Selasa, 09 Februari 2010

RAKYAT MEMBUNUH PEMIMPIN

Saya amat sedih setelah meng-update berita dari radio Elshinta, hari selasa, 3 Februari 2009. Diberitakan soal peristiwa gaduh dan demo bernuansa kekerasan yang dilakukan oleh sebagian massa di kantor DPRD Sumatera Utara. Massa merangsek ke ruang gedung diadakannya sidang paripurna, dan polisi pun tidak bisa berbuat apa-apa untuk menahan dan menghalangi bergeraknya ratusan massa tersebut. Dalam hitungan berapa menit saja, massa bisa mengepung dan menguasai kantor DPRD, dan menduduki tempat pelaksanaan sidang paripurna. Tak ayal, anggota DPRD yang tengah mengadakan rapat, menghentikan terlebih dahulu rapatnya. Massa pun sontak mengepung seluruh anggota DPRD Sumatera Utara yang tengah mengadakan rapat bersama instansi pemerintahan propinsi Sumatera Utara. Demo amat brutal itu berakhir dengan kematian ketua DPRD Sumatera Utara, Abdullah H. Supangkat.
Kejadian tersebut menjadi potret gelap dari demokrasi yang berkembang saat ini. Apakah demokrasi benar-benar bisa membangun rakyat yang makin elegan, berakhlak baik, atau ternyata membuat rakyat makin jauh dari semangat menghargai pemimpin? Benarkah demokrasi itu menyuarakan hati nurani rakyat, atau sebatas mengejawantahkan kepentingan pribadi tokoh politik? Apakah demokrasi itu telah berhasil membangun sebuah kepemimpinan yang kharismatik, atau kepemimpinan sebatas dalam tataran simbol, dan tidak mengakar di hati rakyat? Banyak pertanyaan berkembang lewat tragedi 3 Februari 2009 tersebut. Perlulah kiranya, kita mengevaluasi perjalanan pola demokrasi yang berkembang di Indonesia. Andaikan ditanya dari sekian massa yang bergabung untuk menduduki kantor DPRD Sumatera Utara, kiranya berapa personal yang mengerti dengan seksama pokok permasalahan yang berkembang di Sumatera Utara? Dan berapa yang sebatas ikut-ikutan dan menyertai keramaian demonstrasi tersebut? Apakah mungkin dalam demo tersebut benar-benar datang dari kehendak rakyat secara umum, atau hanya kepentingan politik segelintir orang semata?
Andaikan kejadian itu berawal dari ulah satu orang sebagai otak intelektual, berarti gerakan tersebut tidak berkembang di ranah demokrasi? Harusnya demokrasi berasal dari rakyat, tetapi mengapa inisiatif tersebut hanya datang dari segelintir orang saja? Kalau begitu, demokrasi hanya cocok untuk kalangan orang yang berpengetahuan, berwawasan luas, dan memang cerdas tentang politik. Namun, kenyataannya masih banyak rakyat kita belum memahami soal platform politik pimpinan negara saat ini. Banyak masyarakat masih bodoh soal politik, dan sangat memprihatinkan ketika kebodohan rakyat itu dijadikan alat untuk memenuhi syahwat politik segelintir orang. Memang hanya orang-orang pintar yang bisa memperdaya dan membodohi orang bodoh. Ketika gencar-gencarnya pemilahan legislatif, betapa banyak calon legislatif yang mendekat pada rakyat. Mereka hanya sebatas ingin mendapatkan suara, dan kedudukan yang didambakan bisa diraih dengan ampuh. Memang hanya dengan dukungan rakyat, mereka dipilih. Tetapi apakah rakyat yang memilih itu, memilih dengan disertai kesadaran politik, atau tanpa sadar sedikit pun. Ya, hanya dengan mendapatkan cipratan uang, mereka mau-mau saja memilih calon wakil rakyat, yang nantinya bahkan dia bakal mengeruk lebih banyak dari uang yang ditaburkan untuk rakyat. Korupsi sebagai akibat dari obsesi keliru yang menguasai hati wakil rakyat. Apakah itu menandakan bahwa yang bersalah adalah rakyat yang telah memilih pemimpinnya? Jangan gampang menyalahkan rakyat. Orang yang melakukan sesuatu tanpa dilandasi kesadaran dan pengetahuan tidak boleh disebut salah. Hanya karena dibujuk oleh para pelaku politik itulah, rakyat pun ikut memilih, walau pun ia tidak pernah sadar apa efek yang bakal diterima setelah memilih tokoh politik tersebut.
Pun demikian peristiwa yang terjadi di Sumatera Utara. Massa dari akar rumput jangan dipersalahkan, karena mereka hanya mereaksi provokasi panas yang dilemparkan oleh para otak intelektual kejadian tersebut. Orang pintar memiliki seribu alasan untuk bisa meyakinkan rakyat. Dan ingatlah rakyat selalu dijadikan alat dan berada dalam posisi dirugikan dalam hal apapun. Saya belum bisa memahami, apakah demokrasi yang berkembang saat ini memang untuk rakyat atau hanya untuk kepentingan politisi dan pelaku ekonomi yang berada di tataran previlage? Wallahu a’alam bish showaab.

Rabu, 03 Februari 2010

ISTIGAMAH DALAM KEBAHAGIAAN

Suatu pagi yang cerah, di hari Jumat Agung, dimana mentari pagi tengah mengumbar senyumnya dari ufuk timur, kami bersama teman-teman baru menyelesaikan wirid pagi petang. Sebelum shalat isyraq, guru yang mulia hendak pergi RSAL (Rumah Sakit Angkatan Laut), menjenguk guru yang wajahnya terus bersinar (tanawwirul wajh), KH. Mas Yusuf Muhajir. Sejak dua hari sebelumnya, setelah mendengar beliau sakit, saya sudah terpikirkan untuk membesuk beliau di rumah sakit. Ada kerinduan yang membuncah pada beliau. Seakan wajahnya yang tergelar bahagia terbayang di kelopak mata ini.

Saya sudah janjian sama teman-teman jamaah membesuk pada hari sabtu, tetapi diundur jadi hari Minggu. Beliau memiliki kemiripan cara pandang dengan guru yang mulia. Kalau guru yang mulia kerap memberikan pencerahan dalam bentuk filsafat-filsafat agama yang mendalam dan menyentuh, sementara KH. Mas Yusuf Muhajir mengungkapkan keterangan lewat cerita-cerita renyah, bahkan gurauan-gurauan penuh hikmah. Pandangan beliau berdua sama, hanya cara mengekspresikan yang berbeda. Diakui guru yang mulia, beliau berdua memiliki cara pandang yang sebangun.

Saking membuncahnya kerinduan pada KH. Mas Yusuf, di malam harinya saya sempat bermimpi beliau tengah menggelar pengajian. Beliau menyapa saya dengan senyum indah, tulus, dan begitu akrab, tetapi tetap berwibawa. Saya makin yakin, bisa membesuk beliau di hari jumaat tersebut. Alhamdulillah, dengan izin guru yang mulia, saya pun membesuk beliau. Lebih dahulu guru yang mulia berangkat dari griya, saya menyusul bersama mas Misbach dengan menggunakan kendaraan sendiri. Kami berdua lebih dahulu sampai ke RSAL, kami mencari-cari ruang Paviliun III belum ketemu, hanya Paviliun II dan I.

“Ah mungkin Paviliun III itu ruang yang paling istimewa mas, jadi agak sulit nyarinya,”kataku, guyon pada mas Misbach.

“ini Paviliun II dan I, pasti juga di wilayah sini,”katanya. Sekejap kemudian saya melihat KH. Mas Yusuf duduk sendirian di beranda rumah sakit sambil menelepon. Hatiku bergetar, merasa bahagia melihat beliau nampak bugar, raut wajah kebahagiaan masih tetap menyelimuti wajahnya. Saya pun langsung menuju ke tempat beliau, sungkem. Seolah ada getaran kehangatan yang menyusup ke dalam hati ini bisa bertemu beliau.

“Assalamu’alaikum,” kami berdua manyapa beliau

“Wa’alaikum salam,”sambut beliau

“Bagaimana kyai, apa sudah semakin sehat,”muncul saja dari lisan yang kotor ini.

“Alhamdulillah, sudah ada kemajuan,”kata beliau, sambil menelepon.
Saya masih tercekat, sambil menyimak perbincangan beliau. Beliau menyanggupi orang yang akan menggantikan beliau untuk menyampaikan ceramah di teman-teman Hizbut Tahrir.

“Saya lama sekali diminta oleh kawan-kawan Hizbut Tahrir untuk mengisi ceramah setiap tiga bulan sekali, tetapi saya hanya menyanggupi satu tahun sekali. Maka terjadilah ngenyang-ngenyan (tawar-menawar), akhirnya saya sanggup satu tahun 2 kali,”ujar beliau dengan wajah yang terlihat sumbringah.

“Sejak kapan kyai Mas sakit?”tanya Mas Misbach penuh empatik.
“sejak seminggu yang lalu, tetapi saya tidak memberitahukan ke banyak orang, kecuali pada beberapa orang termasuk ustadz Qushwandhi,”katanya “Saya ini tidak merasa sakit, hanya melihat dari obat yang saya konsumsi, saya ini sakit,”lanjutnya dengan senyum tanpa keluhan.

“Memang sakit itu mengikuti alam pikiran. Orang bahagia atau menderita, sedih-gembira bahkan sakit-sehat itu karena alam pikirannya sendiri,” tukas beliau.

Contoh, kata beliau, seorang anak yang berada diantara permainan yang amat asyik, dia larut dalam permainan tersebut. Saking larutnya dia melalaikan perintah si ayah, maka ayah memberitahu, kalau tidak segera menghentikan permainan tersebut, nanti akan disuntik, maka anak itu kehilangan akan keasyikan permainan tersebut, yang terbayang dalam pikirannya hanya jarum suntik. Kebahagiaan oleh karena permainan telah dilenyapkan oleh jarum suntik yang menguasai pikirannya.

Sebaliknya, kita melihat ada anak yang terkilir, kakinya terluka dan berdarah. Darah yang mengucur tersebut membuatnya menangis keras, tetapi untuk menenangkan si anak, sang ayah bilang, nak sudah menangisnya, kita nanti ke Giant. Jika anak tersebut pernah ke Giant, maka di batang pikirannya tergambar bagaimana keadaan Giant, yang disana disediakan permainan yang menghibur. Saat itu pula tangisan anak itu reda, karena alam pikirannya tidak lagi tertuju pada luka, tetapi tertuju pada permainan yang ada di Giant.

Bayangkan, bagaimana kehidupan orang sudah dekat pada Allah SWT, niscaya tidak ada kekhawatiran dan kesedihan bagi mereka. “sesungguhnya kekasih-kekasih Allah tidak pernah tersentuh kekhawatiran dan kesedihan.”

“Sebenarnya dilihat dari gejalanya, saya ini sudah lama sakit, tetapi tidak pernah dirasakan, dan saya mengerti sakit setelah dibawa ke rumah sakit,”ujar beliau dengan nada guyon, kami pun tersenyum ta’dhim.

Berselang beberapa menit beliau berbicara dengan kami, guru kami yang mulia tiba bersama Mas Kholid dan Mas Januar. Kami sungkem pada guru yang mulia, dan beliau pun duduk bersama kami di beranda tersebut. Terjadilah perbincangan yang hangat dan cair diantara kedua guru suci ini.

“ini ustadz, saya tadi bilang ke teman-teman ini, kalau derita-bahagia itu mengikuti alam pikiran,” Kyai Mas bertutur, guru yang mulia mengangguk sambil tersenyum.

“Oh ya, tadi saya SMS seorang, saya bilang sekarang Ustadz Qushwandhi sedang menggencarkan kampanye anti-kristenisasi di Sumbersekarsari Malang, beliau yang langsung bertanggung jawab. Seperti dulu, pada saat saya melakukan hal yang sama di Mojokerto,” tutur Kyai Mas yang memang selalu berpikir tentang umat. “tapi dia hanya membalas, saya mendukung,”lanjutnya. “Yah itulah orang yang agung, tetapi tidak benar-benar agung jiwanya,” kata beliau lagi.

“Ya benar, ini kyai Mas saya mengirimkan SMS pada aktivis disana, agar memasang spanduk yang berisikan pesan-pesan yang keras dan tegas, seperti stop kristenisasi di pemukiman komunitas Muslim Sumbersekarsari, dsb,”ucap guru yang mulia.

“orang khusus tetapi hatinya tidak juga tercermin pada sosok yang punya berjibun jamaah, tetapi cara berpikirnya bukan seperti orang besar. Ketika dia sakit, dia bilang semoga cepat sembuh. Banyak orang yang mendoakan dia agar cepat sembuh, tetapi ketika datang orang Sidosermo, dia mengungkapkan dan mendoakan kata berbeda, katanya, semoga selamat. Jadi bukan minta sembuh, tapi minta selamat. Minta sembuh tingkatan yang amat rendah, orang kafir pun menginginkan sembuh, tapi orang beriman yang diinginkan adalah selamat. Demikianlah banyak orang yang terbilang sebagai orang khusus, terpandang di mata umat, tetapi ketika hatinya dibedah ternyata tidak khusus”tandas Kyai Mas Yusuf. Semenjak perbincangan pertama, kami selalu mendengar dengan seksama perbincangan Kyai Mas Yusuf yang selalu menarik, dan diluar ungkapan orang-orang pada umumnya.

“Benar kyai mas, kita selalu berdoa, allahumma antas salam waminkassalam wailaika ya udussalam, fahayyina rabbana bissalam…, maksudnya kita selalu minta kesalamatan. Waras dan selamat itu sepertinya punya kemiripan, tetapi selamat itu punya makna lebih mendalam ketimbang waras,”tanggap guru yang mulia.

“Abuya itu tidak pernah nyahut ketika ditanya soal sakit, tetapi ketika ditanya persoalan umat dan agama, beliau selalu memberikan jawaban. Suatu saat, beliau berbincang seputar persoalan agama, padahal saat itu Abuya dalam kondisi sakit. Kalau ditanya soal agama dan umat beliau tertarik berbincang, tetapi ketika ditanya perihal sakitnya, Abuya bilang, “Saya sakit tah mat?””kisah kyai Mas tetap dengan wajah yang selalu sumbringah, sembari disambut tertawa tipis beberapa teman yang hadir disana.

“terus terang saya tidak mengabarkan sakit saya ke orang-orang, kecuali orang yang senafas dengan saya, termasuk ustadz Qushwandhi. Musyafak menanyai saya pertelpon, apakah benar saya ada di rumah sakit. Saya bilang, saya ada di rumah. Dia mengerti saya di rumah sakit dari orang yang hendak mengundang saya untuk menghadiri ceramah Maulid, saya tidak ada di rumah, tetapi di rumah sakit, “kata Kyai Mas Yusuf. “tetapi kadang-kadang orang seperti dia juga dibutuhkan untuk nafas yang lain,” lanjut beliau sambil tersenyum, sambil beliau pamit sebentar ke kamar rawat inap, mengambil makanan.

Sembari menunggu Kyai Mas, guru yang mulia memberikan tafsir atas apa yang telah disampaikan Kyai Mas. “beliau tidak memberikan pelajaran yang terlalu bertele-tele, tetapi yang diberikan adalah rumusan tentang hidup. Tidak memberikan ikan, tetapi memberikan pancing. Bagaimana rumus menghadapi masalah itulah yang terpenting. Terkait dengan soal, Anda bisa mencari sendiri dalam perjalanan hidup Anda, saya dan kyai Mas hanya menawarkan rumus bagaimana menghadapi persoalan, dan itulah yang kerap disampaikan dalam pengajian-pengajian yang saya selenggarakan,”tutur guru yang mulia.

Sehabis bercerita panjang lebar, Kyai mas datang dengan membawa minuman. Sejenak setelah itu beliau pamit untuk disuntik, dan kami pun pamit pada beliau. Saya merasa menemukan kepuasan bertemu dengan beliau. Saya mendapatkan pesan-pesan indah yang membuat diri selalu hendak bersyukur setiap saat. Syukur bagi Kyai Mas bukan sekadar lontaran kata, tetapi telah membadan dalam hidupnya. Semoga saya bisa memodel beliau.

Khalili Anwar, Penutur dari Jalan Cahaya