Senin, 30 November 2009

IDUL QURB DAN THANKSGIVING DAY



Baru saja, tanggal 10 Zulhijaah 1430H – tepat 27 November 2009—kita jelang Idul Qurb, sebuah perhelatan akbar tahunan yang menjadi momentum ekspresi syukur suci pada Allah SWT. Takbir, tahmid, dan tasbih terus berkumandang dari masjid, musholla, bahkan di jalan-jalan. Para remaja mengadakan takbir keliling, radio tak lupa menyebarluaskan gema takbir, televisi menyisipkan tagline-tagline berhembuskan takbir. Memang, hari raya Idul Qurb memberikan kesan mendalam bagi setiap pejalan ruhani. Karena, Idul Qurb, seumpama rute perjalanan, adalah stasiun terakhir perjalanan manusia. Idul Qurb, berarti kembali pada kedekatan. 

Mengapa kita terus berjuang agar kembali dekat? Saudaraku, pada mulanya, ketika berada di alam arwah –saat masih berupa janin—kita bersinggasana di ruhul qudsiyah, meresapi kenyamanan, ketenangan, dan kedamaian tak terperikan bersama Allah SWT. Ketika orang telah bersama Allah, sesungguhnya dia telah merasakan surga hati. Bukankah surga pantulan keindahan, kedamaian, dan ketenangan yang tak bisa dilukiskan oleh logika. Dan tidak ada ucapan yang meluncur dari lisan ahli surga, kecuali ekspresi rasa syukur. Memang, syukur sebagai sikap puncak (peak performance) dari sosok yang telah menghayati keindahan surgawi. 

Tidak ada kebahagiaan bagi pencinta kecuali perjumpaan dengan kekasih. Bagi lajang, kerinduan terhadap kekasih begitu membara, dan dia terus melukiskan kriteria yang bakal menjadi penghangat jiwanya tersebut. Ketika belum bersua, dia terus menuturkan dalam beragam ekspresi, kadang kata-kata, kadang lukisan, kadang senyum yang terus terkulum indah dari bibirnya. Akan tetapi, dikala dia bersua, berjumpa, dan beradu mata dengan kekasih yang dicarinya, bahkan hingga memadu kasih, maka tak ada yang bisa diekspresikan kecuali terima kasih, sebagai tanda kebahagiaan yang tak lagi bisa diekspresikan. Akal jadi lumpuh di hadapan kekasih, pikiran jadi lemah di hadapan sang kekasih, tetapi hati menjadi benderang, bagai memperoleh pasokan cahaya yang lebih besar. Hanya ucapan terima kasih yang melulu mengalir dari lisan orang yang telah menggapai pertemuan agung dengan kekasihnya. 

Apa pertautan antara syukur idul Qurb. Jika Idul Fitri sebagai ekspresi cinta yang terus bergolak dalam hati, maka Idul Qurb manandai adanya kedekatan dengan yang dicintai. Jika Idul Fitri mengekspresikan cinta dengan memberikan hadiah dan maaf, maka menjelang Idul Qurb, kita perlu mengungkan rasa syukur, karena yang dilihat hanya keindahan semata. Karena itu, ada sebagian ruhaniwan yang mengemukakan, Idul Qurb menjadi ajang mengekspresikan ucapan terima kasih pada siapapun dan apapun yang telah berjasa dalam hidup kita. Rasa terima kasih tak hanya diungkapkan pada sahabat dekat yang telah menguatkan perjalanan, perlu juga dihaturkan pada orang yang belum dikenal, tetapi tanpa kita sadari mereka juga berkontribusi dalam menjaga kehidupan ini tetap dinamis. 

Sepatutnya kita belajar berterima kasih pada orang-orang terdekat yang turut menguatkan perjalanan kita, berterima kasih pada sahabat, berterima kasih pada alam yang tidak pernah bosan memberikan kehidupan pada kita. Bayangkan, bagaimana rasanya ketika matahari pensiun berhari-hari, tak lagi memancarkan sinarnya? Berterima kasih pada air, yang dari air kita bisa mempertahankan kehidupan. Berterima kasih pada hewan ternak yang telah membantu mengurangi beban hidup. Apakah berterima kasih pada selain Allah tidak dekat dengan syirik? Ingatlah saudaraku, rasa terima kasih yang kita haturkan pada siapapun dan apapun bersumber dari rasa terima kasih mendalam pada Allah SWT. Rasulullah Muhammad SAW bersabda, “Barangsiapa yang tidak bersyukur pada manusia, berarti tidak bersyukur pada Allah.” Dan Allah pun berfirman yang artinya, “Bersyukurlah kepadaKU dan kepada orang tuamu.”

Pitutur itu cukup untuk dijadikan landasan mengungkapkan rasa syukur pada siapapun dan apapun yang telah berjasa pada kita. Apakah kita hanya bersyukur pada orang-orang yang berlaku baik pada kita? Kita harus menebarkan syukur pada seluruh kehidupan, karena kehidupan ini telah dirancang secara interdependen. Apakah kita pantas mengungkapkan syukur pada musuh? Ya, kita masih layak menuturkan rasa syukur pada musuh, karena lewat gangguan musuh rasa sabar kita tertempa dengan baik, bahkan musuh itulah yang telah membentuk kematangan ruhani kita. Tak aneh, untuk melejitkan derajat seorang hamba, Allah kadang mengirimkan musuh yang menebarkan fitnah sana-sini, dan ia sendiri dipandu Allah untuk bisa bersikap sabar dengan aneka fitnah, berikut dipertemukan dengan mutiara hikmah yang menyegarkan dan mendewasakan jiwanya.

Saat Idul Qurb tiba, tidak ada alasan tidak berterima kasih pada siapapun. Mungkin konglomerat kaya raya, tidak pernah terikat bisnis secara langsung dengan petani, tetapi ia setiap hari makan nasi, dan nasi itu dari padi yang ditanam para petani. Kendati tidak berhubungan langsung dengan petani, selayaknya konglomerat tersebut mengirimkan pesan syukur pada petani. 

Dan Saat kita menghayati rasa syukur yang dibagikan pada siapapun dan apapun, niscaya akan terbersit kesadaran dari hati nurani terdalam, pada hakikatnya kita, alam, dan seluruh jagat semesta ini satu. Karena itu Allah telah mengikat kita secara interdependen, saling membutuhkan satu sama lain. 

Mencerna pesan suci yang terbungkus di Idul Qurb itu, maka saya meyakini Islam sebuah agama yang sempurna yang memandu umatnya agar punya kualitas sikap luhur dan tinggi, tak perlu menunduk-nunduk, dan meniru dan minder pada bangsa lain yang pada hakikatnya terbelakang. Jika barat baru menemukan thanksgiving day, sesungguhnya Islam telah menyodorkan Idul Qurb, media untuk mengekspresikan rasa syukur. Wallahu A’lam Bis Showaab. 

Khalili Anwar, Penutur dari Jalan Cahaya

Sabtu, 28 November 2009

IDUL FITRI DAN IDUL QURB



Hari raya terbagi dua, hari raya Fitri dan hari raya Qurb. Adakah sama pesan dibawa dari dua hari raya tersebut? Apa makna yang bisa ditangkap di dua hari raya tersebut dalam konteks pertumbuhan keimanan kita? Kita berusaha membedah dengan hati-hati pesan agung yang tersirat di dua hari raya tersebut, seraya berharap kita bisa merengkuh pencerahan agung, yang membuat kita merasakan kebahagiaan bersama Allah SWT.  

Tentu, kita mendapati kesan, hari raya tanda sebuah pesta kegembiraan, kebahagiaan, dan kemakmuran. Orang mendapati kegembiraan dan kepuasan setelah menjalani beragam pernak-pernik masalah yang menghujani selama ini. Tabrakan masalah telah membentuk kepribadian hidup lebih matang, dan beragam masalah itu pula yang terus membuat jiwa tumbuh pesat. Ya, hanya karena berhasil melewati sekian tantangan hidup, manusia merasakan kepuasan. Lebih dari itu, akar kesuksesan adalah kesabaran. Tepatnya, kesuksesan bersembunyi dibalik kesabaran. Manakala orang telah berlaku sabar, insya Allah bakal merasa kesuksesan benar-benar nikmat. 

Tanpa kesabaran tak ada kesuksesan, bahkan hanya sebentuk kesuksesan instant yang tak pernah membekaskan kebahagiaan mendalam ke dalam hati. Mengapa? Karena kesuksesan tanpa dilandasi kesabaran tidak meniupkan makna. Padahal hanya makna yang membawa manusia pada kebahagiaan. 

Jadi, hari raya dihelat lantaran manusia menjalani masa-masa sulit guna mencapai tujuan hidup yang hakiki, berupa kebahagiaan. Jadilah hari raya sebagai momen untuk mempersembahkan syukur yang tulus pada Allah SWT yang telah menggenapi manusia dengan beragam anugerah. Anugerah terbesar yang perlu dirayakan berupa anugerah iman. Karena hanya dengan iman yang kuat, manusia akan merasa keamanan. Maksudnya keamanan internal. Dan bagaimana iman bisa mencapai pembuahan, maka diperlukan sebuah kesabaran dan ketekunan. Tanpa kesabaran justru iman, alih-alih berbuah, malahan akan mandul. Memang, hanya dengan ikhlas yang berakar dari kesabaran, iman akan berproses menjadi pohon, batang, cabang, bunga, dan akhir berbuah. 

Hari raya diadakan lantaran manusia telah berhasil menapaki perjuangan yang menggetirkan. Berarti tidak ada hari raya tanpa perjuangan. Apa perjuangan yang harus dijalani kita sehingga pantas menghelat hari raya? Hari raya selalu didahului dengan puasa. Hari raya Idul Fitri dimulai dengan puasa Ramadhan, dan Hari raya Idul Qurb diawali dengan puasa 1-10 zulhijah. Apa pesan yang bisa dipetak dari kedua hari raya tersebut. 

Hubungan Idul Fitri bagi Idul Qurb, bagai hubungan tanah bagi bangunan, wudhu bagi shalat. Hanya dengan mencapai suci, manusia menggapai kedekatan dengan Allah SWT, hanya dalam keadaan suci manusia bisa sambung dengan Allah SWT. Meminjam hadis Rasulullah SAW, “kesucian adalah syarat dari iman.” Orang yang belum suci secara batiniah, berarti iman belum menyusup ke dalam hatinya. Padahal hanya dengan iman itulah manusia bisa menjaring keamanan, kenyamanan, dan kebahagiaan yang bersifat internal dan personal. 

Idul Fitri: Proses Penyucian Diri

Pernahkah saudaraku mendengar, Ramadhan yang kita jalani setiap tahun sekali bermakna pembakaran. Maksudnya, pembakaran dosa-dosa yang menempel dalam hati. Hanya ketika dibakar, maka akan ada pembersihan. Bagaikan tumpukan kotoran yang menggunung di halaman rumah, maka cara membersihkan adalah dengan membakarnya. Adapun kotoran yang tersangkut ke dalam hati berkaitan bersumber dari hawa nafsu. Ketika manusia berhasil membakar hawa nafsu, berarti hati telah bersih dan mencapai penyucian. 

Bahkan, andaikan kita pernah mengonsumsi makanan haram, maka untuk membersihkan makanan “terlarang” yang mungkin telah mendarahdaging dalam tubuh kita, bisa dibersihkan dan disucikan dengan puasa. Ketika manusia telah menggapai kesucian, dan berarti hawa nafsu sudah tidak lagi bercokol, maka hati nurani yang menggemakan kesucian bakal terus mengalun merdu. Dan buahnya adalah ketenangan hidup. Ketika orang dikepung kotoran, niscaya terus didera rasa sumpek, gelisah, dan pikiran negatif, namun ketika kotoran itu telah terbakar dan lenyap, maka kebahagiaan personal bakal bergulir sejuk bak salju ke dalam kalbu. 

Hari raya Qurb: Menjalin kedekatan dan Keintiman

Qurb berarti dekat. Dekat tanda orang punya gelora cinta di dalam hatinya. Tanpa cinta, kedekatan tidak bakal dirasakan. Dan cinta sendiri adalah suatu yang suci. Maka tak bisa orang mengotori cinta, cinta tak bisa disentuh dengan suatu yang kotor. Cinta hanya keluar dari hati yang bersih, jernih, dan indah. Ketika cinta telah berkumandang dari hati, maka akan menjadi kompas, juga penarik untuk makin dekat pada Allah SWT. Ya, hanya dengan modal cinta mendalam, manusia akan diarahkan untuk makin mendekat pada Allah SWT. Bukankah hanya dengan magnit cinta yang jauh jadi dekat, yang berpisah jadi menyatu? Karena itu, ketika kita hendak merasakan kedekatan sedeka-dekatnya dengan Allah, maka perlu terlebih dahulu ditanamkan bibit cinta di dalam hati. Ketika cinta telah menghiasi hati kita, maka tanpa kita sadari terus dituntun menuju kedekatan pada Allah SWT. 

Bagaimana tanda orang telah menggapai kedekatan dengan Allah? ketika orang dekat pada Allah, maka akan timbul dua perasaan. Pertama, perasaan damai. Bukankah kebahagiaan seseorang berbanding lurus dengan kualitas kedekatan dengan yang dicintai? Dan kita tidak bisa melukiskan perihal perasaan damai, karena saking personalnya perasaan yang tertiup ke dalam hati kita. Ketika damai terus menerus bermukim dalam hati ini, berarti kedekatan telah memenuhi hati. Dimana ada rasa kedekatan, disana damai tengah menumbuhkan kebahagiaan tak terukur dan tak berbatas.

Kedua, merasakan kesatuan. Ketika rasa kedekatan telah memenuhi batin ini, maka kesatuan dengan Allah amat dirasakan. Telah berhasil melampaui dualitas dekat dan jauh. Karena dekat dan jauh sendiri sebagai cermin masih ada keterpisahan antara hamba dan Tuhan. Sementara sesungguhnya, manusia yang telah berada dalam samudera kesatuan, akan selalu merasa menyatu dengan Allah dimana saja. Saat rasa kesatuan itu telah terbenam dalam hati, maka kebahagiaan tidak pernah berhenti meluap-luap, dan kita terasa selalu berada dalam perhelatan pesta raya setiap saat. Lebih tepatnya, kita menjadi selebritis setiap saat.

Khalili Anwar, Penutur dari Jalan Cahaya 

Selasa, 10 November 2009

MENYEGARKAN KEMBALI PIKIRAN YANG LAYU



Sebulan lebih saya tak mengekspresikan perasaan dan gagasan jernihku lewat tulisan. Terasa ada kerinduan yang membuncah dari hati ini, untuk kembali bisa bertemu komputer sederhanaku, agar bisa menghaturkan kebajikan-kebajikan yang pernah kulihat, pernah kualami, atau pernah kurasakan saat bergaul dengan beberapa sahabat. 

Sebulan lamanya, saya berusaha mengondisikan hati untuk melewati hari-hari di medan tafakkur disertai adanya sebuah dorongan yang kuat di hati ini untuk mewakafkan diri di jalan dakwah secara ikhlas, dikala banyak orang meninggalkan medan dakwah ini. Jalan dakwah memang jalan sunyi yang ditempuh sedikit orang, jalan yang harus bisa menumbuhkan keikhlasan, dan tantangannya adalah bagaimana mengikis sikap tidak ikhlas yang cenderung melintas dari hati dan pikiran. Hanya saya yakin, Allah Maha Tahu usaha saya untuk melewati jalan-jalan yang sarat tantangan tersebut. 

Saya pun makin mantap untuk menekuni dakwah melalui keterampilan menulis dan berbicara di depan umum. Semoga dua keterampilan tersebut dialiri spirit Ilahi juga kerinduan yang tak pernah surut pada Rasulullah Muhammad SAW yang sapatutnya dijadikan model dari zaman ke zaman. Kendati demikian, saya menyadari bahwa menulis dan berbicara hanyalah pantulan dari perasaan (dzauq) yang membuncah di rongga hati ini. Semoga Allah menuntun pembicaraan saya, dan semoga pembicaraan itu terlahir dari kejernihan perilaku batin ini. Sungguh, orang yang sering menulis dan berbicara, namun tak selaras dengan semangat batin dan sikap hidupnya, maka tulisan dan pembicaraan yang diungkapkan hanya menambah kesempitan bagi jiwanya. Kemudian, bagaimana orang yang jiwa dan hatinya sempit dan gelap bisa menghadirkan kelapangan dan pencerahan pada orang lain. Bukankah hanya orang yang punya lampu yang bisa menerangi kegelapan? bukankah hanya orang yang punya air yang bisa memberikan air? Dan bukankah hanya orang yang punya uang yang bisa memberikan uang? Berarti, hanya orang yang memiliki pencerahan di dalam hatinya yang bisa menyuguhkan pencerahan ke hati orang lain. 

Memang, cara efektif untuk bisa memberi pencerahan adalah dengan berusaha memenuhi diri dengan pencerahan lewat perenungan dan mendekati orang-orang yang telah mendapati pencerahan dalam hidupnya. Membaca Qur’an sembari merenungi pesan-pesannya, juga bisa lewat membaca buku-buku yang mengandung pencerahan amat penting untuk memantik pencerahan dalam hati sendiri. 

Mana yang terpenting dari semua itu. Semuanya penting. Ya kalau kita bertanya mana yang penting dari semua itu, memang semuanya penting. Namun, ada yang amat penting dan menjadi perihal primer dari semuanya adalah al-Qur’an yang hidup, yakni guru, yang tak hanya sebatas menginspirasi kita lewat kata, tetapi juga lewat perilaku dan sikap hidup yang dipantulkan. Guru amatlah penting selaku tempat bercermin sekaligus hati bagi seorang murid. Bukankah ketika hati baik, insya seluruh organ menjadi baik adanya. Ketika guru yang dijadikan cermin hidup berkarakter baik, insya Allah murid pun terpandu ke jalan kebajikan seperti yang ditempuh para suci. Bagi saya, guru adalah sumber mata air jernih yang mengalir, sementara hatiku dipenuhi kotoran yang terpercik dari comberan. Alangkah baiknya, kalau aku membasuh lekat-lekat kotoran dengan mandi di sumber yang jernih tersebut, sehingga mendapati wajahku yang penuh kotor berubah menjadi bening dan jernih. 

Dari situ, bisa dimaklumi bahwa guru adalah pemandu ruhani yang bisa memasukkan nilai-nilai indah ke dalam hati. Sehingga keterampilan yang melekat pada diri bisa menjadi lebih bermakna dan menebarkan manfaat yang lebih luas lagi. Beberapa kali guru yang mulia sering meyakinkan saya untuk tetap menekuni dunia tulis menulis. Semoga spirit beliau senantiasa mamantul di setiap ekspresi kalam dan qalam saya. 


Khalili Anwar, Penutur dari Jalan Cahaya

Rabu, 04 November 2009

IKHLAS SEPERTI AKAR



Andaikan pohon, buah dari sikap hidup kita adalah syukur dan akarnya adalah ikhlas. Buah memantulkan semangat syukur, sehingga tak ada yang dilakukan kecuali memberi, tanpa meminta sedikit pun terhadap kehidupan. Adapun ikhlas adalah prinsip akar yang sejatinya memiliki peran yang amat besar bagi pertumbuhan pohon hingga menghasilkan buah.

Dalam ulasan sederhana ini, saya hendak menguak semangat ikhlasnya akar. Bagaimana akar sebagai simbol ikhlas. Ingatlah, ikhlas adalah wajah kembar dari kesabaran. Dalam usahanya dia terus berusaha memberi tanpa pamrih, dan tak pernah memperlihatkan diri sebagai yang amat berjasa terhadap pertumbuhan pohon hingga mencapai pembuahan. Bahkan ketika pohon semakin besar dan tinggi akar makin menghunjam ke tanah, demi bisa meneguhkan posisi pohon. Namun, ketika sudah berbuah, mungkin perhatian orang terlepas pada akar, dan hanya tertuju pada buah.

Buah diperkenalkan kemana-mana, ke banyak orang, tergelar di pasar tradisional, pun bisa melanglang ke gerai-gerai supermarket, supermall, sementara akar tetaplah menghunjam ke tanah sembari berusaha meneguhkan pohon agar sanggup menghaturkan buah kembali. Saking ikhlasnya akar, dia tak pernah sedikit pun mau terlihat sebagai yang berjasa, hingga pohon itu ditebang, akar pun tak mau terlihat, bahkan dia masih berusaha menyalurkan energi positif agar pohon yang sudah tumbang bisa tumbuh kembali. Seperti akar jambu, kendati pohonnya sudah ditebang, dia berusaha menumbuhkan pohon kembali. Betapa akar memiliki jasa yang amat penting bagi pertumbuhan pohon, tetapi tidak pernah sedikit pun terbersit untuk pamer dan menunjukkan sebagai yang paling berjasa. Dia hanya ingin terus memberi dalam kesunyian dan kerendahan dirinya di tanah.
***
Perlu kiranya kita belajar pada kearifan akar untuk peneguhan keikhlasan. Semakin banyak memberi, bukan makin mendongak, malahan makin merendahkan diri. Mengapa mereka merendahkan diri? Karena merasa bahwa ia dianugerahi peluang untuk memberi bukan lantaran usahanya tetapi oleh karena rahmat Allah. Memang, manusia hanya sebatas alat peraga Allah untuk menyalurkan cinta dan kasih sayang-Nya. Tak sepatutnya orang bersikap pamer dan haus pujian dengan aneka jasa yang dipersembahkan. Bahkan terus menghadapkan hatinya pada Allah dengan semangat ikhlas yang utuh, sembari menyadari semua kekuatan untuk bisa memberi bukan karena datang dari dirinya, tetapi karena kasih sayang Allah. Lebih dari itu, terbetot dalam kesadaran, apa yang diberikan dan sifat dermawan hingga dia bisa memberi bukanlah kehendak personal semata, namun merasa telah didesain dan dirancang oleh Allah SWT. Andaikan Allah mau, bisa jadi kita tak diberi kemampuan memberi apapun, bahkan walau yang diberikan ada, kadang kita tercegah untuk memberi karena sifat kelembutan berupa dermawan dan belas kasih belum menyusup ke dalam hati ini. Terbukti, ada orang yang telah menjalani hari-hari sebagai pengemis dari pintu ke pintu, sehingga tak terilhami sedikit pun untuk memberi pada sesama, lantaran dia masih kekurangan dan berjungkir-balik untuk sekadar bisa mengais makanan sehari-hari.

Selain itu, ada orang yang telah dianugerahi kekayaan yang berlimpah, namun tak disaluri sifat belas kasih dan dermawan, hingga kekayaan harta menjadikan jiwanya makin sempit, tak pernah terbersit sedikit pun untuk memberi pada sesama, bahkan dia didera rasa haus untuk bisa menumpuk dan menimbun harta sebanyak-banyaknya. Walau dia kaya secara lahiriah, tetapi miskin secara ruhani. Tak ada sifat qanaah dalam hatinya, akibatnya dia terus diterpa rasa khawatir, takut harta yang diperoleh hilang, juga didorong semangat untuk mendapat lebih banyak lagi. Pun, andai dia memberi tak jarang disertai harapan untuk mendapatkan lebih banyak. Spirit ikhlas tidak tertanam kuat dalam hatinya, padahal tanpa ikhlas orang akan berada dalam keadaan batin yang goyah. Seperti pohon tanpa akar.

Kita pasti mendamba sebagai pohon yang berakar, sehingga hari-hari kita terus diselimuti semangat keikhlasan yang tak terbatas. Bukankah hanya dalam semangat ikhlas orang melulu mencerap kebahagiaan yang hakiki, karena saat ikhlas manusia tengah “bergandengan” dengan Allah SWT. Makanya, begitu bahagia orang-orang yang hatinya diluapi spirit ikhlas. Pekerjaan orang ikhlas adalah memberi, dan kebahagiaan memantul saat bisa memberi. Dan lebih bahagia lagi, ketika pemberian itu hanya diketahui Allah SWT. Dari waktu ke waktu kita harus terus memproses diri agar tersaluri spirit ikhlas, dan selalu bergerak untuk memberi lebih banyak tanpa disertai kehendak sedikit pun untuk mendapatkan pujian dan sanjungan. Karena orang yang terpana dan silau dengan pujian dan sanjungan, akan mengalami kegoyahan iman. Dan orang yang memberi tanpa disertai ikhlas, berarti memberi tanpa disertai iman. Padahal hanya amal yang disertai iman yang bakal meneguhkan jiwa dekat pada Allah SWT.

Khalili Anwar, Penutur dari Jalan Cahaya