Kamis, 22 Oktober 2009

MALAM PURNAMA SEMPURNA


Tepat malam 15 Ramadhan, hatiku berbunga-bunga menyambut bulan yang memendarkan cahayanya yang purnama. Saat itu, bibirku tak henti-henti melantunkan salawat Nuril Anwar, sambil menghayati kehadiran Rasulullah SAW sebagai sosok yang selalu dipersonifikasi sebagai rembulan. Kupandangi lekat-lekat, bulan itu ternyata dalam keadaan duduk tasyahud, seperti berdialog dan menyaksikan Tuhan dengan seluruh kemuliaanNya yang sempurna. 


Tak luput, kulihat bunga-bunga, pohon-pohon, dan pelangi seakan turut memanjatkan tasbih menyambut rembulan yang terus memancarkan sinarnya yang sempurna. Aku pun berada dalam suasana dialog dengan purnama malam bersama seluruh jagat semesta yang khusyuk karena terpesona pada cahaya rembulan. Kala menatap rembulan, saya terus mengingat Rasulullah SAW yang telah berperan sebagai penerang yang nyata bagi kehidupan. Lantaran kehadiran Rasulullah SAW di jagat semesta inilah, begitu terasa adanya kehidupan rahmat yang memancar di setiap kisi-kisi kehidupan yang kualami. 

Hatiku berbunga-bunga menatap purnama, seakan cahaya rembulan itu menjadi dambaan setiap makhluk termasuk diri ini. Saya pun bertanya, mungkinkah cahaya rembulan yang begitu sempurna itu bisa menghiasi langit-langit hati yang gelap ini? Bisakah cahaya purnama itu terbit dari kesadaran terdalam ini? Bisakah diri ini menjadi rembulan yang kemana-mana hanya bisa menebarkan cahaya kelembutan? 

Dari sinar rembulan, saya menatap kelembutan Allah, yang gampang membuat orang terpesona dan masuk ke dunia spiritual yang amat dalam. Memang, manusia hanya bisa memandangi rembulan dengan cermat, tidak bisa melihat matahari. Bahkan ketika manusia berusaha menatap matahari yang memancarkan teriknya, niscaya matanya akan silau. Dan rembulan sendiri sebagai ekspresi dari cahaya matahari. Kedudukan rembulan di hadapan matahari, seperti kedudukan hamba yang paling terpuji Rasulullah Muhammad SAW di hadapan Allah SWT. Karena itu, untuk bisa mengenali matahari, maka manusia harus mengenali rembulan terlebih dahulu. 

Dalam pandangan ruhaniku, matahari adalah perlambang sifat jalal Allah, dan rembulan adalah perlambat sifat jamal Allah. Makanya, tak aneh untuk mengekspresikan kelembutan cinta, sepasang kekasih selalu menggunakan simbol rembulan bersama cahayanya yang memukau. Karena sinar cahayanya yang lembut, sebagai simbol kasih sayang dan keindahan Allah SWT. Karena itu, Rasulullah SAW yang dilahirkan sebagai mahkota kehidupan bersematkan citra kepribadian yang lemah lembut dan penuh belas kasih.  

Dakwah Rasulullah Saw benar-benar menggunakan kepekaan hati, dan adapun modus kekerasan (tegas) hanya dipergunakan ketika menghadapi orang kafir yang berlaku dzalim dan menyerang Islam. Rasulullah SAW menjalani dakwah lebih sering menggunakan cara-cara kelembutan dan kasih sayang, tak ayal jika para sahabat sering merasa tenteram dan dimabuk cinta kala bertemu Rasulullah SAW. Tak ada sedikit pun sikap Rasulullah SAW yang menyakiti sahabat, semua perilaku beliau terpandu dengan akhlak qur’ani. Senada dengan jawaban siti Aisyah ketika ditanya sahabat perihal akhlak Rasulullah, dia berkata semua perilaku Rasulullah SAW menakjubkan, dan berakhlak dengan akhlak al-Qur’an. 

Begitulah, akhlak Rasulullah seindah rembulan purnama, tak sedikit pun terlihat cecat yang melekat padanya. Purnama hanya sebatas simbol keindahan akhlak Rasulullah SAW, namun pada hakikatnya rembulan itu tidak bisa mewakili keindahan akhlak Rasulullah SAW yang sempurna. Kalau kita begitu kagum dan terperangah dengan bulan purnama, niscaya akan lebih terperangah ketika melihat langsung cahaya akhlak Rasulullah SAW yang berkilau-kilau, yang siap membuat siapapun terpesona memandangnya. 

Ketika melihat purnama malam, terasa api kerinduan menggelora dari hati ini. Mungkinkah saya berjumpa dengan Rasulullah SAW, merasakan ditatap oleh beliau? Merasakan belaian kelembutan beliau? Saya benar-benar ingin bertemu dengan beliau, semoga pertemuan agung itu bisa kurasakan sepanjang hayat saya. Bukankah ada dari para kekasih Allah yang bisa bertemu dan bertatap muka langsung dengan Rasulullah SAW. Mungkinkah orang yang serba terbatas ini bisa bertemu dengan beliau? Sungguh, diri ini begitu terbatas dalam segala hal, ibadah terbatas, ilmu terbatas, keyakinan terbatas, bahkan kezuhudan terbatas. Mungkinkah diriku pantas bertemu dan berdialog secara intim dengan Rasulullah SAW yang menjadi pijar cahaya rembulan bagi kehidupan ini. Apakah Rasulullah berkenan menemui diri yang papa dan hina ini atau tidak, terpenting saya terus memenuhi hati dengan kerinduan tanpa akhir pada Rasulullah SAW, sang rembulan yang terus bercahaya. 

Khalili Anwar, Penutur dari Jalan Cahaya

Rabu, 14 Oktober 2009

SOSOK MUSLIMAH



Bertegur sapa dan bergaul kendati hanya selintas, tetap saja membekaskan kesan yang indah di dalam hati. Keindahan ini tidak bertaut dengan keindahan yang menguap dari hawa nafsu, namun berasal dari kesadaran terdalam. Saya terus berusaha meraba cermin indah dari setiap sosok yang kutemui agar bisa membersihkan dan menghias hati ini. Kadang-kadang saya merasa malu dengan pancaran akhlak dan kontribusi orang-orang sekitar saya. Salah satunya yang membuat saya terhenyak saat melihat sikap hidup mulia yang ditampilkan seorang ibu. Saya memanggil perempuan itu dengan Bunda Farhan, dikarenakan kami merasa amat diperhatikan dan dihormati beliau sekeluarga. Bunda ini punya 3 anak puteri yang paling tua, Nur Laili, ada di bangku SMP, putri kedua, Amelia, kelas 1 SD, dan putri ketiga, Anissa, masih baru berada di bangku TK. Pada mulanya, saya menganggap Bunda Farhan sebatas ibu rumah tangga yang mencurahkan tenaganya guna mendidik dan membimbing anak-anaknya, juga melayani suaminya. Namun, dibalik kesederhanaan yang ditampilkan, dia ternyata sosok hafidzah yang begitu pandai dan luwes bergaul dengan ibu-ibu yang berada di sekitar perumahan Sengkaling. Bunda Farhan bersama keluarga menempati perumahan tersebut beberapa minggu sebelum puasa. Sebelumnya, beliau bersama keluarganya tinggal di Sidoarjo.

Yang menakjubkan di hati saya, kendati Bunda ini beberapa minggu tinggal di perumahan itu, begitu gampang berbaur dengan ibu-ibu yang lain. Dan dia selalu berusaha menebarkan aura kebajikan pada ibu-ibu, agar bisa mengaji al-Qur’an dengan baik dan benar lewat aktivitas tadarus. Semangat berbagi kebajikan itulah yang membikin saya menaruh kekaguman pada orang ini. Saya optimis, dia menjadi pelopor dakwah bagi kalangan ibu-ibu, bahkan saking padatnya kegiatan ibu-ibu yang ada di Sengkaling pada bulan puasa, saya menaruh harapan, bisa jadi akan berdiri masjid megah dan sekolah di perumahan tersebut. Bermula dari keyakinan, ketika ruh jihad telah menyusup ke dalam hati setiap umat, insya Allah dakwah sekaligus fasilitas dakwah bakal gampang terealisasi. Sebagian jamaah berujar, “Kami bersyukur beberapa bulan ini komunitas perumahan mendapatkan keberkahan dengan hadirnya orang-orang saleh, seperti keluarga pak Dhiya’ (guru kita yang mulia) dan keluarga Pak Farhan. Semoga ini menjada isyarat baik bagi perumahan Sengkaling, menjadi perumahan yang lebih agamis.” Kata Pak Moga menaruh harapan selaku aktivis dakwah di perumahan tersebut.

Memang, di perumahan banyak orang-orang saleh yang selalu fokus melayani umat, tanpa pamrih sedikit pun. Saya mengenal ada Ustadz Nur, seorang hafidz, lantunan al-Qur’an-nya terasa begitu syahdu menyusup hati. Hanya saja Ustadz Nur belum bisa terlibat aktif di Mushalla. Jika ada waktu kosong, beliau shalat berjamaah. Mungkin aktivitas dakwahnya padat.

Kembali ke Bunda Farhan. Sosok ini begitu telaten mengajari ibu-ibu, bahkan dia berazam melahirkan ustadzah yang bisa mendidik anak-anak TPQ yang selama ini tidak terkelola dengan baik, kalau tidak mau disebut terlantar. TPQ tidak mengalami kemajuan, karena masih ditangani dengan cara konvensional, tanpa menggunakan metode belajar al-Qur’an yang mudah dan cepat, selain ustadzah-nya tidak benar fokus memberikan perhatian terhadap pertumbuhan anak didik di TPQ tersebut. Saya hanya bisa mendukung langkah yang bakal dirintis Bunda Farhan, karena saya belum merasakan kejituan metode yang dipergunakan. Adapun metode yang dipergunakan Bunda Farhan dalam mendidik anak-anaknya adalah metode UMMI. Saya melihat perkembangan anaknya yang masih kelas 1 sudah bisa membaca al-Qur’an Juz.

Selain mengajari ibu-ibu mengaji, dia juga mengundang ustadz yang bisa mengajari ibu-ibu tarjim al-Qur’an, dengan harapan para ibu tidak hanya bisa mengaji al-Qur’an dengan fasih, juga memahami makna yang terkandung di dalamnya, sehingga akan terbangun semangat untuk merenungi (tadabbur) atas ayat yang tersirat dalam al-Qur’an tersebut. Tarjim al-Qur’an memadukan kegiatan belajar bahasa Arab dan mengkaji al-Qur’an. Tujuan pamungkasnya, bagaimana ibu-ibu bisa belajar al-Qur’an secara menyeluruh, tidak hanya mengaji tetapi juga bisa mengkaji al-Qur’an.

Selain aktivitas tadarus, menerjemah, dan mengkaji al-Qur’an, Bunda Farhan juga mengadakan pengajian ibu-ibu yang dihadiri salah satu dosen dari UNMUH, Malang. Saat pertama kali ketemu dosen ini, saya begitu antusias lantaran ada orang yang mau mengisi pengajian di sebuah Mushalla kecil. Saya sempat berbincang sebentar dengan ustadz tersebut, kemudian dia segera membuka pengajiannya. Saya menguping kajian-kajiannya di dalam kamar. Hanya saja, saat masuk ke materi pembicaraan, dia banyak menjlentrehkan tentang taghut, dengan gampang mengalamatkan klaim-klaim syirik pada saudara muslim yang lain. “meletakkan tulisan doa di daun pintu itu syirik, meminum air doa itu syirik, juga meminta tombo ke Ponari syirik,” kata si ustadz.

Aneka ucapan yang berbau syariat begitu kental berikut menyalahkan praktik pemahaman kelompok lain membuat hati tidak basah dan sejuk, malah semakin kering dan panas. Uraian-uraiannya yang tidak pernah menyentuhkan kesegaran ke dalam batin, membuat diriku tergerak untuk berbicara dengan Bunda Farhan.

Terlintas dari pikiranku sebuah peristiwa, dimana ada komunitas NU yang membangun Mushalla di sebuah perkampungan. Hanya karena kesadaran agama komunitas itu menyusut, masuklah kawan salafi (bukan salafiyah) untuk memakmurkan masjid tersebut. Karena uraian-uraiannya yang sering menyalahkan kalangan NU, maka semua aktivis Salafi yang tinggal di Masjid tersebut diusir oleh warga. Saya tak berharap komunitas muslim Sengkaling terpecah lantaran perbedaan pandangan.

Sehari selepas pengajian itu berlalu. Tepat habis shalat dhuhur, saya minta izin ke Pak Farhan untuk bersilaturrahim ke rumahnya. Pak Farhan mempersilahkan dengan senang hati. Namun, sekitar jam 2, saat saya mengajari adik-adik TPQ, saya dipanggil Bunda Farhan. “Katanya Abi, antum mau silaturrahim ke rumah selepas Ashar. Mohon ma’aaf, saya nanti mau silaturrahim ke sahabat saya, dan sudah kadung janjian, “katanya.

“Ya rencananya, hanya ingin silaturrahim, ada hal yang hendak disharing-kan,” ujarku.

“Apa ya, maaaf kalau saya bersama keluarga ada kesalahan,”dengan jiwa merendah.

Saya pertama-tama menyinggung perkembangan tadarus ibu-ibu, dan masa depan pendidikan al-Qur’an di Mushalla. Beliau berbicara begitu antusias, dan saya mendengarkan sambil menunduk ta’dzim. Setelah beliau berbicara panjang lebar tentang mengaji al-Qur’an, saya pun masuk pada perkara inti yang hendak kuungkapkan.

“Pada hari jumat kemarin, saya mendengarkan ceramah dari ustadz yang didatangkan dari UNMUH. Sebagian besar materinya baik, hanya saja ada beberapa catatan yang perlu dikoreksi. Saya kira semua hujah yang diungkapkan beliau bisa benar menurut sumber yang diperoleh.” “Namun, suatu hal yang perlu dikritisi ketika menyinggung ritual pandangan golongan lain keliru, dan hanya golongannya saja yang benar. Saya yakin Muhammaddiyah menjalani ritual keagamaan berdasar pandangannya sendiri yang bersumber dari al-Qur’an dan hadist, NU juga memiliki pandangan sendiri yang bersumber dari al-Qur’an, hadist, dan Qiyas.” Lanjutku

“Pun bisa jadi golongan yang lain punya pemahaman sendiri. Perbedaan dalam umatku adalah rahmat, sabda Rasulullah SAW. Bagaimana perbedaan ini mencitrakan bangunan Islam yang indah. Bukan perbedaan dijadikan ajang saling menuding kesalahan kelompok lain. Kita semua ingin melihat Islam yang bersatu, rekat, dan rukun karena sikap kedewasaannya memandang perbedaan yang menghiasinya.”Kataku

“Apa perihal yang tidak berkenan bagi ustadz?”tanyanya

“Saya sempat terhenyak ketika seorang ustadz mengomentari praktik-praktik keagamaan yang dipandang syirik. Meletakkan tulisan doa di daun pintu disebut syirik, meminum air doa disebut syirik, mungkin berziarh ke kubur syirik. Menurut pandangan ahli tauhid yang disebut syirik adalah menganggap ada selain Allah yang bisa memberikan manfaat secara independent. Jika kita mengganggap air itu yang membuat kita sembuh, itu syirik, atau karena tulisan itu yang membuat kita selamat, berarti syirik. Bahkan ketika seorang pasien mengalami kesembuhan, berpikir karena dokter yang memeriksa atau obat yang dikonsumsi yang membuat sembuh. Itu pun syirik. Dalam pandangan saya syirik tidak melekat pada benda-benda, tetapi ada di pikiran. Bunda mungkin pernah mendengar penemuan terakhir Prof. Ermuto perihal kekuatan air. Dia meneliti ketika air dimarahi, maka memunculkan butir-butir kristal yang jelek, namun ketika dilontarkan kata yang penuh belas kasih, kristal-kristalnya menjadi membaik. Apalagi ketika dibacakan al-Qur’an kristalnya menjadi amat baguuuus. Dari penelitian tersebut, terasa ada hubungan yang menarik antara doa dan air. Dan saya pernah mendengar sabda Rasulullah SAW, “Sesungguhnya doa bisa merubah takdir,” uraiku.

“Sebenarnya ustadz kemarin menjelaskan tentang syirik tersebut agar orang hati-hati. Mungkin bagi orang yang tauhidnya sudah kuat, tidak perlu mendapatkan nasihat seperti itu. Saya juga berlatar keluarga NU, saya suka dengan tahlil, hanya kurang sreg ketika tahlil harus mengeluarkan banyak biaya untuk memberikan makan orang yang tahlil. Zikir (jahr) juga sepaham,” selorohnya

“Saya hanya kasihan pada umat, apalagi mushalla ini baru aktif beberapa tahun. Kita berharap kebersamaan dan kebersatuan jamaah jangan dikoyak lantaran didera hasrat untuk memperuncing perbedaan yang ada. Rasulullah SAW selalu mengedepankan akhlak dalam berdakwah, dan kita harus betul-betul berusaha meramu perbedaan sebagai keindahan yang menyejukkan. Ada yang qonut atau tidak saat subuh, tak perlu dipermasalahkan. Mereka punya standar pemahaman sendiri-sendiri. Kalangan NU bermazhabkan imam Syafi’ie, tetapi kalau mau melacak sejarah, sejatinya tahlil tidak difatwakan Imam Syafi’I, tetapi difatwakan Imam Hanafi. Sudah saatnya kita luwes menghadapi perbedaan, berikut menonjolkan kebersamaan,”tuturku.

“ya terima kasih atas sarannya ustadz. Saya berusaha menjaga kebersamaan itu. Sebenarnya, saya juga tidak mengerti latar belakang ustadz itu (yang memberikan ceramah), saya hanya diperkenalkan teman saya saat taklim.” Kata bunda Farhan.

“Maaf bunda, jika perkataan saya menyinggung perasaan bunda. Tetapi itu semua bermula dari semangat untuk bisa mempersatukan komunitas muslim Sengkaling ini, hingga makin rukun dan akrab satu sama lain,” kataku.

“Jazakallah, atas masukannya. Semoga saran tersebut jadi kebaikan bagi jamaah yang ada di sini,” ujar Bunda Farhan.

Saya pun melanjutkan mengajari adik-adik TPQ, dan Bunda Farhan pun melanjutkan aktivitas tadarusnya. Saya berharap saran yang kusampaikan akan dilanjutkan pada ustadz yang kumaksud. Alhamdulillah, seminggu setelah pengajian itu berlalu. Ustadz itu hadir, memberikan pengajian kembali. Materi pengajian lebih soft dan umum, dan tidak lagi menyinggung perbedaan yang ada. Semoga kerukunan diantara umat tetap terjaga di perumahan Sengkaling.

Saban ada kesempatan, Bunda Farhan selalu menanyakan seputar persoalan agama pada saya. Dan saya menjawab sebatas yang kuketahui. Saya berharap dia bersama keluarga akan menjadi sparring partner bagi guru kita yang mulia untuk menegakkan dakwah di perumahan tersebut.

Khalili Anwar, Penutur dari Jalan Cahaya

Senin, 12 Oktober 2009

DARI GUNUNG HINGGA TAUHID



Sepanjang Ramadhan saya banyak belajar. Belajar pada bunga yang sedang merekah indah, gunung yang menunjukkan kelembutan dibalik keagungannya, air yang terasa dingin, mengalirkan kesejukan keseluruh pori-pori. Kurasakan semua keadaan yang mengitari diriku tanpa resistensi sedikit pun. Ketika saya berusaha menyelami beberapa ayat Tuhan apa adanya, dan meninggalkan pikiran yang dualitas, seolah ada cerapan-cerapan nutrisi mengalir ke dalam kalbu. Karena itu pencerahan memendar dari momen ke momen. Pandanganku terpaku pada gunung puteri tidur, yang di bawah kaki sang putri berdiri kukuh gunung paderman. Dua gunung tersebut menggambarkan kepatuhan seorang anak pada sang bunda. 

Saya selalu ingat nasihat guru kami yang mulia, saat puasa tiba, layaknya dijadikan momen merenungi ayat-ayat Tuhan baik yang tergulung dalam Qur’an atau tergelar di alam ini, agar bisa mendulang hikmah suci. Bukankah ketika orang bisa mendulang hikmah, berarti dia mendapati yang banyak? Sebagaimana firman Allah, “Allah menganugerahkan hikmah kepada siapa yang Dia kehendaki. Dan barangsiapa yang dianugerahi al-Hikmah itu, ia telah benar-benar dianugerahi al-Hikmah itu, ia benar-benar telah dianugerahi karunia yang banyak. Dan hanya orang-orang yang berakallah yang dapat mengambil pelajaran (dari firman Allah). (QS. Al-Baqarah [2]:269)

Setiap hari saya selalu mencari obyek yang bisa direnungi, demi bisa mengenal Allah lebih dekat lagi. Bukankah dari merenung kita bisa menyalakan pelita dalam hati kita sendiri? Dan ketika hati telah bercahaya, berdampak pada kecermatan menangkap hikmah dibalik setiap peristiwa dan kejadian yang meruyak. 

Saat hari-hari pertama, berada di Malang, saya berusaha menyibak tabir rahasia dibalik gunung puteri tidur. Ada sedikit sentilan, andaikan ada orang yang bertanya gunung apa yang paling tinggi, tak ayal pikiran kita akan tertuju pada gunung Himalaya atau Everest, namun sesungguhnya gunung yang tertinggi adalah gunung puteri tidur, kata sebagian sahabat. “Tidurnya saja sudah tinggi, apalagi kalau ia terbangun dan berdiri dari tidurnya” canda sang sahabat. Ingatlah, guyonan ini tak perlu direnungkan.

Andai saya tak menghayati gunung tersebut, saya mungkin tak menemukan makna sakral yang melekat. Gunung yang ditumbuhi pohon, mampu menyerap air hujan dan memprosesnya, mengalirkan ke sungai, kemudian dibawa ke lautan. Ketika manusia telah berhasil menghujamkan iman di dadanya, maka dia akan menemukan kearifan yang mengembang indah. Di gunung tersebut tumbuh rerimbun tanaman yang menawarkan kesejukan bagi mata, dan matahari yang bersinar terik terserap pepohonan yang berjejer indah menghias gunung. Sehingga rasa panas yang potensial menyengat kulit tidak terasa, bahkan suasana alam terus berlingkup dalam suasana dingin.  

Kehadiran gunung menguatkan bumi, agar tak gampang mengalami goncangan. Memang, gunung memberikan manfaat yang besar untuk keberlangsungan hidup manusia. Bayangkan, andaikan Allah menciptakan bumi tanpa dipaku gunung, mungkin banjir bandang sering terjadi di dunia. Dalam pandangan ruhaniku, gunung adalah iman. Ketika iman tegak kokoh berdiri, maka manusia bakal mudah tersambung dengan Rasulullah SAW, dan manakala orang telah tersambung dengan Rasulullah, niscaya akan dihantarkan pada pengalaman ketuhanan yang lebih mendalam. Gunung adalah potret pribadi beriman. Gunung sebagai gambaran tegaknya iman yang mengalir ke sungai cinta pada Rasulullah SAW, kemudian dibawa ke lautan tauhid. Iman yang kokoh mengarahkan kecintaannya pada Rasulullah yang digambarkan sebagai sungai, dan Rasulullah Saw akan membimbing mereka kepada Allah, lautan penyerahan diri. Kita harus berproses agar bisa menggapai kebersatuan dengan Allah SWT. Dengan cara apa? Ya selalu berusaha menguatkan iman di dada, kemudian memancarkan cinta suci pada Rasulullah SAW, insya terbimbing untuk bisa menggapai pencerahan yang hakiki dalam hidup ini. Puncak pencerahan adalah penyatuan dengan Allah SWT dalam ikatan tauhid.  
 
Begitulah, lewat gunung saya berpikir rentetan makna yang tersimpul di dalamnya. Saya merasa gunung telah memberikan pelajaran agung, bagaimana pribadi beriman berhasil membebaskan dirinya hingga bisa menyatu dengan samudera luas. Melalui keyakinan kukuh yang mengakar kuat dalam diri, harus berhasil menyalakan spirit cinta, berujung pada pertalian atau kebersatuan dengan Allah, berupa kristal-kristal tauhid. Citra orang yang telah menyatu dengan Allah, adalah selalu berserah diri atas setiap ketentuan Allah yang menghinggapinya. Tak ada lagi sekat yang membatasi antara dia dengan Allah, karena dia sendiri telah berhasil meruntuhkan tembok keakuan yang kerapkali menghalangi perjumpaan seorang hamba dengan Sang Khaliq, antara seorang pencinta dengan Yang Dicintai. Orang yang telah sampai pada samudera tauhid, bersemai dari jiwanya penyerahan diri tanpa reserve. 


Khalili Anwar, Penutur dari Jalan Cahaya

Sabtu, 10 Oktober 2009

SOSOK MUDA YANG MENGAGUMKAN

Selama bergaul dengan masyarakat Perumahan Puncak Mutiara Sengkaling, Malang, saya mendapati kenyataan indah yang selalu membuat hati ini bahagia. Di sana, saya bersua dengan sosok yang berhiaskan tawadhu’ mendalam, namun memancarkan spirit izzah yang menjelma dari bongkahan jiwanya. Semakin hari saya melihat akhlaknya bersinar, tak ayal saya pun merasa malu dengan perilakunya yang begitu anggun dan mempesona. Saya mungkin bisa mempesona orang lewat kata-kata yang padat dengan muatan makna, namun penampilan dan sikap hidup yang ditunjukkan seperti telah menutupi pesona kata-kata yang kukatakan. Begitulah, kata-kata akan tertutupi cahaya penampilan dan sikap hidup. Mengapa kata-kata bisa kalah terhadap perbuatan dan sikap hidup? Ya, karena kata-kata hanya berupa ilmu yang potensial, sementara perbuatan atau sikap hidup sebagai realisasii ilmu itu sendiri. 

Saya masih berkutat dengan kata-kata, sementara dia telah berhasil merealisasikan kata-kata menjadi fakta. Saya menekankan pentingnya menumbuhkan rasa kasih sayang pada sesama, terlebih anak yatim, yang tidak punya tempat bersandar untuk memenuhi hidupnya, kecuali hanya terus memanggil Allah.. Allah… Allah. Sementara dia telah berhasil memungut anak yatim piatu, dan sekarang berhasil menyekolahkannya ke tingkat SMA tanpa meminta bantuan pada siapapun. Ia menanggung biaya hidup anak yatim dengan kemampuan ekonomi sendiri. Sebuah potret hidup yang amat menakjubkan. 

Ketika melihat sikap hidupnya yang begitu bersinar, saya tergerak untuk bisa belajar banyak tentang prinsip hidup yang mendasarinya dalam mengarungi tantangan yang begitu keras. Kendati saban harinya dia menekuni bisnis yang amat keras, selain jadi dosen di UNMUH Malang, tapi pancaran wajahnya tak pernah terlihat sebagai pribadi yang keras, malah kulihat ada keteguhan yang memancar dari wajahnya. Cahaya kelembutan pun selalu memantul di setiap tutur kata dan perilakunya. Dia pernah berkata penuh akrab pada saya, bahwa dia berproses dengan kehidupan yang pasang surut, yang telah membentuk jiwanya makin kuat dan tegar. Memang, dari situ kedewasaan hidupnya bisa terbentuk, sehingga dia tak pernah sedikit pun khawatir hidup yang dijalani, karena meyakini jaminan Allah. 

Hampir setiap hari, dia menghadiri pengajian yang saya asuh. Perasaan yang mengalir di batinku, “orang ini telah berhasil melampaui setiap kata-kata yang kuucapkan, dia hadir sebatas memantapkan semangat tawadhu’ terhadap siapapun.” Dia begitu terbuka belajar terhadap siapapun sepanjang selaras dengan prinsip-prinsip hidup yang diyakini. Keterbukaan dalam menerima ide-ide baru dan pencerahan positif, membuatnya makin tumbuh berkembang sebagai pribadi matang. Saya meneliti setiap kata yang terlontar dari lisannya, tak pernah sedikit pun menyinggung dan menghakimi orang lain. Saya merasakan betap pikiran dan hatinya begitu jernih dan bening, sehingga kata-kata yang diungkapkan, selalu menghadirkan keteduhan dan kesejukan bagi yang mendengarkan. 

Di usianya yang sudah kepala 3, dia terus berusaha menggali potensinya secara maksimal. Di tengah kesederhanaan hidupnya, dia amat suka berbuat dermawan pada siapapun, sembari memiliki rasa hormat yang mendalam pada siapapun, tak terkecuali pada saya yang hadir sebagai tamu di masyarakat tersebut. 

Di hari kedua, saya sampai ke perumahan tersebut, dia diperkenalkan oleh salah satu jamaah pada saya. Mulanya dia terkesan pendiam, tetapi memancarkan kharisme yang positif. Beberapa jam, dia mengantarkan spring bed ke kamar penginapan, sehingga sempat terbetik di pikiranku, “Waduuh jadi tidur terus nich, mujahadah jadi gagal ya.” Kendati demikian saya tetap bersyukur, dengan perhatian yang diberikan olehnya. Sejak saat itu, saya terdorong untuk mengerti orang ini dari dekat. Makanya pada saat kunjungan ke rumah-rumah jamaah, saya mengkhususkan lawatan ke rumahnya terdahulu, saya berbincang banyak hal dengan dia. Saya menyinggung tentang pentingnya seorang guru yang akan menjadi pemandu untuk mencapai pengenalan pada Allah SWT. “Walau pun al-Qur’an sudah bisa dipelajari secara digital, buku-buku berlimpah, internet menyediakan sekian pengetahuan keagamaan, audio-visual yang memudahkan orang belajar agama lebih cepat, ada satu hal yang amat penting dari itu semua, yakni guru,” ujarku 

“Sebanyak apapun pengetahuan kita, tanpa dibimbing guru yang dekat pada Allah SWT, maka pengetahuan itu hanya menjadi pengetahuan semata, tidak tumbuh menjadi kesadaran yang indah di dalam hati kita. Nabi Muhammad mencerap ruh wahyu dengan belajar pada Malaikat Jibril, karena itu umat Nabi SAW juga harus belajar pada buku yang hidup, yakni guru” “lebih dari itu, sesungguhnya kerangka ilmu itu tersebar di berbagai perangkat pengetahuan, buku, audio-visual, internet, dan bahkan bisa kita cerap melalui televisi, namun sesungguhnya ruh ilmu itu terpendam di dada setiap guru.”

Memang, sosok yang mengagumkan ini setiap harinya tak pernah lepas dari buku. Dia selalu membaca buku untuk menyegarkan dan meluaskan cakrawala berpikirnya. Setelah kukatakan kata-kata itu, dia pun mengiyakan, betapa sesungguhnya belajar tanpa guru seperti orang punya peta, tanpa pemandu arah, niscaya cenderung akan membuatnya tersesat. Ada sebagian jamaah yang menimpali, “bukankah ketika orang belajar tanpa guru, yang mengajari mereka adalah setan.” “benar sekali,” sahutku. 

Saya pun beralih pada tema yang lain, saya memperkenalkan siapa diri saya. Saya memberitahukan bahwa saya bukanlah seorang penceramah atau dai, saya hanya tukang jual kripik singkong, yang biasa mengantarkan kripik dari toko ke toko, dari sekolah ke sekolah. Adapun saya mendapatkan tugas berdakwah, sebenarnya hanya belajar untuk bisa menjalani proses tarbiyah menurut Nabi SAW. Rasulullah menggunakan pola mengajar ilmu dari sanad ilmu yang benar, menyucikan hati agar terpantul akhlak yang luhur, dan terakhir memiliki tanggung jawab untuk berdakwah. Artinya, berdakwah sebagai tugas dari majelis yang menerapkan pembelajaran ala Rasulullah Muhammad SAW. Berdakwah tidak harus berbicara di depan umum dengan cara menggebu-gebu, namun mempraktikkan ilmu dalam pergaulan sehari-hari juga bagian dari dakwah. Bahkan dakwah lewat pergaulan antar pribadi lebih efektif, ketimbang berbicara di massa yang berjubel. 

Mendengar saya hanyalah seorang sales kripik singkong, tentu saja dia menanggapi amat antusias, karena dia memang mendukung anak-anak muda yang hendak menekuni dunia wirausaha. Ia pun bercerita, berbisnis seperti menjadi bagian dari petualangan yang dijalani sejak kuliah. Saat masih mahasiswa dia pernah mendirikan bisnis rental komputer, sekarang dia menekuni bisnis loundry dengan memberdayakan anak-anak muda, juga bisnis perumahan. Memang, berbisnis harus menjadi semangat yang harus menyala di hati anak muda, demi bisa mewujudkan kebangkitan bagi bangsa ini. Ketika dia berbicara bisnis terasa ada getaran antusiasme yang saya tangkap, namun bisnis yang telah menjadi mindset dalam dirinya adalah bisnis yang berlandaskan akhlak islami. Walau dia seorang pebisnis tak pernah nampak dari guratan wajahnya bahwa dia seorang yang berorientasi duniawi. Karena saya menyaksikan sendiri, hampir sebagian materi kekayaannya diperuntukkan membantu sesama, dan bahkan saya dengar dari salah satu jemaah disana, dia salah satu tokoh yang berperan dalam pendirian Mushalla yang saya tempati. Inilah sosok pebisnis yang dididik dengan ruh iman. 

Khalili Anwar, Penutur dari Jalan Cahaya