Senin, 31 Mei 2010

GUNUNG YANG TINGGI, JURANG YANG DALAM

Pada mulanya orang yang berdiam di kaki gunung, mendamba bisa mendaki puncak gunung yang amat indah, gagah, dan penuh misteri sukses, dia membanggakan gunung yang amat tinggi yang biasa dibilang sebagai pencakar langit. Banyak orang hebat yang telah berhasil menaiki gunung tersebut, hanya saja diri sendiri masih belum mampu “menundukkan” gunung. Karena impian yang kuat berikut didorong oleh daya tarik atas kemegahan gunung tersebut, dia mempersiapkan diri untuk mendaki sang gunung, ada sela-sela bisikan yang menyentuh hatinya, andaikan nanti bisa menapaki gunung tersebut, tentu akan ada kebanggaan tersendiri bagi dirinya. Bukankah orang yang telah sampai di puncak gunung, dia akan lebih tinggi dari gunung tersebut. Dia mendapati gelar sebagai penakluk gunung. Dia pun berjuang mendaki gunung tersebut dengan pengagungan yang terhadap gunung, walau pun yang dituju akhirnya untuk meraih keagungan diri lewat pendakian tersebut.

Benar saja, dengan usaha yang amat keras, tanpa lelah, disertai impian besar yang tertancap di pikirannya, membimbing dirinya sampai ke puncak gunung. Hanya saja setelah sampai di puncak gunung, kesadarannya hanya tertuju pada puncak gunung, berikut kebanggaan yang menyelimuti dirinya. Dia tak ingat lagi, darimana dia berasal. Dia berasal dari kaki gunung yang landai dan rendah. Karena dia hanya menyadari telah sampai di puncak, tanpa menyadari darimana dia berasal, maka dia berjingkrak-jingkrak di atas gunung tersebut. Karena lalai akan kesuksesan sampai di puncak gunung, tanpa menyadari berada di ketinggian, dia pun terjatuh ke jurang yang amat dalam. Akhirnya dia mati dalam kehinaan. Ketinggian gunung telah membuatnya terjungkal jatuh ke dalam lembah yang amat curam.

****
Lukisan kisah ini diharapkan bisa menyajikan inspirasi yang indah di hati kita, bahwa orang jangan pernah sombong dengan perolehan hidup yang telah dicapainya. Karena kesombongan itu tidak akan membawa manusia kemana-mana kecuali jurang kehancuran. Ada sebuah perusahaan yang menggembar-gemborkan strategi dan manajemen bisnisnya, sebagai manajemen yang canggih, dan meyakini dengan manajemen tersebut perusahaannya bisa bertahan selamanya, bahkan bisa mengungguli perusahaan papan atas sekalipun. Seluruh promosi dan kesombongannya ternyata berbalas dengan kegetiran, bisnis itu tidak bisa bertahan lama, bahkan akhirnya hancur. Seluruh stakeholder perusahaan saling menyalahkan satu sama lain. Mengapa perusahaan itu hancur berkeping-keping? Perusahaan itu dihancurkan oleh sikap mengagungkan caranya sendiri, sehingga dia tidak mau berendah diri untuk mempelajari strategi perusahaan lain. Orang sombong telah merasa berada di batas ujung kehidupan, seperti berada di batas puncak sukses. Dia tak bisa mendaki kembali, akhirnya orang itu tak bakal bisa tumbuh dengan baik.

Di era persaingan yang amat ketat ini, orang atau perusahaan yang diduduki direksi yang sombong tidak bakal bisa melambung dengan sukses yang luar biasa. Mengapa? Karena dia tidak bisa bergerak mengikuti ritme keadaan yang berubah cepat. Dia fanatik dengan kunci-kunci master yang telah mengantarkan dia pada puncak kesuksesan, padahal strategi dan manajemen akan terus berubah, seiring dengan perubahan arah psikologi pasar. Bisa jadi manajemen sukses yang digunakan, sekarang sudah kadaluwarsa.

Berarti orang merasa sukses, dan kemudian terpaku dengan cara-cara lama menggapai sukses akan mudah ditinggalkan pesaingnya. Sukses harus, tetapi merasa sukses tidak boleh. Karena merasa sukses sendiri telah menghentikan langkah untuk pertumbuhan diri. Bukankah orang yang tidak merasa sukses berarti tidak bersyukur? Orang yang merasa sukses berarti membatasi rahmat Allah. Kita tetap bersyukur dengan hasil yang diperoleh, hanya saja bagaimana setiap hari kita harus bertumbuh mendekati cahaya (Allah). Rahmat Allah begitu luas tak terbatas, tak boleh dibatasi oleh perasaan sukses kita, karena hanya menghentikan langkah untuk melakukan yang terbaik dari hari ke hari. Apa sikap orang yang telah sampai di stasiun sukses?

Ingatlah, orang yang sukses adalah orang yang bisa membiakkan satu kesuksesan menuju kesuksesan berikutnya. Dia tidak hanya mengejar rahmat Allah, tetapi turut menebarkan rahmat Allah dimana-mana. Kesuksesan yang diraih mengalami pertumbuhan yang terus meningkat, sehingga tidak hanya menggapai sukses, tetapi kemuliaan. Bagaimana cara menggapai kemuliaan, kemuliaan bisa digapai ketika manusia merasa belum apa-apa, menyadari rahmat Allah lebih banyak daripada apa yang telah diperolehnya, sehingga tak ada alasan bagi dirinya terputus dari rahmat Allah. Bukankah orang yang terputus dari rahmat Allah, berarti terputus dengan Allah.

Kendati dia telah sampai pada puncak kesuksesan, dia tetap membayangkan berada di bawah, sehingga kesuksesannya terus menanjak dan berkembang setiap saat. Dia bertanya kemana-mana untuk bisa meningkatkan pertumbuhan dirinya. Dia tidak hanya bertanya pada orang yang telah menggapai sukses cemerlang, dia berani bertanya pada orang yang pernah terdepak kegagalan. Bukankah dengan disadarkan akan sebuah kelemahan, orang akan tergerak untuk memperbaiki diri, menambah input, dan bertumbuh setiap saat. Karena kerendahan hatinya, dia bisa belajar kepada siapapun, berarti dia bisa melihat cahaya sukses dimana-mana, karena seluruh kehidupan berada dalam liputan Allah SWT.

Karena ia merasa masih berada dalam kerendahan, walau telah menggapai sukses, maka semua orang bisa menyentuh dan disentuh dia. Bahkan Allah pun bisa melibatkan diri dalam setiap aktivitas yang dijalani. Bukankah Allah berjanji meninggikan derajat orang yang merendahkan diri? Mungkin, tanpa dia sadari banyak masukan-masukan mengalir untuk perbaikannya. Mereka memberikan masukan tanpa pamrih sedikit pun. Semua orang sepertinya suka memberikan konsultasi gratis padanya. Karena masukan-masukan banyak orang, ia bakal terus berbenah diri dan bertumbuh, bagaimana bisa memberikan manfaat lebih besar lagi bagi sesama.

Pribadi ini tidak hanya sekadar telah mencapai sukses yang gemilang, tetapi telah mencapai kemuliaan di sisi Allah SWT. Mengapa? Ia tidak merasa sukses dan mulia, seluruh apa yang diperoleh karena pertolongan Allah SWT, yang wujudnya digerakkan banyak orang membantu dan menyokong bisnisnya. Ya, Allah hanya memuliakan orang yang merasa hina, mengangkat orang yang merasa rendah, mengayakan orang yang merasa fakir di hadapannya, mencurahkan ilmu bagi orang yang merasa bodoh. Rasakan kerendahan dirimu, insyaAllah kemuliaan hidup bakal meliputimu. Rasakan kefakiran dirimu, niscaya Allah akan memberikan kekayaan padamu. Rasakan kebodohan dirimu, niscaya Allah akan mencurahkan ilmu dari sisi-Nya. Tetapi berangsiapa yang telah merasa tinggi, ketahuilah dia akan terjatuh ke jurang yang paling menghinakan. Insya Allah.


Khalili Anwar, Penutur dari Jalan Cahaya

KEBAHAGIAAN ADA DALAM MENCINTAI

Cukupkah kebahagiaan dengan mencintai? Bagaimana ketika yang dicintai tak membalas cintanya pada Anda, masihkah kebahagiaan berbalut dalam hati? Bukankah Anda akan merasa sakit ketika engkau dibenci bahkan dicaci maki oleh orang yang Anda cintai, mengapa kau harus tetap mencintainya, jika dekat dengannya malah mendapatkan dampratan dan cacian? Pertanyaan ini mungkin tersusun rapi sebagai bentuk paradoks atas ide besar yang terpampang di judul tulisan ini. Selama ini orang merasa bahagia ketika dicintai, tetapi ketika tidak dicintai akan merasa sedih. Seakan kebahagiaan ada ketika dicintai, dipeluk, dan dihargai orang lain. Tapi, ketika cinta, pelukan, dan penghargaan pupus, yang tersisa hanya puing-puing derita.

Pada mulanya, perlu dibangun kesadaran, kita tidak bisa mengarahkan agar orang mencintai kita, lebih tepatnya memposisikan diri yang dicintai. Bukankah suasana hati orang sering berubah, kadang sekarang begitu mencintai kita sepenuh hati, maka kita mendapatkan kebahagiaan yang full. Pada kesempatan lain, dia menunjukkan cinta yang setengah full, berdampak pada kebahagiaan yang juga setengah, dan bila dia tak lagi menunjukkan selera cinta, membuat kebahagiaan kita lenyap dan hilang, berganti derita.

Kita tak bisa mengarahkan mata angin cinta agar tetap mengarah pada kita, tetapi kita bisa mengarahkan diri sendiri untuk menyesuaikan dengan angin cinta itu. Kita tak bisa menuntut dan mengarahkan agar orang mencintai kita, tetapi kita bisa memilih untuk mencintai orang lain tanpa batas. Kita bisa merancang iklim cinta kita sendiri, mengapa kita tidak terus memancarkan cinta pada orang lain tanpa batas. Ketika kita mencintai orang lain, niscaya kita akan bahagia. Mengapa? Karena dalam cinta, kita hanya menemukan kebaikan dan kesejukan. Andaikan suatu saat, orang yang kita cintai membenci, mencaci, memfitnah kita, tentu tidak selayaknya mengurangi kualitas rasa cinta kita padanya. Karena cinta kita pada orang tersebut bukan karena dia mencintai kita, tetapi memang berangkat dari cinta kita padanya. Orang yang mencintai melampaui bentuk tubuh dan bentuk perbuatan. Dia selalu melihat fitrah suci yang tertanam dalam diri yang dicintai.

Makanya ketika mencintai sesuatu, tertanam dalam lubuk sanubari sikap sabar dan ikhlas. Sabar dalam menerima beragam ujian dalam cinta, ikhlas dengan apa pun yang dikorbankan, tidak pernah mengungkit-ungkit pemberian pada orang yang dicintai, yang bakal menghapus rasa cinta itu sendiri. Dia tidak melihat apapun dari yang dicintai, kecuali kebaikan. Bukankah ketika orang memikirkan kebaikan, yang ada hanya surga. Rasulullah bersabda, “Jujurlah, karena jujur menunjukkan pada kebaikan, dan kebaikan menunjukkan pada surga.”

Orang yang mencintai tak pernah berpikir apa yang diperoleh dari yang dicintai, tetapi apa yang bisa diberikan pada yang dicintai. Karena dia tak berharap apapun pada yang dicintai, andaikan dia mendapatkan senyum ketulusan, atau mendapatkan cacian maka bagi pencinta tidak ada bedanya. Mengapa? Karena fokusnya bukan pada sikap yang dicintai padanya, tetapi sikap dia pada orang yang dicintai. Makin sering dia memberi, maka dengan sendirinya akan tumbuh dan tumbuh rasa bahagia. Ia begitu tulus mencintai, karena baginya mencintai makhluk hanyalah saluran mengekspresikan cinta pada Allah. Karenanya sang pencinta tidak merasa disakiti, bahkan dia terus merasa bahagia. Cacian dan senyuman bagi sang pencinta, hanyalah cara orang yang dicintai menunjukkan perhatiannya pada kita. Ketika orang telah berhasil mencintai seperti itu, niscaya cinta bukan jalan derita, tetapi cinta adalah jalan menggapai kebahagiaan yang hakiki. Karena tujuan cinta kebahagiaan, maka perjalanan cinta pun bertabur bunga kebahagiaan.

Pesan cinta Rasulullah SAW bisa dijadikan acuan bagaimana agar bisa mencintai dengan focus pada kebaikan yang dicintai. Mencintai yang membuat kokoh, bukan karena orang yang dicintai, tetapi mencintai karena Allah. Mengapa mencintai karena Allah akan menjadi kokoh dan kuat? Ya karena Allah sandaran yang tidak pernah berubah dan sempurna. Ketika kita menyandarkan pada yang sempurna, maka semua pernak-pernik yang dialami dalam cinta sempurna datang dari Allah, dan disambut dengan cinta penuh bahagia. Ketika cinta telah disandarkan pada Allah, maka cinta itu akan terus terasa bahagia. Tetapi kalau disandarkan pada sesuatu selainnya, maka itu akan terasa rapuh, dan kebahagiaan dalam persahabatan tidak bakal bertahan lama. Mencintailah karena Allah, maka kebahagiaan tidak akan berhenti mengalir ke dalam hati kita.

Saatnya, kita belajar mencintai tanpa syarat pada apapun, ketika kita bisa mencintai tanpa syarat, bahkan kebahagiaan gratis terkirim ke dalam tangki hati kita. Ketika orang mencintai tanpa syarat, niscaya kebahagiaannya pun tanpa syarat. Ketika orang mencintai tanpa batas, sama kebahagiaannya pun tanpa batas. Makin luas cakupan cintamu, makin luas cakupan kebahagiaan di hatimu.


Khalili Anwar, Penutur dari Jalan Cahaya