpulan yang intinya menyerukan agar seluruh 
warga NU menyelamatkan organisasi Islam terbesar di Indonesia itu 
dari paham ekstrem kanan atau kiri. 

Sebagai pilar besar kekuatan Islam di Indonesia, NU tengah 
menelan kenyataan pahit dengan semakin cairnya suara NU. Di berbagai 
daerah banyak pentolan NU yang memasuki gelanggang politik praktis, 
tetapi tidak memberikan hasil yang mengembirakan NU. Kita bisa 
merunut sejarah, Pilpres 2004 Kiai Hasyim Muzadi digandeng Megawati 
Soekarnoputri. Secara rasionalitas politik kombinasi antara 
nasionalis dan religius ampuh untuk menyedot massa pemilih, tetapi 
realitas politik lebih berpihak pada Yudhoyono-Kalla yang berangkat 
dari kalangan nasionalis bahkan ada yang menyebutnya neo-liberalis. 

Sekali lagi debut pemilihan cagub-cawagub di Jawa Timur tahun 
2008, ketua PWNU saat itu, Ali Machsan Moesa seperti gadis cantik 
yang diperebutkan beberapa cagub, akhirnya berhasil dipinang 
Soenarjo. Akan tetapi, apa boleh dikata, ternyata pamor ketua PWNU 
tak bisa mengungkit suara dari grassroot NU. Kekalahan NU makin 
sempurna ketika memasuki gelanggang Pileg 2009. Betapa banyak suara 
warga NU berimigrasi pada partai yang berbasiskan non-NU. Sungguh, 
konstelasi demokrasi yang menjadi media menjajaki kekuatan dan 
soliditas warga NU itu perlu menjadi bahan renungan bagi kalangan NU 
sendiri, terutama kiai sebagai inspirator juga penggerak warga NU. 

  Warga NU masih tetap memosisikan kiai sebagai model yang patron. 
Apa pun yang dilakukan mereka banyak terinspirasi oleh perilaku dan 
model hidup yang ditampilkan kiai. Jadi, andaikan ada perilaku 
politik yang keliru, semisal ada warga NU yang terjebak dalam politik 
uang, kiai yang harusnya mengoreksi terdahulu sebagai pemandu 
warganya. Apalagi politik uang tidak hanya menghiasi partai-partai 
berbasis nasionalis, bahkan partai berbasiskan NU juga terjebak dan 
terseret dalam kultur politik yang tak beradab itu.

Kaum elite NU juga perlu menyadari bahwa apa pun yang dilakukan 
warga NU sebagai cermin dari elite NU yang kurang memerhatikan 
penguatan ruh Islami dalam berbagai ragam kehidupan, tak terkecuali 
berkaitan dengan politik praktis. Kita tidak menemukan brand yang 
membedakan gaya politik NU dan politik partai yang berbasiskan 
nasionalis. 

Ketika NU terjebak dalam jerat kekuasaan dan meninggalkan warisan 
visi besar dari para pendirinya, suatu saat NU hanya menjadi karangka 
tanpa ruh. Besar, namun tidak memiliki karisma dan magnet yang kuat 
dalam menggalang perubahan bagi bangsa ini. Faktanya, karena NU tidak 
bisa menunjukkan hujah yang kuat dan model yang sempurna di mata kaum 
muda NU, banyak kalangan muda yang jenuh ritual dan seremonial yang 
digalakkan NU. Sebagai pelampiasan dari kejenuhan itu, anak muda 
berijtihad untuk mencetuskan reformasi pemikiran di kalangan NU, 
dalam bentuk Islam liberal. 

  Kita tidak boleh menyalahkan anak muda yang haus ilmu dan melulu 
berhasrat menemukan gagasan keagamaan yang menarik, kendati ujungnya 
persinggungan dengan semangat dan ideologi yang mendasari NU. 
Merebaknya kelompok kiri Islam atau Islam liberal yang dibidani anak 
muda NU perlu menjadi bahan koreksi bagi tokoh NU sendiri agar fokus 
membumikan kembali ideologi dan pemahaman NU secara komprehensif 
sembari diperkuat dengan model yang elegan. Kita tidak membutuhkan 
kata-kata untuk menarik gerbong perubahan NU menuju yang sejati, 
tetapi mengharapkan model sejati yang bisa menginspirasi warga NU 
agar bisa bertindak ikhlas. 

Komplikasi yang membelit NU bisa diurai lewat kesadaran kiai NU 
soal perannya yang membutuhkan kerja keras untuk terus mengusung visi 
dan nilai NU secara istiqamah. Tanpa kerja keras dari kiai NU, 
kebesaran NU kelak hanya menjadi onggokan sejarah. 

Kompas, Jumat 15 Mei 2009
Khalili Anwar
Penulis Muda, Tinggal di Surabaya

NEGERI KITA: THE SMILING COUNTRY



Semula kita mendengar, Jakarta, sebagai ikon Indonesia mendapati julukan dari TIME sebagai kota terbaik guna melatih kesabaran. Baru-baru ini, saya mengunduh berita, Indonesia masuk tataran negara paling murah senyum dengan merebut sekor 98%. Untuk (pengucapan) salam, Indonesia menempati skor 98%, disejajarkan dengan Hongkong. (Detik,17/5). 

Di tengah kemelut, bangsa ini belum kehilangan senyum untuk disebarkan pada dunia. Jiwa agama seperti yang diajarkan Rasulullah SAW, “senyum adalah sedakah” telah terbetot dalam kesadaran bangsa ini. Indonesia dikenal sebagai negara yang mengutamakan perasaan, sehingga setiap aktivitas selalu dicandra dari kacamata perasaan. Perasa selalu meraba perasaan orang lain, agar setiap apa yang dikemukakan dan dilakukan menghadirkan kehangatan bagi sesama. Tak ingin setiap celetukan mengundang kemarahan dan kejengkelan orang lain, malahan bagaimana setiap kata dan perbuatan menebarkan oasis yang menyejukkan dan menghangatkan hati. 

Semoga riset tentang peringkat seyum Negeri Indonesia dari AB Better Bussiness yang berbasis di Swedia itu benar-benar menyentuh ke seluruh sisi kehidupan bangsa ini secara nyata dan menyeluruh. Bukankah senyum jendela kebahagiaan. Dengan senyum seolah kebahagiaan akan mekar dari dalam hati ini. Persisnya, senyum adalah pembuka kebahagiaan yang terkatup dalam hati. 

Senyum yang tulus menjadi pengungkit kreativitas pada diri manusia, karena senyum menjadi energi positif yang meresap pada tubuh, seraput pun otak ikut terbuka untuk menumbuhkan ide-ide kreatif. Berarti senyum harusnya membikin diri produktif, ketika senyum ini terpantik untuk hal-hal positif. Namun ketika senyum hanya diarahkan pada hal yang negatif, justru senyum hanya membuat diri berada dalam kehampaan. Alangkah baiknya, jika senyum menjadi pembangkit kesadaran untuk memaknai kehidupan yang penuh ajaib ini. Senyum menghadirkan makna luar biasa ketika dialiri dengan energi ketakjuban atas anugerah Allah yang begitu berlimpah. 

Senyum pertanda kebahagiaan yang bersemai dalam hati. Meski demikian, Islam tidak sebatas mengajarkan senyum, juga dianjurkan kita terampil menebarkan salam. Rasulullah Saw bersabda: “Wahai manusia sebarkan salam dan berilah makanan pada orang yang membutuhkan, jalinlah silaturrahim, dan shalatlah di malam hari kala kebanyakan manusia tidur niscaya engkau akan masuk surga dengan selamat.” (HR. Tirmidzi).

Adalah salam memberikan energi positif untuk menularkan surga pada setiap orang, pun mempesona hati kita dengan cahaya surgawi. Janganlah pelit mengucapkan salam. Salam adalah pokok kehidupan. Andaikan kita mengucapkan salam, berarti kita telah memberikan suatu yang amat penting yang mendasari kehidupan. Betapa indahnya kala setiap lekuk kehidupan ini dihiasi perasaan salam (salam feel). Kita tidak menaruh curiga pada orang lain, dan orang lain tidak terpancing untuk mencurigai kita. Tak ada kedengkian yang meletup dari hati kita, pun orang lain merasakan ketenteraman bersama kita. 

Membudayakan senyum dan salam bukan suatu yang mudah. Hanya orang yang dipenuhi energi cinta yang senantiasa menularkan senyum dan menebar salam. Andaikan saya, engkau (terpadu dalam kita) belum pernah membiasakan dan membudayakan senyum, berarti hati ini masih kering dari energi cinta. 

Khalili Anwar, Penutur dari Jalan Cahaya

Jumat, 15 Mei 2009

ALLAH MENGHENDAKI KEBAHAGIAAN




Kebahagiaan menjadi harapan utama setiap insan, bahkan seluruh makhluk yang bermukim di jagat semesta ini tak luput dari kehendak menggapai kebahagiaan. Cacing yang hidup tanpa mata, tanpa telinga menyusur tanah sebagai makanannya, dengannya ia mempertahankan hidupnya. Efeknya, tanah pertanian menjadi gempur, dan petani bisa bercocok tanam di lahan yang subur. Dari tanah yang subur insya Allah akan menghasilkan panen yang makmur. Tikus, ketika dikejar kucing, niscaya akan lari pontang-panting ke sarang pengaman demi mengelak bahaya yang mengancam. Ia lakukan karena menghendaki kebahagiaan. Pohon, kendati tidak ditanam dan disiram manusia, akan tetap tumbuh hingga berbuah. Seluruh fenomena perilaku makhluk yang tersaji di depan kita menandakan bahwa seluruh kehidupan ini menghendaki kebahagiaan. Siapakah yang telah menyusupkan kehendak bahagia itu? Siapakah yang betul-betul mengerti dan memahami cara untuk memeroleh kebahagiaan? Perlulah kiranya kita renungkan. 

Sebagai pertanda Allah menghendaki makhlukNya bahagia, Dia telah menetapkan berbagai peraturan yang perlu dijalani manusia guna menempuh kebahagiaan. Kita menyadari kebahagiaan bukan suatu yang instant, seketika diperoleh. Sebagai sebuah kehendak, maka kebahagiaan menjadi cita-cita. Setiap cita-cita harus diperjuangkan, membutuhkan effort atau usaha yang keras. Demi menggapai cita-cita berupa bahagia, kita perlu menempuh pelbagai langkah yang telah ditentukan Allah SWT. 

Allah adalah sentrum kebahagiaan. Tak ada yang dilakukan Allah kecuali demi kebahagiaan itu sendiri. Hanya saja, manusia sering berlaku inkonsisten antara kehendak bahagia yang hadir dari hati nurani dengan perilaku hidup yang ditampilkan. Katanya manusia ingin bahagia, tetapi kenapa perilaku hidupnya kerap kali kontras dengan kehendak agung tersebut? Dan mengapa pula, ada orang yag terus dibelit derita? Ya, manusia tersingkir dari lingkaran kebahagiaan lantaran melulu mengikuti kehendak hawa nafsu. Kalau kita renungkan, seluruh pergerakan hawa nafsu bukan untuk menumbuhkan kebahagiaan, hanya meneteskan secuil kesenangan yang akhirnya menurunkan kesedihan ke rongga batin. Kebahagiaan terikat pada kesungguhan manusia mengendalikan hawa nafsu, “Dan adapun orang yang takut pada kebesaran Tuhan-nya dan menahan diri dari keinginan hawa nafsunya, maka sesungguhnya surgalah tempat tinggal (nya).” (QS. An-Nazi’at [79]: 40-41).

Allah tidak pernah berbuat dzalim pada hambaNya kecuali hamba sendiri yang berlaku dzalim pada dirinya sendiri. Penderitaan menimpa kita lantaran perilaku dan sikap hidup kita sendiri. Adapun Allah hanya menghendaki kebahagiaan bagi kita. 

Karena Allah tidak menghendaki kecuali kebahagiaan, maka segala hal menempa dan menerpa kita hanya demi tercapainya kebahagiaan. Kita dianjurkan shalat guna bisa mencerap kebahagiaan dan merasakan kedekatan dengan Allah SWT. Allah menetapkan kehendak tasyrik, berupa perintah dan larangan, serta kehendak takwin, berupa qoda’ dan qadar, sesungguhnya menghendaki hidup kita berlimpah kebahagiaan. Pembatas-pembatas yang ditetapkan Allah tidak untuk menyandera kebahagiaan kita, bahkan bagaimana mempertahankan kebahagiaan yang bermukim dalam hati kita. Puasa sebagai perisai pencegah dari perbuatan tercela diharapkan bisa mengukuhkan kebahagiaan itu sendiri. Andai manusia tidak berpuasa, justru akan mudah terseret ke dalam perbuatan maksiat. Dari puasa diharapkan ada sistem kontrol yang handal, sehingga manusia tetap terarah menjalani kebaikan. Dari situ, bisa disimpulkan bahwa kehendak dibalik kehendak Allah adalah kebahagiaan. Target dari semua target adalah kebahagiaan. 

Allah Maha Mengetahui resep untuk meraih kebahagiaan, karena dariNya kebahagiaan itu dicurahkan. Ketika orang menyandarkan hidupnya pada Allah, niscaya kebahagiaan pun akan meliputinya. Namun, bila manusia telah berpaling dari Allah SWT, maka kebahagiaan tersingkir dari taman hatinya. Dari situ, kita bisa meneguhkan kesadaran akan kata-kata penuh daya, “Tuhanku, Engkaulah Tujuanku, RidhaMU yang aku cari.” Antara kebahagiaan sebagai tujuan dan Allah sebagai tujuan tidak bisa dipisahkan dan dibedakan. Allah menyatu dalam kebahagiaan, dan kebahagiaan menyatu padaNya. Tujuan yang integral. 

Karena Allah menghendaki kebahagiaan bagi jagat semesta, maka seluruh peraturan syariat yang ditetapkan bagi manusia tidak pernah lepas dari kehendak inti tersebut. Andai kita menyadari secara mendalam akan kehendak dibalik kehendak Allah, kita akan selalu meluapkan rasa syukur yang tak pernah jeda atas karunia Allah yang terus mengalir dalam hidup ini. 

Sekarang kita memahami, kehendak dibalik kehendak Allah adalah kebahagiaan, berarti kita bisa bahagia dalam setiap keadaan yang menghampiri kita. Karena itu, tidak ada kata yang patut kita serukan terus-menerus dalam setiap kesempatan, kecuali alhamdulillah, cermin spirit syukur yang tak pernah sirna dalam hati kita. Bagaimana cara kita memantik kebahagiaan? Ya, kebahagiaan terbungkus dalam syukur. Manakala kita meluncurkan semangat syukur setiap saat, maka kebahagiaan bakal menghias hidup kita.

Syukur salah satu jalan memeroleh kebahagiaan yang kekal dalam hati. Orang bersyukur karena dua faktor. Pertama, bersyukur karena nikmat yang diperoleh. Kedua, bersyukur karena mengingat yang menganugerahkan nikmat, yakni Allah SWT. Yang kedua ini, bersyukur dalam segala keadaan, karena terpaku pada pesona Allah SWT. Dia mengenal tentang sifat-sifat Allah yang full kebaikan. Tak heran, ia masih bersyukur bahagia dalam keadaan yang tercepit sekalipun lantaran merasa Allah masih mencurahkan kasih sayangNya. Andai kita menyadari secara menyeluruh bahwa penciptaan alam semesta didasari rasa kasih sayang Allah, niscaya kita akan menemukan syukur di segala keadaan. 

Karena terpesona pada kasih sayang Allah yang meliputi seluruh jagat ini, maka orang-orang arif selalu memiliki alasan untuk melulu bersyukur pada Allah SWT. Ada seorang arif bertutur, “kalau ayam “nyeker-nyeker” untuk memeroleh sebutir makanan, sementara orang arif “nyeker-nyeker” untuk memperoleh alhamdulillah.” Dan orang arif selalu meraup spirit alhamdulillah di setiap kesempatan. Karena itu, ia selalu berhasil menangkap keindahan di setiap keadaan. Mengapa orang arif selalu bersyukur di setiap keadaan? Karena mereka meyakini secara mendalam bahwa sifat Allah, Ar-Rahman dan Ar-Rahim, telah mendasari setiap peristiwa dan kejadian yang menyembul ke permukaan. Andaikan ada musibah, bukanlah serta merta mengundang kesedihan yang mencekam bagi dirinya, malahan dia terus mengingat Allah dibalik musibah itu, mengingatkan kebaikanNya yang tak pernah pudar. Makanya ia peroleh kebahagiaan. 

Agar kita selaras dengan kehendak dibalik kehendak Allah berupa kebahagiaan, maka kita diharapkan selalu membudayakan syukur di setiap kesempatan. 



KH. Dr. M. Dhiyauddin Qushwandhi
Pentranskripsi: Khalili Anwar


MENGUAK SPIRIT MUDA



Keberlanjutan kehidupan bangsa berada di genggaman anak muda. Andaikan anak muda penuh spirit dan terus bersinergi untuk melahirkan karya-karya genius dipadu dengan perilaku akhlak yang elegan, di hati terpancar harapan bangsa ini bakal mengalami kebangkitan. Pun tak bisa dipungkiri, kedigdayaan bangsa ditandai dari apresiasi yang dicurahkan para pemimpinnya pada kehidupan generasi muda. Sudahkah pemimpin kita menyokong gerakan anak muda yang hendak menelurkan karya? Kita bisa menilai sendiri. 

Di tengah arus kebudayaan berbasis teknologi yang menjalar begitu cepat dan pesat, anak muda punya lahan yang lapang untuk melejitkan karya-karya yang luar biasa. Bacaan yang melimpah, fasilitas teknologi yang tersedia luas, disokong SDA yang amat kaya diharapkan bisa mengilhami generasi muda menyuguhkan karya-karya terbaiknya, dan berhasil melenyapkan jiwa ketergantungan yang berlebihan pada asing. Yang membuat kita melulu bergantung lantaran pudarnya rasa percaya diri dari dalam hati kita. Perlu dipahami, generasi muda punya full potensi yang bisa disebarkan dan dimanfaatkan bagi bangsa ini, cuma karena tidak ada kepercayaan diri, kita mudah terhempas pengaruh dari luar. 

Generasi kita minus percaya diri. Tidak pernah PD dengan bahasa sendiri, minder adat sendiri, kurang sreg dengan produk dalam negeri. Padahal percaya diri seperti akar, andai akarnya keimanan kita rapuh, niscaya eksistensi kita pun bakal mudah tumbang dihempas badai yang datang secara tiba-tiba. Perkuatlah akar keimanan sehingga badai apapun yang menghempas tidak akan menggoyahkan pohon kehidupan kita. 

Sudah saatnya generasi muda muslim berpikir untuk menguatkan kembali akar keimanan yang sudah lama ditinggalkan, karena menimbang kekuatan yang datang dari luar. Manakala kita terlalu fokus dengan kekuatan eksternal, maka tidak bisa menyusupi kekuatan internal berupa keyakinan. Padahal keimanan berperan lebih besar ketimbang semuanya. Lewat keimanan semua kenyataan yang mewujud mewariskan inspirasi, menghadirkan hikmah, dan menyuguhkan pancaran kebahagiaan. 

Generasi muslim tidak lagi memiliki kesempatan memperlemah diri yang berujung rapuhnya keimanan. Sudah mulai menghargai waktu, sebagai waktu yang produktif. Selaras dengan umurnya yang muda yang demikian produktif, maka mereka mengganggap setiap waktu adalah waktu produktif. Perpaduan antar umur yang produktif dan waktu yang produktif, akan melahirkan karya-karya yang dahsyat. Sudah tidak masanya generasi muslim diperbudak televisi yang tak pernah berhenti memborbardir kita dengan ragam tontonan sampah. Sudah tidak saatnya generasi muda muslim dijajah beragam kegiatan tak bermanfaat. Sudah saatnya generasi muda bangkit dengan karya unggulan dihiasi akhlak Qur’ani.

Inilah momen kebangkitan generasi muslim, dengan terus memacu diri menjadi lebih produktif dan bisa berkontribusi lebih besar bagi bangsa ke depan. 

Khalili Anwar, Penutur dari Jalan Cahaya


Rabu, 13 Mei 2009

KOMBINASI PESELANCAR DAN PENYELAM



“Hidup di permukaan kehidupan seperti peselancar. Jalan peselancar tak pernah lurus lantaran dia harus berselancar diantara kepungan gelombang yang tak pernah tenang, ” tutur guru yang mulia dalam kesempatan pengajian al-Hikam. 

“Menyelamlah ke dasar lautan, niscaya Kamu akan menemukan kedamaian yang tak terbatas,” Dawuh guru yang mulia di kesempatan berbeda di hadapan kami murid-muridnya.
 

                                          ***

Bermodal dua nasihat tersebut, saya hendak menafsirkan atau mengulas tentang karakter peselancar dan penyelam. Mungkinkah kita bisa mengombinasikan dua sikap itu dalam hidup keseharian yang terus berubah secara tiba-tiba? Tiba-tiba menyeruak kejadian yang amat mengejutkan. Di luar dugaan. Dan setiap hari kita bagai dikepung informasi yang melompat dan terus berubah. Kita memang tengah memasuki episode supercepat, akselerasi, dan instant. Serba seketika. 

Kejutan-kejutan dimungkinkan muncul di luar dugaan logika. Kamarin dia menikmati kekayaan yang demikian melimpah, tiba-tiba dikepung hutang yang menggunung. Kamarin memeroleh sanjungan bak pahlawan, kini didamprat cacian dan makian. Dulu berada di kursi terhormat, sekarang berada di kursi pesakitan atau kamar prodeo. Dulu sepasang suami-istri terjalin begitu mesra dan romantis, sekarang saling mencecar dan menguak aibnya masing-masing. Kemungkinan sarat dualisme akan terjadi dan menghantui manusia zaman ini. 

Kondisi kehidupan yang didesain begitu cepat dan terus berubah secara dinamis telah memproduksi sikap stress pada beberapa kalangan, terutama di wilayah perkotaan. Jakarta sebagai pusat Indonesia, ditengarai kota yang dihuni banyak orang stress. Banyak orang terjerembab dalam stress, bisa jadi karena begitu padat dan mecetnya lalu lintas ibu kota yang tak bisa mengimbangi keinginan orang yang terburu-buru sampai ke tujuan. Makin kompleksnya permasalahan di kota, membuat jumlah orang stress membengkak. Majalah TIME pun menjuluki Jakarta sebagai kota terbaik untuk melatih kesabaran. 

Mengapa stress? Ketika orang terus berselancar di ombak perubahan yang menghantam silih berganti, dan seluruh perhatiannya fokus pada permukaan, niscaya perlahan-lahan akan terpental dalam kubangan stress. Bukan berarti kita tak boleh bertindak dan berselancar. Kita harus berselancar dengan cara fair agar kita bisa menggapai tujuan yang diharapkan. Kendati demikian, jiwa kita tidak hanya dipenuhi nafsu untuk berselancar yang cuma menghadapi ombak demi ombak. Bila perhatian kita terserap pada berselancar, niscaya kita tidak bakal menemukan ketenangan batin yang memicu diri semakin produktif. Padahal ketenangan sebagai upaya menyemaikan produktifitas kerja. Kita juga menyelam guna menemukan kemurnian yang berada di dalam lautan hati kita. Penyelam terus menukik di kedalaman guna menemukan zona yang tenang dan menghadirkan kedamaian. Saat berselancar kita juga harus menyelam. Menyelam disini berarti mengingat Allah setiap saat.

Kapan kita bisa memadukan dua karakter peselancar dan penyelam?

Demikian dinamisnya perubahan di zaman ini, kita tak boleh menghindar dari berselancar. Kita tetap berselancar dalam ombak perubahan yang sarat turbulensi. Berselancar terkait dengan pikiran dan fisik yang harus mencari cara bagaimana bisa berselancar dengan gagah menerobos ombak perubahan yang menghantam. Kadang kala kita harus mendobrak ombak perubahan, juga bisa memilih menghindarinya guna menggapai tujuan yang diharapkan. Disanalah seni hidup terasa.  

Pikiran dan fisik boleh terus mengikuti arus kehidupan permukaan, namun hati sebagai sentrum kesadaran suci harus terus menyelam ke kedalaman dengan menyatukan kesadaran pada Allah. Hati tak boleh tersandera dengan keadaan permukaan, bahkan hati perlu menularkan pengaruh positif ke permukaan, agar pikiran dan fisik tetap bisa mengarungi kepungan ombak kehidupan dengan tenang. Penyelam mendapatkan mutiara. Sementara peselancar hanya mendapatkan kepuasan dan gengsi.

Andai jiwa peselancar dan penyelam dipadukan, niscaya kita akan terus menapaki dan menggapai sukses yang sejati. Bagaimana? Jika mendapatkan kemenangan, mereka tidak bermegah-megah dan terlalu euforia, namun bisa menggali hikmah yang terbungkus dalam kemenangan. Pun ketika terdepak kekalahan tak membuatnya putus asa, bahkan mencari mutiara dibalik kekalahan tersebut. Dalam episode seperti ini, kadang kemenangan lahir merapuhkan batin lantaran kemenangan direspons dengan kesombongan. Kesombongan tak membawa ketenangan karena dibenci oleh Yang Maha Bahagia, Allah SWT. Dan kadang kekalahan lahir mengundang kekuatan dan kemenangan sejati, lantaran dari kekalahan bisa mendulang banyak hikmah yang turut meneguhkan jiwanya. Dalam artian, dari kekalahan ia bisa menyadari kehadiran Allah.  

Rising star, jika memeroleh kemenangan yang cemerlang, dan disikapi dengan rendah hati, tawadhu’, dan dia menggapai mutiara hikmah dibalik kemenangan tersebut. Dia selalu merasa bersama Allah dalam setiap keadaan. Ketika semua telah disandarkan pada Allah, niscaya hidup menjadi ringan.

Berselancarlah terus dengan raga dan pikiran Anda, dan menyelamlah ke kedalaman dengan kejernihan hati Anda dengan selalu menyadari Allahu... Allahu... Allahu. Allah masuk dalam kesadaran kalbu kita. Boleh banyak masalah menghantam Anda, tetapi hati tetang tenang. Ketika hati tenang, maka justru masalah menjadi begitu indah, seperti indahnya berselancar, dan masalah akan terurai dengan sendirinya. Insya Allah. 

Khalili Anwar, Penutur dari Jalan Cahaya


Minggu, 10 Mei 2009

MEMULUNG HIKMAH DIBALIK PENGGUSURAN JAGIR



Tepat hari Sabtu, 9 Mei 2009, Usai shalat Ashar, saya sengaja melewati jalan sepanjang Jagir Wonokromo yang dikena penggusuran. Warga korban penggusuran, ada yang masih tetap bertahan di tempat hunian mereka dengan beratapkan terpal. Menatap wajah mereka menghadirkan rasa kasih yang begitu mendalam di hati ini. Mereka seakan tak memiliki pilihan, kecuali tetap melanjutkan hidup di antara reruntuhan bekas rumah mereka. Pada mulanya, melihat kenyataan menyedihkan itu, terasa mengalir kegeraman pada Pemkot Surabaya yang sewenang-wenang menggusur rumah warga Jagir yang nantinya akan digantikan dengan hutan kota. “Masak kebutuhan primer warga digantikan dengan kebutuhan sekunder?” Mungkin kata-kata ini hanya ingin meluapkan perasaan yang membuai diantara rongga dada ini. 
 
Selintas saya melihat tulisan “Nasib Turuku di Jl. Aspal.” Sepenggal kata itu sederhana dan bisa jadi sebagian orang menganggapnya keisengan, namun itulah curahan dari kegetiran yang bergumul dalam hatinya. Mereka tak punya pilihan lain kecuali menerima apa adanya. Uang mengontrak rumah di Surabaya mana cukup, numpang di rumah relasi, mana ada relasi. Wah mereka juga gak kenal, apa kata relasi. Relasi mereka ya setidaknya sesama korban penggusuran. Sampah serapah hanya seperti nyanyian berlalu. Hujatan-hujatan yang mendesis malah menambah sakit hatinya. Sesuai tingkat pemahaman mereka, kemungkinan besar kata-kata sarat hujatan pada Pemkot memuntah dari lisan mereka. 

Meski demikian meratapi nasib dan tenggelam dalam kesedihan tidak mengundang hikmah yang mencahayai hati. Andaikan hidup terus ditanami kegeraman pada Pemkot yang terkesan sewenang-wenang, malah membuat diri tidak produktif guna melampaui masalah tersebut. Makin fokus pada kesalahan yang diperbuat Pemkot Surabaya, niscaya mereka semakin jauh dari hikmah yang mengilhaminya untuk menyikapi masalah dengan kualitas terbaik. 

Saya melihat mereka sibuk mengemasi perabotan rumah yang tersisa, ada juga yang mengumpulkan beberapa besi-besi bekas tiang bangunan, memilih kayu-kayu yang masih bisa dipergunakan. Terlihat juga beberapa orang memilih tetap berteduh di bawah tenda yang sebatas beratapkan terpal, sambil berdiskusi, menyeduh kopi masih hangat, sambil makan, akan tetapi mereka seperti tidak menikmati keadaan itu. 

Melihat kenyataan memilukan itu, saya yang bukan pejabat pemerintah, bukan pengusaha yang superkaya, juga bukan ahli ilmu yang bisa menebarkan pencerahan dan ketenangan bagi jiwa mereka, hanya bisa mengelus dada, berusaha menghubungkan batin ini dengan sumber perasaan yang mereka alami saat ini. Namun setibanya di kos-kosan, saya terus merenungi kejadian itu berikut efek yang ditimbulkan. 

Kalau mendasari pengamatan itu dengan kacamata logika argumentative, niscaya akan ada serentetan pemikiran yang membuat hati makin benci pada Pemkot. Tapi, andai disuluh dari sudut pandang hikmah, insya Allah saya bakal memeroleh aneka hikmah dari kejadian yang menghadirkan kegamangan di ratusan atau ribuan orang yang tergusur. Kalau saya mendasari pemahaman atas kejadian dari sudut pandang logika, niscaya hanya mewariskan rasa sakit hati dan terus menyalahkan keadaan, akan tetapi kalau saya mendasarinya dari sudut pandang hikmah, akan mengundang ketenangan bagi batin. Karena itu, saya memilih untuk bisa melihat dari sisi hikmah.

Merujuk pada paparan yang kerap dikemukakan oleh guru yang mulia, “HUJAN TURUN DIBALIK PETIR,” “DIBALIK KESULITAN ADA KEMUDAHAN’ “KEINGINAN BERSEMBUNYI DIBALIK SUATU YANG DIBENCI,” “TAK ADA PEMBONGKARAN KECUALI DISITU AKAN DIDIRIKAN BANGUNAN BARU” dan beberapa kata hikmah lain mengilhami saya untuk menjelajahi dan menunggu hikmah yang dihadirkan dari peristiwa tersebut. 

Kita mencari hikmah lantaran kita meyakini bahwa tidak ada suatu yang terjadi kecuali suatu yang dikehendaki Allah. Tak ada kehendak Allah kecuali kebaikan. Berarti apa yang terjadi, itulah yang terbaik. Sementara manusia hanyalah peraga untuk mewujudkan kehendak Allah yang sarat kebaikan itu. Bisa jadi buruk dalam sudut pandang manusia saat ini, namun Allah Maha Mengetahui rahasia diturunkannya setiap musibah. 

Mendengar Jagir, sebagian pikiran kita tertuju pada suatu yang meruntuhkan sisi moral. Diharapkan lewat musibah itu, kita akan mendapati warga makin relegius dan makin merasa butuh pada Allah, dan perlahan-lahan citra kemaksiatan yang lekat di Jagir tergusur. Itu hanyalah cara Allah untuk membuat kita semua semakin baik. 

Karena itu, alangkah indahnya bila setiap inci kehidupan kita melulu diliputi ingat pada Allah. Kejadian per kejadian menggerakkan diri berzikir pada Allah sebagai refleksi syukur yang tak pernah jeda, dan kita bisa menuai hikmah dibalik kejadian tersebut. Zikir terus menghiasi dan terbawa dalam hidup kita, bila kita punya pemahaman yang benar dan menyeluruh tentang setiap kejadian yang dibungkus sifat baik Allah SWT. Zikir mengundang kenikmatan di hati, ketika disertai pengenalan pada sifat-sifat Allah yang tak pernah mengecewakan, malahan selalu menurunkan kepuasan batin bagi setiap yang memahami sifatNya secara utuh. 

Mari kita menggali hikmah yang tersembunyi dibalik penggusuran tempat tinggal warga Jagir Wonokromo, tanpa disertai rasa prasangka buruk, baik pada Allah, pada warga Jagir, juga pada Pemkot Surabaya. Semoga Allah mewariskan hikmah di hati kita. 

Khalili Anwar, Penutur dari Jalan Cahaya

Jumat, 08 Mei 2009

MENCARI KETENANGAN LEWAT ZIKIR

Saya merasa masih amat belia dan bau kencur menguak tabir rahasia zikir. Selain pengetahuan agama yang minus, juga karena praktik mujahadah dan riyadlah yang masih lemah. Andaikan saya menuangkan secuil inspirasi saya tentang makna zikir, pasti itu bukan berangkat dari pengalaman ruhani, namun cuma sebatas penjajakan oleh tongkat bernama rasio atau logika. 
Meski demikian, saya harus menuangkan inspirasi mendesak soal zikir ini guna membabarkan sudut pandang saya tentang zikir merujuk pada beragam paparan yang pernah saya dengarkan. Jadi, andaikan saudara pembaca menangkap pelajaran dari artikel yang amat sederhana ini, semoga bisa menitipkan endapan positif di kalbu. Namun, jika ada kotoran yang menetes dari setiap tulisan ini, tolong direnungkan terlebih dahulu, di-delete, kemudian singkirkan dari ruang batin. 

Saya akan mengurai tentang zikir dan efek yang dihadirkan saat berzikir. Dan mengapa orang masih belum merasakan ketenangan di saat berzikir? Saya berusaha mengurai soal tersebut, semoga menghadirkan penyegaran ke dalam batin. 

Hidup tidak tenang karena tak dihiasi dzikir. Ada orang yang berzikir akan tetapi tidak bisa menyerap ketenangan batin. Lisan melantunkan zikir, ya mungkin hatinya belum berzikir. Jika hati belum menghayati zikir yang syahdu disertai pemahaman terhadap makna yang terkandung dalam zikir, ketenangan batin sulit berkunjung ke ruang batin ini. Zikir, selaras dengan maknanya, ingat. Ingat disini berarti sadar. Sadar inilah yang membuat kita bisa menikmati setiap momen kehidupan ini. Sadar berada di sentrum diri kita, yakni hati. Zikir hanya bisa mengundang ketenangan, bila telah dihayati dengan hati. Kita perlu menghayati proses zikir, tanpa memedulikan segala hal selain kalimat dan makna dari zikir tersebut. 

Jika kita bisa menghayati zikir dengan sungguh-sungguh, berkat pertolongan Allah, perlahan-lahan kita akan merasakan kehadiran Allah, dan melepaskan seluruh ikatan-ikatan duniawi yang membonsai pikiran kita. Di saat seluruh kesadaran duniawi telah berganti dengan kesadaran ilahi, niscaya air ketenangan akan mengalir ke dalam jiwa kita. Namun, jika ikatan duniawi masih menyatroni pikiran dan hati justru ketenangan tidak akan mengalir ke dalam hati ini. Lupakan seluruh masalah duniawi yang menggelisahkan hati, membuka pikiran negatif, atau hanya menurunkan kesedihan, dan alihkan perhatian kita hanya mengingat Allah SWT. Ingatan pada Allah semoga bisa menelan seluruh ingatan-ingatan yang semu yang hanya mengundang kegelisahan tersebut, tak pelak bibit ketenangan bersemi dan menyembul dari hati kita. 

Hati kita hanya memiliki satu wajah, ketika menghadap pada sesuatu maka melupakan suatu yang lain. Ketika hati kita menengadah pada kemilau duniawi, niscaya akan berpaling dari Allah SWT. Dan ketika hati kita menghadap pada Allah, niscaya akan berpaling dari duniawi. Karena itu, saat kita berzikir menghadapkan hati kita sepenuhnya pada Allah. Ketika sentrum kesadaran ini dipenuhi ingatan pada Allah SWT, itulah momen ketenangan bakal diraih. 

Ketika kesadaran pribadi telah dihiasi ingatan pada Allah, niscaya dia akan terampil merespons segala hal yang terjadi dengan tenang lantaran menganggapnya sebagai anugerah dari Allah SWT. Setiap kejadian yang menimpanya dipandang menjadi instrument dari Allah guna mengungkit potensi yang bersemayam dalam dirinya. Ketika memeroleh anugerah berupa nikmat, maka dia menganggapnya sebagai lahan pengungkit potensi syukur. Ketika tertimpa musibah, dia menganggap sebagai lahan pengungkit potensi sabar. Ketika dia merespons kenyataan masa lalu dipandang sebagai lahan mengungkit potensi ridha. Dan ketika dia harus menatap masa depan yang penuh misteri, dipandang sebagai jalan pengungkit potensi tawakkal. Perlahan-lahan, dia akan menggapai pada respons tertinggi yakni bersyukur di setiap keadaan. Wallahu A’lam Bis Showaab. 

Khalili Anwar, Penutur dari Jalan Cahaya

Senin, 04 Mei 2009

SELAMAT JALAN KAKAK-KU !



Di tengah riuh rendah pemainan politik yang menghias negeri. Di tengah maraknya koalisi antar partai yang kental dengan proses transaksi. Di tengah hiruk pikuk perbincangan kasus terbunuhnya Nasruddin yang menyeret-nyeret nama Antasari Azhar, ketua KPK, ada peristiwa yang memilukan hatiku. Peristiwa ini ditelan arus isu-isu elite, dan tak ada sedikit pun media yang menangkap peristiwa ini. Kendati tak ada media yang mewartakan peristiwa ini, akan tetapi di hatiku menjadi amat berkesan, dan menggoreskan hikmah yang mendalam.

Peristiwa apa gerangan? Yang pasti saya bisa merajut pelajaran yang begitu bermakna dari peristiwa ini. Peristiwa meninggalnya kakak, sahabat, dan guru kehidupan saya, Kakak Mujahid Akbar. Beliau sosok yang begitu peduli dengan adik-adik yang berada dalam bimbingannya. Saya mengenal beliau yang kalem tapi tegas, semenjak saya kuliah dan bergabung dengan Unit Kegiatan Kerohanian Islam di Universitas Dr. Soetomo (Unitomo). Saya bisa merengkuh banyak pelajaran seputar organisasi dan kedisiplinan dari beliau. 

Hatiku bagai tersengat, tatkala mendengar beliau meninggal dunia. Memang sekitar 1 tahun ini beliau bertarung dengan rasa sakit yang dideritanya. Dokter memvonis ginjalnya rusak, sehingga dia harus cuci darah 2 kali dalam seminggu. Kakak saya, Mujahid Akbar, sejak jadi aktivitas dakwah sudah ikut terlibat dengan aktivisme PKS, di saat organisasi kader dan massa ini masih hanya sebagai embrio di Jatim. Saya pernah diajak terlibat dalam kegiatan-kegiatan PKS, akan tetapi karena sudut pandang yang berbeda, saya memilih tidak ikut terlalu jauh akan kegiatan yang digelar PKS. Setelah lulus kuliah, sekitar tahun 2003, beliau langsung berkecimpung lebih serius di setiap kegiatan yang diselenggarakan PKS. Hidupnya begitu bersemangat dalam menularkan visi misi PKS pada adik-adik kadernya. Bahkan setiap minggu sekali, di tengah kesibukannya, beliau masih menyempatkan diri untuk menyambangi adik-adiknya yang ada di kampus, demi memantau seberapa jauh perkembangan kader-kader yang telah dididiknya. 

Karena ia aktif di PKS, beliau pun aktif terlibat di wadah sosial yang didirikan PKS, yakni LMI (Lembaga Management Infaq dan Sedakah). Seluruh waktunya, beliau curahkan untuk membesarkan lembaga yang ditanganinya. Hampir 5 tahun beliau bergelut dengan LMI juga PKS Wilayah Jatim. Tepat awal 2007, beliau mengeluh sakit, dan setelah didiagnosis mengalami kerusakan ginjal. Kendati telah divonis mengalami gegar ginjal, beliau masih selalu optimis untuk menorehkan yang terbaik bagi masa depannya. Di dada beliau masih memancar semangat untuk bisa menegakkan agama Allah lewat kendaraan dakwah yang ditumpanginya. 

Demikian sekilas perjuangan sosok muda yang penuh semangat Mujahid Akbar. Selaras dengan namanya, sosok ini memang sarat dengan semangat jihad. 

Tepat jam 3.30 usai shalat Ashar, hari ahad, 3 Mei 2009, kakak senior saya menyambangi saya ke kos-kosan, mengabarkan tentang meninggalnya sahabat dakwah ini. Ia pun mengajak saya dan langsung meluncur ke rumahnya di poliklinik SEHATI LMI yang bertempat di Bratang Gede. Di rumahnya sepi senyap, hanya ada 2 akhwat dan satu anak kecil yang berdiam di sana. Pikir kami, jenazah beliau sudah disemayamkan di rumahnya, ternyata masih berada di rumah sakit. 

Kami pun meluncur ke RS Haji, tepat di depan kamar jenazah berkumpul beberapa anak muda, saya yakin dari kalangan PKS, terlihat begitu berduka ditinggal oleh sahabat seperjuangannya. Kami menyalami mereka, dan kami langsung menuju ke ruang jenazah, pelan-pelan saya membuka kain putih yang menutupi seluruh tubuh saudaraku ini. Beliau terlihat penuh semangat, dan senyum nampak tersirat dari wajahnya. Satu per satu sahabat-sahabatnya berdatangan, ikhwan dan akhwat dari PKS berdatangan hilir mudik di tempat tersebut. Kendati mereka bersedih, mereka rela melepaskan sang pejuang yang telah berjasa membesarkan PKS di Jatim. 

Beberapa jam, kami menunggu jenazah dimandikan oleh modin RS Haji, dan usai maghrib langsung disholatkan. Saat mengungkapkan salam terakhir lewat shalat ini, saya menemukan semangat ukhuwah yang begitu menggugah nurani saya. Terasa ukhuwah begitu kuat, dengan penuh sesaknya masjid RS Haji dengan petakziah yang akan mensholati kakak Mujahid Akbar. Saat disembayangkan itu, tak satu pun keluarga beliau yang datang lantaran panjangnya perjalanan yang ditempuh. Keluarga beliau tinggal di Tarakan, Kalimantan. Di Surabaya beliau hanya tinggal bersama istri dan 1 anak laki-laki.  

Inilah sebuah episode saya merenung. Yah merenungi tentang arti persaudaraan. Atau ukhuwah. Saya membayangkan, andaikan diriku yang meninggalkan tanpa ibu disampingku, dan bahkan tak ada saudara kandung di sekelilingku. Betapa tanpa saudara, mungkin hanya tetangga yang mau merawat jenazahku. Dari situ, saya amat mensyukuri punya saudara-saudara seiman, semoga bisa memperlakukan diri masing-masing seperti saudara yang saling penyayang, dan peduli. Karena sejatinya ukhuwah, adalah ukhuwah yang diikat dengan iman dan satu akidah. 

Dari berjubelnya petakziah yang memenuhi rumah beliau, saya meyakini beliau adalah orang yang begitu baik pada seluruh saudaranya dalam berdakwah. Insya Allah sekitar 500 petakziah mengantarkan ke tempat persemayaman terakhir beliau. Semoga amal ibadahnya di terima di sisi Allah. Kendati jasadnya telah ditelan bumi, akan tetapi jiwanya tetap terkenang dalam kejernihan hati. Insya Allah. 

Khalili Anwar, Penutur dari Jalan Cahaya

Jumat, 01 Mei 2009

MEMELUK KESUNYIAN

Dewasa ini terasa begitu sulit untuk memeluk kesunyian dan kesenyapan batin. Kesunyian menjadi mahal harganya, semenjak kita disuguhi beragam gebyar kehidupan yang menuhankan popularitas, kemegahan, kemewahan, dan suasana bombastis lainnya. Ada seorang sahabat bilang, “Ah tidak enak, sendirian terus di rumah, seakan hati dirambati kesedihan melulu.” Dia memersepsi bahwa kesenyapan dan kesunyian hanya memproduksi kesedihan dan penderitaan, dan gebyar keramaian akan melahirkan kesenangan (yang menurutnya kebahagiaan). 

Begitulah orang yang masih terkungkung dalam “hegemoni” hawa nafsu, cenderung menganggap kesunyianlah yang menurunkan kesedihan, karena memang nafsu menyukai keramaian. Untuk itu, betapa banyak anak muda melepaskan kesedihan yang mempermak jiwanya dengan bermain di mall, di taman hiburan, dan sebangsanya. Padahal dalam keramaian sejatinya dia tidak bisa menjumput ketenangan dan kebahagiaan batin, hanya memeroleh kesenangan yang bersifat sementara. Setelah itu, kesedihan akan merambat dengan volume yang lebih besar. Tengok saja, betapa banyak sosok artis yang dikitari kuasa hiburan ternyata hidup dalam kebahagiaan yang semu. Tahu-tahu kita mendengar rumah tangganya retak, anak-anaknya tidak keurus, terjerumus ke dalam narkoba, dan semacamnya. 

Keramaian membuat orang makin terpukau dengan pelangi yang ada di luar dirinya, sehingga lupa menengok khazanah keindahan yang bersemedi dalam jiwanya. Keramaian dan warna pelangi yang berada diluar akan menyandera orang untuk tidak memeroleh keindahan yang berada dalam batin. Sebagaimana dituturkan oleh sang guru yang mulia “banyak orang berebutan kerang yang berserakan di permukaan lautan, padahal kerang itu tak berisikan mutiara. Dan mutiara yang sejati masih bersembunyi dalam kerang yang berada di dasar lautan.” Mereka menganggap bahwa setiap kerang dihuni oleh mutiara, padahal hanya kerang-kerang terpilih yang berisikan mutiara.

Kita tidak memeroleh kebahagiaan lantaran salah menafsirkan atau mendefinisikan kebahagiaan dan kesenangan. Salah menyangka bedanya ketenangan dan kesenangan. Kesalahan itu bermula dari kesalahan mendifinisikan diri sendiri. Kesalahan memaknai diri sendiri, karena kita jarang tersambung dengan sumber kebahagiaan yang tinggal di dalam hati kita sendiri. Kita jarang berwisata ke dalam batin, karena kita melulu mendambakan berwisata ke luar diri kita. 

Inilah saatnya kita berwisata ke dalam taman hati kita sendiri, ternyata disanalah kebahagiaan itu bertempat tinggal. Berwisata ke dalam batin ini bisa dijalani bila kita berusaha untuk bersahabat dengan kesunyian. Kesunyian jasad, kesunyian pikiran, kesunyian hati, dan kesunyian jiwa. kesunyian itulah yang menghimpun manusia dalam kesadaran yang begitu luas, karena dalam kesunyian ada penyerahan diri pada Allah. Dalam kesadaran penyerahan diri bermukim kebahagiaan yang tak terhingga. Insya Allah.

Khalili Anwar, Penutur dari jalan Cahaya