Selasa, 16 Maret 2010

THE AWARENESS OF JOYOBOYO

Terang-gelap, untung-rugi, bertemu-berpisah, sehat-sakit dan lainnya merupakan cakram putaran dualisme kehidupan yang akan dihadapi setiap insan. Itulah yang disebut JOYOBOYO. Sejak awal perlu dipatrikan di lubuk kesadaran kita, bahwa kita tidak bisa bersikap status quo (kemapanan) dalam suatu keadaan. Ingin sehat terus, sehingga membenci sakit, ingin untung terus, dan selalu ingin menyingkirkan rugi, merangkul pertemuan, tetapi melemparkan perpisahan. Kedua sisi tersebut dihadapi dengan kesadaran bahwa disitu ada pengalaman yang begitu bermakna. Sementara kemapanan tidak bakal memberi warna pelajaran dan hikmah dalam kehidupan ini. Bukankah kita suka dengan pelangi yang berwarni-warni, harusnya kita juga suka dengan warna-warni peristiwa dan kenyataan yang mengecat kanvas kehidupan kita.

Namun demikian, kendati warna peristiwa yang membalut kehidupan beraneka ragam, kita tetap tertuju pada warna dasar kehidupan, yakni putih. Disinilah, makna dari ikhlas, sabar, bahkan syukur yang akan menorehkan warna terang bagi kehidupan kita. Itu artinya, dasar dari seluruh anugerah Allah adalah putih. Lekatkan mata pikiran kita untuk melihat titik putih tersebut, niscaya semua sisi yang negatif akan menyingkir dari hati kita.

Bagaikan pergelaran besar, pasti ada agenda yang mewarnai pergelaran tersebut. Dari pembukaan, hingga penutupan. Dari opening hingga closing. Andaikan opening dan closing telah diagendakan, maka muatan yang mengiringi keduanya pasti telah diagendakan dengan rapi dan teratur oleh sang perencana. Contoh pergelaran teater, Anda akan menyaksikan bagaimana plot cerita yang mewarnai drama teater tersebut, mungkin Anda melihat plot cerita yang diwarnai decak kebahagiaan, menari-nari penuh suka cita, bahkan disertai tertawa cekikikan. Namun, ada tahapan, kesedihan, suasana kelam, kehancuran yang tak terperihkan mewarnai pemandangan dalam teater tersebut. Begitulah cermin rangakaian agenda yang mengiringi kehidupan kita.

Di suatu kesempatan guru yang mulia berkata, “kelahiran tidak kita undang, dan kematian juga tidak kita pesan.” Kata tersebut menancap dalam kesadaran saya, “diantara kelahiran dan kematian ada kehidupan, harusnya menghadapi kehidupan dengan sikap tawakkal, dan menghadapi kematian dengan berserah diri,”lanjut beliau.

Ya, memang hanya orang yang tidak mengerti hakikat kelahiran dan kematian yang selalu didera dan dipenjara perasaan gelisah, resah, dan keluh kesah, karena menyandarkan kehidupan pada dirinya sendiri, tidak ada spirit penyerahan diri (surrender) di medan kesadarannya. Berbeda halnya, ketika orang telah memahami dan meresapi makna kelahiran dan kematian, maka ia selalu tersuluhi cahaya terang, bahwa di antara batas kelahiran dan kematian Allah telah menetapkan bagi kita masing-masing, kapan kita berada di momen kejayaan dan kapan terkapar dalam keruntuhan. Kejayaan dan keruntuhan suatu keadaan yang bersifat eksternal, yang keduanya bisa menyeret kita dalam kubang penderitaan atau menggiring ke istana kebahagiaan. Apa yang membuat kita tertelungkup dalam penjara derita dan bersuka cita dalam kursi bahagia (the happiness chair)? Tiada lain sikap kita sendiri.

Boleh jadi terkuak sebuah pertanyaan, benarkah kenyataan jaya-runtuh, sehat-sakit telah ditentukan? Anda bisa menelaah QS. Al-Hadid:22 “tiada bencana yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (lawh Mahfudz) sebelum kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu mudah bagi Allah.”

Ayat tersebut mematrikan pesan, setiap kejadian dan peristiwa yang mewarnai hari-hari kita telah ditetapkan oleh Allah, kita tidak bisa mengelak ketika kejadian itu sudah hendak berkunjung, dan tidak bisa mendesak kala kejadian itu belum saatnya hadir. Semua telah dijadwal oleh Allah SWT. Kita bisa menelaah juga QS. Ali-Imran: 140 “…..Dan masa (kejayaan dan kehancuran) itu, Kami pergilirkan diantara manusia (agar mereka mendapatkan pelajaran), dan supaya Allah membedakan orang-orang yang beriman (dengan orang-orang kafir), dan supaya sebagian kami dijadikan gugur sebagai syuhada’. Dan Allah tidak menyukai orang-orang yang zalim.”

“jika Anda berada di hari Rabu, Anda tidak bisa melompat ke hari Jumat, pun tidak bisa meloncat ke hari Senin,”jelas guru yang mulia. “padahal peristiwa dan kejadian menempel pada hari-hari itu, kalau kita tidak bisa mengelak dan menarik hari, pun tidak boleh mengelak dan menghindar dari kejadian peristiwa yang hadir,”lanjutnya. “kita hanya perlu mempersiapkan dengan sabar, bukan keluhan, karena mengeluh bukan sikap orang beriman, muslim saja tidak. Orang muslim itu bersikap sabar, mukmin bersikap ridha, orang muhsin bersikap syukur. Serendah-rendah sikap orang muslim adalah sabar, dan orang yang mengeluh ciri karakter orang kafir,” nasihat beliau.

Jadi, kita perlu mempersiapkan senjata batin untuk menghadapi kejadian dan peristiwa yang hadir tanpa diundang, sehingga semua kejadian itu bisa didaurulang menjadi kenyataan positif dalam batin, dan meningkatkan derajat kita di sisi Allah SWT. Kita dikunjungi musibah, maka respons dengan sikap sabar, ridha, bahkan tidak kehilangan rasa syukur. Ketika diapit kejayaan, pancarkan sikap sabar tanpa batas. Sikap tersebut terbungkus sebagai ibadah batin, ibadah batin inilah yang bisa melejitkan potensi ruhani manusia, dan mengantarkannya untuk menggapai maqam yang tak bisa dilalui dengan ibadah-ibadah lahir.

Mari kita merangkai kedamaian melalui awareness of Joyoboyo (kesadaran akan jaya-bahaya), dan memantulkan kedamaian itu pada sesama, dengan menebarkan kesadaran bahwa kehidupan ini adalah tugas untuk mengikuti jadwal Allah SWT yang didalamnya berisi JOYOBOYO, dan tak ada JOYOBOYO tersebut kecuali demi mengantarkan manusia ke dalam samudera kebahagiaan. Andaikan ada orang terus tersungkur dalam penderitaan, berarti ada kezaliman yang dilakukan pada dirinya sendiri, karena Allah tidak pernah berlaku dzalim pada hambaNya.


Khalili Anwar, Penutur dari Jalan Cahaya

MERENDA CINTA RASUL BERSAMA HABAIB

Cinta Rasul tidak boleh padam, karena ketika cinta pada Rasulullah SAW padam, maka gairah islam pun bakal redup, pada ujungnya kita tidak bakal mencecap kelezatan ruhani dalam menjalani agama. Ada orang yang tekun beribadah, tetapi karena tidak disertai energi cinta pada Rasulullah Muhammad SAW, niscaya ia tidak bisa merengkuh mutiara agama dari cangkangnya. Bahkan tak jarang ada orang yang dibelenggu oleh konflik yang muncul dari dalam dirinya sendiri, sehingga tidak bisa menjalin harmoni yang indah dengan diri dan sesama.

Suatu kisah yang amat menarik, ada orang yang tekun beribadah, bahkan dia mengklaim hidupnya dipandu al-Qur’an dan Hadist, hanya saja kenyataan hidup dirasakan tetangganya tidak pernah memancar kedamaian darinya, terbukti dia tidak pernah bisa mengambil hati tetangga. Dia terkenal oversensorship terhadap ajaran-ajaran yang dikatakan tidak selaras dan al-Qur’an dan as-Sunnah. Namun, cara dakwah yang dilakukan tidak mengundang simpati, malahan menuai kontroversi dan kebencian dari masyarakat sekitar. Karena dia tidak bisa memoles dan menikmati suasana kondusif, dia sering pindah dari satu perumahan ke perumahan yang lain, dari satu kota ke kota yang lain. Mengapa mereka mengalami konflik batin, ya karena tidak pernah tersambung dalam jalinan cinta pada Rasulullah Muhammad SAW.

Cinta Rasul menjadi modalitas untuk bisa menumbuhkan cinta dalam diri setiap orang, yang kemudian merambat pada sesama dan kehidupan. Bagaimana bisa memekarkan bunga cinta pada Rasulullah Muhammad SAW dalam hati? Saya diajak teman untuk menghadiri maulid yang digelar para habaib, kebetulan maulid diselenggarakan di rumah seorang habib yang ceramah-ceramahnya menggetarkan jiwa, meruntuhkan kebekuan iman, dan membuka gerbang kesadaran baru tentang kecintaan pada Rasul yang Agung.

Saya berangkat dari kos ke tempat penyelenggaraan acara, tepatnya di Ampel 30 menit sebelum maghrib. Saya sampai disana pas adzan maghrib, sehingga bisa mengikuti shalat berjamaah di masjid Sunan Ampel. Seusai shalat sunah ba’diyah, saya langsung menuju tempat penyelenggaraan acara, saya bertemu dengan habib Husein, putera Habib Najib. Melihat penampilan busananya saya mengingatkan Habib di Malang, yang meniru gurunya yang agung Hb. Umar bin Hafidz. Mata saya tertuju pada sosok Hb. Najib yang begitu mempesona dengan kesederhanaan yang melekat pada penampilannya.

Beberapa menit sampai di tempat tujuan, acara langsung dimulai diawali dengan tahlil, disertai dengan pembacaan manaqib beberapa sosok mulia untuk dikirimi doa. Masuk acara shalawat Maulid yang diiringi dengan rebana. Sungguh, saya mendapatkan pantulan Rasulullah SAW dari para keturunan yang disucikan. Para jemaah yang hadir begitu khusyuk mengikuti lantunan shalawat yang dibawakan dengan lagu yang lama, mengikuti irama yang telah dibagikan para salafus saleh. Memang lagu-lagu lama lebih mengena dan menyusup ke jantung, ketimbang lagu yang dikreasi dengan sentuhan-sentuhan modern. Bertemu dengan habaib saat memuja-memuja Rasulullah SAW meresapkan kebahagiaan tersendiri bagi diri ini. Tercermin dari wajah yang berseri-seri dan kelembutannya dalam berdakwah dan mengajak orang, tak ada wajah sangar yang saya lihat dari habaib yang hadir. Mereka telah disuluh dengan cahaya kelembutan Rasul, karena itu dakwah yang dilakukan mereka lebih mengedepankan akhlak luhur dan sikap yang punya daya interesting.

Pada saat acara itu, saya membayangkan akan mendapatkan sentuhan motivasional cinta Rasul dari Hb. Najib, namun yang dipersilahkan untuk memberikan materi ceramah saat itu, Hb. Zainal dari Pasuruan. Kalau ceramah Hb. Najib tidak pernah mengundang gelak tawa, tetapi Hb. Zainal ceramahnya kerap diselipi guyonan yang tak jarang membuat jamaah tertawa. Memang, setiap jamaah punya kecenderung masing-masing. Ada yang mendahulukan isi daripada kemasan, mereka membutuhkan sentuhan-sentuhan ceramah yang serius tapi membahana dengan motivasi. Ada banyak jemaah yang suka dengan ceramah yang diselipi goyunan. Namun, ketika melihat wajah Habaib saya merasa makin masuk dalam jantung kecintaan pada Rasulullah Muhammad SAW.

Seusai acara ceramah, acara tersebut diwarnai dengan penyelenggaraan akad nikah. Berikutnya ada acara makan bersama. Saya mengira jemaah yang hadir hanya sedikit, tetapi ternyata meluber hingga ke jalan raya. Mungkin ada ratusan atau mungkin mendekati seribu orang di acara cinta Rasul, kendati acara dikemas dengan begitu sederhana, tetapi dibalik kesederhanaan menyimpan pesona Rasul yang Agung. Hal itu baru saya sadari, pada saat panitia membagikan makanan yang dihidangkan dengan baki. Setiap baki terdiri nasi, lauk-pauk, dan buah.

Melihat begitu lamanya pembagian, saya meyakini jemaah mendekati seribu orang. Dari momen ini, saya tidak hanya diperkenalkan tentang cinta pada Rasulullah Muhammad SAW, tetapi menyibak tirai keajaiban keturunan Rasulullah yang tidak pernah lepas dari busana akhlak yang dipergunakan beliau SAW, salah satunya dermawan. Kedermawanan Hb. Najib terasa dalam acara tersebut, dan beliau benar-benar berusaha bagaimana bisa memuaskan jamaah yang hadir. Kebanyakan jamaah yang hadir tanpa mendapatkan undangan langsung, hanya mungkin melihat woro-woro yang tertempel di dinding atau papan pengumuman. Tapi, alhamdulillah makanan yang dihidangkan cukup. “kendati jemaah yang hadir begitu banyak, saya tak pernah mendapati persediaan konsumsi kurang, sehingga ada yang tidak makan,”kata teman saya

Cermin akhlak Rasulullah SAW sebagian bisa dilihat dari akhlak yang terlukis dari keturunan beliau. Dan kalau kita mencintai Rasulullah SAW, maka kita harus mencintai keturunannya. Karena dari keturunan Rasulullah, ilmu hikmah mengalir dengan deras yang membikin orang menemukan keindahan agama, tanpa harus merasa kesulitan. Bergaul dengan keturunan Rasulullah SAW, kita bakal mendapati agama yang humanis, mengedepankan akhlak yang agung, tak pernah sedikit pun menyalahkan apalagi mencemooh orang lain. Rasa cinta pada beliau SAW makin bergelora ketika melihat pantulan akhlak Rasulullah yang terpancar pada pribadi-pribadi Habaib. Saya melihat senyum indah melulu menghiasi wajah mereka. Ada keguyupan dan kebersatuan dalam komunitas mereka, selain mereka dengan suka cita berbaur bersama orang-orang di luar komunitas habaib. Ini membuktikan, demi bisa menggelar dakwah lebih luas diharuskan berbaur dengan masyarakat yang berbeda latar belakang tradisi, tetapi tetap mengacu pada cara-cara yang telah dicontohkan oleh Rasulullah Muhammad SAW. Islam dicitrakan sebagai agama inklusif, terbuka terhadap tradisi dan latar belakang apapun. Mengapa demikian? Karena islam digelar oleh utusan yang berprinsip rahmatal lil ‘alamin.

Mengikuti maulid tidak sekadar bisa mengejawantahkan rasa kerinduan dan cinta pada Rasulullah Muhammad SAW lewat pembacaan shalawat bersama, tetapi bisa membangun jalinan ukhuwah atau pergaulan dengan orang yang berasal dari trah yang mulia, trah Rasulullah Muhammad SAW. Bukankah yang ditinggalkan Nabi ada tiga, yakni al-Qur’an, Hadist, dan keturunan beliau yang suci. Al-Qur’an dan hadist sebuah konsep agama yang mati, tetapi keturunan beliau yang dipasoki nilai-nilai agama tetap hidup, dan mengikuti jalan dakwah yang pernah dirintis beliau Saw. Semoga kita makin bisa meneguhkan cinta pada Rasulullah Muhammad SAW dengan cara bershalawat dan diperkenankan bergaul dengan keturunan Nabi Saw yang suci.

Khalili Anwar, Penutur dari Jalan Cahaya

KERJAKU, BEBANKU

“tumpukan dan tekanan kerja membuat kepala jadi judeg,”kata saudaraku yang sudah setahun bergelut di karir finansial. Dia mengutarakan sekian problem kerja yang membelit dirinya. Sehingga dari waktu ke waktu, terasa beban yang dipanggul kian berat. Kendati demikian, karirnya begitu cepat menanjak, dari sales jalanan, kini dipercaya sebagai supervisor hanya dalam tenggat waktu setahun. Perihal finansial sudah tidak menjadi kerisauannya sebagaimana halnya pada saat dia baru lulus kuliah. Secara finansial dia telah merasa aman, apalagi belum menikah, sehingga kebutuhan tidak terlampau banyak. Tetapi diam-diam, dia merasa ada suatu di dalam dirinya yang telah dirampas oleh perusahaan. Apa itu? Itulah kemerdekaan intelektual, psikologis, terlebih kemerdekaan ruhani yang menjadi pijakan dasar orang merengkuh kebahagiaan sejati.

Di tengah kegundahannya itu, ia bersilaturrahim pada saya, seraya berharap bisa mencurahkan segenap kejudegan dan menimba pencerahan, sehingga gumpulan kesedihan yang telah membetot hatinya, mencair, dan dia bisa kembali menemukan makna hidup yang mencerahkan dan membahagiakan.

“tekanan yang kurasakan makin berat. Tekanan dari manager, dan juga dari anak buah yang kurang bisa bekerja secara cepat. Dengan berbagai benturan itu, saya kadang jengkel sendiri, dan bahkan akhirnya pasrah, tidak apa-apa kalau saya keluar dari pekerjaan ini. Sebelumnya saya sempat ditawarin oleh pihak direksi, untuk menjadi analis, tetapi saya dalam keadaan gundah, menolak tawaran tersebut, dan memilih fokus mengelola pekerjaan yang kutangani. Saya tidak ingin meninggalkan pekerjaan yang masih berpelepotan beragam masalah. Setiap hari saya bermain dengan strategi, perencanaan, dan target-target, kadang membuat pikiran jadi buntu,”tandasnya.

***

Problem seperti itu tidak sekadar dialami oleh saudara saya tersebut, bisa saja dialami oleh setiap karyawan yang hari-harinya dipacu oleh target dan rencana yang moving. Semuanya menggunakan pikiran rasional, dan jarang mendapatkan sentuhan “the power of spiritual.” Ketika kita terus berjibaku dengan persoalan harian yang meletup dari pikiran-pikiran luar, dan tidak mendidik hati agar bisa memiliki mental terbaik, niscaya pekerjaan akan menjadi beban, bahkan racun yang akan mematikan sisi ruhani. Ketika ruhani mati, atau setidaknya sakit, niscaya akan menguap kehampaan, perasaan kering, gersang, dan nurani jadi tumpul untuk menggali makna terindah dari setiap momen yang terlintas.

Saya sempat tidak percaya dengan penelitian, bahwa ada sufi di korporat, karena korporat yang telah menjadikan kapital berikut mengumpulkan modal material sebagai tindakan sehari-hari, karenanya sulit menggapai sufi yang sejati. Kendati tak bisa dipungkiri, ada juga sosok sufi yang dilahirkan dari sebuah komunitas di perusahaan. Ketika perusahaan, dan orang yang berada di perusahaan hanya terpancing untuk mencapai keamanan dan kestabilan keuangan, niscaya kesucian ruhani sulit untuk bisa dirangkai secara efektif. Jarang sekali kita melihat perusahaan yang bisa melahirkan sufi-sufi handal, karena cara kerjanya di-create kental orientasi materialistik.

Andaikan ada gairah memunculkan nilai dan semangat spiritual dalam perusahaan, pada akhirnya diarahkan untuk bisa meningkatkan pendapatan yang lebih besar. Kita bisa bercermin pada pelayanan perbankan, pelayanannya begitu anggun, senyum tersimpul indah menghiasi wajah setiap teller, costumer service, dan bahkan security yang menyambut para nasabah. Hanya saja, dari wajah batinnya terpancar bahwa sikap dan penampilan mereka sepertinya tidak muncul dari kejernihan hatinya, tetapi diformat oleh sistem yang dikembangkan perusahaan. Mereka bersikap indah, interesting, elegan selaras dengan tuntutan perusahaan, yang bertujuan menarik pelanggan agar betah bersama pelayanannya, dan pada akhirnya bisa meningkatkan aggregasi pendapatan.

Setiap perilaku, sikap, dan performance yang pada ujungnya berharap pada terpenuhi materi bukanlah spiritual. Kendati disebut spiritualitas itu bersifat spiritual semu (pseudo-spiritual). Karena bagi orang yang berorientasi spiritualitas, maka duniawi dengan segenap aksesorisnya hanyalah jalan, menuju kejayaan ruhani, berujung pada upaya mendulang tambang kebahagiaan yang begitu berharga yang diproduksi dari dalam dirinya sendiri. Mereka bahagia, karena telah diberi kemampuan oleh Allah untuk mewujudkan panggilan jiwa yang terus menggedor batinnya. Ada orang yang begitu bahagia, setelah melalui kekayaan yang didapatkan, dia bisa memberi lebih banyak lagi pada orang yang membutuhkan, bisa membuat yayasan kusta yang diperuntukkan bagi orang yang terjangkit kusta. Mereka bahagia bukan karena kekayaan itu, tetapi karena telah bisa memenuhi panggilan jiwanya untuk bisa membantu orang yang membutuhkan dengan panduan hatinya yang suci.

Pekerjaan menjadi beban, dan menjadi lahan yang begitu menarik, tidak bergantung pada perolehannya, tetapi misi atau prinsip yang tertanam dalam pekerjaan tersebut. Ketika misi yang tertanam mulia dan indah, maka kerja dan seluruh prosesnya terasa indah. Seperti orang hendak rekreasi sebuah tempat yang begitu indah nan eksotis, tentu saja tidak ada cemberut yang menjelma dari wajahnya, bahkan senyum terus disertai gurauan kecil mengiringi perjalanan tersebut. Apalagi ketika telah sampai pada tujuan, maka kebahagiaan itu seperti telah menyatu ke dalam hatinya. Atau ketika orang hendak berkunjung pada sang kekasih, sebelum tiba di rumah sang pujaan hati, masih hendak berangkat atau berada dalam perjalanan menujunya, sepertinya simfoni kebahagiaan terus mengalun indah dari hati ini, bahkan ketika dalam perjalanan itu diwarnai siulan, nyanyian merdu yang melukiskan suasana hati yang indah dan penuh bahagia, bahkan telah membayangkan momen indah yang bakal terjadi dalam persuaan dengan sang kekasih.

Ketika orang dipasoki nilai-nilai ruhani otentik dalam hatinya, maka dia akan selalu meresapi, menghayati, dan berpelukan dengan kebahagiaan. Dia bisa merasakan pantulan kristal-kristal kebahagiaan memancar dari seluruh sudut kehidupannya. Karena memang, hatinya telah dihiasi taman yang indah, dia tidak terpengaruh dengan kotoran yang ada di luar dirinya, karena dia telah merasakan taman indah yang tak bakal terganggu oleh siapapun, kecuali dia sendiri yang mengizinkan untuk diganggu. Karena dia telah punya alam hati yang bertatahkan taman indah, dia tidak sekadar menikmati kebahagiaan, tetapi berusaha menebarkan dan membagikan kebahagiaan itu pada lingkungan sekitarnya. Dengan menatapnya, banyak orang yang mengalami kegersangan spiritual, tiba-tiba terasa mendapatkan hujan spiritual dari wajahnya sehingga kegersangan itu berakhir, berikut bisa menumbuhkan bibit-bibit kebaikan yang bersemi dalam dirinya.

Bagi orang sudah berpelukan dengan kedamaian, bahkan benturan, intrik, dan taktik yang terjadi dalam perusahaan tidak pernah bisa merampas kebahagiaan yang telah berdiam dalam dirinya. Bahkan seluruh suasana gelap itu akan menjadi terang dalam sudut pandangnya, bahkan mencerahkan. Dia terampil mengelola suasana yang semberawut menjadi suasana yang rapi dan melahirkan aneka hikmah. Sikap dan perilakunya sering membawa cahaya, dan mengilhami orang lain untuk berbuat yang terbaik. Tindakan dan sikap hidupnya lebih bernas dampaknya ketimbang kata-katanya. Karena hatinya telah ditumbuhi sakinah, maka dalam kondisi apapun dia selalu berada dalam keadaan sakinah, tak pernah terusik sedikit pun. Bekerja pun menjadi aktivitas yang enjoy, karena bekerja dipandang menjadi instrumen untuk mendapatkan kebahagiaan, juga membagi kebahagiaan yang didambakan oleh setiap insan.


Khalili Anwar, Penutur dari Jalan Cahaya

Senin, 15 Maret 2010

MENYIBAK CAHAYA BAHAGIA

Saya sempat bertemu dengan bapak yang sudah berumur, yang tengah didera persoalan yang amat kompleks. Istri dan anaknya sudah tidak lagi bisa dijadikan pandangan yang menyejukkan mata, tatapan tetangga dirasa sebagai ajakan permusuhan, perilaku orang-orang sekelilingnya terasa kurang bersahabat. Dia mempersepsi tak ada lagi tempat berteduh untuk mengungkapkan perasaan dan gelora kegundahan yang membungkamnya. Saat saya bertemu dengannya, saya berusaha menjadi pendengar dan teman bicara terbaik, mau berempati untuk mendengarkan seluruh keluh-kesah, dan kekecewaan yang sepertinya membetot seluruh perasaannya. Dia berusaha mengungkapkan permasalahan yang menghadang dan mendekap dirinya. “saya mendapatkan ujian yang besar dari Allah, keluarga tidak lagi punya perhatian dan welas asih padaku, semua orang seakan telah memusuhi diriku. Karenanya aku berusaha meninggalkan mereka sementara waktu untuk bisa menyadarkan mereka. Tetapi sayang, mereka tidak juga sadar, “katanya dengan wajah penuh kerisauan.

“setiap hari saya berusaha menjaga perasaan, saya tidak sebatas diremehkan oleh keluarga, tetapi tetangga pun kerap melemparkan pandangan kecut terhadap saya. Saya tidak pernah merasa berbuat salah pada mereka, saya tidak pernah mengambil hak mereka, atau saya mengemis pada mereka. Sama sekali tidak pernah, tetapi mengapa mereka memandang saya dengan sikap merendahkan,”lanjutnya dengan nada agak meninggi.

Selanjutnya dia melemparkan kesalahan ke banyak orang. Walau dia sendiri tidak lupa menyebutkan kebaikan pada pihak yang lain. Hanya saja ketika dia memadang buruk orang lain, dia mempreteli keburukan itu lebih telanjang. Ketika berbicara kebaikan orang lain, maka dia pun mengungkapkan seluruh kebaikan yang tiada terperihkan. Saya sendiri sedih, kalut mendengarkan sekian pembicaraan yang dilontarkan, memang banyak penuturannya yang masuk akal, hanya saja ketika dia terbelenggu dengan suasana seperti itu, dia tidak akan mengecap kebahagiaan hakiki dalam hidupnya.

Saya menuturkan padanya, kesalahan dan masalah tidak berada di luar diri kita. Kesalahan dan masalah yang kita nilai dan persepsi itu ada dalam hati kita sendiri. Betapa agung pribadi manusia ketika dia berusaha menyalahkan bahkan menertawakan diri sendiri, ketimbang menyudutkan dan menertawakan orang lain. Makanya ketika kita terus meracau menyalahkan orang lain, maka berhentilah sejenak, diam, dan merenung, apakah benar kesalahan yang dialamatkan pada orang lain benar-benar kesalahan, atau ternyata pikiran kita yang selalu memandang dari sudut pandang yang keliru dan salah. Padahal ketika orang terjebak untuk menyalahkan orang lain, dia telah memasokkan api dalam dirinya sendiri, lebih tepatnya menyalakan neraka di dalam dirinya sendiri.

“tidak ada orang yang tersakiti, kecuali dia mengizinkan dirinya untuk disakiti. Dan adanya masalah yang kita lihat pada orang lain, karena mata kita bermasalah. Ketika mata kita bermasalah, maka setiap sudut menampilkan layar masalah. Ketika kita berjalan dalam keadaan pincang, jangan buru-buru menyalahkan tanah yang dijadikan tempat berpijak sebagai tidak rata, tetapi sesungguhnya yang bermasalah adalah kaki kita sendiri. Dan andaikan ada orang buta berjalan di sebuah auditorium yang ditata berjejer di dalamnya kursi dan meja, kemudian si buta berjalan, dan membentur meja dan kursi yang tertata secara rapi, jangan buru menyalahkan bahwa meja dan kursi tidak ditata secara rapi dan diletakkan tempat benar, tetapi karena matanya buta, sehingga tak bisa melihat jalan yang harus dilewati. Masalah tidak berada di luar diri kita, tetapi tengah bercokol dalam hati kita sendiri,” kata saya tanpa beban.

“apa yang harus aku lakukan?” ujarnya meminta nasihat dariku.
“Ingatlah Pak, Allah itu Maha Pengasih dan Maha Lembut. Tidak ada kejadian dan peristiwa kecuali berada dalam kekuasaan Allah, kekuasaan-Nya terbungkus dalam keinginan- Nya yang suci, dan keinginanNya dibungkus dengan ilmuNya Yang Luhur, dan ilmu-Nya dibungkus dengan hikmah yang penuh kasih sayangNya yang tak terbatas. Ketika orang mampu menatap kasih sayang Allah dibalik kenyataan pahit yang dialami, niscaya dia akan selalu berusaha mendekat pada Allah yang menyediakan jalan keluar dari setiap masalah. Ketika keluarga sudah tidak lagi memberikan perhatian, tetangga tidak lagi memberikan energi positif dan senantiasa memandang apa yang kita lakukan keliru, maka sesungguhnya Allah membuka gerbang-Nya selebar-lebarnya agar kau kembali pada-Nya. Fafirruu Ilallah….! Berlari pada Allah SWT. Mengungsi pada-Nya. Mungkin kita pada mulanya melekat pada anak istri, pada harta yang dimiliki, bahkan pada kedudukan, tetapi tidak selama hiasan dunia itu menyertai kita. Setelah kematian menjemput, seluruh hiasan itu pun tanggal dari diri kita. Janganlah kita melekat semelekat-melekatnya pada selain Allah, karena niscaya kita akan dibuat menderita karenanya. Ada orang yang begitu mencintai anaknya, sehingga dia memberikan apa saja yang diinginkan, maka pada saat dewasa anak ini akan tumbuh sebagai orang yang membuat si ayah menderita, karena anak tidak tumbuh secara dewasa, karena sejak anak-anak dia selalu mendapatkan fasilitas dari sang ayah.” Kataku, sembari dia mendengarkan dengan begitu seksama.

“bagaimana bisa berlari pada Allah?”tanyanya
“Ketika orang berlari menuju pada Allah, maka dia bertobat. Menyesali segenap aktivitas dan kemelekatan pada makhluk yang menariknya lupa pada Allah SWT. Bertobat itu kuncinya pak, banyaklah membaca istighfar. Istighfar itulah yang banyak memberikan pencerahan ke dalam hati-hati yang gelap. Kalau kita sudah beristighfar, memohon ampun pada Allah, juga disertai keberanian memaafkan orang-orang yang dianggap bersalah pada kita. Bukankah dengan memaafkan, api kemarahan dan kejengkelan akan padam seketika? Juga membuang kotoran-kotoran busuk yang masih menempel dalam dinding hati kita. Mungkin ada kedengkian menjejali hati, keangkuhan yang mengeraskan jiwa, atau merasa berkuasa daripada orang lain, semua kotoran itu harus dihilangkan. Ketika hati sudah bisa dibersihkan, maka hati sudah siap memantulkan kebaikan semata. Hanya saja, membuang kotoran itu tidak bisa, sebelum program kotoran yang datang dari pikiran dihentikan. Bagaimana cara menghentikannya, ya harus menekuni uzlah, menyingkirkan diri sementara dari pergaulan sehari-hari. Menjauhi kebiasaan berbaur dengan sesama untuk sementara waktu, agar menghadap sepenuhnya pada Allah SWT. Uzlah dilakukan orang suci untuk membersihkan hati, Nabi Musa 40 hari berada di bukit Tursina, membersihkan hati sembari mendapatkan cahaya wahyu dari Allah SWT, Rasulullah Muhammad SAW lama bertahannuts di gua hira’ membersihkan hati, mempersiapkan diri mendapatkan wahyu dari Allah SWT. Tak ketinggalan para wali yang diperankan sebagai penyebar dan penguat agama melakukan uzlah selama bertahun-tahun. Semoga bapak nantinya bisa mendapatkan pencerahan dengan melakukan uzlah, dan menjadikan istighfar sebagai alat membersihkan kotoran yang masih mengerak dalam hati.”lanjutku.

Semoga nasihat sederhana dari orang dungu ini bisa mewariskan pencerahan ke hati sang Bapak, sehingga dia bisa bertemu dan bersua dengan kedamaian dimana saja, berikutnya dia bisa berjalan menjadi cahaya yang mencerahkan sesama. Diri yang juga masih dalam perjalanan menuju taman kebahagiaan ini ingin sekali membagi kebahagiaan dimana pun saja, agar orang bisa merasakan kebahagiaan. Kebahagiaan tak sebatas dipikirkan, tetapi meresap dalam perasaan hatinya yang halus, lembut, merembes ke sumsum kesadarannya. Ketika orang telah merasakan kebahagiaan, niscaya dia tidak bisa menguraikan dengan kata-kata, walau mampu menguraikannya, pasti tidak bisa menggambarkan secara persis. Kiranya siapa yang bisa menggambarkan rasanya susu, persis dengan rasa yang dicecap, rasa tidak bisa dilukiskan dengan kata-kata. Rata-rata orang merengkuh kebahagiaan puncak setelah menapaki penderitaan yang begitu menggetirkan.

Khalili Anwar, Penutur dari Jalan Cahaya

MENGULITI CAHAYA BAHAGIA

Saya sempat bertemu dengan bapak yang sudah berumur, yang tengah didera persoalan yang amat kompleks. Istri dan anaknya sudah tidak lagi bisa dijadikan pandangan yang menyejukkan mata, tatapan tetangga dirasa sebagai ajakan permusuhan, perilaku orang-orang sekelilingnya terasa kurang bersahabat. Dia mempersepsi tak ada lagi tempat berteduh untuk mengungkapkan perasaan dan gelora kegundahan yang membungkamnya. Saat saya bertemu dengannya, saya berusaha menjadi pendengar dan teman bicara terbaik, mau berempati untuk mendengarkan seluruh keluh-kesah, dan kekecewaan yang sepertinya membetot seluruh perasaannya. Dia berusaha mengungkapkan permasalahan yang menghadang dan mendekap dirinya. “saya mendapatkan ujian yang besar dari Allah, keluarga tidak lagi punya perhatian dan welas asih padaku, semua orang seakan telah memusuhi diriku. Karenanya aku berusaha meninggalkan mereka sementara waktu untuk bisa menyadarkan mereka. Tetapi sayang, mereka tidak juga sadar, “katanya dengan wajah penuh kerisauan.

“setiap hari saya berusaha menjaga perasaan, saya tidak sebatas diremehkan oleh keluarga, tetapi tetangga pun kerap melemparkan pandangan kecut terhadap saya. Saya tidak pernah merasa berbuat salah pada mereka, saya tidak pernah mengambil hak mereka, atau saya mengemis pada mereka. Sama sekali tidak pernah, tetapi mengapa mereka memandang saya dengan sikap merendahkan,”lanjutnya dengan nada agak meninggi.

Selanjutnya dia melemparkan kesalahan ke banyak orang. Walau dia sendiri tidak lupa menyebutkan kebaikan pada pihak yang lain. Hanya saja ketika dia memadang buruk orang lain, dia mempreteli keburukan itu lebih telanjang. Ketika berbicara kebaikan orang lain, maka dia pun mengungkapkan seluruh kebaikan yang tiada terperihkan. Saya sendiri sedih, kalut mendengarkan sekian pembicaraan yang dilontarkan, memang banyak penuturannya yang masuk akal, hanya saja ketika dia terbelenggu dengan suasana seperti itu, dia tidak akan mengecap kebahagiaan hakiki dalam hidupnya.

Saya menuturkan padanya, kesalahan dan masalah tidak berada di luar diri kita. Kesalahan dan masalah yang kita nilai dan persepsi itu ada dalam hati kita sendiri. Betapa agung pribadi manusia ketika dia berusaha menyalahkan bahkan menertawakan diri sendiri, ketimbang menyudutkan dan menertawakan orang lain. Makanya ketika kita terus meracau menyalahkan orang lain, maka berhentilah sejenak, diam, dan merenung, apakah benar kesalahan yang dialamatkan pada orang lain benar-benar kesalahan, atau ternyata pikiran kita yang selalu memandang dari sudut pandang yang keliru dan salah. Padahal ketika orang terjebak untuk menyalahkan orang lain, dia telah memasokkan api dalam dirinya sendiri, lebih tepatnya menyalakan neraka di dalam dirinya sendiri.

“tidak ada orang yang tersakiti, kecuali dia mengizinkan dirinya untuk disakiti. Dan adanya masalah yang kita lihat pada orang lain, karena mata kita bermasalah. Ketika mata kita bermasalah, maka setiap sudut menampilkan layar masalah. Ketika kita berjalan dalam keadaan pincang, jangan buru-buru menyalahkan tanah yang dijadikan tempat berpijak sebagai tidak rata, tetapi sesungguhnya yang bermasalah adalah kaki kita sendiri. Dan andaikan ada orang buta berjalan di sebuah auditorium yang ditata berjejer di dalamnya kursi dan meja, kemudian si buta berjalan, dan membentur meja dan kursi yang tertata secara rapi, jangan buru menyalahkan bahwa meja dan kursi tidak ditata secara rapi dan diletakkan tempat benar, tetapi karena matanya buta, sehingga tak bisa melihat jalan yang harus dilewati. Masalah tidak berada di luar diri kita, tetapi tengah bercokol dalam hati kita sendiri,” kata saya tanpa beban.

“apa yang harus aku lakukan?” ujarnya meminta nasihat dariku.
“Ingatlah Pak, Allah itu Maha Pengasih dan Maha Lembut. Tidak ada kejadian dan peristiwa kecuali berada dalam kekuasaan Allah, kekuasaan-Nya terbungkus dalam keinginan- Nya yang suci, dan keinginanNya dibungkus dengan ilmuNya Yang Luhur, dan ilmu-Nya dibungkus dengan hikmah yang penuh kasih sayangNya yang tak terbatas. Ketika orang mampu menatap kasih sayang Allah dibalik kenyataan pahit yang dialami, niscaya dia akan selalu berusaha mendekat pada Allah yang menyediakan jalan keluar dari setiap masalah. Ketika keluarga sudah tidak lagi memberikan perhatian, tetangga tidak lagi memberikan energi positif dan senantiasa memandang apa yang kita lakukan keliru, maka sesungguhnya Allah membuka gerbang-Nya selebar-lebarnya agar kau kembali pada-Nya. Fafirruu Ilallah….! Berlari pada Allah SWT. Mengungsi pada-Nya. Mungkin kita pada mulanya melekat pada anak istri, pada harta yang dimiliki, bahkan pada kedudukan, tetapi tidak selama hiasan dunia itu menyertai kita. Setelah kematian menjemput, seluruh hiasan itu pun tanggal dari diri kita. Janganlah kita melekat semelekat-melekatnya pada selain Allah, karena niscaya kita akan dibuat menderita karenanya. Ada orang yang begitu mencintai anaknya, sehingga dia memberikan apa saja yang diinginkan, maka pada saat dewasa anak ini akan tumbuh sebagai orang yang membuat si ayah menderita, karena anak tidak tumbuh secara dewasa, karena sejak anak-anak dia selalu mendapatkan fasilitas dari sang ayah.” Kataku, sembari dia mendengarkan dengan begitu seksama.

“bagaimana bisa berlari pada Allah?”tanyanya
“Ketika orang berlari menuju pada Allah, maka dia bertobat. Menyesali segenap aktivitas dan kemelekatan pada makhluk yang menariknya lupa pada Allah SWT. Bertobat itu kuncinya pak, banyaklah membaca istighfar. Istighfar itulah yang banyak memberikan pencerahan ke dalam hati-hati yang gelap. Kalau kita sudah beristighfar, memohon ampun pada Allah, juga disertai keberanian memaafkan orang-orang yang dianggap bersalah pada kita. Bukankah dengan memaafkan, api kemarahan dan kejengkelan akan padam seketika? Juga membuang kotoran-kotoran busuk yang masih menempel dalam dinding hati kita. Mungkin ada kedengkian menjejali hati, keangkuhan yang mengeraskan jiwa, atau merasa berkuasa daripada orang lain, semua kotoran itu harus dihilangkan. Ketika hati sudah bisa dibersihkan, maka hati sudah siap memantulkan kebaikan semata. Hanya saja, membuang kotoran itu tidak bisa, sebelum program kotoran yang datang dari pikiran dihentikan. Bagaimana cara menghentikannya, ya harus menekuni uzlah, menyingkirkan diri sementara dari pergaulan sehari-hari. Menjauhi kebiasaan berbaur dengan sesama untuk sementara waktu, agar menghadap sepenuhnya pada Allah SWT. Uzlah dilakukan orang suci untuk membersihkan hati, Nabi Musa 40 hari berada di bukit Tursina, membersihkan hati sembari mendapatkan cahaya wahyu dari Allah SWT, Rasulullah Muhammad SAW lama bertahannuts di gua hira’ membersihkan hati, mempersiapkan diri mendapatkan wahyu dari Allah SWT. Tak ketinggalan para wali yang diperankan sebagai penyebar dan penguat agama melakukan uzlah selama bertahun-tahun. Semoga bapak nantinya bisa mendapatkan pencerahan dengan melakukan uzlah, dan menjadikan istighfar sebagai alat membersihkan kotoran yang masih mengerak dalam hati.”lanjutku.

Semoga nasihat sederhana dari orang dungu ini bisa mewariskan pencerahan ke hati sang Bapak, sehingga dia bisa bertemu dan bersua dengan kedamaian dimana saja, berikutnya dia bisa berjalan menjadi cahaya yang mencerahkan sesama. Diri yang juga masih dalam perjalanan menuju taman kebahagiaan ini ingin sekali membagi kebahagiaan dimana pun saja, agar orang bisa merasakan kebahagiaan. Kebahagiaan tak sebatas dipikirkan, tetapi meresap dalam perasaan hatinya yang halus, lembut, merembes ke sumsum kesadarannya. Ketika orang telah merasakan kebahagiaan, niscaya dia tidak bisa menguraikan dengan kata-kata, walau mampu menguraikannya, pasti tidak bisa menggambarkan secara persis. Kiranya siapa yang bisa menggambarkan rasanya susu, persis dengan rasa yang dicecap, rasa tidak bisa dilukiskan dengan kata-kata. Rata-rata orang merengkuh kebahagiaan puncak setelah menapaki penderitaan yang begitu menggetirkan.

Khalili Anwar, Penutur dari Jalan Cahaya

RASUL, KEMANA AKU BERTEDUH

tiga minggu kemarin, saya pulang memenuhi permintaan Ibunda tercinta yang sudah lama didera kerinduan. Saya pulang berbarengan dengan momen yang ditunggu orang madura, momen Maulidur Rasul. Kelahiran Rasulullah Muhammad SAW mendapatkan sambutan yang begitu meriah di sekitar kampung saya, mungkin juga berlaku di setiap lapisan pelosok di Madura. Semarak kemariahan Maulid tidak hanya bergema di Mushalla, Masjid tetapi berdentum dari rumah ke rumah. Nyanyian shalawat sebagai pantulan kerinduan pada Rasulullah berembus dari rumah-rumah secara bergantian. Saya pulang tepat hari Senin, saya diundang ikut maulid di rumah sepupu. Malam berikutnya di rumah saya sendiri, dan malam berikutnya diselenggarakan di rumah tetangga. Saya begitu bahagia melihat kebiasaan kampung saya yang mempersembahkan cinta pada Rasulullah SAW dengan menyelenggarakan Maulidnya.

Saat menghadiri acara maulid di rumah sepupu, saya mendapatkan uraian hikmah yang menggugah hati dari guru agama saya pada saat berada di bangku MTS An-Najah. Namanya KH. Khozin. Beliau membeberkan dengan renyah dan menggunakan bahasa yang gampang ditangkap pendengar (mustami’in). Beliau mengutarakan tentang adanya hadis dari Rasulullah SAW, kendati diakui dhaif,”Barangsiapa yang mengagungkan kelahirkanku, maka dia mendapatkan syafaat pada hari kiamat,” selain itu beliau juga membabarkan perkataan Imam Jalaluddin As-Sayuti “Barangsiapa yang membacakan shalawat maulid di rumah, maka penghuninya akan dihindarkan dari kefakiran.”

Saya melihat raut wajah orang yang hadir di dalam majelis penuh keberkahan itu, rata-rata memancarkan kebahagiaan yang tak terkira. Kendati banyak diantara mereka tidak mengerti landasan syariat Maulid, baru begitu bahagia bisa menyelenggarakan kelahiran Rasul yang Agung. Kendati mereka hidup dalam keadaan sederhana, mereka masih berani menyelenggarakan Maulid Rasul, hanya sebagai bentuk ekspresi kecintaan pada Rasulullah SAW.

Dengan momen tersebut, saya tidak hanya sekadar bisa bertemu ibunda dan ayah yang begitu saya cintai, saya merasakan keguyupan bersama masyarakat kampung, yang kadang jarang saya nikmati. Disana saya bisa bertemu guru yang mengantarkan pendidikanku di MI hingga MTS. Saya bisa mencium tangan mereka. Sikap mereka masih tetap sama, menganggap diriku sebagai murid, dan saya pun mengekspresikan keta’dziman padanya. Merekalah cermin-cermin sosok Rasulullah SAW yang hidupnya dipersembahkan di jalan Allah dengan cara mengajarkan agama melalui sekolah, juga membuka mushalla untuk mengajari anak-anak kampung ngaji al-Qur’an.

***
Menilik begitu meriahnya peringatan Maulid Rasulullah SAW, saya merasa mendapatkan wawasan ruhani, betapa banyak cara orang mengekspresikan kecintaan pada Rasulullah SAW. Kemudian bagaimana kalau kita tidak punya cinta pada Rasulullah SAW, padahal seluruh ibadah yang kita tegakkan belum tentu bisa menjamin kita masuk surga, karena betapa banyaknya cecat dari persembahan ibadah yang kita lakukan.

Dengan hanya bermodalkan cinta pada Rasulullah SAW, kita akan bersama dengan beliau. Keyakinan ini terekam dari perbincangan beliau dengan Arab Baduwi yang disaksikan oleh sahabat Rasul yang Agung. Menurut sebuah riwayat, ketika Rasulullah hendak shalat maghrib, sekonyong-konyong orang Arab Baduwi bertanya pada Rasul Yang Luhur, “kapan kiamat?” tetapi karena hendak sholat, Rasulullah mempersilahkan dia untuk shalat terlebih dahulu. Selepas shalat Rasulullah memanggilnya, “Kamu bertanya kapan hari kiamat, apa yang telah engkau persiapkan untuk menyambutnya?” kata Rasulullah SAW. “Saya tidak mempersiapkan hal tersebut dengan banyak shalat, puasa, dan sedakah, tetapi saya mencintai Allah dan Rasulnya,”kata Arab Baduwi. “Seseorang akan dikumpulkan dengan orang yang dicintai.”seru Rasulullah Muhammad SAW dengan penuh gairah.

Pernyataan Rasulullah SAW itu mendapatkan tanggapan yang begitu antusias dan bergairah dari para sahabat. Hanya dengan bermodalkan cinta, orang bisa bersama dengan orang yang dicintai. Rasulullah Muhammad SAW sendiri berada di maqam yang tertinggi di surga, kita harus mengungkapkan terima kasih karena perlahan-lahan kita diajarkan oleh ulama dan orang tua agar mencintai Allah dan Rasul-Nya. Ketika cinta pada Allah dan Rasul-Nya telah terbenam di dalam hati manusia, maka nantinya akan berbuahkan akhlak yang luhur dan agung.

Ketika cinta sudah meresap ke dalam hati insan, niscaya dia akan selalu mengingat yang dicintai. Kalau kita mengaku mencintai Rasulullah Muhammad SAW, maka kita harus memperbanyak membaca shalawat padanya dengan hati yang diluapi rasa cinta. Siapa yang banyak membaca shalawat untuk baginda Rasulullah SAW, niscaya dia akan menjadi orang yang dekat pada Rasulullah Muhammad SAW saat hari kiamat. Selaras dengan sabda beliau yang saya petik dari Jamius Shaghir, “sesungguhnya seutama-utama manusia kedudukan di sisiku pada hari kiamat adalah orang yang banyak membaca shalawat.” Saatnya kita membaca shalawat pada beliau, dengan semangat cinta, dan menghayati shalawat seperti kita bersua dan berjumpa dengan beliau SAW. Semoga nanti di hari kiamat kita dipayungi oleh syafaat Rasulullah Muhammad Saw. Lebih daripada itu, sebelum bisa memandang Allah, semoga kita diizinkan untuk memandangi wajah Rasulullah SAW yang amat mempesona.

Ya Allah, demi Rasulmu Muhammad SAW, turunkan pada hamba yang begitu hina ini rasa cinta pada Rasulullah Muhammad SAW, kendati diri ini hina, sebuah kenikmatan yang begitu besar jika Engkau pernankan mencintai sosok yang begitu agung dan luhur di hadapanmu, sebagaimana engkau telah menggelarkan pujian pada beliau, “sesungguhnya engkau benar-benar berbusanakan akhlak yang agung.”


Khalili Anwar, Penutur dari Jalan Cahaya