Sabtu, 20 Juni 2009

JANGAN BERPALING DARI CAHAYA



Cahaya tak pernah tenggelam atau tertelan kegelapan, karena cahaya akan tetap bersinar kendati ada awan yang menutupinya. Hanya benda yang terhalang oleh cahaya yang tak bakal mendapati cahaya. Bunga ketika diletakkan di halaman rumah, kemungkinan mendapatkan cahaya lebih besar ketimbang bunga yang dibiarkan hidup dalam rumah. Mengapa bunga yang berada dalam rumah peluangnya kecil mendapati cahaya? Karena rumah menjadi sekat untuk sampainya sinar cahaya pada bunga. Padahal kita tahu sendiri, ketika bunga jarang mendapati cahaya, cenderung menjadi layu, daun-daunnya berguguran, dan berujung pada kematian sang bunga. Kehadiran cahaya matahari serasa sangat penting, pun kemunculan cahaya rembulan bisa menumbuhkan bibit,

Ketika kesenyapan malam, ditembusi setitik cahaya remang-remang, ternyata menumbuhkan kehidupan bagi tanaman. Kenyataan ini pernah saya amati ketika saya menyertai ibu bertani di ladang, melihat tanaman padi, pertumbuhan terjadi ketika telah melewati malam. Berarti malam hari pun menebar pertumbuhan lewat cahaya malam. Memang cahaya membuat hidup lebih termaknai, tanpa cahaya tanaman tidak tumbuh, pun manusia tanpa mendapati sinaran cahaya, akan terlihat loyo, demotivasi, dan tak memiliki gairah positif untuk melejitkan potensinya yang luar biasa. Pendek kata, memang pada asasnya seluruh kehidupan ini bersenggama dengan cahaya. Dari cahaya tumbuh jagat kehidupan ini.

Mari kita tarik metafor lahiriah yang terbentang di alam besar tersebut ke jagat batin kita yang amat lembut. Mungkinkah kita merasa hati ini hidup tatkala cahaya hidayah tersumbat dan tak menembusi batin kita? Serasa hati disesaki gundah gulana, dikitari kesedihan, kesusahan, seperti orang yang mendaki gunung-gemunung yang tinggi, nafas pun tersengal-sengal. Perkara apapun yang menyesakkan dada menandakan energi negatif telah mengalir ke setiap zona batin kita. Negatifitas yang memenuhi batin itu menandakan tidak merasuknya cahaya ilahiah ke ruang kesadaran kita. Mengapa cahaya ilahiah tidak terserap ke dalam kesadaran? Ya, karena kita cenderung berpaling dari cahaya, atau menutup diri dengan kehadiran cahaya. Bukankah hanya pintu-pintu terbuka yang akan dimasuki tamu. Buka jendela atau pintu batin kita untuk menerima kebenaran sejati, sehingga dari bilik batin kita akan berjejal selaksa cahaya kebenaran.

Cahaya tetap bersinar, bergantung kita yang mau menerima cahaya itu. Kiranya apa yang menjadi penghalang manusia bersua dengan Sang Cahaya. Dinding tebal yang menghalangi manusia untuk mendapati cahaya tersebut, adalah keakuan. Manakala manusia berhasil menjebol tembok keakuan yang membiakkan sifat riya’, dengki, dan sombong, insya Allah sinar cahaya Ilahiah bakal menerobos ruang batin, berikut cahaya kebahagiaan menghiasi ruang batin dan lahiriah kita. Gumpalan kegundahan bakal mencair menjadi kehangatan dan kebeningan yang menyalakan kreativitas. Karya-karya pun bisa melejit secara dahsyat. Ya hanya cahaya yang bisa melepaskan belenggu manusia yang berada dalam kegundahan.

Kalau Allah memantulkan cahaya lahiriah melalui matahari, musti Allah juga mengutus cahaya batin yang bisa menghalau kegelapan yang menyergap kehidupan manusia. Menerbitkan optimisme tatkala manusia disandera kebekuan pesimisme, menyegarkan harapan yang sudah layu, menerangi kegelapan yang beku dan kaku. Allah mengutus cahaya pada manusia adalah para Nabi sebagai representasi cahaya agung, kemudian disalurkan pada para sahabat, para waliullah, dan ulama zuhud yang hidup saat ini. Itu berarti, agar kita bisa mencerap cahaya, perlu kiranya kita terus tersambung dengan cahaya “ulama” yang memilih terus menerangi kegelapan. Janganlah kita berpaling dengan ulama’, yang ada dalam benak kita ketika berada di hadapan ulama’ adalah mendengarkan dan mentaati. Ketika kita berada dalam kepatuhan yang teguh pada ulama’, insya Allah cahaya bakal terus memandu hidup kita. Insya Allah.

Khalili Anwar, Penutur dari jalan Cahaya

Sabtu, 13 Juni 2009

Batas belajar Mencari Kebenaran.....

Ilmiah... sebingkah kata yang begitu akrab di telinga saya semenjak “menyusu” ilmu di Pesantren Annuqayah. Pesantren ini menampung ribuan santri, terletak di ujung barat Sumenep, Jawa Timur. Di pesantren ini, kreativitas menulis puisi, prosa, cerpen, dan esai betul-betul digalakkan, seakan menjadi kultur harian yang kental mewarnai perbincangan dan penampilan ilmiah para santri. Saking kuatnya kesan ilmiah itu, kadang nasi yang sedang dilahap dianalisa secara ilmiah. Kata sebagian santri, “nasi pun mengandung filsafat.” Awal mula mendengar kata ilmiah, begitu asing di telinga ini... terkesan perkara yang menuntut berpikir keras dan menggerakkan orang untuk bersua dengan kemurnian jiwanya. Mungkin hanya sosok yang memiliki kepekaan yang bisa menuturkan perkara ilmiah dengan apik. Kendati masih terlihat begitu asing dengan dunia intelektual, tetap saja harus ikut menekuni dunia menulis dan berdebat ilmiah. Dari pesantren itu, saya bertemu dengan pemikiran besar yang disajikan Gus Dur, Ahmad Wahib, Dawam Raharjo, Cak Nur, Cak Nun, Alwi Shihab, Muhammad Sobary, Quraish Shihab, Moeslim Abdurrahman, Annamarie Schammel, Sachico Murata, dan deretan sosok intelektual lainnya yang membedah Islam dengan pisau analisa yang amat tajam dan mendedah dengan kejernihan berpikir yang mengagumkan. 

Saya pun tersihir oleh pemikiran mereka yang begitu memukau tentang Islam yang inklusif. Membaca deretan pemikiran mereka, terekam kehalusan akal budi dan kejernihan berpikir, dan saya menyimpulkan, itulah makna dari intelektual. Tanpa saya sadari, saya tengah menelusuri lorong-lorong terang pemikiran pemikir besar yang dijelmakan dalam bentuk tulisan ilmiah. Sejak saat itu, saya terus bergulat, berperang, berdebat, bahkan bercinta dengan teks. Teks mencurahi ide-ide bernas, menerobos tradisi-tradisi yang kaku, dan berusaha mempola perubahan dengan keindahan. Karena itu, tak aneh pemberontakan lewat intelektual lebih mengena bagi orang-prang cerdas, ketimbang kekuatan anarkis. Itulah yang diyakini para pemikir-pemikir handal yang masuk dalam kancah aktivitas intelektualisme. 

Namun, pengetahuan ilmiah tanpa didasari pengetahuan agama yang mendalam, cenderung menyeret orang ke ranah kesombongan intelektual. Padahal mereka menyadari, pemikiran mereka terbatas dan terbukti kalah bila dibenturkan dengan pemikiran lain yang lebih mengakar ke dalam. Kita insya Allah bisa menggali dan menemukan kebenaran sejati, jika bisa memadukan ilmu dan agama. Filsafat berguna guna membuka eksistensi kebenaran, dan agama menjadi sumbu penggerak guna menyapa kebenaran tersebut. 

Bagi saya, potensi berpikir yang rumit-rumit tersebut lama terkubur, karena sejak menginjakkan kaki di dunia perguruan tinggi lebih sering dipertemukan dengan teks-teks yang praktis, pelatihan-pelatihan praktis, dan membuat dimensi harus disajikan secara sederhana. Kesederhanaan, katanya, gampang dipahami dan dimengerti oleh orang lain. Makanya saat jadi mahasiswa, saya lebih gandrung dengan daras pemikiran praktis, kendati mendalam, seperti karya Andreas Harefa, Gede Prama, Paulo Preire, serta buku motivasi yang dirajut dengan kata-kata yang amat sederhana, sehingga bisa dimengerti oleh khalayak yang lebih luas. Sejak saat itu, saya berpisah dengan pemikir besar, berikut mulai keranjingan dengan inspirasi para motivator yang memberikan sajian sukses belajar secara instan, menjadi pebisnis hebat, dan sebagainya. 

Dan usai kuliah, saya kembali merindukan pemikiran mengakar ke dalam. Hanya saja pilihan yang saya ambil bukan pemikiran radikal bernuansa filsafat. Saya tergerak membaca karya-karya berdaras sufi. Kendati bukan pelaku sufi sejati, saya terus terang semakin hari menyukai karya-karya sufi yang menyajikan sebuah pola guna menggapai kebenaran dengan penyucian hati. Ketika hati suci, menurut para sufi, orang bakal bisa melihat, bahkan mengalami kebenaran yang sejati. Mereka meyakini kebenaran bermukim di dalam diri kita, tidak berada di luar dirinya. Yang membuat manusia terhalang memeroleh kebenaran, lantaran hatinya masih kotor. Apa tanda hati kotor? Hati yang kotor cenderung dihinggapi riya’, dengki, dan sombong. Hanya orang yang berusaha mengikis riya’, dengki, dan sombong itulah yang insya Allah bakal memeroleh cahaya kebenaran yang hakiki. 

Orang bisa memeroleh kebenaran, bukan sebatas wacana, tetapi berkait dengan pengalaman ruhani. Pengalaman ruhani ini masih rindu ingin saya jalani....

Hanya sebuah tutur....

Khalili Anwar, Penutur dari Jalan Cahaya

Kamis, 11 Juni 2009

SABAR ITU…..

Suatu saat saya mengunjungi pertamanan yang ramai dengan orang-orang bersenam pagi. Di situ ada yang bertampang kakek-nenek, ibu-ibu, dan remaja. Di sebuah pagi yang indah itu, mereka mempergunakannya untuk senam pagi demi menyehatkan dan membugarkan tubuhnya. Mereka telah memilih untuk bersenam pagi demi sebuah tujuan yang jelas. Tetapi bagi orang yang malas-malasan kerap mempergunakan waktu pagi untuk tidur kembali selepas subuh, sembari menunggu datangnya mimpi indah di pagi hari. 

Orang-orang yang bersenam itu memiliki tujuan yang jelas, dan dia berusaha untuk mengalami dan merealisasikan tujuan tersebut secara maksimal. Ada mendambakan berbadan kekar, mendambakan makin singset, atau mendambakan makin sehat. Untuk mencapai tujuan itu dia harus menjalani proses dengan kesabaran, determinasi, kesungguhan, ketekunan, dan terus-menerus.

Pun dalam peningkatan spiritual, kita harus berlatih sabar dalam menjalani proses. Jika kita hendak mencapai maqam yang elit dalam persoalan duniawi saja harus terus berusaha dengan penuh kesabaran, apalagi mencapai maqam spiritual yang tinggi. Kesabaran sebuah upaya untuk melatih jiwa kita agar makin kuat dalam memegang amanah yang lebih besar. Jika kita bertekad untuk mencapai maqam bahagia, maka kita harus bersabar mendapatkan pelbagai ujian yang menimpa kita. Teruslah bersabar, pupuskan setiap perasaan yang membawa pada keputus-asaan. Setiap kali menghadapi sebuah problem maka kita berada di persimpangan antara sukses dan gagal, dan ketika kita sabar dalam menghadapi problem tersebut, insya Allah kita akan terbimbing untuk menggapai kesuksesan. Sebaliknya orang yang tidak sabar, bakal terus-menerus berada dalam kegagalan, alias gagal dalam bersikap. Dengan kesabaran kita bakal memeroleh pelajaran yang amat berharga dari setiap pengalaman yang dijalani.

Perlu disadari, sabar (ash-Shabr) tidak sama dengan malas-malasan (al-kasl). Tetapi sabar mengandung makna bersungguh-sungguh atau berjuang (al-jihad). Sabar bukan reaksi, tetapi respons yang mantap. Karena reaksi digerakkan oleh hawa nafsu, dan respons digerakkan oleh hati nurani. Respons disini berarti respons (able), atau bertanggung jawab, bukan melempar tanggung jawab. Pendek kata, orang yang bersabar selalu berusaha dan berhasil menundukkan hawa nafsu, dan mengedepankan hati nurani dalam menyelesaikan masalah. 

Ingatlah saudaraku, tujuan tidak sebatas dipahami dan diyakini, namun memerlukan sebuah proses “aksi” yang mengantarkan kita sampai pada tujuan tersebut. Sabda guru, “Tujuan tidak cukup hanya dimengerti, namun perlu dialami.” Kata ini singkat, tetapi bisa menjadi pengungkit motivasi dahsyat bagi saya. Dalam menjalani proses, kita dituntut untuk bersabar, karena musti manusia menghadapi berbagai challenge (tantangan) untuk menggapai kesuksesan. Kebahagiaan dan kepuasan batin terletak saat berhasil melampaui tantangan demi tantangan untuk mencapai tujuan. Jika Anda bersabar menghadapi ujian dan tantangan hidup, maka di depan Anda terbentang kesuksesan yang luar biasa. Saya pun meyakini bahwa dengan bersabar menghadapi tantangan yang dianugerahkan oleh Allah, maka manusia bakal bisa melompati kesuksesan yang luar biasa. Orang bersabar tidak pernah berhenti dengan keadaan hari ini, dia terus berjalan untuk melampaui tantangan demi tantangan hingga dia mencapai kebahagiaan tanpa batas.  

Manakala kesabaran manusia tidak terbatas, maka dia akan memperoleh suatu yang tak terbatas pula dari Allah SWT. Ya, demikianlah ciri orang sukses, dia tidak pernah membatasi kesabaran. Hanya orang-orang pecundang yang selalu berkata, “sabar itu ada batasnya.” Manakala sabar dalam kebaikan itu ada batasnya, berarti dia telah membatasi rahmat Allah SWT. Karena sesungguhnya rahmat Allah memancar dibalik kesabaran “yang keras”. Allah berfirman, “…sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas.” Kesabaran yang tanpa batas, niscaya bakal memperoleh kesuksesan tanpa batas pula Wallahu a’lam bish showaab. 

Khalili Anwar, Penutur dari Jalan Cahaya

Selasa, 09 Juni 2009

KETIKA RUMAH DITINGGAL MERANTAU


Adalah sebuah keluarga yang bisa disebut mewah dalam ukuran orang desa. Kepala keluarga ini bernama Pak Jufri, bermula dari kesetiaan pada anak-anaknya, beliau selalu berusaha untuk memberikan yang terbaik dan tak ingin mengecewakan mereka. Beberapa tahun, beliau menikmati hidup yang berkecukupan, dan anaknya pun ikut mengecap kemewahan yang diperolehnya. Namun, sang anak yang tak pernah mengerti bagaimana kerja keras yang dilakukan sang ayah, sering berlaku tidak setia pada Pak Jufri, mereka lebih suka menguras pundit-pundi kekayaan Pak Jufri. 

Anak pertamanya, Sofar. Ia dikuliahkan ke Jakarta sama Pak Jufri, di sebuah Perguruan Tinggi elit. Hanya saja, di Jakarta, Sofar menghabiskan waktunya dengan aktivitas yang sia-sia, tidur, nonton film, dan cangkruk dengan teman-temannya. Ya kedua, Zainal, Zainal memilih hidup sebagai anak jalanan yang selalu gamang menentukan arah tujuan hidupnya. Memang, hidupnya tak pernah terarah dengan baik. Putera ketiga, Kamal. Kamal dipondokkan ke pesantren. Kamal hanya hobi nyantri, namun tak hobi ngilmu. Karena kamal sering pindah-pindah pesantren, akhirnya Kamal dipondokkan ke luar negeri, tepatnya sebuah pesantren Arab Saudi. Ia balajar disana bertahun-tahun, namun saya tak mendengar kemajuan Kamal dalam hal pengetahuan, yang terdengar dia masih seperti dulu, tak ada perubahan yang berarti. Pak Jufri sebenarnya berharap sekali Kamal fasih berbahasa Arab dan menjadi anak yang sholeh hingga bisa membimbing anak muda desa mengaji al-Qur’an dan membaca kitab kuning. Harapan pak Jufri tinggal serakan harapan yang tak terjalin dalam kenyataan. Mungkin ada rasa kecewa yang meredam di dada Pak Jufri, melihat semua anaknya tidak seperti yang diharapkan. 

Sudah banyak harta yang dikeluarkan untuk menyekolahkan dan menyantrikan anak-anaknya, kini Pak Jufri harus merantau ke kota dekat Lombok sana bersama seluruh keluarganya agar bisa mendulang harta dan hidup mewah seperti dulu. Keputusan Pak Jufri sekeluarga merantau otomatis nasib rumahnya tak lagi berpenghuni. Bertahun-tahun Pak Jufri tenggelam dalam aktivitas perdagangan di luar pulau, sekarang rumahnya berjubel dengan rumput. Rumah yang tak terawat itu bertampang bak sawah yang ditanami beragam tanaman. Bisa jadi semak belukar yang mengelilingi rumah Pak Jufri telah menyulapnya menjadi hunian asri buat ular, tikus, kecoak, dan sebangsanya. Pak Jufri telah meninggalkan rumahnya dan merantau demi mencari kejayaan yang pernah diraihnya. 

Berkaca dari cerita tersebut, tanpa disadari kita seperti sosok Pak Jufri dan keluarganya yang telah meninggalkan hunian kita yang sejati tak terawat, lantaran ingin memuaskan keinginan yang bersifat sementara. Pak Jufri meninggalkan rumah jasadnya, namun kita telah meninggalkan rumah jiwa kita sendiri. Betapa setiap saat, kita meninggalkan orientasi akhirat demi sebatas memenuhi kepentingan duniawi yang bersifat sementara. Kita sering mati-matian memperbaiki hidup kita yang berada di perantauan (duniawi), ketimbang bekal hidup di akhirat nanti. Karena berupayalah agar amal-amal yang kita lakukan bisa membuat akhirat kita tertata asri dan membuat hati menjadi nyaman, yakni rumah akhirat yang menghadirkan suasana surgawi. 

Khalili Anwar, Penutur dari Jalan Cahaya