Rabu, 01 Desember 2010

MENELAAH MUSIBAH DARI PERSPEKTIF CINTA

Bangsa Indonesia diterpa prahara bertubi-tubi, dari banjir Wasior di Papua, Gunung Merapi di Jawa Tengah, dan Gempa di Mentawai, Sumatera Barat, bersambung oleh gejala aktifnya Gunung Anak Krakatau. Patut kiranya aneka peristiwa menggetirkan itu menjadi bahan refleksi nasional, berikut menginspirasi kesadaran kebangsaan, agar tergerak menjadi negeri yang dilimpahi keberkahan dari langit dan bumi.

Bencana yang menimpa berbagai daerah, janganlah hanya dianggap sebagai bencana untuk wilayah tersebut dan menjadi bahan pikiran bagi korban semata, tetapi diharapkan bisa mengetuk kesadaran seluruh bangsa agar bersikap simpati, empati, bahkan berusaha menyelami perasaan mereka yang ditimpa musibah. Bagaimana perasaan anak-anak yang tidak berdosa? Bagaimana perasaan perempuan yang ditinggalkan suaminya? Bagaimana perasaan anak-anak yang ditinggal ayah dan ibunya? Keadaan itu perlu mengetuk kesadaran kita sebagai satu bangsa dan satu umat.

Selaku satu bangsa apalagi sesama umat Islam, kita jangan pernah menghakimi korban sebagai orang yang berdosa. Ingatlah, dosa manusia berada dalam rahasia Allah. Kita tidak boleh mengklaim orang lain berlumur dosa. Kita belajar melihat dari jendela belas kasih, sehingga yang terpantul dari setiap sikap kita hanya belas kasih semata pada orang-orang yang berada di lingkaran musibah. Kita, selaku umat Islam, tidak patut berburuk sangka pada saudara sendiri, karena di beberapa tempat yang mengalami bencana, pasti juga ada komunitas muslim. Padahal berburuk sangka pada sesama adalah suatu yang tidak disukai Allah SWT.

Kenyataan pahit itu layaknya menjadi bahan introspeksi bagi kita, bukan bahan ekstrospeksi orang lain. Yakinilah, orang tidak pernah bisa menggali hikmah di balik kejadian buruk, kalau dialiri spirit menghakimi dan menyalahkan orang lain. Carilah terang di setiap makhluk Allah, niscaya kita bisa menambang hikmah melimpah. Adapun sikap pada diri sendiri, kita harus menjelajah titik gelap yang menodai diri, berikut dibersihkan, agar kian hari hati menjadi lebih bening dan terang. Bukankah di rumah yang terang orang bakal memeroleh keterangan-keterangan agung?

Bagaimana menelaah musibah dalam perspektif cinta? Ketika hati kita penuh cinta, tiada yang terpantul dari setiap tindakan kita kecuali dijiwai cinta. Semesta ini terlahir dari cinta, serupa manusia terlahir dari rahim ibu, maka sejatinya semesta terlahir dari sifat “rahim” Allah SWT. Berarti, seluruh kehidupan terlahir dari spirit cinta. Kalau terlahir dari spirit cinta, tiada yang menyertai kehidupan makhluk kecuali cinta.

Kejadian yang meletup akhir-akhir ini pasti terpancar dari mata air kasih sayang Allah yang tanpa batas. Karena itu, diharapkan kejadian tersebut membuat orang bisa kembali pada Allah SWT. Semua menyeru dan bergerak kembali pada Allah, pun kita bersemangat kembali pada Allah dengan cara terus menelaah dan mengintrospeksi diri sendiri, bagaimana hubungan kita dengan Allah SWT. Boleh jadi, lewat kejadian pahit ini sejatinya Allah hendak memancing bagaimana kerekatan persaudaraan kita sebagai bangsa atau sesama umat Islam? Apakah kita lebih suka menghakimi orang lain, atau hati kita tersentuh untuk berbagi dan menolong mereka? Bagaimana andaikan kita tak bisa membantu dalam bentuk materi? Ya, setidaknya ada spirit yang menggenangi jiwa kita untuk menjadi bagian solusi atas musibah yang menerpanya, minimal mendoakan mereka sebagai sesama muslim atau satu bangsa.

Penghakiman, berburuk sangka, apalagi kutukan tidak menambah terang keadaan yang diliputi gelap, malah membuat keadaan makin pekat. Karena itu, bagaimana kita hadir menjadi orang yang bisa mengantarkan suluh cahaya belas kasih bagi mereka, sehingga mereka merasa memiliki saudara. Mereka tidak sendirian, mereka memiliki saudara sebangsa. Tetapi, kalau keakuan dalam bentuk individualism atau chauvinisme masih menebal di tubuh batin bangsa, justru yang meruyak semangat menyalahkan dan berburuk sangka. Padahal, boleh jadi kenyataan tersebut sebagai cara Allah untuk menumbuhkan spirit persaudaraan sesama muslim dan kebangsaan. Spirit menghakimi dan berburuk sangka sendiri rentan merapuhkan persaudaraan.

Apakah ketika sebagian komponen bangsa sakit, semua komponen bangsa merasa sakit? Atau kepekaan negeri ini semakin tajam? Apakah kepekaan pemimpinnya tetap tumpul? Apakah pemimpin negeri ini lebih meluangkan waktu untuk merasakan dan memperhatikan apa yang diderita rakyatnya, atau lebih sibuk mempertahankan kedudukan dan citra diri? Masihkah pemimpin sibuk memikirkan citra diri ketika harus berhadapan dengan musibah yang memedihkan rakyat kecil itu?

Kejadian besar itu tidak hanya tertuju pada satu daerah terdampak, tetapi diharapkan bisa membuka kesadaran dan mata hati seluruh bangsa, dari rakyat kecil hingga pemimpin bangsa. Ketika seluruh komponen bangsa merenungi dan memikirkan pelajaran agung dibalik kejadian tersebut, insya Allah kejadian itu bisa menginspirasi bangsa mengalami kebangkitan bersama. Diharapkan timbul kembali rasa gotong royong yang kini perlahan-lahan memudar, tenggelam oleh sikap individualisme yang lahir dari perut kapitalisme. Bisakah kejadian ini memutus mata rantai individualism yang sudah begitu kuat?

Inilah tugas yang dipikulkan pada kita dari kejadian besar tersebut. Selayaknya bangkit semangat membantu, perlahan-lahan tergerus spirit keakuan yang masih bersemi di dada anak bangsa. Kita bisa bercermin pada peristiwa Gempa Tsunami yang melanda Aceh beberapa tahun silam. Kejadian itu tak hanya bisa memanggil kebersamaan anak bangsa, bahkan bangsa-bangsa luar pun turut terinspirasi berbagi kemanusiaan di Aceh. Ketika setiap komponen negeri telah berhasil menyatukan jiwanya dalam jiwa bangsa, insya Allah disanalah identitas kebangsaan akan mengejawantah secara optimal.

Percayalah, kasih sayang Allah melampaui kemurkaan-Nya. Kalau kasih sayang Allah melampuai kemurkaan-Nya, mengapa kita tidak mengutamakan kasih sayang ketimbang kutukan. Allah mencintai hamba-Nya, lebih dari kecintaan ibu pada anaknya. Lalu mengapa kita tidak berusaha menempa spirit cinta selaras dengan cinta yang dicontohkan Allah dan Sayyidina Muhammad SAW pada korban kejadian yang menimpa negeri kita tercinta?

Syaikh Muhammad Dhiyauddin Qushwandhi
Ditranskripsi: Khalili Anwar

BERSABAR DALAM IMAN

Keyakinan memantulkan sikap hidup, sabar, syukur, ridha, dan tawakkal. Seluruh sikap itu menandai adanya iman atau keyakinan di hati. Andaikan tidak ada sabar di jagat batin kita, menandai spirit iman belum menghunjam di lubuk hati. Kita berusaha meneguhkan keyakinan sehingga memancar aneka sikap elok yang menjembatani kita makin dekat pada yang kita yakini. Pada mulanya kita belum melihat apa yang kita yakini, tetapi kita berproses melihat apa yang kita yakini. Mencapai tangga haqqul yaqin.

Bermula dari adanya tantangan dan problem hidup, disitulah daya keimanan tengah dicoba. Apakah kita bisa bersabar dengan kenyataan pahit yang tengah menerpa. Sabar sebagai senjata luar biasa yang bisa mengantarkan manusia menuju kesuksesan. Kesabaran berasal dari keyakinan bahwa seluruh rangkaian peristiwa tidak pernah luput dari sentuhan Kekuasaan Allah, dan Kekuasaan Allah didasari oleh kehendak-Nya, Kehendak-Nya berlandaskan pada ilmu-Nya, sementara ilmu Allah terbingkai oleh kasih sayang Allah tanpa batas. Kristalisasi kesadaran itu akan meneguhkan kesabaran kita dalam mengarungi tantangan hidup.

Ujian kesabaran datang dari berbagai arah, yang lazim dari kesulitan ekonomi dan gangguan manusia. Dalam konteks ini, kita akan membincangkan bagaimana bisa bersabar menghadapi gangguan manusia. Tak sedikit orang merasa sakit secara psikologis ketika bertemu malah satu kantor dengan orang yang suka mengganggu, dan menyakiti.

Sosok mulia tidak pernah sepi dari ujian manusia, malah andaikan ada seorang ulama’ belum mendapatkan ujian dari sesama, terkesan belum teruji keulamaannya. Di tengah menekuni dakwah, mungkin ada orang yang menebar berita negatif soal kita, bahkan sampai pada tataran memfitnah, merusak nama baik. Tetapi berlian tetaplah berlian, kendati diinjak ia tidak akan pernah berubah. Karena tidak berubah, maka daya tarik orang-orang berhati nurani tetap saja semakin kuat. Bahkan saat mendapatkan terpaan cacian dari orang lain, keindahan dirinya semakin terpancar besar. Al-Qur’an sendiri memberikan tuntunan bagi kita, ketika mendengar perkataan jelek, berupa cacian, yang mengarah pada kita dengan pesan yang amat anggun.

“Dan bersabarlah terhadap apa yang mereka ucapkan dan jauhilah mereka dengan cara yang baik.” (QS. Al-Muzammil [73]: 10).

Lalu apa kesadaran yang harus dibangun untuk menumbuhkan keyakinan dalam kesabaran itu?

Pertama, meyakini Allah selalu Ada. Allah tidak pernah berpisah dengan kita. Tinggal kita meyakini kesadaran tersebut. Kalau kita belum meyakini bahwa Allah selalu bersama kita, niscaya akan berdampak pada rapuhnya keberanian kita bertindak dan menghadapi masalah. Bukankah orang hanya merasa takut ketika sendirian? Bahkan kendati ada teman, tetapi temannya sama-sama takut, justru tidak bergelora api keberanian di jiwanya. Dia ikut berani ketika orang yang menemaninya seorang pemberani, perkasa, dan mampu melerai masalah sebesar apapun.

Ketika kita sudah merasa bersama Allah Yang Maha Agung, Maha Perkasa, Maha Tahu, dan Maha Kasih Sayang, maka hati tak tersentuh kekhawatiran sedikit pun. Seperti isyarat Sayyidina Muhammad SAW pada sahabat karibnya, Sayyidina Abu Bakar Ash-Shiddiq, “jangan cemas, Allah bersama kita.” Perkataan Sayyidina Muhammad SAW yang memancar dari lubuk keyakinan mendalam, tentu akan memantulkan vibrasi keyakinan pula pada diri Sayyidina Abu Bakar ra. Kita mungkin tidak memiliki pembela dalam menegakkan kebenaran, jangan pernah sedikit pun merasa gentar, karena ada Allah Yang Maha Menjaga dan Maha Menolong hamba-hamba-Nya yang bertawakkal.

Bukankah orang begitu sedih lantaran selalu bergantung pada kebaikan makhluk, atau terlalu fokus pada keburukan makhluk. Tetapi ketika terus menghadapkan wajahnya pada Allah yang selalu ada bersamanya, niscaya dia akan merasakan ketenangan. Lewat ketenangan mendalam maka akan memantul kerja-kerja yang lebih produktif. Semangat kita juga melambung ketika selalu merasa diawasi bahkan ditolong Allah SWT.

Kedua, dalam kesulitan ada kemudahan. Keyakinan itu harus mengkristalisasi di ruang kesadaran kita. Kesulitan tidak selamanya menghuni kehidupan kita, ada saatnya cahaya kemudahan akan terbit. Bahkan kesulitan hanya sebagai pintu awal menuju kemudahan demi kemudahan, jika kesulitan itu dijelang dengan kesabaran yang teguh. Kita berusaha meresapi pesan Allah.

“karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan. Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan.” (QS. Al-Insyirah [94]:5-6).

Rahmat Allah mengalahkan kemurkaan-Nya. Kasih sayang Allah amat luas, tak ayal kesulitan yang dihadiahkan mengantarkan kita pada gerbang kemudahan demi kemudahan. Sikap tepat menghadapi kesulitan adalah sabar. Bukankah kesabaran menghadirkan cahaya yang menunjuki kita pada kemudahan?

Ketiga, suatu yang tidak mungkin menurut hukum kebiasaan tidak mustahil bagi Allah। Pengetahuan manusia terbatas, tetapi keyakinan manusia tidak terbatas, karena tertuju pada yang tak terbatas, Allah Azza Wajalla. Pikiran cenderung membatasi rahmat Allah, tetapi keyakinan menyadari rahmat Allah tak terbatas, bergantung prasangka hamba-Nya. Manusia akan memeroleh apa yang diyakini. Ketika keyakinan pada Allah terpatri kuat di hati, niscaya hidupnya tidak pernah tersentuh kekhawatiran, dan pesimisme. Yang memancar adalah optimisme yang tak pernah redup. Dia lebih yakin pada kekuasaan Allah daripada siapapun, bahkan pada pikirannya sendiri. Bukankah pikiran sering berperan sebagai monster yang kerap menakut-nakuti manusia untuk bertindak besar, tetapi keyakinan akan siap menerobos halangan sebesar apapun dengan bersandar total pada Allah SWT. Ketika orang telah dihuni keyakinan di hatinya, maka dia akan melakukan tindakan-tindakan melampaui rasio. Tindakan-tindakan melampaui rasio inilah yang sering menorehkan sejarah agung dalam kehidupan.

Keempat, berbuat ihsan pada sesama. Perbuatan ihsan amat disukai Allah, bahkan nilai ketakwaan seseorang tercermin dari spirit ihsan yang memancar pada perilaku dan sikap hidupnya. Ihsan dalam bahasa lain memberikan tambahan kebaikan. Seperti halnya, ada orang yang menjual sayuran di pasar, ketika para pembeli membeli beberapa ikat sayuran, penjual tersebut menambahinya dengan lombok atau kecambah. Tambahan itu disebut ihsan. Ihsan tidak hanya menggerakkan orang berbuat baik, tetapi berbuat lebih baik.
Ketika orang sudah masuk dalam tataran ihsan, tidak hanya memberikan maaf pada orang yang mengganggu dan memfitnah, bahkan dia berani berbuat baik pada orang yang nyata-nyata berbuat jahat padanya। Ada seorang ulama yang dikecam dan dicaci maki seorang yang bersebrangan, karena menganjurkan tradisi Maulidur Rasulullah SAW. Orang yang mencaci maki tersebut tidak sepakat bahkan menganggap maulidur rasul sebagai suatu tradisi bid’ah. Maka suatu ketika sang ulama bertemu dengan orang itu di sebuah pertemuan, seusai mengungkapkan salam, ulama itu langsung mencium tangan orang tersebut, dengan penuh kerendahan hati. Sontak, orang itu menangis tersedu-sedu, bagaimana mungkin ulama besar mencium tangannya, sementara puteranya sendiri saja tidak pernah mencium tangannya. Inilah sebuah formula akhlak indah yang dicontohkan Sayyidina Muhammad SAW.


Mari kita teguhkan kesabaran dengan kesabaran yang berlipat-lipat, disana sedang menunggu rahmat Allah yang begitu luas, keridhaan-Nya.

Syaikh Muhammad Dhiyauddin Qushwandhi
Ditranskripsi: Khalili Anwar

Minggu, 22 Agustus 2010

RAMADAN DAN FACEBOOK

Bermain facebook, suatu yang lumrah bagi orang yang hendak memperkaya jaringan dan pertemanan. Setiap insan diberi naluri bergaul dan memperbanyak sahabat dari berbagai stratifikasi sosial, hanya saja kadangkala facebook membuat orang kecanduan “ekshibisionisme” memerlihatkan karya-karya, bahkan tak urung domain pribadi kadang sering diungkapkan di facebook. Terjadilah curhat dari satu facebooker ke facebooker lainnya. Respons berbalas respons inilah yang terus membuka ruang berkomunikasi yang saling terhubung.

Facebook tidak menjadi masalah sepanjang kita mampu mengendalikan penggunannya dengan baik. Ia menjelma sebagai gurita membahayakan manakala membuat kita kegandrungan, bahkan hati merasa gelisah jika belum mengetahui berapa orang yang meng-contact, meng-add, atau memberikan komentar terhadap status kita. Hasrat tampil dan ingin diketahui sering menyeruak dari hati, sehingga selalu terpacu show of force setiap saat. Banyak kata yang dilekatkan di dinding sebagai status, adalah kata-kata indah, memukau, puitis, bahkan membikin orang tergoda, walau sejatinya kata-kata yang diungkapkan belum tentu jadi gambaran sejati orang tersebut.

Andai kita bisa menebar kata-kata mutiara yang menggugah rasa, insya Allah itu menjadi saluran berbagi kebahagiaan। Tapi, anehnya facebook sering menjadi saluran mengekspresikan perkataan remeh-temeh, tidak berbobot, dan hanya sebatas seliweran, sehingga setiap tulisan yang ditampilkan tidak mengantarkan pesan indah di hati orang lain. Ada lagi yang lebih berat, tulisan status dan komentarnya tidak mendidik, kotor, dan perkataan dari comberan.

Puasa membimbing kita agar pandai menjaga ungkapan, baik secara oral atau tulisan, agar amunisi yang dikeluarkan tidak sia-sia। Bukankah kesia-siaan hanya menumpukkan kotoran di hati, berikut memantulkan penyakit ke dalam hati. Puasa mengajak kita mengurangi berbicara dan menjalin pergaulan duniawi, namun kehadiran facebook malah kian mempermudah kita menjalin hubungan dengan banyak orang, bahkan bisa melampaui batas negara. Kita boleh tidak keluar rumah, namun tembok rumah sudah tidak lagi jadi sekat agar terhubung dengan banyak orang.

Apakah berarti kita tidak boleh main facebook di bulan Ramadan ini? Kita boleh main facebook sepanjang masih memiliki manfaat bagi kehidupan, dan mengurangi dari perkataan sia-sia। Rasulullah SAW bersabda, “paling baiknya orang keislamannya adalah meninggalkan suatu yang sia-sia.” Ramadan sejatinya mendidik kita agar bisa mengurangi aktivitas yang menjebak pada kesia-siaan.

Ramadan menjadi lahan istimewa guna menanam suatu yang istimewa yang punya efektifitas terhadap kehidupan ruhani kita. Andaikan facebook itu dipandang bisa memberikan kejernihan bagi batin, silahkan gunakan facebook. Namun, kalau kita merasa bahwa facebook hanya mewarisi “ketidakbermaknaan” dan kehampaan ke dalam hati, alangkah baiknya kalau kita menilai kembali kegunaan facebook, demi bisa memanfaatkan kesempatan Ramadan secara optimal.

Jiwa setiap orang ingin terus terhubung dengan orang lain, suka suasana ramai, tidak menyukai kesepian. Ketahuilah, hawa nafsu sering merangsang manusia untuk berpadu dengan keramaian, alias tidak menyukai kesepian. Manakala orang terus gandrung masuk di dunia “keramaian facebook” tanpa kontrol, kekuatan nafsu akan mengembang. Padahal penderitaan itu bermula dari pemenuhan terhadap apa yang disukai hawa nafsu.

Bulan Ramadan kita harus lebih sering bersentuhan dengan situs-situs yang menyuburkan pertumbuhan ruhani. Bertemu dengan al-Qur’an sembari menafakuri, menjalani zikir, menulis, dan andaikan mau berselancar di facebook, usahakan agar setiap apa yang diungkapkan selalu bisa menumbuhkan ruhani kita.

Tulisan ini hanya memperingati diri sendiri.

Khalili Anwar, Penutur dari Jalan Cahaya

Jumat, 20 Agustus 2010

DENDAM

Dendam sebagai akumulasi kebencian yang mengurat dalam hati. Andai dendam menduduki dan mencabik-cabik hati manusia, niscaya akan gampang terbakar dan menyemburkan bahaya besar. Perang, pembunuhan, dan pembantaian berakar dari dendam yang terus menggelapkan batin. Batin gelap hanya bisa menampilkan dan memantulkan kegelapan semata-mata. Tak ada ketenangan yang menetes di hati orang yang berbalut dendam. Yakinilah, orang yang telah tertembus perasaan dendam tidak mendapati oasis cinta universal dan meluas.

Penyakit dendam tidak sebatas menjangkiti kalangan awam agama, bahkan bisa diidap kelompok elite agama, dimana agama sendiri belum bisa diposisikan sebagai cahaya petunjuk jitu di pengarungan kehidupannya. Agama hanya dijadikan kedok dan topeng membalut citra apik di hadapan sesama, namun hatinya dipenjara dendam yang sulit diredam. Mungkin saja sesama tokoh masyarakat terjebak dalam penyakit batin ini, sehingga tidak pernah bisa menata keselarasan spirit mendidik dan mengarahkan masyarakat.

Dendam superbahaya bagi lestarinya rasa kasih sayang. Penyakit inilah yang turut menggerus spirit cinta yang mengembang di masyarakat, dan makin menebar fitnah yang berujung pada pembunuhan karakter hingga pembunuhan fisik. Ketika dendam merasuk ke jantung hati manusia, niscaya dia tidak bisa mencari sisi cahaya pada orang yang amat dibenci tersebut. Bagaimana agar kita bisa kebal virus dendam ini?

Pertama, Jauhi prasangka buruk. Dendam tumbuh dari bibit kebencian, dan kebencian terlahir prasangka buruk. Via prasangka buruk tersebut, orang tergerak menghimpun sisi negatif yang ada pada orang lain. Himpunan citra negatif itulah yang mamantik kebencian dalam hati, apalagi kemudian bergesek di pergaulan sehari-hari. Jika orang yang dibenci itu, melakukan sedikit kesalahan saja, niscaya hatinya menjadi kian terbakar dan panas. Rasa panas yang memenuhi dinding hati inilah yang nantinya akan berakibat fatal, dan membuat pengidapnya akan terus didera kepanasan batin. Dendam.

Agar dendam tidak menembus relung batin, kita berusaha membersihkan dinding hati ini setiap saat dengan proses muhasabah yang intens. Kalau biasanya kita kerap terjebak dengan prasangka negatif ihwal orang lain, kita berusaha agar terampil menggali dan menangkap sisi positif yang melekat pada perilaku orang lain. Kala kita terampil memotret sisi positif orang, niscaya kita telah berhasil menghiasi batin kita dengan spirit positif yang insya Allah akan membuahkan kebahagiaan.

Jika dulu kita lebih suka memotret pribadi orang lain dari angle negatif, kini berusaha memotret sisi positif yang tidak hanya membuat kita bahagia, orang lain pun turut terluapi kebahagiaan. Andaikan, tiba-tiba terpantik pikiran negatif tentang orang, buanglah jauh-jauh, dan memandangnya sebagai kotoran, yang dikhawatirkan mengkristal sebagai kanker spiritual bagi hati. Berlatihlah melihat orang lain dengan cahaya terbaik yang menghasilkan ketenangan. Bagi orang yang selalu melihat orang lain dari kegelapan pikiran, akan memantulkan derita ke ruang hati. Sebaliknya, orang yang terampil melihat sisi baik, maka akan terpantul kebahagiaan ke relung hati.

Kedua, melakukan muhasabah. Kita selalu menjelajah siapa sejatinya diri kita? Mungkinkah kita bisa menangkap dan memotret sisi gelap yang berteduh di batin kita? Andaikan ada kotoran dan kegelapan yang memenuhi batin, sadarilah dan segera hapus dengan penyesalan mendalam. Kunci muhasabah adalah menelisik sisi negatif yang masih nangkreng di hati, berikut menghapus dan berupaya tidak mengotori hati kembali.

Muhasabah amat penting agar virus negatif tidak meresapi relung hati. Bukankah setiap pikiran, sikap, dan perbuatan kita akan memantul pada diri kita sendiri. Tidak ada sikap dan perbuatan kita yang membahayakan orang lain, hanya membahayakan diri sendiri. Bahaya terbesar yang merusak manusia, adalah bahaya penyakit hati. Agar kita bisa selamat dari penyakit hati, muhasabah menjadi jalan efektif untuk bisa menelisiki sisi negatif yang menunggangi hati. Ingatlah, timbulnya prasangka negatif karena orang terlena menilai orang lain, dan setiap menilai orang melulu tertuju pada sisi negatifnya.

Saking pentingnya muhasabah, Rasulullah Muhammad SAW bersabda, “matilah sebelum mati, dan hitung-hitunglah dirimu sebelum diperhitungkan।” Kita tidak bisa menjadi pribadi yang mengalami lompatan dalam perbaikan, jika kita belum memperbaiki onderdil-onderdil batin yang masih rusak. Adapun perbaikan onderdil batin itu dimulai dengan proses diagnosa. Bila ternyata saat diagnosa tersebut ditemukan ada piranti-piranti yang terkena virus, segera dibersihkan dan dibenai, niscaya akan sehat kembali. Andai “mesin batin” kita baik, insya Allah seluruh diri ini pun akan mengalami perbaikan. Bagaikan kendaraan, mesin sebagai komponen penting yang membuat kendaraan bisa melaju kencang. Bila mesin rusak, kita akan mengalami kendala di perjalanan. Mesin diri manusia adalah hati, ketika hati ini baik, insya Allah keseluruhan diri menjadi baik dan akan bisa terbang indah dalam perjalanan menuju Allah SWT.

Ketiga, menyadari dendam hanya menghancurkan hati. Dendam sebagai bentuk kegelapan pekat, dan penyakit kronis yang memiliki daya ledak besar, bahkan menghancurkan sendi-sendi batin manusia. Bila kita mengetahui akan bahaya dendam, maka kita tidak bakal pernah sedikit pun mendekati wilayah tersebut. Apa wilayah yang mendekati dendam, itulah kebencian. Dia tidak pernah menanam bibit kebencian di hati, karena pasti nantinya berbuah dendam. Dendam tak hanya membuat hati manusia gelap, bahkan rusak, kemana-mana ia membawa hati yang penuh sakit. Sedikit saja ketemu dengan orang yang dibenci, maka jantungnya gampang berdegup kencang, dan bisa jatuh shock. Itu disebut dengan spiritual shock.

Andai kita mengalami gejala dendam, memerlukan tiga langkah untuk menyembuhkannya, pertama memaksa diri untuk bisa melihat sisi positif orang, karena setiap orang pasti dilekati kebaikan walau setitik. Kedua, terus melakukan muhasabah ke sisi dimensi batin kita sendiri, karena muhasabah bisa membuat kita tercerahkan dari kotoran yang kerap menyangkut ke relung batin. Ketiga, menyadari akan bahaya besar yang dibawa oleh penyakit dendam, sehingga kita selalu menjauh dari wilayah-wilayah yang memerangkap diri pada dendam.

Semoga kita bisa menemukan terang cahaya batin, ketika dendam berikut benih-benih yang menumbuhkannya telah tergerus dan dibersihkan.

Khalili Anwar, Penutur dari Jalan Cahaya

Senin, 16 Agustus 2010

MARAH




Puasa mendidik upaya pengendalian hawa nafsu, baik yang berbentuk nafsu wadhab (keserakahan), atau nafsu syahwat. Betapa banyak orang berhasil mengendalikan dan mengontrol orang lain, tetapi gagal mengontrol dirinya sendiri. Diam-diam mengalir kebanggaan di hati kala berhasil melumpuhkan atau menguasai orang lain dengan kekuatan hujah atau kekuasaan formalnya. Tetapi, dia sendiri mengalami kerapuhan batin, karena kerap mengalami kekalahan dengan dirinya sendiri.

Mungkin ada yang bangga ketika orang bisa memarahi bawahannya, dan bahkan merasa menang sehingga orang mengikuti apa yang diperintahkan dengan nada marah tersebut. Padahal, kalau ditelusuri lebih mengkristal, sesungguhnya orang marah telah mengalami cedera batin, mengapa demikian? Karena letupan kemarahan itu bukan berasal dari hati nurani yang lembut bercahaya, namun menyembur dari hawa nafsu yang selalu menggerakkan manusia pada keburukan.

Ada laki-laki memohon pada Rasulullah SAW, “nasihatilah Aku,” katanya. Rasulullah SAW bersabda, “janganlah kau marah!, diulang berkali-kali. Beliau bersabda,”Janganlah kau marah.” (HR. Bukhari).

Memetik sabda Nabi Agung tersebut, betapa posisi kedewasaan ruhani seseorang terlihat dari kemampuannya mengendalikan kemarahan yang kapan saja bisa meledak. Jika orang belum bisa mengendalikan kemarahan, artinya gampang menebar kemarahan dimana-mana, berarti dia belum menggapai kedewasaan secara ruhani. Bukankah sikap marah berasal dari karena terbatasnya pikiran mencari jalan keluar terbaik, yang bisa menyentuh orang lain. Marah sebagai jalan yang kerap ditempuh orang-orang dangkal, lantaran tak bisa menyampaikan hujah yang bisa memantik kesadaran bagi orang lain.

Kala manusia gampang marah, niscaya tidak menghiasi batinnya dengan kelembutan, malahan jiwa terus ditumbuhi kekasaran dan kemeranggasan. Ketika jiwa kasar dan angkuh telah tumbuh di lahan batin manusia, niscaya dia tidak bisa mencerap spirit keindahan dan kebahagiaan hakiki yang tersedia dalam batin manusia. Bila orang punya jiwa kasar, dia tidak bisa merespons sisi kelembutan yang melekat pada setiap orang. Bukankah hanya yang berjiwa kasar yang selalu bertemu dan menyapa kekasaran, dan jiwa lembut hanya bisa menangkap dimensi kelembutan yang tumbuh dari lubuk kedalaman dirinya. Orang terjebak dalam kemarahan demi kemarahan, sejatinya dia telah ditaklukkan dan dikendalikan kekuatan nafsu yang luar biasa.

Apa saja bahaya yang akan menjangkiti hati orang yang punya kebiasaan marah? Marah adalah kekuatan api, yang bisa membakar batin manusia sendiri, dan menjulurkan kebakaran hingga keluar dirinya. Kala orang yang dimarahi punya kekuatan redam dan sejuk dalam memadamkan api kemarahan, api kemarahan itu tidak bisa membakar orang tersebut. Namun, andai orang yang dijadikan obyek kemarahan tersebut tidak memiliki kekuatan air yang sejuk, maka akan mudah dilalap bakaran api kemarahan tersebut, menjelma pada perselisihan dan permusuhan yang amat sengit.

Ketahuilah orang yang dadanya selalu dibakar kemarahan, niscaya tidak bisa menemukan ketenangan. Bagaikan orang yang tersekap di rumah yang sempit dan panas, dia akan selalu didera kegelisahan, kesesahan, dan tidak pernah bisa istirahat dalam ketenangan. Siapa yang kerasan bermukim di rumah yang panas, apalagi rentan mengalami kebakaran yang bisa melalap seisi rumah, sehingga orang hanya melihat kegelapan di rumah “hati” kebakaran tersebut. Padahal pikiran dan hati yang gelap itulah yang kerap menggerakkan manusia melakukan kekerasan dan bahkan pembunuhan.

Adalah hidup dua keluarga bertetangga dengan strata ekonomi yang berbeda, satunya seorang pengusaha yang berhasil mengelola bisnisnya secara cemerlang, dia memiliki mesin yang bisa menernak uang secara produktif. Sebelahnya, hidup seorang pegawai yang punya prestise hidup luar biasa. Ikon pegawai menjadi kebanggaan bagi orang ini, tetapi kehidupan ekonominya biasa-biasa saja, tak bisa mengejar kesejahteraan yang telah didulang sang pengusaha tersebut. Merasakan realitas hidup yang kontras tersebut, membuat hati si pegawai ini mengerut.

Kerutan-kerutannya itu menggumpal membikin hati makin kasar, sehingga timbul kedengkian, kemarahan, bahkan dendam dengan melejitnya kesuksesan yang diperoleh pengusaha tersebut. Demi meluapkan kemarahan tersebut, suatu ketika keluarga dari pengusaha itu lewat ditepi jalan, dengan kalap, si pegawai menabrakkan sepedanya ke sang nenek, beberapa menit nenek yang ditubruk tersebut langsung tewas. Demikianlah hasilnya kalau kemarahan membimbingnya menjadi dendam kesumat yang telah menjadi raja dalam dirinya, hanya dengan sedikit pancingan api, maka api yang lebih besar langsung melalap seluruh bangunan. Memang ketika kacamata manusia sudah gelap, maka dia akan terus tertipu dan ditipu oleh keadaan, bahkan menganggap seluruh keadaan hanya kegelapan tanpa cahaya.

Kala orang dijangkiti kemarahan, dia tidak bisa melihat cahaya rahmat Allah, yang ada hanya kutukan yang menggelapkan jiwanya sendiri. Memang, marah melahirkan Naar (api), dan mengendalikan kemarahan akan bisa mengelola Naar (api) menjadi Nuur (cahaya). Kita sekarang berusaha mengelola potensi api menjadi cahaya. Bagaimana caranya bisa mengendalikan medan hati agar tak tersentuh kemarahan yang tak terkontrol.

Pertama, memproduksi cahaya dalam diri. Agar api melenyap dari dalam kesadaran kita, maka kita harus banyak memproduksi cahaya. Bagaimana cara memproduksi cahaya? Sering mempraktikkan zikirullah. Bukankah zikir menjelmakan cahaya. Setiap cahaya selalu memendarkan keteduhan dan ketenangan setiap jiwa. Bukankah hanya orang yang sering berzikir yang bakal bisa menjaring ketenangan dalam hidupnya, yang berarti tidak gampang terbakar kemarahan. Makanya, kita bisa menemukan orang yang ahli zikir itu selalu berada dalam keteduhan, tidak sering menyemburkan “rasa panas” pada lingkungan sekitarnya.

Lho, kok ada orang yang sudah terbiasa berzikir, masih kerap dijangkiti energi marah, berarti belum benar-benar mengkristalisasi zikir hingga ke relung hati yang dalam. Zikir hanya menjadi ritual yang terungkap lewat lisan, tidak terpatri hingga ke batin yang lembut. Kendati, demikian kita terus mempratikkan zikir dari lisan hingga dalam bentuk kehadiran hati (hudhuril qolbi). Ketika zikir telah memendari hati, insya Allah yang memenuhi ruang batin hanya kelembutan, tanpa kemarahan. Kendati kemarahan itu meletup, pasti masih berada dalam kendali hati yang bersih.

Kedua, mencari tempat bercermin yang lebih rendah dalam hal duniawi. Marah berkunjung karena kita sering bertemu dengan orang yang kuat, yang gampang menebar dan melemparkan bola api kemarahan dimana-mana. Bayangkan, sang majikan begitu gampang melemparkan marah pada karyawan atau pelayannya. Mengapa mereka gampang marah, karena menganggapi si karyawan sebagai yang butuh dan bergantung padanya. Kita akan mudah melemparkan kemarahan jika menganggap orang lain sebagai bawahan kita. Lebih daripada itu, mungkin kita sering bergaul dengan orang elite yang turut menyumbang kegersangan hati. Karena itu, perlu kiranya membangun jalinan kasih dengan orang-orang lebih rendah secara duniawi, seraya berharap bisa melembutkan hati. Kala hati sudah lembut, maka ekspresi yang keluar memantulkan cahaya. Bergaul dengan orang yang bermukim di tepi jalan, sambil berjualan, tanpa pernah kehilangan senyum yang menghias bibirnya.

Bertemu dengan orang-orang yang berada di bawah kita dalam tataran duniawi akan menumbuhkan bibit kelembutan yang berada dalam hati.

Sekarang, kita terus mengasah kelembutan dalam diri, sembari perlahan-lahan mengikis potensi marah yang kerap menyeruak dari dalam hati.

Khalili Anwar, Penutur dari jalan Cahaya

THE POWER OF SURRENDER

Ikhlas adalah energi yang tak terlihat, namun memberi sumbangan besar bagi kehidupan. Seperti udara, tidak terlihat, tapi tak perannya tidak boleh diremehkan dalam memelihara kehidupan. Bayangkan, andai orang tidak menghirup udara beberapa menit saja, apa kiranya yang akan terjadi? Ikhlas itu termasuk udaranya ibadah. Tanpa keikhlasan mendalam, ibadah tak lebih sebagai karangka tanpa ruh. Ada gadis cantik rupawan, hanya saja nyawanya sudah terpisah dari raga. Kendati gadis itu begitu rupawan, ia tak menebar daya tarik bagi siapapun, karena tubuhnya yang elok telah berubah menjadi jenazah yang malah mengingatkan manusia pada kematian. Ketika gadis itu hidup bisa jadi memantik kesegaran hawa nafsu birahi, tetapi ketika kematian telah merenggut nyawanya, niscaya memutus warna-warni keinginan hawa nafsu.

Kalau demikian agar bisa memikat daya tarik batin setiap manusia, maka hiasilah batin kita dengan keikhlasan mendalam, sehingga setiap apa yang diungkapkan melahirkan inspirasi dan hikmah mendalam. Udara tidak mau kelihatan, tetapi akan selalu dirasakan kehadirannya. Kehadiran orang ikhlas menghadirkan pencerahan bagi kemanusiaan. Boleh jadi perkataan yang disampaikan amat sederhana, tetapi karena dibarengi energi keikhlasan, akan terasa berdampak di hati manusia. Kata-kata itu berdampak karena bukan berupa kata bangkai, tetapi kata yang disertai makna yang dalam dan menjulang.

Kata-kata yang terlahir dari keyakinan yang kuat dan teguh akan memberikan keteguhan bagi siapapun yang mendengarkan. Berbeda halnya, perkataan yang berhiaskan kata mutiara, namun karena tidak berasal dan ikhlas, maka perkataan yang berbunga-bunga dan serat puitis itu tidak bisa menyentuh sisi terdalam pendengar, sehingga tidak bisa memberikan bekas apapun terhadap mereka. Kata masuk dari telinga kanan-keluar dari telinga kanan, masuk dari telinga kiri-keluar dari telinga kiri.

Mengapa perkataan, perbuatan, dan sikap hidup orang ikhlas bisa memancarkan makna yang indah pada manusia? Karena orang ikhlas selalu mendulang pertolongan dari Allah. Kala orang menjadikan Allah satu-satunya sebagai tujuan, niscaya Allah yang akan membimbing untuk bisa sampai pada tujuan tersebut. Dari diri menuju Allah, bahkan dari Allah menuju Allah. Dia telah menerabas batas-batas “rapuh” yang mewarnai manusia. Orang ikhlas amat kuat, karena selalu bersama dengan Yang Maha Kuat. Segala kekurangan usahanya akan dicukupi Allah, karena setiap aktivitas yang mendapati sentuhan dari Allah langsung, niscaya akan memancarkan bekas kemuliaan yang terus bersinar dimana-mana.

Bayangkan, bagaimana dampak kekuatan ikhlas yang dibuktikan para wali dalam menebar syiar agama. Kita mengetahui, kemuliaan mereka melampaui ruang dan waktu yang dijejakinya, bertahun-tahun lamanya, kesan indah dan kemuliaan ihwal mereka masih tertancap indah dalam memori bersama masyarakat. Mengapa mereka masih punya nama yang masyhur di dalam hati masyarakat, karena mereka sendiri berjuang dengan spirit ikhlas. Perbuatan, perkataan, dan sikap mereka didasari semangat ikhlas dan berarti keyakinan yang kuat pada Allah SWT. Bukankah setiap keyakinan akan memancarkan pengaruh melampaui batas pikiran manusia, dan bahkan akan kekal selamanya, karena bersandarkan pada Yang Maha Kekal.
Bagi Anda yang hendak merasakan indah kekekalan energi, maka bersandarlah pada Yang Maha Kekal, dan janganlah sedikit pun bersandar pada suatu yang semu dan sementara. Siapapun yang bersandar pada yang semu, dia hanya merasakan sepah-sepah kesemuan. Hari ini dia mendapatkan pujian yang semarak, dia bisa menghimpun sekian pujian dari masyarakat, tetapi pada saatnya dia mendapati segala pujian itu seperti tanaman yang menghijau, tetapi pada saatnya mengalami kekeringan dan akhirnya diterpa angin.

Habis.. segala hal yang berasal dari sesuatu yang semu dan sementara, dan hanya mencari muka manusia, maka itu tidak akan diperoleh secara terus-menerus. Bisa jadi orang yang amat doyan memuja kamu, kini memilih untuk mencacimu. Bukankah hati cuaca hati manusia sering berubah-ubah, lalu mengapa kita selalu menyandarkan diri pada suatu yang berubah-ubah. Kita tidak bakal menemukan ketenangan pada hal yang berubah-ubah, perlu mencari sumber yang tak pernah berubah, kekal, dan universal, sehingga kita bisa merasakan kebahagiaan hakiki dan abadi dalam hidup ini.

Khalili Anwar, Penutur dari Jalan Cahaya

MELUASKAN KESABARAN

Kesabaran membentuk batin menjadi lebih kuat, tangguh, dan perkasa. Bagi yang kesabarannya terbatas, berarti dia telah membatasi rahmat Allah. Jika Anda hendak menggapai rahmat Allah yang tak terbatas, maka hadapilah dengan kesabaran akan setiap ketentuan Allah yang mengalir di sungai kehidupan Anda tanpa batas. Karena ternyata kejayaan itu diperoleh dengan kesabaran prima.
Kita bisa berkaca pada orang sukses yang telah menggapai kedigdayaan di bidang duniawi dan spiritual, mereka telah menjadikan sabar sebagai menu harian bagi ruhaninya. Sabar memuat vitamin yang amat luar biasa bagi batin ini. Tetapi bagi orang yang belum bisa bersabar dengan kenyataan, sembari bersikap mengeluh, maka dia telah menyediakan diri sebagai korban dari setiap peristiwa dan kenyataan yang hadir.

Setiap orang mendambakan kebahagiaan, berarti mendamba rahmat dari Allah SWT. Rahmat adalah kekayaan yang tergenggam di tangan Allah, dan hanya diperoleh orang yang mendapati izin dari Allah SWT. Kendati demikian, orang bisa mencapai hidup dalam liputan rahmat, manakala dia memenuhi dadanya dengan spirit sabar. Itu artinya, sabar sebagai pasangan dari rahmat Allah. Kalau kita ingin dihampiri rahmat Allah, maka sediakan hati untuk bersabar akan segala kenyataan-kenyataan yang menyembul di dataran kehidupan kita. Bagaimana bisa bersabar?

Pertama, menyadari setiap kenyataan sebagai sebuah proses yang harus dijalani. Manusia tidak bisa merubah keadaan dan kenyataan yang ada di luar dirinya, sebagaimana orang tidak bisa merubah rotasi matahari. Saatnya matahari terbit, kita tak bisa memaksa agar tenggelam. Ketika matahari mencapai puncak tengah teriknya, kita tak bisa meminta agar dia terbit dari ufuk timur. Apalagi saat matahari tenggelam kita memaksa agar tetap bersinar.

Kenyataan dan peristiwa di hadapan kita tidak bisa dirubah, kita hanya bisa mengubah keadaan batin kita. Keadaan batin yang positif akan memberikan keluasan rahmat Allah, keadaan batin yang negatif cenderung menutup diri dari rahmat Allah SWT. Itu berarti derita dan bahagia sepadan dengan sikap batin kita akan realitas yang melompat ke ruang kehidupan kita.

Kedua, menyadari bahwa seluruh kenyataan berasal dari Allah yang Maha Kasih Sayang. Setiap perbuatan didasari sifat-sifat-Nya. Jika mindset dasar orang itu baik, maka seluruh perbuatannya memantulkan kebaikan. Sifat terpantul dalam perbuatannya. Dan perbuatan pantulan dari sifat-sifat yang melekat pada orang tersebut. Jika Allah itu Maha Kasih dan Sayang, berarti setiap perbuatan-Nya yang menyembul ke permukaan didasari rasa kasih sayang Allah. Andai ada kenyataan buruk yang dihadapi, yakini itu mengalir dari lautan kasih sayang Allah.

Allah kebaikan mutlak, maka setiap peristiwa yang bersumber dari Allah, pasti menyimpan kebaikan. Hanya saja ada kebaikan itu dirasakan secara spontanitas, ada kalanya kebaikan itu baru disadari setelah melewati waktu berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun. Kehidupan itu tidak acak, seluruh kenyataan dan peristiwa yang mengada di hadapan kita terhimpun dalam desain dan rancangan dari Allah SWT. Keyakinan akan kebaikan Allah akan menjaga sikap batin kita terhadap luberan masalah yang hadir di hadapan kita.

Ketiga, realitas berpasangan. Dualitas kehidupan yang mewarnai perjalanan manusia sejatinya diciptakan sebagai pasangan yang saling melengkapi. Seperti halnya, laki-perempuan, kanan-kiri, sehat-sakit, untung-buntung. Dua realitas yang berbeda tersebut tidak saling bermusuhan, tetapi berpasangan. Karena berpasangan, maka keduanya saling membutuhkan. Demi menghadirkan kebaikan, kadang harus disembulkan keburukan. Demi terlaksananya pembangunan, harus diadakan penghancuran terlebih dahulu. Rumah yang dihancurkan oleh bulldozer, jangan dikira hanya dihancurkan, bahkan itu awal mula akan terciptanya sebuah pembangunan.

Bertaut dengan pemahaman tersebut, maka kita tidak akan mengalami kegundahan yang mendalam, manakala didera masalah buruk, dan tidak terlalu senang bila dihampiri oleh kebaikan. Semuanya mengalir dalam sungai kehidupan sesuai dengan waktu yang ditentukan. Terpenting sikap kita yang harus dijaga dengan cara terbaik. Kita harus “kaya” alasan untuk bisa bersabar akan setiap masalah yang bertandang ke rumah kehidupan kita. Sehingga Allah akan mencurahkan kekayaan batin bagi kita. Insya Allah.

Khalili Anwar, Penutur dari Jalan Cahaya

Selasa, 13 Juli 2010

BERBICARA DALAM SEPI SUNYI

Tak sedikit orang merasakan suasana hambar di keramaian, karena hanya bersentuhan dengan hal semu dan temporal. Padahal piranti ruhani merindukan yang hakiki dan abadi. Apakah orang menemukan yang hakiki dan abadi lewat jalan keramaian? Di sisi lain, orang-orang besar mendulang kearifan dan turut membangun istana kebahagiaan di hatinya, karena memilih keluar dari kemewahan dan kemegahan hidup yang mengitarinya, lalu berusaha memerhatikan sisi kekayaan yang terbenam di hati. Karena tak jarang orang memerhatikan kekayaan di luar, luput memerhatikan kekayaan yang ada di dalam batinnya, sehingga terjebak ke dalam kebangkrutan ruhani.

Ibrahim bin Adham, seorang pangeran masyhur dari Balkan rela melepaskan baju kemegahan sembari menapaki jalan sunyi penuh derita duniawi. Disana Ibrahim bin Adham tak menyisakan sedikit pun kuasa hawa nafsunya, sehingga terus berada dalam penjara derita yang begitu pedih secara fisik. Walau dia merasakan kepedihan secara lahiriah, diam-diam mengalir keanggunan dan kedamaian universal di medan batinnya. Seiring berjalannya waktu, beliau berhasil melewati tangga-tangga penderitaan demi menggapai kebahagiaan sempurna. Dari beliau menghabiskan seluruh perbekalan untuk disedakahkan pada setiap orang yang ditemui, hingga menggadaikan dirinya sebagai budak demi bisa memberikan makan pada perempuan renta.

Kita pernah mengenal Tolstoy, tokoh sastrawan yang berhasil membesut karya sastra yang memikat, dan berhasil merekam kearifan universal lewat karya tulisnya yang mencengangkan. Dia menggeser kebiasaan hidupnya yang dikitari kemewahan dan keramaian, ke rumah yang amat sederhana dan sepi sunyi. Dalam sepi sunyi yang sempurna, dia bisa memahatkan inspirasi dalam tulisan-tulisan menggerakkan.
Mulailah merubah dunia ramai dengan memahami dunia sepi-sunyi. Inspirasi dan ilham sering datang di ranah-ranah kesunyian yang menawarkan ketenangan dan kedamaian tak berbatas. Bagi orang yang berkomitmen menebarkan kasih pada kemanusiaan, perlu kiranya menempuh jalan-jalan sunyi dan mempersedikit bersentuhan dengan dunia ramai. Memang, seorang pejuang selalu berada dalam sunyi bersama Tuhan. Mula-mula, dia mengalami sepi keseluruhan, dari fisik, pikiran, hati menuju Yang Maha Sunyi. Setelah mengalami pencerahan, dia telah bersenggama dengan sunyi, dan keramaian fisik tidak akan merampok suasana sunyi di medan hati. Kendati berpapasan dengan beragam latar manusia, dia tetap menyatu dalam kesunyian mendalam. Sunyi-sepi telah terintegrasi dalam dirinya.

Praktik ibadah sehari-hari melatih manusia tenang dalam sepi-sunyi, fokus pada satu tujuan final. Dialah Allah SWT. Semisal dalam menunaikan shalat, ingatan kita hanya tertuju pada Allah, merasa bahwa Allah selalu menyaksikan setiap gerak-gerik fisik dan batin kita. Lewat kesadaran akan penyaksian berikut kehadiran Allah, kita akan ditarik ke medan sunyi, perhatian pada selain-Nya akan punah dan tenggelam. Ketika pikiran dan hati telah tersetrum pada tujuan utama, yang lain tersingkir dari ingatan. Bagaikan orang terpesona dengan rembulan, kendati ada nyamuk menghinggapi kulitnya, seakan tidak terasa. Lolongan anjing, seakan tidak menggangu perhatiannya, bahkan perkataan teman seakan tidak terdengar. Seluruh perhatian tersedot pada semburat cahaya rembulan yang amat memesona.

Bagaimana sikap orang yang telah mengalami sunyi batinnya? Dalam sunyi akan tergelar kedamaian semesta. Tak ada sedikit pun yang mampu menginterupsi setiap gerak-gerik orang ini. Dia telah menyatu dengan kedamaian tanpa terusik. Dia telah menyelam di kedalaman lautan yang disana hanya ada mutiara kedamaian yang terus berkilauan. Ia tak lagi terpesona dengan fluktuasi luaran, dengan kesadaran bahwa di luar hanya memengaruhi sisi luar, tak bisa memengaruhi sisi terdalam. Ketika orang berselancar di laut yang sarat arus gelombang, arus gelombang akan membuat keadaannya bergerak tak beraturan, tidak tetap, orang akan ringkih berada diantara arus gelombang, karena dipermainkan oleh gelombang itu sendiri. Berbeda halnya, ketika orang telah berhasil mengalami diving ke dalam, niscaya disana ditemukan kebahagiaan tak bertepi, tak tersentuh pasang surut gelombang.

Ketika kita telah bermukim dalam ruang sunyi penuh pesona, disana dia bakal memeroleh sekian ilham yang bisa ditebarkan pada seluruh kemanusiaan. Bayangkan, Rasulullah Muhammad SAW sebelum diangkat menjadi Rasul, menapaki jalan sunyi sepanjang 7 tahun lamanya. Tujuh tahun berteman dengan sunyi, beliau SAW memeroleh wahyu yang bisa meradiasikan kesadaran suci ke seluruh orang tanah Arab, dan menyebar ke seluruh pelosok dunia. Memang, demi bisa menebarkan kebajikan, kita harus berjalan dalam ruang sunyi, yang didalamnya diisi dengan tafakkur, merenungi dunia luar dan dijalinkan dengan gema suara yang menyembul dibalik kesunyian. Dalam sunyi orang akan menemukan mutiara dalam dirinya, berikut menemukan cara bagaimana bisa memperluas manfaat mutiara bagi kehidupan.

Mengapa Rasulullah SAW harus berada di gua, ruang gelap pekat, guna menjaring ilham berupa wahyu dari Allah? Ternyata orang menemukan cahaya batin, enlightenment di saat berada di ruang gelap pekat. Seperti halnya orang akan bisa mengaktivasi mata batin, ketika telah menutup mata lahiriah. Pun, ketika mata lahir tidak bisa melihat, saat itu mata batin akan mengalami keterbukaan. Kalau begitu, gelap lahiriah sebagai teman bagi terangnya jiwa. Mengapa demikian? Ketika orang terpesona pada terang yang berada di wilayah lahiriah, niscaya dia tidak bakal memerhatikan pesona terang yang terpancar di wilayah batin. Padahal terang batin lebih abadi ketimbang terang di luaran.

Selain itu dalam sunyi orang tidak lagi berbicara pada wajah lahir, tetapi berbicara pada wajah batin. Ketika terang di luar, orang sibuk bercermin untuk melihat wajah lahiriah, tetapi ketika dia akan tertarik untuk mengoreksi dan mengaca sisi batin. Ketika orang sering berkaca batinnya, insya Allah akan mengalami pencerahan dan kebeningan terus-menerus. Bagaimana cara agar batin ini bisa berkaca? Ini sering disebut muhasabah. Ketika orang sering menjalani muhasabah, menghitung-hitung apa yang terlintas dari hati dan pikiran terus-menerus, jika melihat dari lintasan itu keburukan, dia langsung beristighfar disertai penyesalan. Bedanya, kalau orang melihat wajahnya baik, maka dia berhenti membersihkan. Ketika orang ingin batinnya senantiasa baik, maka jangan pernah merasa baik. Karena merasa baik sendiri akan membuat wajah batin dihinggapi kotoran.

Berdialog dengan diri sendiri di malam sunyi amat efektif untuk menguak diri hakiki, apakah masih sering ditebari kotoran, atau berbalutkan kedamaian yang indah. Qolbun salim tanda hati telah menggapai kebersihan penuh cahaya.

Khalili Anwar, Penutur dari Jalan Cahaya

DAHSYATNYA SHALAT

Ketika Rasulullah SAW bersama sahabatnya dicekal dan diembargo kafir Quraisy yang dirancang sepanjang 3 tahun, berbentuk penghentian distribusi logistik menuju kaum muslimin, tak ayal ada sebagian sahabat mengalami kelaparan. Intimidasi, penyiksaan dan aneka perbuatan keji mewarnai kaum muslimin saat itu. Itulah perbuatan keji yang dilancarkan kafir Quraisy demi menurunkan spirit Rasulullah SAW dan para sahabat secara perlahan-lahan. Seakan tantangan mulai menjelma dan meraksasa demi menguji keteguhan iman para sahabat Rasulullah SAW. Peristiwa memedihkan itu tidak memupus iman sahabat, bahkan iman mereka kian membaja dan perkasa. Usaha melumpuhkan kaum muslimin tidak berhasil, dan mereka gagal total, ditandai dengan remuknya piagam pemboikotan oleh serangan beribu-ribu rayap, sehingga masa pemboikotan yang diproyeksikan 3 tahun hanya bisa bertahan 3 bulan. Kecuali nama-nama Allah tetap menempel terang dalam piagam tersebut, sementara seluruh klausul pemboikotan yang menempel di dinding Ka’bah melepuh oleh gigitan rayap-rayap yang terus berkerumun. Subhanallah.
Berlanjut kesedihan Rasulullah SAW bersama sahabat kala ditinggalkan dua sosok terkemuka yang berperan sebagai tameng, perisai, bahkan benteng bagi perjuangan Rasulullah SAW, dialah Sayyidah Khadijah Al-Kubro, dan Abu Thalib. Istri dan paman Rasulullah SAW berkontribusi besar terhadap penyebaran agama Allah di bumi Mekah. Wafatnya mereka berdua tidak hanya menyisakan duka, tetapi membuat kafir Quraisy kian beringas dan keji memperlakukan sahabat Rasulullah SAW. Mereka tidak hanya berani menggangu Rasulullah SAW, malah sampai pada titik mengancam nyawa Rasulullah SAW. Dari lintasan fakta itu, kita bisa membayangkan pamor dan peran Sayyidah Khadijah Al-Kubro dan Abu Thalib untuk membentengi keselamatan Rasulullah SAW dan keberlanjutan dakwah Islam.
Wafatnya mereka berdua membekaskan kedukaan mendalam bagi Rasulullah SAW. Seakan perisai manusia telah terbelah dan tumbang, namun lewat peristiwa memedihkan itu Rasulullah SAW mendapat kabar gembira lewat peristiwa Isra’ Mi’raj. Sandaran manusia telah rapuh, tidak langgeng, dan bisa pupus oleh kematian. Namun, Allah Selalu Ada dan Maha Berdiri Sendiri, siap membantu kapan saja. Islam kian kokoh jika selalu tersambung dengan Allah SWT.
Shalat adalah media penghubung (konektor) dengan Allah. Isra’ Mi’raj mengandung pesan kewajiban shalat. Shalat yang didirikan secara sungguh-sungguh, akan menghadirkan dukungan (mu’ayyadah) Allah. Berarti, shalat sebagai media efektif mengundang dukungan Allah SWT. Andaikan shalat menjadi media menghubungkan kita dengan Allah SWT, orang yang melakukan shalat dengan benar dan khusyuk akan memeroleh kekuatan dahsyat. Keimanan menancap kukuh dan mengkristal bisa mengantarkan pada kemenangan hakiki.
Menggapai Kemenangan Lewat Shalat
Shalat melahirkan kekuatan ajaib manakala didirikan dengan benar dan khusyuk. Bukankah hanya shalat khusyuk yang mengantarkan pada keberuntungan, kemenangan, dan kemuliaan. Petikan firman Allah memperterang itu “sungguh beruntung orang mukmin yang khusyuk dalam shalatnya.” (QS. Al-Mukminun [23]:1-2)
Khusyuk dengan dialiri getaran kehadiran Allah SWT berperan mengisi cadangan iman ke dalam hati ini. Dan tindakan yang disusupi spirit iman yang teguh akan membuahkan hasil efektif. Mengapa orang bisa menggapai kemenangan lewat shalat? Karena shalat memediasi kita agar terus tersambung dengan Allah SWT. Kita menggapai kejayaan, lantaran memeroleh kekuatan dari Allah SWT. Kita bisa bercermin pada peristiwa perang Badr, dimana para sahabat dengan jumlah 300 lebih sedikit bisa mengalahkan secara telak kafir Quraisy yang membawa pasukan tiga kali lebih besar daripada pasukan kaum muslimin kala itu.
Keajaiban itu bukan karena usaha tentara muslimin semata, tetapi karena Allah menurunkan pertolongan, sehingga menggetarkan dan merapuhkan rasa yakin di hati orang Kafir Quraisy, sembari meneguhkan iman kaum muslimin. Tentara tak terlihat pun turun membantu tentara muslimin saat itu. Di detik-detik menjelang perang Badr, di malam harinya Rasulullah SAW menghabiskan waktunya bermuwajahah dengan Allah lewat shalat. Beliau menangis, merendahkan diri, karena perang Badr memang menjadi penentu masa depan Islam. Tangisan Rasulullah SAW itu meruntuhkan kekuatan musuh dan mengantarkan kemenangan gemilang di kalangan kaum muslimin.
Shalat ampuh sebagai kunci mencapai kemenangan, baik secara individual atau jamaah. Jika belum merasa beruntung menjalani hidup, perlu kiranya mengoreksi kualitas shalat, karena kualitas shalat seseorang ditandai dengan merasakan bintang keberuntungan dalam hidupnya. Sekali lagi al-Qur’an menegaskan, “sungguh beruntung orang yang menyucikan diri, menyebut nama Tuhan-nya, dan melakukan shalat.”(al-A’la [87]:14-15).
Kita bisa menumbuhkan kualitas shalat prima bila kita mempersepsi shalat sebagai media meneguhkan akar iman yang sambung pada Allah SWT. Kita sambung saat kita mengingat Allah (zikrullah). Jika shalat belum menjadi momen meneguhkan rasa ingat pada Allah, berarti shalatnya belum powerful. Karena tidak handal, maka shalat tidak bisa diandalkan dalam merengkuh kemenangan. Ketika menjalani shalat, seringkali ingatan kita ngacir kemana-mana, walhasil shalat tidak punya daya pengaruh terhadap pembentukan karakter bening dan kukuh.
Sepanjang shalat kaum muslimin belum sempurna (khusyuk) dan ajek, masih jauh kemungkinan Islam mengalami kebangkitan dahsyat. Ketakutan musuh terhadap Islam, bukan karena banyaknya umat Islam, tetapi berkaitan dengan keteguhan umat Islam dalam menegakkan shalat, terlebih shalat berjamaah. Adalah tokoh Yahudi sempat sesumbar, “Kami tidak takut pada orang Islam, hingga shalat subuhnya sama dengan shalat jum’atnya.”
Mereka melihat kekuatan Islam dari kekompakan menegakkan shalat berjamaah. Bagaimana potret shalat berjamaah kita saat ini? Apalagi shalat subuh. Masjid megah, terbangun dengan biaya miliaran rupiah, berapa shaf kiranya yang berjejer ketika shalat subuh ditegakkan. Kesadaran shalat berjamaah, terlebih subuh, masih amat minor, tak ayal kita jarang menemukan kedahsyatan efek dari shalat untuk meneguhkan daya umat, sebagai umat terbaik. Ringkas kata, umat Islam tidak bisa menggapai kebangkitan (restorasi) secara totalitas sebelum memerhatikan shalat dalam spektrum yang benar dan ajek.
Saatnya kita kembali menegakkan shalat dengan benar, lalu disempurnakan dengan shalat berjamaah. Ketika kita bisa menegakkan shalat secara benar dan ajek, maka akan menyembul power dari dalam, tindakan pun akan berdampak dan kukuh. Dengan shalat tindakan kita akan punya “ruh” dan efektif dalam menggerakkan perubahan. Andai kita ingin menggapai sukses, maka bersungguh-sungguhlah dalam menegakkan shalat. Sukses mulia akan menjelma secara dahsyat.
Shalat membuat kita punya akar hubungan yang kuat dengan Allah SWT apabila dilakukan secara dawam (ajek). Akar kekuatan itu mengantarkan manusia menggapai kemenangan sempurna, baik secara lahiriah atau secara batiniah. Mengapa ada orang tidak shalat, tetapi dikarunia kejayaan, berupa kekayaan melimpah? Mereka boleh mendulang kekayaan meruah, tetapi ketahuilah dia mengalami kerapuhan batin, sehingga berjarak amat jauh dengan kebahagiaan. Keberlimpahan duniawi boleh mengitari hidupnya, tetapi dia mengalami kebangkrutan secara ruhani, dalam bentuk dicabutnya berkah harta tersebut. Tak jarang kekayaannya yang melimpah perlahan-lahan menggiringnya ke jurang kesesatan dan kehancuran.
Kini, kita kaitkan kekuatan shalat dengan kehidupan kita sehari-hari. Andaikan kita masih kerap merasa didera derita dan kesedihan, atau merasa belum menggapai keberuntungan hidup, perlu kiranya mengoreksi dan menjajaki kualitas shalat yang kita tegakkan selama ini. Apakah shalat telah kita dirikan secara khusyuk dan dawam, atau masih sering dibuat sebagai permainan, dan sambil lalu. Karena dianggap permainan, maka tidak menyisakan kristal-kristal kebahagiaan ke ranah batin. Allah tidak pernah menyalahi janjinya. Mari kita dengarkan, ikuti, dan agungkan seruan-Nya yang digetarkan lewat lisan muadzzin, Hayya ‘alashshalah, hayya ‘alal falah. “Mari dirikan shalat dan mari gapai kemenangan”.
KH. Dr. M. Dhiyauddin Qushwandhi
Pentranskripsi: Khalili Anwar

Senin, 31 Mei 2010

GUNUNG YANG TINGGI, JURANG YANG DALAM

Pada mulanya orang yang berdiam di kaki gunung, mendamba bisa mendaki puncak gunung yang amat indah, gagah, dan penuh misteri sukses, dia membanggakan gunung yang amat tinggi yang biasa dibilang sebagai pencakar langit. Banyak orang hebat yang telah berhasil menaiki gunung tersebut, hanya saja diri sendiri masih belum mampu “menundukkan” gunung. Karena impian yang kuat berikut didorong oleh daya tarik atas kemegahan gunung tersebut, dia mempersiapkan diri untuk mendaki sang gunung, ada sela-sela bisikan yang menyentuh hatinya, andaikan nanti bisa menapaki gunung tersebut, tentu akan ada kebanggaan tersendiri bagi dirinya. Bukankah orang yang telah sampai di puncak gunung, dia akan lebih tinggi dari gunung tersebut. Dia mendapati gelar sebagai penakluk gunung. Dia pun berjuang mendaki gunung tersebut dengan pengagungan yang terhadap gunung, walau pun yang dituju akhirnya untuk meraih keagungan diri lewat pendakian tersebut.

Benar saja, dengan usaha yang amat keras, tanpa lelah, disertai impian besar yang tertancap di pikirannya, membimbing dirinya sampai ke puncak gunung. Hanya saja setelah sampai di puncak gunung, kesadarannya hanya tertuju pada puncak gunung, berikut kebanggaan yang menyelimuti dirinya. Dia tak ingat lagi, darimana dia berasal. Dia berasal dari kaki gunung yang landai dan rendah. Karena dia hanya menyadari telah sampai di puncak, tanpa menyadari darimana dia berasal, maka dia berjingkrak-jingkrak di atas gunung tersebut. Karena lalai akan kesuksesan sampai di puncak gunung, tanpa menyadari berada di ketinggian, dia pun terjatuh ke jurang yang amat dalam. Akhirnya dia mati dalam kehinaan. Ketinggian gunung telah membuatnya terjungkal jatuh ke dalam lembah yang amat curam.

****
Lukisan kisah ini diharapkan bisa menyajikan inspirasi yang indah di hati kita, bahwa orang jangan pernah sombong dengan perolehan hidup yang telah dicapainya. Karena kesombongan itu tidak akan membawa manusia kemana-mana kecuali jurang kehancuran. Ada sebuah perusahaan yang menggembar-gemborkan strategi dan manajemen bisnisnya, sebagai manajemen yang canggih, dan meyakini dengan manajemen tersebut perusahaannya bisa bertahan selamanya, bahkan bisa mengungguli perusahaan papan atas sekalipun. Seluruh promosi dan kesombongannya ternyata berbalas dengan kegetiran, bisnis itu tidak bisa bertahan lama, bahkan akhirnya hancur. Seluruh stakeholder perusahaan saling menyalahkan satu sama lain. Mengapa perusahaan itu hancur berkeping-keping? Perusahaan itu dihancurkan oleh sikap mengagungkan caranya sendiri, sehingga dia tidak mau berendah diri untuk mempelajari strategi perusahaan lain. Orang sombong telah merasa berada di batas ujung kehidupan, seperti berada di batas puncak sukses. Dia tak bisa mendaki kembali, akhirnya orang itu tak bakal bisa tumbuh dengan baik.

Di era persaingan yang amat ketat ini, orang atau perusahaan yang diduduki direksi yang sombong tidak bakal bisa melambung dengan sukses yang luar biasa. Mengapa? Karena dia tidak bisa bergerak mengikuti ritme keadaan yang berubah cepat. Dia fanatik dengan kunci-kunci master yang telah mengantarkan dia pada puncak kesuksesan, padahal strategi dan manajemen akan terus berubah, seiring dengan perubahan arah psikologi pasar. Bisa jadi manajemen sukses yang digunakan, sekarang sudah kadaluwarsa.

Berarti orang merasa sukses, dan kemudian terpaku dengan cara-cara lama menggapai sukses akan mudah ditinggalkan pesaingnya. Sukses harus, tetapi merasa sukses tidak boleh. Karena merasa sukses sendiri telah menghentikan langkah untuk pertumbuhan diri. Bukankah orang yang tidak merasa sukses berarti tidak bersyukur? Orang yang merasa sukses berarti membatasi rahmat Allah. Kita tetap bersyukur dengan hasil yang diperoleh, hanya saja bagaimana setiap hari kita harus bertumbuh mendekati cahaya (Allah). Rahmat Allah begitu luas tak terbatas, tak boleh dibatasi oleh perasaan sukses kita, karena hanya menghentikan langkah untuk melakukan yang terbaik dari hari ke hari. Apa sikap orang yang telah sampai di stasiun sukses?

Ingatlah, orang yang sukses adalah orang yang bisa membiakkan satu kesuksesan menuju kesuksesan berikutnya. Dia tidak hanya mengejar rahmat Allah, tetapi turut menebarkan rahmat Allah dimana-mana. Kesuksesan yang diraih mengalami pertumbuhan yang terus meningkat, sehingga tidak hanya menggapai sukses, tetapi kemuliaan. Bagaimana cara menggapai kemuliaan, kemuliaan bisa digapai ketika manusia merasa belum apa-apa, menyadari rahmat Allah lebih banyak daripada apa yang telah diperolehnya, sehingga tak ada alasan bagi dirinya terputus dari rahmat Allah. Bukankah orang yang terputus dari rahmat Allah, berarti terputus dengan Allah.

Kendati dia telah sampai pada puncak kesuksesan, dia tetap membayangkan berada di bawah, sehingga kesuksesannya terus menanjak dan berkembang setiap saat. Dia bertanya kemana-mana untuk bisa meningkatkan pertumbuhan dirinya. Dia tidak hanya bertanya pada orang yang telah menggapai sukses cemerlang, dia berani bertanya pada orang yang pernah terdepak kegagalan. Bukankah dengan disadarkan akan sebuah kelemahan, orang akan tergerak untuk memperbaiki diri, menambah input, dan bertumbuh setiap saat. Karena kerendahan hatinya, dia bisa belajar kepada siapapun, berarti dia bisa melihat cahaya sukses dimana-mana, karena seluruh kehidupan berada dalam liputan Allah SWT.

Karena ia merasa masih berada dalam kerendahan, walau telah menggapai sukses, maka semua orang bisa menyentuh dan disentuh dia. Bahkan Allah pun bisa melibatkan diri dalam setiap aktivitas yang dijalani. Bukankah Allah berjanji meninggikan derajat orang yang merendahkan diri? Mungkin, tanpa dia sadari banyak masukan-masukan mengalir untuk perbaikannya. Mereka memberikan masukan tanpa pamrih sedikit pun. Semua orang sepertinya suka memberikan konsultasi gratis padanya. Karena masukan-masukan banyak orang, ia bakal terus berbenah diri dan bertumbuh, bagaimana bisa memberikan manfaat lebih besar lagi bagi sesama.

Pribadi ini tidak hanya sekadar telah mencapai sukses yang gemilang, tetapi telah mencapai kemuliaan di sisi Allah SWT. Mengapa? Ia tidak merasa sukses dan mulia, seluruh apa yang diperoleh karena pertolongan Allah SWT, yang wujudnya digerakkan banyak orang membantu dan menyokong bisnisnya. Ya, Allah hanya memuliakan orang yang merasa hina, mengangkat orang yang merasa rendah, mengayakan orang yang merasa fakir di hadapannya, mencurahkan ilmu bagi orang yang merasa bodoh. Rasakan kerendahan dirimu, insyaAllah kemuliaan hidup bakal meliputimu. Rasakan kefakiran dirimu, niscaya Allah akan memberikan kekayaan padamu. Rasakan kebodohan dirimu, niscaya Allah akan mencurahkan ilmu dari sisi-Nya. Tetapi berangsiapa yang telah merasa tinggi, ketahuilah dia akan terjatuh ke jurang yang paling menghinakan. Insya Allah.


Khalili Anwar, Penutur dari Jalan Cahaya

KEBAHAGIAAN ADA DALAM MENCINTAI

Cukupkah kebahagiaan dengan mencintai? Bagaimana ketika yang dicintai tak membalas cintanya pada Anda, masihkah kebahagiaan berbalut dalam hati? Bukankah Anda akan merasa sakit ketika engkau dibenci bahkan dicaci maki oleh orang yang Anda cintai, mengapa kau harus tetap mencintainya, jika dekat dengannya malah mendapatkan dampratan dan cacian? Pertanyaan ini mungkin tersusun rapi sebagai bentuk paradoks atas ide besar yang terpampang di judul tulisan ini. Selama ini orang merasa bahagia ketika dicintai, tetapi ketika tidak dicintai akan merasa sedih. Seakan kebahagiaan ada ketika dicintai, dipeluk, dan dihargai orang lain. Tapi, ketika cinta, pelukan, dan penghargaan pupus, yang tersisa hanya puing-puing derita.

Pada mulanya, perlu dibangun kesadaran, kita tidak bisa mengarahkan agar orang mencintai kita, lebih tepatnya memposisikan diri yang dicintai. Bukankah suasana hati orang sering berubah, kadang sekarang begitu mencintai kita sepenuh hati, maka kita mendapatkan kebahagiaan yang full. Pada kesempatan lain, dia menunjukkan cinta yang setengah full, berdampak pada kebahagiaan yang juga setengah, dan bila dia tak lagi menunjukkan selera cinta, membuat kebahagiaan kita lenyap dan hilang, berganti derita.

Kita tak bisa mengarahkan mata angin cinta agar tetap mengarah pada kita, tetapi kita bisa mengarahkan diri sendiri untuk menyesuaikan dengan angin cinta itu. Kita tak bisa menuntut dan mengarahkan agar orang mencintai kita, tetapi kita bisa memilih untuk mencintai orang lain tanpa batas. Kita bisa merancang iklim cinta kita sendiri, mengapa kita tidak terus memancarkan cinta pada orang lain tanpa batas. Ketika kita mencintai orang lain, niscaya kita akan bahagia. Mengapa? Karena dalam cinta, kita hanya menemukan kebaikan dan kesejukan. Andaikan suatu saat, orang yang kita cintai membenci, mencaci, memfitnah kita, tentu tidak selayaknya mengurangi kualitas rasa cinta kita padanya. Karena cinta kita pada orang tersebut bukan karena dia mencintai kita, tetapi memang berangkat dari cinta kita padanya. Orang yang mencintai melampaui bentuk tubuh dan bentuk perbuatan. Dia selalu melihat fitrah suci yang tertanam dalam diri yang dicintai.

Makanya ketika mencintai sesuatu, tertanam dalam lubuk sanubari sikap sabar dan ikhlas. Sabar dalam menerima beragam ujian dalam cinta, ikhlas dengan apa pun yang dikorbankan, tidak pernah mengungkit-ungkit pemberian pada orang yang dicintai, yang bakal menghapus rasa cinta itu sendiri. Dia tidak melihat apapun dari yang dicintai, kecuali kebaikan. Bukankah ketika orang memikirkan kebaikan, yang ada hanya surga. Rasulullah bersabda, “Jujurlah, karena jujur menunjukkan pada kebaikan, dan kebaikan menunjukkan pada surga.”

Orang yang mencintai tak pernah berpikir apa yang diperoleh dari yang dicintai, tetapi apa yang bisa diberikan pada yang dicintai. Karena dia tak berharap apapun pada yang dicintai, andaikan dia mendapatkan senyum ketulusan, atau mendapatkan cacian maka bagi pencinta tidak ada bedanya. Mengapa? Karena fokusnya bukan pada sikap yang dicintai padanya, tetapi sikap dia pada orang yang dicintai. Makin sering dia memberi, maka dengan sendirinya akan tumbuh dan tumbuh rasa bahagia. Ia begitu tulus mencintai, karena baginya mencintai makhluk hanyalah saluran mengekspresikan cinta pada Allah. Karenanya sang pencinta tidak merasa disakiti, bahkan dia terus merasa bahagia. Cacian dan senyuman bagi sang pencinta, hanyalah cara orang yang dicintai menunjukkan perhatiannya pada kita. Ketika orang telah berhasil mencintai seperti itu, niscaya cinta bukan jalan derita, tetapi cinta adalah jalan menggapai kebahagiaan yang hakiki. Karena tujuan cinta kebahagiaan, maka perjalanan cinta pun bertabur bunga kebahagiaan.

Pesan cinta Rasulullah SAW bisa dijadikan acuan bagaimana agar bisa mencintai dengan focus pada kebaikan yang dicintai. Mencintai yang membuat kokoh, bukan karena orang yang dicintai, tetapi mencintai karena Allah. Mengapa mencintai karena Allah akan menjadi kokoh dan kuat? Ya karena Allah sandaran yang tidak pernah berubah dan sempurna. Ketika kita menyandarkan pada yang sempurna, maka semua pernak-pernik yang dialami dalam cinta sempurna datang dari Allah, dan disambut dengan cinta penuh bahagia. Ketika cinta telah disandarkan pada Allah, maka cinta itu akan terus terasa bahagia. Tetapi kalau disandarkan pada sesuatu selainnya, maka itu akan terasa rapuh, dan kebahagiaan dalam persahabatan tidak bakal bertahan lama. Mencintailah karena Allah, maka kebahagiaan tidak akan berhenti mengalir ke dalam hati kita.

Saatnya, kita belajar mencintai tanpa syarat pada apapun, ketika kita bisa mencintai tanpa syarat, bahkan kebahagiaan gratis terkirim ke dalam tangki hati kita. Ketika orang mencintai tanpa syarat, niscaya kebahagiaannya pun tanpa syarat. Ketika orang mencintai tanpa batas, sama kebahagiaannya pun tanpa batas. Makin luas cakupan cintamu, makin luas cakupan kebahagiaan di hatimu.


Khalili Anwar, Penutur dari Jalan Cahaya

Selasa, 16 Maret 2010

THE AWARENESS OF JOYOBOYO

Terang-gelap, untung-rugi, bertemu-berpisah, sehat-sakit dan lainnya merupakan cakram putaran dualisme kehidupan yang akan dihadapi setiap insan. Itulah yang disebut JOYOBOYO. Sejak awal perlu dipatrikan di lubuk kesadaran kita, bahwa kita tidak bisa bersikap status quo (kemapanan) dalam suatu keadaan. Ingin sehat terus, sehingga membenci sakit, ingin untung terus, dan selalu ingin menyingkirkan rugi, merangkul pertemuan, tetapi melemparkan perpisahan. Kedua sisi tersebut dihadapi dengan kesadaran bahwa disitu ada pengalaman yang begitu bermakna. Sementara kemapanan tidak bakal memberi warna pelajaran dan hikmah dalam kehidupan ini. Bukankah kita suka dengan pelangi yang berwarni-warni, harusnya kita juga suka dengan warna-warni peristiwa dan kenyataan yang mengecat kanvas kehidupan kita.

Namun demikian, kendati warna peristiwa yang membalut kehidupan beraneka ragam, kita tetap tertuju pada warna dasar kehidupan, yakni putih. Disinilah, makna dari ikhlas, sabar, bahkan syukur yang akan menorehkan warna terang bagi kehidupan kita. Itu artinya, dasar dari seluruh anugerah Allah adalah putih. Lekatkan mata pikiran kita untuk melihat titik putih tersebut, niscaya semua sisi yang negatif akan menyingkir dari hati kita.

Bagaikan pergelaran besar, pasti ada agenda yang mewarnai pergelaran tersebut. Dari pembukaan, hingga penutupan. Dari opening hingga closing. Andaikan opening dan closing telah diagendakan, maka muatan yang mengiringi keduanya pasti telah diagendakan dengan rapi dan teratur oleh sang perencana. Contoh pergelaran teater, Anda akan menyaksikan bagaimana plot cerita yang mewarnai drama teater tersebut, mungkin Anda melihat plot cerita yang diwarnai decak kebahagiaan, menari-nari penuh suka cita, bahkan disertai tertawa cekikikan. Namun, ada tahapan, kesedihan, suasana kelam, kehancuran yang tak terperihkan mewarnai pemandangan dalam teater tersebut. Begitulah cermin rangakaian agenda yang mengiringi kehidupan kita.

Di suatu kesempatan guru yang mulia berkata, “kelahiran tidak kita undang, dan kematian juga tidak kita pesan.” Kata tersebut menancap dalam kesadaran saya, “diantara kelahiran dan kematian ada kehidupan, harusnya menghadapi kehidupan dengan sikap tawakkal, dan menghadapi kematian dengan berserah diri,”lanjut beliau.

Ya, memang hanya orang yang tidak mengerti hakikat kelahiran dan kematian yang selalu didera dan dipenjara perasaan gelisah, resah, dan keluh kesah, karena menyandarkan kehidupan pada dirinya sendiri, tidak ada spirit penyerahan diri (surrender) di medan kesadarannya. Berbeda halnya, ketika orang telah memahami dan meresapi makna kelahiran dan kematian, maka ia selalu tersuluhi cahaya terang, bahwa di antara batas kelahiran dan kematian Allah telah menetapkan bagi kita masing-masing, kapan kita berada di momen kejayaan dan kapan terkapar dalam keruntuhan. Kejayaan dan keruntuhan suatu keadaan yang bersifat eksternal, yang keduanya bisa menyeret kita dalam kubang penderitaan atau menggiring ke istana kebahagiaan. Apa yang membuat kita tertelungkup dalam penjara derita dan bersuka cita dalam kursi bahagia (the happiness chair)? Tiada lain sikap kita sendiri.

Boleh jadi terkuak sebuah pertanyaan, benarkah kenyataan jaya-runtuh, sehat-sakit telah ditentukan? Anda bisa menelaah QS. Al-Hadid:22 “tiada bencana yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (lawh Mahfudz) sebelum kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu mudah bagi Allah.”

Ayat tersebut mematrikan pesan, setiap kejadian dan peristiwa yang mewarnai hari-hari kita telah ditetapkan oleh Allah, kita tidak bisa mengelak ketika kejadian itu sudah hendak berkunjung, dan tidak bisa mendesak kala kejadian itu belum saatnya hadir. Semua telah dijadwal oleh Allah SWT. Kita bisa menelaah juga QS. Ali-Imran: 140 “…..Dan masa (kejayaan dan kehancuran) itu, Kami pergilirkan diantara manusia (agar mereka mendapatkan pelajaran), dan supaya Allah membedakan orang-orang yang beriman (dengan orang-orang kafir), dan supaya sebagian kami dijadikan gugur sebagai syuhada’. Dan Allah tidak menyukai orang-orang yang zalim.”

“jika Anda berada di hari Rabu, Anda tidak bisa melompat ke hari Jumat, pun tidak bisa meloncat ke hari Senin,”jelas guru yang mulia. “padahal peristiwa dan kejadian menempel pada hari-hari itu, kalau kita tidak bisa mengelak dan menarik hari, pun tidak boleh mengelak dan menghindar dari kejadian peristiwa yang hadir,”lanjutnya. “kita hanya perlu mempersiapkan dengan sabar, bukan keluhan, karena mengeluh bukan sikap orang beriman, muslim saja tidak. Orang muslim itu bersikap sabar, mukmin bersikap ridha, orang muhsin bersikap syukur. Serendah-rendah sikap orang muslim adalah sabar, dan orang yang mengeluh ciri karakter orang kafir,” nasihat beliau.

Jadi, kita perlu mempersiapkan senjata batin untuk menghadapi kejadian dan peristiwa yang hadir tanpa diundang, sehingga semua kejadian itu bisa didaurulang menjadi kenyataan positif dalam batin, dan meningkatkan derajat kita di sisi Allah SWT. Kita dikunjungi musibah, maka respons dengan sikap sabar, ridha, bahkan tidak kehilangan rasa syukur. Ketika diapit kejayaan, pancarkan sikap sabar tanpa batas. Sikap tersebut terbungkus sebagai ibadah batin, ibadah batin inilah yang bisa melejitkan potensi ruhani manusia, dan mengantarkannya untuk menggapai maqam yang tak bisa dilalui dengan ibadah-ibadah lahir.

Mari kita merangkai kedamaian melalui awareness of Joyoboyo (kesadaran akan jaya-bahaya), dan memantulkan kedamaian itu pada sesama, dengan menebarkan kesadaran bahwa kehidupan ini adalah tugas untuk mengikuti jadwal Allah SWT yang didalamnya berisi JOYOBOYO, dan tak ada JOYOBOYO tersebut kecuali demi mengantarkan manusia ke dalam samudera kebahagiaan. Andaikan ada orang terus tersungkur dalam penderitaan, berarti ada kezaliman yang dilakukan pada dirinya sendiri, karena Allah tidak pernah berlaku dzalim pada hambaNya.


Khalili Anwar, Penutur dari Jalan Cahaya

MERENDA CINTA RASUL BERSAMA HABAIB

Cinta Rasul tidak boleh padam, karena ketika cinta pada Rasulullah SAW padam, maka gairah islam pun bakal redup, pada ujungnya kita tidak bakal mencecap kelezatan ruhani dalam menjalani agama. Ada orang yang tekun beribadah, tetapi karena tidak disertai energi cinta pada Rasulullah Muhammad SAW, niscaya ia tidak bisa merengkuh mutiara agama dari cangkangnya. Bahkan tak jarang ada orang yang dibelenggu oleh konflik yang muncul dari dalam dirinya sendiri, sehingga tidak bisa menjalin harmoni yang indah dengan diri dan sesama.

Suatu kisah yang amat menarik, ada orang yang tekun beribadah, bahkan dia mengklaim hidupnya dipandu al-Qur’an dan Hadist, hanya saja kenyataan hidup dirasakan tetangganya tidak pernah memancar kedamaian darinya, terbukti dia tidak pernah bisa mengambil hati tetangga. Dia terkenal oversensorship terhadap ajaran-ajaran yang dikatakan tidak selaras dan al-Qur’an dan as-Sunnah. Namun, cara dakwah yang dilakukan tidak mengundang simpati, malahan menuai kontroversi dan kebencian dari masyarakat sekitar. Karena dia tidak bisa memoles dan menikmati suasana kondusif, dia sering pindah dari satu perumahan ke perumahan yang lain, dari satu kota ke kota yang lain. Mengapa mereka mengalami konflik batin, ya karena tidak pernah tersambung dalam jalinan cinta pada Rasulullah Muhammad SAW.

Cinta Rasul menjadi modalitas untuk bisa menumbuhkan cinta dalam diri setiap orang, yang kemudian merambat pada sesama dan kehidupan. Bagaimana bisa memekarkan bunga cinta pada Rasulullah Muhammad SAW dalam hati? Saya diajak teman untuk menghadiri maulid yang digelar para habaib, kebetulan maulid diselenggarakan di rumah seorang habib yang ceramah-ceramahnya menggetarkan jiwa, meruntuhkan kebekuan iman, dan membuka gerbang kesadaran baru tentang kecintaan pada Rasul yang Agung.

Saya berangkat dari kos ke tempat penyelenggaraan acara, tepatnya di Ampel 30 menit sebelum maghrib. Saya sampai disana pas adzan maghrib, sehingga bisa mengikuti shalat berjamaah di masjid Sunan Ampel. Seusai shalat sunah ba’diyah, saya langsung menuju tempat penyelenggaraan acara, saya bertemu dengan habib Husein, putera Habib Najib. Melihat penampilan busananya saya mengingatkan Habib di Malang, yang meniru gurunya yang agung Hb. Umar bin Hafidz. Mata saya tertuju pada sosok Hb. Najib yang begitu mempesona dengan kesederhanaan yang melekat pada penampilannya.

Beberapa menit sampai di tempat tujuan, acara langsung dimulai diawali dengan tahlil, disertai dengan pembacaan manaqib beberapa sosok mulia untuk dikirimi doa. Masuk acara shalawat Maulid yang diiringi dengan rebana. Sungguh, saya mendapatkan pantulan Rasulullah SAW dari para keturunan yang disucikan. Para jemaah yang hadir begitu khusyuk mengikuti lantunan shalawat yang dibawakan dengan lagu yang lama, mengikuti irama yang telah dibagikan para salafus saleh. Memang lagu-lagu lama lebih mengena dan menyusup ke jantung, ketimbang lagu yang dikreasi dengan sentuhan-sentuhan modern. Bertemu dengan habaib saat memuja-memuja Rasulullah SAW meresapkan kebahagiaan tersendiri bagi diri ini. Tercermin dari wajah yang berseri-seri dan kelembutannya dalam berdakwah dan mengajak orang, tak ada wajah sangar yang saya lihat dari habaib yang hadir. Mereka telah disuluh dengan cahaya kelembutan Rasul, karena itu dakwah yang dilakukan mereka lebih mengedepankan akhlak luhur dan sikap yang punya daya interesting.

Pada saat acara itu, saya membayangkan akan mendapatkan sentuhan motivasional cinta Rasul dari Hb. Najib, namun yang dipersilahkan untuk memberikan materi ceramah saat itu, Hb. Zainal dari Pasuruan. Kalau ceramah Hb. Najib tidak pernah mengundang gelak tawa, tetapi Hb. Zainal ceramahnya kerap diselipi guyonan yang tak jarang membuat jamaah tertawa. Memang, setiap jamaah punya kecenderung masing-masing. Ada yang mendahulukan isi daripada kemasan, mereka membutuhkan sentuhan-sentuhan ceramah yang serius tapi membahana dengan motivasi. Ada banyak jemaah yang suka dengan ceramah yang diselipi goyunan. Namun, ketika melihat wajah Habaib saya merasa makin masuk dalam jantung kecintaan pada Rasulullah Muhammad SAW.

Seusai acara ceramah, acara tersebut diwarnai dengan penyelenggaraan akad nikah. Berikutnya ada acara makan bersama. Saya mengira jemaah yang hadir hanya sedikit, tetapi ternyata meluber hingga ke jalan raya. Mungkin ada ratusan atau mungkin mendekati seribu orang di acara cinta Rasul, kendati acara dikemas dengan begitu sederhana, tetapi dibalik kesederhanaan menyimpan pesona Rasul yang Agung. Hal itu baru saya sadari, pada saat panitia membagikan makanan yang dihidangkan dengan baki. Setiap baki terdiri nasi, lauk-pauk, dan buah.

Melihat begitu lamanya pembagian, saya meyakini jemaah mendekati seribu orang. Dari momen ini, saya tidak hanya diperkenalkan tentang cinta pada Rasulullah Muhammad SAW, tetapi menyibak tirai keajaiban keturunan Rasulullah yang tidak pernah lepas dari busana akhlak yang dipergunakan beliau SAW, salah satunya dermawan. Kedermawanan Hb. Najib terasa dalam acara tersebut, dan beliau benar-benar berusaha bagaimana bisa memuaskan jamaah yang hadir. Kebanyakan jamaah yang hadir tanpa mendapatkan undangan langsung, hanya mungkin melihat woro-woro yang tertempel di dinding atau papan pengumuman. Tapi, alhamdulillah makanan yang dihidangkan cukup. “kendati jemaah yang hadir begitu banyak, saya tak pernah mendapati persediaan konsumsi kurang, sehingga ada yang tidak makan,”kata teman saya

Cermin akhlak Rasulullah SAW sebagian bisa dilihat dari akhlak yang terlukis dari keturunan beliau. Dan kalau kita mencintai Rasulullah SAW, maka kita harus mencintai keturunannya. Karena dari keturunan Rasulullah, ilmu hikmah mengalir dengan deras yang membikin orang menemukan keindahan agama, tanpa harus merasa kesulitan. Bergaul dengan keturunan Rasulullah SAW, kita bakal mendapati agama yang humanis, mengedepankan akhlak yang agung, tak pernah sedikit pun menyalahkan apalagi mencemooh orang lain. Rasa cinta pada beliau SAW makin bergelora ketika melihat pantulan akhlak Rasulullah yang terpancar pada pribadi-pribadi Habaib. Saya melihat senyum indah melulu menghiasi wajah mereka. Ada keguyupan dan kebersatuan dalam komunitas mereka, selain mereka dengan suka cita berbaur bersama orang-orang di luar komunitas habaib. Ini membuktikan, demi bisa menggelar dakwah lebih luas diharuskan berbaur dengan masyarakat yang berbeda latar belakang tradisi, tetapi tetap mengacu pada cara-cara yang telah dicontohkan oleh Rasulullah Muhammad SAW. Islam dicitrakan sebagai agama inklusif, terbuka terhadap tradisi dan latar belakang apapun. Mengapa demikian? Karena islam digelar oleh utusan yang berprinsip rahmatal lil ‘alamin.

Mengikuti maulid tidak sekadar bisa mengejawantahkan rasa kerinduan dan cinta pada Rasulullah Muhammad SAW lewat pembacaan shalawat bersama, tetapi bisa membangun jalinan ukhuwah atau pergaulan dengan orang yang berasal dari trah yang mulia, trah Rasulullah Muhammad SAW. Bukankah yang ditinggalkan Nabi ada tiga, yakni al-Qur’an, Hadist, dan keturunan beliau yang suci. Al-Qur’an dan hadist sebuah konsep agama yang mati, tetapi keturunan beliau yang dipasoki nilai-nilai agama tetap hidup, dan mengikuti jalan dakwah yang pernah dirintis beliau Saw. Semoga kita makin bisa meneguhkan cinta pada Rasulullah Muhammad SAW dengan cara bershalawat dan diperkenankan bergaul dengan keturunan Nabi Saw yang suci.

Khalili Anwar, Penutur dari Jalan Cahaya

KERJAKU, BEBANKU

“tumpukan dan tekanan kerja membuat kepala jadi judeg,”kata saudaraku yang sudah setahun bergelut di karir finansial. Dia mengutarakan sekian problem kerja yang membelit dirinya. Sehingga dari waktu ke waktu, terasa beban yang dipanggul kian berat. Kendati demikian, karirnya begitu cepat menanjak, dari sales jalanan, kini dipercaya sebagai supervisor hanya dalam tenggat waktu setahun. Perihal finansial sudah tidak menjadi kerisauannya sebagaimana halnya pada saat dia baru lulus kuliah. Secara finansial dia telah merasa aman, apalagi belum menikah, sehingga kebutuhan tidak terlampau banyak. Tetapi diam-diam, dia merasa ada suatu di dalam dirinya yang telah dirampas oleh perusahaan. Apa itu? Itulah kemerdekaan intelektual, psikologis, terlebih kemerdekaan ruhani yang menjadi pijakan dasar orang merengkuh kebahagiaan sejati.

Di tengah kegundahannya itu, ia bersilaturrahim pada saya, seraya berharap bisa mencurahkan segenap kejudegan dan menimba pencerahan, sehingga gumpulan kesedihan yang telah membetot hatinya, mencair, dan dia bisa kembali menemukan makna hidup yang mencerahkan dan membahagiakan.

“tekanan yang kurasakan makin berat. Tekanan dari manager, dan juga dari anak buah yang kurang bisa bekerja secara cepat. Dengan berbagai benturan itu, saya kadang jengkel sendiri, dan bahkan akhirnya pasrah, tidak apa-apa kalau saya keluar dari pekerjaan ini. Sebelumnya saya sempat ditawarin oleh pihak direksi, untuk menjadi analis, tetapi saya dalam keadaan gundah, menolak tawaran tersebut, dan memilih fokus mengelola pekerjaan yang kutangani. Saya tidak ingin meninggalkan pekerjaan yang masih berpelepotan beragam masalah. Setiap hari saya bermain dengan strategi, perencanaan, dan target-target, kadang membuat pikiran jadi buntu,”tandasnya.

***

Problem seperti itu tidak sekadar dialami oleh saudara saya tersebut, bisa saja dialami oleh setiap karyawan yang hari-harinya dipacu oleh target dan rencana yang moving. Semuanya menggunakan pikiran rasional, dan jarang mendapatkan sentuhan “the power of spiritual.” Ketika kita terus berjibaku dengan persoalan harian yang meletup dari pikiran-pikiran luar, dan tidak mendidik hati agar bisa memiliki mental terbaik, niscaya pekerjaan akan menjadi beban, bahkan racun yang akan mematikan sisi ruhani. Ketika ruhani mati, atau setidaknya sakit, niscaya akan menguap kehampaan, perasaan kering, gersang, dan nurani jadi tumpul untuk menggali makna terindah dari setiap momen yang terlintas.

Saya sempat tidak percaya dengan penelitian, bahwa ada sufi di korporat, karena korporat yang telah menjadikan kapital berikut mengumpulkan modal material sebagai tindakan sehari-hari, karenanya sulit menggapai sufi yang sejati. Kendati tak bisa dipungkiri, ada juga sosok sufi yang dilahirkan dari sebuah komunitas di perusahaan. Ketika perusahaan, dan orang yang berada di perusahaan hanya terpancing untuk mencapai keamanan dan kestabilan keuangan, niscaya kesucian ruhani sulit untuk bisa dirangkai secara efektif. Jarang sekali kita melihat perusahaan yang bisa melahirkan sufi-sufi handal, karena cara kerjanya di-create kental orientasi materialistik.

Andaikan ada gairah memunculkan nilai dan semangat spiritual dalam perusahaan, pada akhirnya diarahkan untuk bisa meningkatkan pendapatan yang lebih besar. Kita bisa bercermin pada pelayanan perbankan, pelayanannya begitu anggun, senyum tersimpul indah menghiasi wajah setiap teller, costumer service, dan bahkan security yang menyambut para nasabah. Hanya saja, dari wajah batinnya terpancar bahwa sikap dan penampilan mereka sepertinya tidak muncul dari kejernihan hatinya, tetapi diformat oleh sistem yang dikembangkan perusahaan. Mereka bersikap indah, interesting, elegan selaras dengan tuntutan perusahaan, yang bertujuan menarik pelanggan agar betah bersama pelayanannya, dan pada akhirnya bisa meningkatkan aggregasi pendapatan.

Setiap perilaku, sikap, dan performance yang pada ujungnya berharap pada terpenuhi materi bukanlah spiritual. Kendati disebut spiritualitas itu bersifat spiritual semu (pseudo-spiritual). Karena bagi orang yang berorientasi spiritualitas, maka duniawi dengan segenap aksesorisnya hanyalah jalan, menuju kejayaan ruhani, berujung pada upaya mendulang tambang kebahagiaan yang begitu berharga yang diproduksi dari dalam dirinya sendiri. Mereka bahagia, karena telah diberi kemampuan oleh Allah untuk mewujudkan panggilan jiwa yang terus menggedor batinnya. Ada orang yang begitu bahagia, setelah melalui kekayaan yang didapatkan, dia bisa memberi lebih banyak lagi pada orang yang membutuhkan, bisa membuat yayasan kusta yang diperuntukkan bagi orang yang terjangkit kusta. Mereka bahagia bukan karena kekayaan itu, tetapi karena telah bisa memenuhi panggilan jiwanya untuk bisa membantu orang yang membutuhkan dengan panduan hatinya yang suci.

Pekerjaan menjadi beban, dan menjadi lahan yang begitu menarik, tidak bergantung pada perolehannya, tetapi misi atau prinsip yang tertanam dalam pekerjaan tersebut. Ketika misi yang tertanam mulia dan indah, maka kerja dan seluruh prosesnya terasa indah. Seperti orang hendak rekreasi sebuah tempat yang begitu indah nan eksotis, tentu saja tidak ada cemberut yang menjelma dari wajahnya, bahkan senyum terus disertai gurauan kecil mengiringi perjalanan tersebut. Apalagi ketika telah sampai pada tujuan, maka kebahagiaan itu seperti telah menyatu ke dalam hatinya. Atau ketika orang hendak berkunjung pada sang kekasih, sebelum tiba di rumah sang pujaan hati, masih hendak berangkat atau berada dalam perjalanan menujunya, sepertinya simfoni kebahagiaan terus mengalun indah dari hati ini, bahkan ketika dalam perjalanan itu diwarnai siulan, nyanyian merdu yang melukiskan suasana hati yang indah dan penuh bahagia, bahkan telah membayangkan momen indah yang bakal terjadi dalam persuaan dengan sang kekasih.

Ketika orang dipasoki nilai-nilai ruhani otentik dalam hatinya, maka dia akan selalu meresapi, menghayati, dan berpelukan dengan kebahagiaan. Dia bisa merasakan pantulan kristal-kristal kebahagiaan memancar dari seluruh sudut kehidupannya. Karena memang, hatinya telah dihiasi taman yang indah, dia tidak terpengaruh dengan kotoran yang ada di luar dirinya, karena dia telah merasakan taman indah yang tak bakal terganggu oleh siapapun, kecuali dia sendiri yang mengizinkan untuk diganggu. Karena dia telah punya alam hati yang bertatahkan taman indah, dia tidak sekadar menikmati kebahagiaan, tetapi berusaha menebarkan dan membagikan kebahagiaan itu pada lingkungan sekitarnya. Dengan menatapnya, banyak orang yang mengalami kegersangan spiritual, tiba-tiba terasa mendapatkan hujan spiritual dari wajahnya sehingga kegersangan itu berakhir, berikut bisa menumbuhkan bibit-bibit kebaikan yang bersemi dalam dirinya.

Bagi orang sudah berpelukan dengan kedamaian, bahkan benturan, intrik, dan taktik yang terjadi dalam perusahaan tidak pernah bisa merampas kebahagiaan yang telah berdiam dalam dirinya. Bahkan seluruh suasana gelap itu akan menjadi terang dalam sudut pandangnya, bahkan mencerahkan. Dia terampil mengelola suasana yang semberawut menjadi suasana yang rapi dan melahirkan aneka hikmah. Sikap dan perilakunya sering membawa cahaya, dan mengilhami orang lain untuk berbuat yang terbaik. Tindakan dan sikap hidupnya lebih bernas dampaknya ketimbang kata-katanya. Karena hatinya telah ditumbuhi sakinah, maka dalam kondisi apapun dia selalu berada dalam keadaan sakinah, tak pernah terusik sedikit pun. Bekerja pun menjadi aktivitas yang enjoy, karena bekerja dipandang menjadi instrumen untuk mendapatkan kebahagiaan, juga membagi kebahagiaan yang didambakan oleh setiap insan.


Khalili Anwar, Penutur dari Jalan Cahaya

Senin, 15 Maret 2010

MENYIBAK CAHAYA BAHAGIA

Saya sempat bertemu dengan bapak yang sudah berumur, yang tengah didera persoalan yang amat kompleks. Istri dan anaknya sudah tidak lagi bisa dijadikan pandangan yang menyejukkan mata, tatapan tetangga dirasa sebagai ajakan permusuhan, perilaku orang-orang sekelilingnya terasa kurang bersahabat. Dia mempersepsi tak ada lagi tempat berteduh untuk mengungkapkan perasaan dan gelora kegundahan yang membungkamnya. Saat saya bertemu dengannya, saya berusaha menjadi pendengar dan teman bicara terbaik, mau berempati untuk mendengarkan seluruh keluh-kesah, dan kekecewaan yang sepertinya membetot seluruh perasaannya. Dia berusaha mengungkapkan permasalahan yang menghadang dan mendekap dirinya. “saya mendapatkan ujian yang besar dari Allah, keluarga tidak lagi punya perhatian dan welas asih padaku, semua orang seakan telah memusuhi diriku. Karenanya aku berusaha meninggalkan mereka sementara waktu untuk bisa menyadarkan mereka. Tetapi sayang, mereka tidak juga sadar, “katanya dengan wajah penuh kerisauan.

“setiap hari saya berusaha menjaga perasaan, saya tidak sebatas diremehkan oleh keluarga, tetapi tetangga pun kerap melemparkan pandangan kecut terhadap saya. Saya tidak pernah merasa berbuat salah pada mereka, saya tidak pernah mengambil hak mereka, atau saya mengemis pada mereka. Sama sekali tidak pernah, tetapi mengapa mereka memandang saya dengan sikap merendahkan,”lanjutnya dengan nada agak meninggi.

Selanjutnya dia melemparkan kesalahan ke banyak orang. Walau dia sendiri tidak lupa menyebutkan kebaikan pada pihak yang lain. Hanya saja ketika dia memadang buruk orang lain, dia mempreteli keburukan itu lebih telanjang. Ketika berbicara kebaikan orang lain, maka dia pun mengungkapkan seluruh kebaikan yang tiada terperihkan. Saya sendiri sedih, kalut mendengarkan sekian pembicaraan yang dilontarkan, memang banyak penuturannya yang masuk akal, hanya saja ketika dia terbelenggu dengan suasana seperti itu, dia tidak akan mengecap kebahagiaan hakiki dalam hidupnya.

Saya menuturkan padanya, kesalahan dan masalah tidak berada di luar diri kita. Kesalahan dan masalah yang kita nilai dan persepsi itu ada dalam hati kita sendiri. Betapa agung pribadi manusia ketika dia berusaha menyalahkan bahkan menertawakan diri sendiri, ketimbang menyudutkan dan menertawakan orang lain. Makanya ketika kita terus meracau menyalahkan orang lain, maka berhentilah sejenak, diam, dan merenung, apakah benar kesalahan yang dialamatkan pada orang lain benar-benar kesalahan, atau ternyata pikiran kita yang selalu memandang dari sudut pandang yang keliru dan salah. Padahal ketika orang terjebak untuk menyalahkan orang lain, dia telah memasokkan api dalam dirinya sendiri, lebih tepatnya menyalakan neraka di dalam dirinya sendiri.

“tidak ada orang yang tersakiti, kecuali dia mengizinkan dirinya untuk disakiti. Dan adanya masalah yang kita lihat pada orang lain, karena mata kita bermasalah. Ketika mata kita bermasalah, maka setiap sudut menampilkan layar masalah. Ketika kita berjalan dalam keadaan pincang, jangan buru-buru menyalahkan tanah yang dijadikan tempat berpijak sebagai tidak rata, tetapi sesungguhnya yang bermasalah adalah kaki kita sendiri. Dan andaikan ada orang buta berjalan di sebuah auditorium yang ditata berjejer di dalamnya kursi dan meja, kemudian si buta berjalan, dan membentur meja dan kursi yang tertata secara rapi, jangan buru menyalahkan bahwa meja dan kursi tidak ditata secara rapi dan diletakkan tempat benar, tetapi karena matanya buta, sehingga tak bisa melihat jalan yang harus dilewati. Masalah tidak berada di luar diri kita, tetapi tengah bercokol dalam hati kita sendiri,” kata saya tanpa beban.

“apa yang harus aku lakukan?” ujarnya meminta nasihat dariku.
“Ingatlah Pak, Allah itu Maha Pengasih dan Maha Lembut. Tidak ada kejadian dan peristiwa kecuali berada dalam kekuasaan Allah, kekuasaan-Nya terbungkus dalam keinginan- Nya yang suci, dan keinginanNya dibungkus dengan ilmuNya Yang Luhur, dan ilmu-Nya dibungkus dengan hikmah yang penuh kasih sayangNya yang tak terbatas. Ketika orang mampu menatap kasih sayang Allah dibalik kenyataan pahit yang dialami, niscaya dia akan selalu berusaha mendekat pada Allah yang menyediakan jalan keluar dari setiap masalah. Ketika keluarga sudah tidak lagi memberikan perhatian, tetangga tidak lagi memberikan energi positif dan senantiasa memandang apa yang kita lakukan keliru, maka sesungguhnya Allah membuka gerbang-Nya selebar-lebarnya agar kau kembali pada-Nya. Fafirruu Ilallah….! Berlari pada Allah SWT. Mengungsi pada-Nya. Mungkin kita pada mulanya melekat pada anak istri, pada harta yang dimiliki, bahkan pada kedudukan, tetapi tidak selama hiasan dunia itu menyertai kita. Setelah kematian menjemput, seluruh hiasan itu pun tanggal dari diri kita. Janganlah kita melekat semelekat-melekatnya pada selain Allah, karena niscaya kita akan dibuat menderita karenanya. Ada orang yang begitu mencintai anaknya, sehingga dia memberikan apa saja yang diinginkan, maka pada saat dewasa anak ini akan tumbuh sebagai orang yang membuat si ayah menderita, karena anak tidak tumbuh secara dewasa, karena sejak anak-anak dia selalu mendapatkan fasilitas dari sang ayah.” Kataku, sembari dia mendengarkan dengan begitu seksama.

“bagaimana bisa berlari pada Allah?”tanyanya
“Ketika orang berlari menuju pada Allah, maka dia bertobat. Menyesali segenap aktivitas dan kemelekatan pada makhluk yang menariknya lupa pada Allah SWT. Bertobat itu kuncinya pak, banyaklah membaca istighfar. Istighfar itulah yang banyak memberikan pencerahan ke dalam hati-hati yang gelap. Kalau kita sudah beristighfar, memohon ampun pada Allah, juga disertai keberanian memaafkan orang-orang yang dianggap bersalah pada kita. Bukankah dengan memaafkan, api kemarahan dan kejengkelan akan padam seketika? Juga membuang kotoran-kotoran busuk yang masih menempel dalam dinding hati kita. Mungkin ada kedengkian menjejali hati, keangkuhan yang mengeraskan jiwa, atau merasa berkuasa daripada orang lain, semua kotoran itu harus dihilangkan. Ketika hati sudah bisa dibersihkan, maka hati sudah siap memantulkan kebaikan semata. Hanya saja, membuang kotoran itu tidak bisa, sebelum program kotoran yang datang dari pikiran dihentikan. Bagaimana cara menghentikannya, ya harus menekuni uzlah, menyingkirkan diri sementara dari pergaulan sehari-hari. Menjauhi kebiasaan berbaur dengan sesama untuk sementara waktu, agar menghadap sepenuhnya pada Allah SWT. Uzlah dilakukan orang suci untuk membersihkan hati, Nabi Musa 40 hari berada di bukit Tursina, membersihkan hati sembari mendapatkan cahaya wahyu dari Allah SWT, Rasulullah Muhammad SAW lama bertahannuts di gua hira’ membersihkan hati, mempersiapkan diri mendapatkan wahyu dari Allah SWT. Tak ketinggalan para wali yang diperankan sebagai penyebar dan penguat agama melakukan uzlah selama bertahun-tahun. Semoga bapak nantinya bisa mendapatkan pencerahan dengan melakukan uzlah, dan menjadikan istighfar sebagai alat membersihkan kotoran yang masih mengerak dalam hati.”lanjutku.

Semoga nasihat sederhana dari orang dungu ini bisa mewariskan pencerahan ke hati sang Bapak, sehingga dia bisa bertemu dan bersua dengan kedamaian dimana saja, berikutnya dia bisa berjalan menjadi cahaya yang mencerahkan sesama. Diri yang juga masih dalam perjalanan menuju taman kebahagiaan ini ingin sekali membagi kebahagiaan dimana pun saja, agar orang bisa merasakan kebahagiaan. Kebahagiaan tak sebatas dipikirkan, tetapi meresap dalam perasaan hatinya yang halus, lembut, merembes ke sumsum kesadarannya. Ketika orang telah merasakan kebahagiaan, niscaya dia tidak bisa menguraikan dengan kata-kata, walau mampu menguraikannya, pasti tidak bisa menggambarkan secara persis. Kiranya siapa yang bisa menggambarkan rasanya susu, persis dengan rasa yang dicecap, rasa tidak bisa dilukiskan dengan kata-kata. Rata-rata orang merengkuh kebahagiaan puncak setelah menapaki penderitaan yang begitu menggetirkan.

Khalili Anwar, Penutur dari Jalan Cahaya