Senin, 21 Desember 2009

TERIMA KASIH



Terima kasih bagaikan petikan dawai yang terdengar indah dan merdu di telinga. Bagaikan sentuhan harpa di siang hari. Bagaikan kucuran oasis di tengah savanna yang kering gersang. Setiap orang suka kata indah itu. Apakah terima kasih hanya bertengger dalam kata, tak mengakar di tubuh batiniah? Kata terima kasih pada hakikatnya gema suara yang terlahir dari hati. Hamzah Fansuri mengungkapkan, terima kasih berasal dari dua rangkaian kata, yakni kata terima dan kasih. Terima diartikan sebagai menerima segala apa yang datang dari Allah tanpa mengeluh. Dan kasih, mengasihkan atau mempersembahkan kembali apa yang diterima pada Allah kembali. Sementara selain Allah hanyalah sebagai the channel of thanksgiving (saluran pengungkapan terima kasih). 

Terima, berarti menerima segala hal yang datang pada dirinya, dan disadari sebagai kebaikan yang datang dari Allah SWT. Tak ayal, karena merasa semuanya datang dari Allah SWT, maka pantulan yang berkumandang ke dalam hatinya hanya kebahagiaan semata. Mengapa bahagia? Ya, karena dia selalu bertemu dengan Sang Pemberi Hadiah. 

Dia tak terpukau dengan hadiah yang diberikan Allah, tetapi selalu merasa disambangi, disertai, dan diperhatikan Allah SWT. Merasakan kehadiran Allah setiap saat itulah yang turut memantik kebahagiaan di dalam hatinya. Orang yang bermental “terima”, maka setiap kejadian dan peristiwa yang menyapanya akan selalu menitipkan kekayaan ruhani. Bukankah kekayaan itu hanya melekat pada orang yang menerima. Tanpa protes, tanpa mengeluh, tanpa marah, yang terpancar hanya kesukacitaan menerima setiap realitas sebagai suguhan dan sajian maha lezat dari Allah SWT. Mental “terima” inilah yang juga disebut dengan sikap ridha. Ridha bakal melahirkan kelapangan bagi setiap insan, sehingga tergerak untuk berbagi pada sesama. Orang yang ridha, akan berimbas pada perilaku “kasih.” Orang yang ridha bakal bahagia, dan orang bahagia bakal selalu tergerak membagikan kebahagiaannya pada sesama. Begitulah mental kasih itu. 

Mental “kasih”, berusaha mengasihkan apa yang ada di tangannya pada Allah. Semua dipersembahkan demi mendekatkan diri pada Allah SWT. Pribadi ini telah kehilangan “rasa kepemilikan,” yang terbenam dalam jiwanya, pemilik hakiki hanya Allah SWT. Tak ada pilihan lain, bagi yang tidak merasa memiliki, kecuali menyerahkan kembali apa yang diterima pada Pemilik Hakiki, melalui saluran-saluran yang disukai Pemiliknya. Artinya, kita mengasihkan apa yang kita terima pada makhluk-makhlukNya. Karena kita bisa melayani dan mempersembahkan sesuatu pada Allah dengan melayani makhluk-makhlukNya. Jika kita telah sampai di peringkat terima kasih, maka kita bakal menemukan kebahagiaan dan keberkahan hidup. Bukankah al-Qur’an sudah menjanjikan akan menurunkan keberkahan (ziyadah) bagi orang-orang bermental “terima kasih”. Bahkan kalau kita berusaha menggali ke kedalaman, orang bermental terima kasih tidak hanya menuai berkah, bahkan berkah telah membadan pada dirinya.  

Khalili Anwar, Penutur dari Jalan Cahaya

Senin, 07 Desember 2009

DOSA, JALAN SUTERA MENUJU KEKASIH

Dosa sebingkah kata yang begitu menakutkan. Saking besarnya rasa takut, tanpa disadari kita tak jarang terjebak pada dosa itu sendiri. Kita membenci dosa, namun kita kerap terjaring dalam perbuatan dosa. Makin takut pada dosa, dan fokus pada ketakutan itu, membuat orang makin terjungkal. Seumpama orang yang berada di puncak ketinggian gunung, sembari melihat jurang yang curam. Jika fokus perhatiannya pada jurang yang curam tersebut, maka perhatiannya terdorong pada jurang, dan bisa jadi tanpa disadari akan terjatuh ke kawah tersebut. Semua orang mendamba hidup tanpa dosa, tapi kendati demikian manusia harusnya mengarahkan fokus pada penggapaian kebajikan. Sehingga setiap saat, hanya menghimpun kebajikan yang turut menerangi jiwa. 

Kini, perlu kiranya kita memahami secara utuh, apa hakikat dosa. Bagaimana agar dosa tidak sekadar menyetorkan derita, tetapi bisa menjadi jalan menggapai kebahagiaan hakiki, bahkan bersua kekasih. Mungkinkah orang bisa menemukan kebahagiaan lewat dosa? Sepertinya sih dosa hanya produktif mengirimkan derita ke ranah batin, dan dimaklumi akan selalu menyeret pelakunya ke ruang kegelapan, kekacauan, dan kerusakan. Sebagaimana dimaklumi, dosa sama dengan kegelapan, dan di setiap pojok kegelapan kita tidak akan bisa melihat kebenaran. Lain halnya, ketika manusia dipenuhi pahala, niscaya bakal berkilauan, sehingga akan selalu bersentuhan dengan kebajikan. Apakah benar dosa membuat orang terseret dalam kegelapan, dan pahala membikin orang mudah menjaring cahaya? Apakah benar orang yang mengumpulkan pundi-pundi pahala menggapai kebahagiaan, dan orang yang berdosa selalu tersorong suasana derita yang tak pernah memudar. 

Dosa dan pahala sebuah akibat perbuatan. Sementara kita berusaha menggali sebabnya sebab, dan akibatnya akibat. Ketika kita berusaha menjejaki medan dualitas, niscaya kita tak pernah menggapai kedewasaan ruhani. Kedewasaan ruhani bukan diukur seberapa besar pahala yang direngkuh, tetapi seberapa agung sikapnya di setiap momen peristiwa dan kejadian yang hadir. Dari sudut kearifan, keagungan seseorang tidak diukur kaya dan miskin secara materi, tetapi diukur dari keagungan dan kemuliaan dalam bersikap. Memang, yang membuat orang namanya terus menjulang adalah sikap-sikap agung yang ditampilkan dikala bertegursapa dengan peristiwa dan kejadian. 

Jika ada dosa pasti juga ada pahala, dan benarkah pahala menjadi hal mutlak orang bahagia, dan dosa selalu meringkus manusia dalam penjara derita? Sungguh, kebahagiaan itu bergantung sikap kita dari setiap perbuatan yang mengalir. Kita sadari, sesungguhnya perbuatan buruk itu bukan kehendak hati nurani kita, tetapi terilhami hawa nafsu. Pada hakikatnya hati nurani selalu mendorong kita pada kebajikan, dan hawa nafsu cenderung merongrong dan menyeret manusia pada keburukan. Apa padam nafsu ketika berdosa, dan mulai menggelegar kembali hawa nafsu saat menumpuk pahala. Kadang, ketika manusia telah berbuat kebajikan meletup perasaan puas, sembari membanggakan diri. Seolah perbuatan baik yang ditampilkan murni datang dari kekuatan dirinya. Sikap egoisme yang melambung tinggi lantaran perbuatan bajik yang dilakukan telah meruntuhkan seluruh kebajikan yang telah dijalani. Merasa bajik akan melunturkan, bahkan menghapuskan kebajikan itu sendiri. Tapi orang yang merasa berdosa, akan menghapus dosa itu sendiri. Karena dosa dihapus dengan rasa bersalah dan menyesal.

****
Kini, diantara Anda bakal bertanya, bagaimana dosa membuat orang dekat dengan kekasih. Bukankah dosa sendiri suatu yang dibenci oleh Kekasih? Dosa suatu yang berlawanan arus dengan harapan kekasih, tetapi sesungguhnya lebih dari sekadar itu, Allah melihat apa sikap yang dicetuskan setelah berbuat dosa itu. Andai dosa dilakukan dengan sikap penuh kebanggaan disertai rasa tak bersalah, niscaya makin menambahkan dosa kembali. Namun, ketika dosa disertai perasaan menyesal, sehingga bertobat, sungkem, dan merintihkan tangisan istighfar pada Allah akan dosa yang dilakukan, niscaya dosa menjadi batu lompatan orang menggapai kedekatan dan dicintai Allah SWT. Sebagaimana cuplikan firman Allah, “Sesungguhnya Allah mencintai orang yang bertobat dan membersihkan diri.” 

Apa kaitannya dosa, tobat, dan cinta? Bila kita melihat secara gamblang, seolah tak ada kaitan. Namun, ketika kita berusaha merenungi secara mendalam, maka akan ditemukan kaitan yang amat dialektis antara ketiganya. Ingatlah, saudaraku cinta diperoleh karena tobat, tobat muncul lantaran merasa ada dosa. Dosa sendiri hanyalah tesa, tobat antitesa, dan cinta adalah sintesa. Karena itu, tak ada alasan bagi orang beriman pupus harapan akan rahmat Allah. Karena sesungguhnya kalau mau dikuak secara mendalam, sesungguhnya rahmat Allah meliputi segala sesuatu. Bahkan perbuatan dosa yang dilakukan manusia juga disertai rahmat Allah di dalamnya. Bagi orang yang menyadari ini, maka dibalik segala sesuatu tidak pernah berpisah dan terlepas dari rahmat Allah. Bahkan ketika kita tengah menjalani keburukan, disana meresap rahmat Allah. Karena itu, tak ada alasan bagi seorang hamba berpikir buruk pada Allah. Pantas saja, pupus harapan itu hanya disandangkan pada orang kafir, yang terhijab dalam pengenalan pada Allah SWT. Betapa banyak orang yang nyungsep dalam perbuatan dosa, kemudian bangkit untuk menghadap pada cahaya pengampunan. Merintih, menangis, dan bertobat, kemudian dari kegelapan yang pekat dia dipendari cahaya yang membuatnya makin dekat pada Allah SWT. 

Ketika orang disusupi rasa berdosa, maka akan terus berusaha menghapus dosa, dengan tobat, terbetik rasa sesal yang mendalam, disertai amal kebaikan-kebaikan lain, sembari terpancar rasa optimis bahwa Allah akan mengampuni segenap dosa-dosanya, setelah meyakini sifat Allah Yang Maha Pengampun (Al-Afuwwu), bahkan Yang Maha Penghapus Dosa (Al-Ghaffar). Melihat diri yang berlumur dosa, maka akan terbersit perasaan rendah diri dan hina, dan ketika memandangi kasih sayang Allah, maka hidup menjadi optimis atas anugerah pengampunanNya yang tak terbatas. Merasa gelap penting, tetapi jangan terpaku oleh kegelapan, karena kita tak menemukan cahaya apapun. Kita boleh merasa gelap, tapi disertai rasa optimis bahwa cahaya pun bakal hadir. Begitu juga ketika kita berbuat dosa, janganlah merasa terpaku, dan terjebak untuk terus memikirkan segenap dosa, tanpa memandang horizon pengampunan Allah Yang Maha Luas. 

Ketika orang terjebak dalam dosa, dan merasa bahwa dia tak berkuasa sedikit pun untuk mengendalikan dan menguasai diri, hanya karena kehendak Allah semata perbuatan baik terlahir, niscaya dia akan ditolong Allah untuk makin dekat dengan kebajikan yang diharapkan, yang berarti dekat dengan Allah itu sendiri. Dan dia telah digerakkan Allah bisa mendaurulang keburukan sebagai kebajikan. Keburukan dosa-dosa telah menjadi sarana makin dekat pada Allah SWT. Karena orang-orang yang bertobat senantiasa dicintai Allah SWT, sebagaimana sabda Rasulullah SAW,” Sesungguhnya orang yang bertobat adalah kekasih Allah, dan orang yang bertobat adalah seperti orang yang tidak punya dosa.” 

Sekarang saatnya kita mencintai Allah dengan jalan bertobat terus-menerus, dengan merasakan tumpukan dosa, dan disertai rasa optimis bahwa Allah akan menganugerahi pengampunan sebagai tanda sifat kasih sayang dan pengampunanNya yang tak terbatas. 


Khalili Anwar, Penutur dari Jalan Cahaya

Jumat, 04 Desember 2009

SAYA MENDAMBA JADI MANUSIA PRIMITIF



Di sebuah kesempatan, guru kami yang mulia meluncurkan kearifan yang turut meniupkan kesegaran ke dalam hati. Menurut beliau, primitif bermakna asli, berakar dari bahasa Yunani Primus, dan diadopsi ke dalam bahasa Inggris menjadi Prime, yang berarti utama. Saya pun segera mencerna pemikiran yang didulangkan guru yang mulia. Andai primitive itu diartikan sebagai yang asli, original, otentik, berarti layak jadi gaya hidup yang terhormat. Tak ayal, sifat itu menjadi dambaan terdalam setiap insan? Ciri manusia primitive gampang berkata jujur, sulit berkata dusta. 

Jujur saja, kita menginginkan orang yang jujur, tidak berpura-pura, tidak gampang tipu sana-sini, dan selalu berkata polos. Kita menginginkan teman yang jujur, partner bisnis yang polos, mendamba relasi yang tak berbalutkan intrik. Dengan berbekal kejujuran dan keaslian, manusia bakal selalu menemukan terang dimana saja. Tuhan bermukim di hati orang yang jujur. Bukankah hanya orang yang berpikir dan berbuat apa adanya yang bakal selalu menemukan keindahan dalam hidup. Dan hanya orang yang mengada-ada, penuh pretensi yang melulu dibajak kekecewaan dan kepedihan. 

Hanya saja, selama ini kita sudah meremehkan manusia primitif dengan kesan sebagai manusia terbelakang, dan lebih akrab dijuluki manusia Jadul (jaman dulu). Mengapa mereka dianggap jadul. Ya, mereka dipandang jadul, lantaran ketika orang beramai-ramai bermain intrik dan menebar fitnah, dia masih sanggup berjuang dalam pusaran pengaruh integritas diri yang berisikan jujur. Ketika orang berlomba-lomba mengejar kedudukan bergengsi dengan beragam cara tuna nilai, dia hanya terlihat termangu-mangu dan merasa asing. Ketika orang bersaing membalut citra diri palsu, dia tetap memilih untuk menunjukkan apa adanya. Dia menyadari, balutan citra hanya kemasan sementara, ada saatnya kemasan itu bakal robek, dibuang, sehingga yang terlihat hanya isi semata. Apakah sama antara citra kemasan dan isi yang terbungkus? Disanalah integritas dan kejujuran dipertaruhkan. 

Apakah manusia primitif identik dengan orang yang tertinggal dalam informasi, teknologi, dan trendsetter bisnis? manusia primitif tidak terkait soal ketinggalan informasi, tetapi berkait dengan keteguhan memandang hati nurani sebagai panduan utama dalam melangkah. Dia masih menjadikan hati nurani sebagai commander yang mendorongnya bergerak dan berbuat. Pikiran, dan tindakan terpandu secara integral oleh hati nurani. Manusia yang masih tersambung dengan kejernihan hati nurani disebut manusia primitif (manusia utama) yang berada dalam arus sejarah. Karena mereka punya panduan lekat, berupa hati nurani yang jernih, maka perbuatannya selalu terarah menuju kebahagiaan. Kejujuran, penuh integritas, dan kredibilitas telah melekat kuat dalam dirinya, tak pernah sedikit pun bergeser antara suara hati dan perbuatannya. Karena perbuatan yang tergelar sebagai ekspresi yang dituangkan hati nurani. Tepatnya, perbuatan sebagai cetakan nyata dari hati nurani. 

Kini, terasa sekali bahwa jujur dan polos hanya layak dikenakan orang yang bermental terbelakang. Kejujuran terasa langka, bahkan dusta telah menjadi habit publik sebagaimana dipertunjukkan berbagai saluran media yang ada. Dari kebohongan pengusaha, hingga pejabat tinggi, mungkin rakyat kecil juga tertulari penyakit dusta tersebut. Di suatu kesempatan, saya chatting dengan teman semasa Madrasah Aliyah di Madura. Panggil saja namanya, Vinda Rosyidi. Di sekolah, dia termasuk siswa yang cerdas, vokal, dan selalu menguasai debat. Saya sebagai teman akrabnya, menyukai gaya bicaranya yang fasih dan segar, kadang-kadang disertai diplomasi. Tepat di awal tahun 2000 saya berpisah dengannya. Dia melanjutkan studi ke IAIN Syarif Hidayatullah, sementara saya sendiri melanjutkan ke kampus swasta di Surabaya. Sejak awal, saya menduga dia akan jadi politisi, setidaknya politisi kampus, terlihat dari keterampilannya mempengaruhi teman-teman aktivitas sekolah. 

Sudah lama saya tidak ketemu dia. Setelah saya punya akun facebook, alhamudlillah saya bisa menjalin komunikasi kembali dengannya. Di dalam percakapannya, dia mengutarakan bahwa hidup di Jakarta membutuhkan keberanian untuk tidak jujur. Siapa yang jujur akan hancur. “orang jujur tidak punya opportunity untuk bisa sukses, “ tambah dia lagi. Kata-kata itu sempat menyentak perasaan saya. Tersentak bukan karena perkataan itu, tetapi dia sendiri bersikap permisif dengan penyakit dusta yang mewabah selama ini. Di zaman sekarang, terasa manusia primitif –manusia yang dipandu dengan kejernihan hati—semakin langka. Ketika sikap primitive berupa kejujuran, integritas, dan krediblitas telah memudar dari horizon kehidupan manusia, pertanda semangat agama mengalami senjakala, ditelan peradaban yang beroientasi duniawi. Padahal kebahagiaan hanya berpihak pada orang yang berperilaku primitif tersebut. Orang yang penuh intrik dan dusta justru makin jauh dari medan kebahagiaan yang diharapkan. Alih-alih menggapai kebahagiaan yang sempurna, malahan terjebak dalam derita sepanjang masa. 

Sekarang, kita selalu berusaha menjadi manusia primitif yang mau memegang teguh nilai-nilai universal yang bersumber dari hati nurani dan diperkuat oleh agama. Kita harus tetap teguh kendati berada di tengah kepungan manusia modern yang menyingkirkan spirit kejujuran. Mari kita berlatih dengan keyakinan, menjadi manusia primitive itu lebih bahagia. Karena manusia primitive manusia berkesadaran hati nurani.  


Khalili Anwar, Penutur dari Jalan Cahaya