Senin, 09 Mei 2011

SEKULARISASI GAYA BARU

Kita mengambil tajuk mengenai sekuler. Apa sih sekuler itu? Kemudian apa berbedaan titik aksentuasi dengan pluralisme yang akhir-akhir ini menjadi perbincangan hangat di kancah aktivis nasional? Pluralisme menekankan akan keragaman budaya, bahkan keragaman agama yang dibingkai dalam kesamaan, sehingga timbul kesan bahwa seluruh agama sama.
Adapun sekular memaknai agama dan dunia sebagai domain yang berbeda, sehingga agama tak berhak mengintervensi dimensi dunia. Agama hanya bergerak dalam lingkup ritual-seremonial, tidak boleh memasuki ruang aktivitas sosial. Karenanya, agama terkesan terisolasi dari kehidupan masyarakat, dan hanya bisa digalakkan di masjid dan mushalla. Penyempitan peran agama, membikin agama sebagai channel penebar rahmat tidak bisa mengejawantah secara optimal.

Penulis sendiri pernah membaca secuil ulasan tentang sekularisasi yang pernah dipopulerkan oleh Nurcholish Madjid di tahun 70-an, yang kemudian memunculkan konsep praksis, “Agama Yes, Partai Islam No.” Partai dipersepsi bukan bagian dari agama, tetapi diletakkan sebagai entitas di luar domain agama. Demikian gambaran ide praksis Nurcholish Madjid yang menggemparkan jagat keagamaan di Indonesia, dan memancing perdebatan yang sengit dari aktivis muslim saat itu.

Kini, kendati sekularisasi gaya Nurcholish Madjid masih diteruskan oleh generasi muda yang nyentrik, Ulil Abshar Abdallah, tetap sebagai hidangan lama, yang hanya berubah bungkus saja. Tanpa kita sadari, kita sedang disuguhi gaya sekularisme baru yang dibidani kelompok ekstrim kanan, yang menjuluki dirinya sebagai penegak agama secara murni dan konsekuen, dan gampang melontarkan cercaan bid’ah pada golongan yang lain, bahkan tak segan-segan mengklaim orang lain sesat, dan masuk neraka. Seakan lisensi dan paspor menuju “negeri surga dan neraka” ada di tangan mereka. Mereka memandang dirinya sebagai ahlun nur (ahli cahaya), sehingga merasa terjamin masuk surga, dan yang lain sebagai ahlun naar (ahli neraka), karenanya dipandang layak memasuki neraka. Apakah mereka memang the owner kingdom of heaven and hell (pemilik sah kerajaan surga dan neraka)? Saya tidak mengerti, yang saya pahami surga dan neraka adalah milik Allah.

Kelompok ini dengan gampangnya—tanpa merasa bersalah—menganggap amal saudaranya berbau bid’ah, dan diklaim amal itu menyeret orang ke neraka. Pembacaan Qasidah maulid—saluran mengekspresikan cinta pada Rasulullah Saw—dianggap bid’ah, zikir bersama disebut bid’ah, bahkan kalau ada orang shalat tidak mengikuti gerakan seperti yang direkomendasikan mereka, dicap bid’ah. Gamblangnya, seluruh kebudayaan yang diramu dengan nilai-nilai agama oleh para ulama’ salaf terdahulu tiba-tiba dilabeli bid’ah.

Mantra bid’ah yang dilemparkan tersebut cukup membuat kebudayaan yang diwarnai nilai-nilai agama mengalami kemandekan. Bayangkan, kelompok remaja yang terbiasa membaca Diba’ saban malam jum’at perlahan tergerus dan punah. Malam Jum’at tak lagi menjadi tempo yang dimuliakan dan memancing kegembiraan, bahkan diidentikkan dengan pocong dan hantu sebagaimana ditayangkan oleh televisi. Jadinya, malam jumat dikesankan bukan malam yang menyajikan kegembiraan, malah sebagai malam yang menakutkan dan menyeramkan. Bahkan, tak jarang kalangan remaja muslim, mengalihkan hiburan dengan menjajal malam minggu. Pacaran pun marak menjadi budaya baru yang memasuki ceruk kehidupan kaum muda muslim. Tak sedikit kaum muda muslim yang terseret ke dalam perzinahan, dan menganggap lumrah adanya free-sex.

Kita tak bisa mengulas fenomena aneh ini, bagaimana mungkin sebuah sekolah yang bernaung di bawah Yayasan Ormas Islam menghelat pertunjukkan musik Rock and Roll. Di sisi lain, mereka membid’ahkan kegiatan keagamaan yang dikemas sebagai hiburan yang memiliki muatan dakwah, seperti group hadrah, group shalawat, namun melegalkan kegiatan musik yang sama sekali tidak bermuatan nilai agama, bahkan mendekonstruksi nilai-nilai agama. Sebuah fenomena aneh yang tak bisa dilogikakan. Orang awam pun mungkin ikut mengerutkan dahi.

Kelompok pemilik mantra bid’ah ini telah melakukan dekonstruksi terhadap bangunan budaya keagamaan di Nusantara, tetapi tidak bisa menyajikan alternatif yang tepat. Karenanya, agama kian jumud tidak bisa merembes ke seluruh rongga-rongga kehidupan masyarakat, bahkan agama dikesankan sebagai musuh peradaban (vis a vis civilization). Padahal, dari rahim agama peradaban yang humanis dan luhur bisa dilahirkan. Karena domain agama kian dipersempit, tak ayal gerak kebaikan pun semakin menyempit. Fenomena inilah yang kita sebut sebagai sekularisasi gaya baru yang didukung oleh orang-orang yang sering mengemukakan kata-kata menawan, “kembali pada al-Qur’an dan hadist.” Sehingga dia mengalami keterputusan dengan sejarah dan guru-guru terdahulu yang tak sedikit telah mencapai waliyullah. Bagaimana mungkin mereka mengapresiasi pandangan waliyullah, wong mereka sendiri tidak mengakui adanya waliyullah.

Agama diturunkan ke dunia untuk mengekspansi kebaikan, sebagaimana Rasululah Saw diutus untuk menebar rahmat ke seluruh alam. Ketahuilah, induk sunnah adalah menebar kebaikan. Kalau orang telah menyempitkan bahkan turut membuntukan kebaikan, berarti telah memblokade sunnah atau jejak Rasulullah Saw.

Tulisan ini bukan untuk mengundang kontroversi, hanya hendak menuangkan kegelisahan yang dirasakan penulis tentang cahaya agama yang kian redup, dan agama kini dijadikan sebagai monster yang menakutkan. Marilah kita pulihkan kepercayaan masyarakat tentang keluhuran dan keagungan Islam dan umat Islam.

Khalili Anwar, Penutur dari Jalan Cahaya

PIRAMIDA CINTA (1)


Mutiara agama mengkristalisasi dalam iman. Tanpa iman yang menghunjam, berarti agama esensi tidak tumbuh dari lubuk hati manusia. Iman sendiri mengalami pertumbuhan dari waktu ke waktu, dan pertumbuhan biji iman tersebut berperan memperluas medan kebahagiaan manusia. Iman disini tidak sebatas percaya, tetapi terkait dengan kekuatan cinta. “…Orang yang beriman amat sangat cintanya pada Allah…” (QS. Al-Baqarah [2]: 165)


Andaikan iman hanya percaya, maka Iblis amatlah percaya akan adanya Allah SWT, karena ia pernah beraudiensi dengan Allah. Namun, ia membangkang terhadap perintah Allah untuk sujud pada Nabi Adam AS, pada akhirnya ia harus keluar dari surga. Lantaran Iblis keluar dari surga (cinta), ia selalu berada dalam penderitaan, bahkan selalu berbagi penderitaan dengan manusia yang jauh dari Allah SWT. Orang yang terkurung dalam kebencian—alias terpental dari medan cinta—akan selalu terjerat dalam penderitaan tak berujung. Agama dihadirkan ke muka bumi ini untuk bisa mengungkit, menumbuhkan, dan merawat potensi cinta yang terpendam dalam diri manusia tersebut.

Keagungan manusia berbanding lurus dengan keluasan medan cintanya. Dalam kanvas sejarah peradaban dunia, kita tidak pernah menemukan orang-orang agung yang membaktikan cinta hanya bagi diri dan keluarganya belaka. Mereka memiliki keluasan cinta yang menembus batas-batas etnis, bahkan negara. Orang yang telah berhasil menyorongkan cahaya cintanya pada komunitas lebih luas akan bisa mereguk kebahagiaan terus-menerus, bahkan mendapatkan keagungan yang abadi di dunia.

Waliyullah yang diturunkan ke Nusantara, seperti Sunan Ampel, Sunan Giri, berikut saudara-saudaranya yang lain—semoga mendapati maqam tertinggi di hadapan Allah SWT—sosok yang berhasil melebarkan sayap cintanya pada seluruh umat. Beliau diharu-biru kerisauan yang begitu mendalam melihat keadaan umat, sehingga beliau tak pernah berhenti dan jeda untuk mendakwahkan agama dengan kelembutan dan kesantunan.

Pemimpin Nasional yang memperjuangkan kemerdekaan Indonesia seperti Pak Karno, Imam Bonjol, Pangeran Diponegoro, Muhammad Hatta menjadi sosok lekatan dan inspiratif hingga hari ini, lantaran mereka selalu memikirkan kebangkitan bangsa agar bisa mencapai kemerdekaan yang utuh. Saking besarnya perhatian terhadap bangsa ini, konon dikabarkan Pak Karno tidak sempat membangun rumah sendiri, hingga anak-anak beliau dibelikan rumah hunian oleh Umar Wirahadikusuma, Wakil Presiden pada era pemerintahan HM. Soeharto. Seluruh hidupnya dikorbankan untuk bangsa dan negara, hingga melupakan kebutuhan dirinya sendiri. Adakah pemimpin negara saat ini yang menghiasi dirinya dengan karakter agung Pak Karno?

Keluasan medan cinta memengaruhi pada keluasan horizon kebahagiaan di hati manusia. Berbincang mengenai cinta manusia, bisa diulas dalam bentuk piramida cinta, semakin ke atas semakin agung cinta yang disuguhkan.
Pertama, cinta untuk diri sendiri. Sosok ini lebih mengenal aku adalah diri, dan diri adalah aku. Tak ayal, seluruh tindakan, sikap, dan keputusan-keputusannya harus menguntungkan bagi aku. Inilah potret pribadi yang tersekap dalam aku individu. Pribadi yang dianugerahi cinta jenis ini, serupa dengan ruang yang begitu sempit, dan tak mendapatkan radiasi cahaya matahari secercah pun. Ketahuilah, tanpa disadari orang tersebut tidak mencintai dirinya, karena yang menjadi acuannya hanyalah diri yang palsu, diri seperti yang diproyeksikan pikiran.

Andaikan orang tersebut berkeluarga, maka perhatian dan kepeduliaan tak fokus pada keluarga, selalu memperhatikan kepentingan sendiri. Sehingga terkesan menjadi sosok yang tak bertanggung jawab pada keluarganya sendiri, pun tak terbebani secara moral untuk mendidik anak-anaknya. Ia telah dikuasai slogan yang bersinggasana di pikirannya, “gue gue, loe loe” “emang gue pikiran” “kalau tidak karena aku, dia tidak akan tertolong.” Kata, idiom, dan term yang diungkapkan lebih menjurus pada kepentingan dirinya sendiri. Andaikan dia berteman bahkan berkeluarga selalu dijejali pikiran untuk mengeksploitasi orang lain demi pemenuhan kepentingan dirinya. Kendati dia berkeluarga, tidak pernah memahami dan menghayati makna kita, dia lebih lekat dengan istilah aku.

Kedua, cinta untuk keluarga. Sosok ini lekat dengan slogan, aku adalah keluarga, keluarga adalah aku. Mungkin sehari-hari dia menghabiskan waktunya untuk bekerja, dari pagi hingga malam. Dia tidak mengenal acara kampung, undangan tetangga, bahkan tak menghayati makna silaturrahim. Ia baru tergerak bersilaturrahim kalau bisa memberikan keuntungan secara materi, yang ujung-ujungnya bisa menambahi nafkah keluarga. Andaikan ada perhelatan bersih kampung, mungkin dia memilih berekreasi untuk kebutuhan keluarga. Tragisnya, sosok yang keluarga sentris ini jarang bisa meradar dan memahami akan keberadaan tetangga kanan-kirinya.

Orang yang cintanya hanya untuk keluarga dibilang sebagai “wong somahan,” atau orang rumahan. Dia membangun rumah dengan gaya elegan, disertai ornament yang memukau, namun jarang sekali berbagi cinta dengan lingkungan sekitar. Karena itu, ia mendapati kebahagiaan manakala diantara keluarga itu memeroleh kenikmatan. Dia tak bisa merasakan kebahagiaan oleh karena kebahagiaan orang lain. Pun dia tidak pernah bisa menghayati kesedihan orang lain. Kendati demikian, orang ini sedikit mendapatkan cahaya, karena dia tidak benar-benar tersekap dalam tempurung keakuan. Ia sudah berlatih dan menghayati kita kendati dalam lingkup keluarga.

Ketiga, cinta untuk karyawan dan orang yang berada dalam tanggungannya. Orang ini telah lekat dengan pemahaman tentang golongan, kelompok, group, atau jamaah. Ia telah mengalami keterbukaan diri dengan merasa mengemban tanggung jawab sosial kendati hanya dalam lingkup komunitas. Misalnya, seorang pengusaha berupaya memberikan pelayanan terbaik bagi para karyawannya. Tak ingin karyawannya mengalami kesulitan ekonomi, karenanya dia berusaha mencari jalan keluar untuk memenuhi kebutuhan ekonomi karyawannya itu. Bahakan, demi keberlanjutan gaji karyawan, dia berani menyisihkan kepentingan diri dan keluarganya.

Adalah seorang pengusaha sablon, pernah mengalami sepi order, sehingga karyawannya juga tidak bekerja. Ia berpikir, kalau mereka tidak bekerja, maka gaji karyawan akan macet. Karena itu, pengusaha tersebut mencari order ke sebuah instansi, dan dia pun menemukan order, walau dalam perhitungan bisnis, dia tidak mendapatkan keuntungan secara pribadi. Demi karyawannya tetap bekerja dan bisa meraup gaji, maka dia mengambil order tersebut.

Hanya saja pemahaman ini tidak bijaksana kalau dipergunakan oleh pemimpin agama। Andaikan ada pemimpin agama yang hanya memikirkan golongannya sendiri, maka dia belum benar-benar pemimpin otentik. Bagaimana mungkin agama yang turun sebagai rahmat Lil Alamin hanya bisa dirasakan di lingkup golongan tertentu. Adalah orang miskin memohon bantuan dana pada sebuah Yayasan Dana Sosial, kemudian ditanya oleh Yayasan itu tentang latar belakang orang miskin tersebut, setelah diketahui bahwa dia bukan dari golongannya, tak ayal institusi urung berkenan menolong si miskin. Orang miskin yang datang itu beragama Islam dan Yayasan itu juga berlabel Islam, hanya karena berbeda aliran, bantuan pun urung diberikan.

Syaikh Muhammad Dhiyauddin Qushwandhi
Pentranskripsi: Khalili Anwar

Selasa, 26 April 2011

TELAGA CINTA

Kehidupan di bumi tak akan berlangsung tanpa tersedianya air. Hasil riset mengemukakan, 80% tubuh manusia terdiri dari air. Itu artinya, air tak bisa dipisahkan dari kehidupan manusia, bahkan kehidupan bumi ini terus terjaga lantaran adanya air yang diturunkan Allah.
Seperti diurai pada tulisan sebelumnya, air hanyalah metafor dari cinta. Jika bumi ini tidak dialiri spirit cinta, masihkah di bumi ada kehidupan. Tak bisa dibayangkan kalau Arsy berada di atas air. Singgasana Allah berada di atas air (cinta)

“dan Dia-lah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, dan adalah singgasana-Nya (sebelum itu) di atas air, agar Dia menguji siapakah di antara kamu yang lebih baik amalnya…” (QS. Hud [11]: 7)

Maka, kalau hati kita ingin dijadikan ‘arsy Allah, jadikanlah hati dipenuhi dengan cinta tanpa syarat dan tanpa batas.

Bayangkan, bagaimana potret sebuah negara—sebagai lingkup yang kecil—yang miskin dengan cinta, niscaya akan timbul kerusakan dan demoralisasi di berbagai lapisan masyarakat. Pejabat sudah saling curiga diantara pejabat, pengusaha juga mencurigai sesama pengusaha, di masyarakat juga merebak distrust terhadap pejabat publik. Ketercukupan materi tanpa disertai cinta, kehidupan berjejal dengan kebencian, karena seluruh masyarakat berorientasi individualisme. Dampaknya, gunung kebahagiaan negeri gampang tergerus. Bahkan boleh jadi akan menyeruak kekacauan sosial yang tak tertangguhkan.

Kini, di sebuah negara yang hampir mengalami kerusakan di setiap struktur, dirasa perlu kebangkitan spirit cinta, agar masyarakat Indonesia bisa kembali mereguk kebahagiaan dari telaga cinta. Cinta dirintis oleh orang-orang yang telah dianugerahi cinta, yakni yang telah memeroleh kedekatan cinta pada Allah SWT, seperti ulama’. Ulama selaku hati (pusat kekuatan spiritual) umat dan bangsa dituntut rajin mengakses air cinta agar nantinya bisa mendonasikan kasih. Bukankah hanya hati yang telah tergenangi kasih yang bisa berbagi kasih dengan kehidupan? Serupa dengan orang yang punya uang yang bisa berbagi uang.

Ketahuilah, keagungan pribadi manusia bertaut dengan keluasan medan cintanya. Jiwa yang telah digenangi spirit cinta, akan terbang tinggi, dan semakin jauh dari gravitasi duniawi. Manakala manusia terlalu cinta pada duniawi, berarti tidak akan terpantik rasa kasihnya pada kehidupan. Lenyapnya cinta duniawi dalam hatinya akan membawa orang terbang menuju istana-istana kebahagiaan dan kemuliaan. Keagungan jiwa manusia bergantung seberapa jauh dirinya dari gravitasi duniawi, tidak terikat dengan duniawi. Kehidupan duniawi telah berada dalam kekuasaannya.

Bangsa ini mengenal gelar-gelar agung yang disematkan pada tokoh-tokohnya, seperti Hamengku Buwono, Paku Alam, Raden, Ngabai dan beberapa gelar lainnya. Hamengku Buwono berarti pemangku jagat. Inilah sosok yang bisa mengemong jagat, dan jiwanya telah dibasuh sehingga luntur dari kotoran keakuan. Paku Alam, salah satu gelar yang disematkan pada Kanjeng Sunan Giri, sosok yang diserahi sebagai tiang jagat. Beliau dihadirkan sebagai pemelihara agar kehidupan tetap berjalan secara seimbang. Raden berasal dari kata roh adi, atau jiwa yang besar.

Siapapun yang merasa mendapatkan julukan Raden harusnya memiliki jiwa besar, dan hidup yang dijalani bukan untuk dirinya, tetapi dipersembahkan bagi kehidupan. Andaikan kita menemukan ada seorang bergelar Raden, namun hidupnya hanya dibaktikan bagi diri dan keluarganya, berikut menutup diri dengan lingkungan sosial, maka tanpa disadari gelar raden telah tercopot darinya. Pribadi yang telah bergelar Raden adalah sosok orang berjiwa besar, yang tak gampang menyerah dengan keadaan. Memiliki semangat membaja untuk menggapai cita-cita hidup yang mulia.

Orang yang berjiwa besar serupa dengan rumah besar yang bisa memasukkan banyak orang. Kalau hanya kamar kecil, tentu saja hanya sedikit orang yang bisa masuk ke ruang tersebut. Andaikan dia membongkar kamar itu, kemudian disulap menjadi aula yang begitu besar, makin banyak orang yang bisa berhimpun di ruang itu. Seorang raden tidak hanya memiliki jiwa seluas aula pertemuan, tetapi memiliki jiwa seluas ruang yang mampu merengkuh seluruh kehidupan.
Raden bisa juga disebut sebagai Adiatma, yakni jiwa yang besar. Kebesaran jiwa bukan terkait dengan prestasi-prestasi yang digapainya, tetapi seberapa luas medan cinta yang menghias hatinya, terlihat semakin luas medan kontribusinya bagi kehidupan. Ia pun gampang memaafkan orang, tidak pernah menyimpan kebencian apalagi dendam di dalam hati. Adiatma memancarkan kekuatan cinta pada bangsa, bahkan seluruh umat.

Adapun yang lebih agung dari Adiatma adalah Mahatma, berarti jiwa yang agung. Boleh jadi, secara fisik dia bukanlah masuk orang gagah, tetapi cintanya meresap ke seluruh bangsa. Ia tidak ingin meletup kezaliman di medan kemanusiaan, sehingga tergerak untuk berjuang menghapus segala bentuk kejahatan di dunia dengan cara-cara kelembutan. Sosok ini tak sempat berpikir tentang dirinya, dia tetap menjalani hidup supersederhana, sembari dia memancarkan kasih tanpa batas pada kehidupan. Bahkan dia memilih menghadirkan cinta pada orang yang nyata-nyata menebar kezaliman.

Dia meyakini menghapus penjajahan tidak harus dengan kekerasan, dengan kelembutan pun bisa menyingkirkan penjajahan, terlebih jiwa penjajah yang melekat di hati manusia. Serupa dengan cahaya yang melulu hadir untuk menerangi kehidupan, walhasil dengan sendirinya kegelapan menjadi sirna. Jiwa Mahatma lekat dengan waliyullah yang hatinya hanya digenangi kasih sayang tanpa batas pada kehidupan. Dia telah menjelma sebagai telaga-telaga kecil yang tersambung pada telaga besar, yakni telaga Sayyidina Muhammad Saw yang air cintanya merembes ke seluruh semesta.

Peringkat yang lebih agung dari Mahatma adalah Wijayatma, jiwa successful, sosok yang telah berbalutkan cahaya kesempurnaan. Jiwa ini meliputi Nabi Muhammad Saw. Inilah telaga al-Kautsar yang kita kenal lewat hadist. Dimana kala mereguk telaga al-Kautsar ini, maka manusia tidak akan lagi dilanda kehausan. Telaga al-Kautsar semacam telaga cinta Rasulullah Muhammad Saw yang memenuhi jagat semesta, hanya manusia-manusia yang telah dihinakan yang gagal mereguk telaga cinta Sayyidina Muhammad Saw.

Diriwayatkan, telaga al-Kautsar tersambung dengan telaga Haudh yang ada di luar surga, dan digambarkan pula bahwa di pinggir telaga al-Kautsar tersedia cangkir-cangkir untuk menyauk air yang ada di telaga al-Kautsar. Ketahuilah, telaga Haudh juga bersumber dari telaga al-Kautsar, itulah telaga Nabi Muhammad Saw. Orang yang telah digenangi cinta, berarti dia telah tersambung dengan telaga cinta semesta, Dialah Nabi Muhammad Saw. Walau demikian, seluruh air itu akhirnya akan bermuara pada laut, itulah yang disebut dengan lautan ketunggalan (bahrul wahdah), Allah SWT.

Jika manusia telah meminum telaga Haudh, maka dia tak akan lagi tertimpa kehausan. Siapa yang bakal ditimpa penderitaan, jika hatinya hanya dipenuhi cinta dan kasih sayang. Bukankah cinta turut menghapus seluruh kegelisahan, kecemasan, dan kedukaan bagi setiap manusia? Yang terbit dari cinta hanya kebahagiaan tanpa batas.

Bagaimana kita bisa mereguk air telaga Haudh itu. Kita bisa mereguk telaga haudh (cinta) tersebut dengan cara menanggalkan keakuan, karena yang membendung kita untuk bisa mereguk cinta itu hanyalah keakuan. Demi bisa menjebol bendungan keakuan, maka air cinta itu akan mengalir deras ke dalam hati kita. Kian terkikis keakuan, semakin banyak cinta yang mengalir ke hati kita, pun semakin banyak kasih sayang yang bisa kita donasikan pada sesama dan kehidupan. Ketahuilah telaga Haudh itu berada dalam diri kita sendiri, di saat kita telah digenangi air cinta. Dan kalau kita telah digenangi cinta, maka kita bisa mengalirkan cinta pada hati yang lain, berikut menginspirasi orang untuk bisa menemukan telaga cinta di dalam dirinya sendiri.

Kini tugas kita, menjebol keakuan, agar kita tersambung dengan telaga cinta Nabi Muhammad Saw, sehingga kita bisa menjadi telaga-telaga kecil yang turut merembeskan cinta kemana-mana.

Syaikh Muhammad Dhiyauddin Qushwandhi
Pentranskripsi: Khalili Anwar

IZINKAN KELEMBUTAN BERBICARA


Kini, kita berada di medan kehidupan yang begitu gersang dan tandus, ditandai semakin tergerusnya spirit kasih sayang di tubuh bangsa ini. Kebanyakan orang didorong gairah pemenuhan kepentingannya sendiri-sendiri. Kehidupan nafsi-nafsi telah merebak di seluruh sendi-sendi sosial. Mungkinkah ini pertanda kiamat akan segera menyapa kita?


Kita temukan di berbagai dimensi kehidupan diranggasi kegersangan jiwa, diliputi permusuhan tak berkesudahan, informasi yang ditebar media minus pesan-pesan empatik yang menyejukkan hati. Kita lebih sering mendapatkan asupan “informasi api” yang membakar, ketimbang air yang menyejukkan. Apakah ini menandai semakin membatunya hati manusia, padahal batu yang dipukul oleh Nabi Musa AS saja bisa memancarkan air yang menyegarkan tenggorokan? Apakah dari hati manusia tak lagi berpeluang dihadirkan air yang menyejukkan ruhani, membuat jiwa bisa bertumbuh?


Bisa dijelajah bagaimana kondisi kemanusiaan saat ini. Ditilik dari ekonomi, kita hanya mendapati suguhan konglomerasi yang kian menuhankan ekonomi. Tak jarang, kelompok berekonomi kuat dengan mudah mengganyang kelompok berekonomi lemah. Politik pun dipenuhi dengan fitnah tak berkesudahan. Kawan seperjuangan bisa menjerat teman sendiri. Sungguh, kekuasaan telah melumpuhkan kemanusiaan, yang berbicara setiap saat hanya uang dan kekuasaan. Bahkan, tak bisa dibayangkan agama juga ditampilkan dengan wajah yang keras, menakutkan, seperti monster yang siap mencabik-cabik manusia yang berlaku jahat. Ringkasnya, seluruh sisi kehidupan telah diliputi kegelapan yang kian pekat. Kalau demikian, dari mana cahaya kasih itu bisa kita peroleh? Bagaimana kita bisa menumbuhkan hati yang tandus dari kasih sayang? Apa yang membuat hati tandus?


Benih cahaya kasih telah disediakan dalam diri manusia, hanya karena tertindih pengaruh eksternal yang lebih besar, walhasil benih kasih ini tidak tumbuh dengan baik. Malah, yang tumbuh adalah benih-benih keras yang memandu manusia menuju ketidakbahagiaan. Watak keras muncul dikarenakan manusia merespons keadaan dengan cara sporadis agar bisa berubah secepatnya. Padahal, menegakkan agama memerlukan kesabaran dan kekuatan hati. Orang kuat bukan orang yang gampang mendaratkan pukulan pada pelaku yang berbuat ingkar, tetapi orang yang mampu menahan diri untuk tidak mendaratkan pukulan, malah dia mencurahkan kasih sayang tanpa tepi.


Sumber cahaya kasih tersedia dalam diri manusia. Makin sering kita menggali kedalaman diri, maka akan ditemukan cahaya kasih dalam diri kita. Tidak terpantiknya spirit kasih dalam diri lantaran kita lebih sering fokus pada sisi eksternal. Kalau cahaya kasih itu bersumber di dalam diri kita, bagaimana cara menguak the power luar biasa itu? Pertama, mengontrol pikiran. Demi merealisasi cahaya kasih dalam diri adalah dengan mengontrol pikiran, bukankah pikiran ini yang menjebak manusia dalam jalinan dualitas yang tak berujung. Jika Anda berhasil melampaui pikiran, artinya tak lagi dikuasai pikiran, insya Allah Anda bisa menguak potensi cahaya kasih dalam diri Anda. Pelampauan Anda terhadap pikiran akan membuahkan damai yang kemudian mengkristalisasi sebagai kasih dalam diri Anda. Ketika kau melampaui pikiran, akan Anda temukan hidup yang hampa kepentingan diri, hati tak lagi dikotori kepentingan individu. Bukankah kepentingan individu inilah yang menjebak manusia ke lembah kesengsaraan? Manakala manusia telah berhasil menyisihkan kekuatan individualism yang mematahkan jaringan-jaringan kasih dalam dirinya, disana akan tumbuh cinta yang membawanya terbang menuju cahaya kebahagiaan tak bertepi.


Kedua, bertindak mengikuti hati nurani. Tindakan berdasarkan hati nurani insya Allah akan selalu menunjukkan manusia ke istana kebahagiaan. Sekali Anda mengikuti suara nurani, kau bakal dicurahi ketenangan dan kedamaian di dalam jiwamu, karena kau berhasil mengalami simfoni atau keserasian ke dalam. Hati nurani seperti cahaya, kalau kau menyalakan setitik cahaya, perlahan-lahan cahaya itu kian membesar, menerangi medan sekitarnya. Cahaya itu menjadi petunjuk yang akan mengantarkan Anda melewati cahaya yang lebih agung, yang pada akhirnya akan sampai pada Cahaya Di Atas Cahaya, selaku sumber dari seluruh cahaya.


Pengikut cahaya akan diperjumpakan dengan cahaya. Dan cahaya itu sejatinya selalu menyala dalam diri manusia, namun kadangkala manusia tidak terlalu tertarik dengan cahaya itu. Dia lebih tertarik dengan petunjuk kegelapan yang menjanjikan kesenangan sementara. Adapun jalan cahaya harus melampaui proses pendakian yang begitu panjang, seperti halnya Nabi Musa AS yang berjalan menuju cahaya yang ada di bukit Tursina. Pada mulanya, cahaya itu terlihat kecil, tetapi setelah didekati cahaya itu kian membesar, semakin dekat dia tertelan oleh cahaya itu, dan akhirnya dia tersungkur di depan cahaya itu. Berlatih setiap hari, Anda mengikuti petunjuk cahaya yang ada di dalam dirimu, berupa hati nurani, agar engkau perlahan-lahan bisa bertemu dengan sumber cahaya itu.


Ketiga, menerangi hati dengan zikirullah. Zikir berfungsi sebagai penerang bagi medan hati yang dikuasai kegelapan. Pun bisa melembutkan hati yang kesat membatu. Zikir yang dimaksud tidak sembarang zikir, tetapi zikir yang diwariskan dari seorang guru yang memiliki pertalian keilmuan hingga Sayyidina Muhammad SAW. Kekuatan zikir telah merubah Sayyidina Umar bin Khattab ra yang berperangai keras dan temperamental menjadi sosok yang lembut dan lekas menangis. Zikir amat ampuh untuk melunakkan hati yang keras, selain telah mendapakan ijazah dari guru yang memiliki pertalian rahasia zikir hingga Sayyidina Muhammad Saw, juga dijalani secara istiqamah. Ketekunan atau istiqamah berzikir menjadi jembatan untuk mengukir hati yang lembut, berikut membentuk perangai dan perilaku yang memesona.


Bagi pemula, diawali dengan menekuni zikir pagi-petang. Zikir pagi petang akan menghapus seluruh kegelapan hati, diganti dengan cahaya damai. Zikir pagi-petang yang ditekuni dengan serius begitu ampuh menghilangkan pelbagai bentuk kotoran yang melekat di hati, berupa kedengkian, riya’, dan sombong. Ingatlah, sesungguhnya kegelapan yang berarak di dalam hati adalah berupa sifat dengki, riya’, sombong. Tiga tentara kegelapan itu bisa dimusnahkan dengan kekuatan zikir yang istiqamah.

Tiga cara yang disodorkan, berupa mengontrol pikiran, mengikuti hati nurani, dan menekuni zikir pagi petang, bisa menjadi suluh cahaya yang segera menerangi mata batin kita, dan akan membentuk perangai, perkataan, dan perbuatan melulu diliputi kelembutan. Insya Allah.

Khalili Anwar, Penutur dari Jalan Cahaya

Selasa, 19 April 2011

KATA

Berkata terasa mudah. Menurut orang bijaksana, “belajar berkata lebih mudah ketimbang belajar mendengarkan.” Siapa yang sering berkata, semakin banyak ihwal dirinya yang terbabar pada orang lain, sementara orang yang tekun mendengarkan semakin kaya pemahamannya tentang orang lain, berikut kian mendalam kepekaannya pada sesama. Yang diucapkan dan didengarkan sama-sama kata, tetapi setiap kata mencerminkan keadaan hati. Bahkan semakin banyak orang berkata, semakin banyak kesalahan yang terlontar.

Sayyidina Ali Kw berdawuh, “kalau kau hendak menakar nilai seseorang, bisa dilihat dari kata-kata yang dilontarkan.” Dengan kata, popularitas dan kemuliaan seseorang menjulang tinggi, dengan kata pula kehinaan dan kenistaan gampang menindih seseorang. Makanya, kita harus berhati-hati dalam berkata. Dan kata yang sulit dikelola adalah kata-kata yang terucapkan lewat lisan. Kalau kata yang dituliskan, mungkin masih bisa dikelola, karena masih bisa memasuki tahap editing penulisnya. Tapi, apakah engkau bisa meng-edit ulang kata-kata yang sudah terlontar, dan kadung sudah terdengar telinga orang lain?

Kata-kata seakan sebuah ejaan yang sederhana, tetapi mengandung muatan yang bernilai tinggi, tetapi juga menghimpun kehinaan yang begitu rendah. Bermula dari kata-kata, dua remaja bisa menjalin hubungan kasih. Keduanya bermain dan saling berbalas prosa dan kata-kata sastra, pun bermula dari kata kedua remaja itu putus cinta, bahkan mengalami broken home. Kata cinta yang terucapkan lewat lisan mengundang cinta bagi sesama, tetapi kata-kata kebencian akan membuahkan permusuhan. Betapa anggunnya orang yang selalu berusaha menularkan kata-kata cinta yang meneguhkan jiwa, menyalakan optimisme, dan membuka gerbang kesadaran setiap manusia. Kata memberikan efek yang besar, Ir. Soekarno bersama kawan-kawannya mendulang kemerdekaan Indonesia lewat kekuatan kata-kata yang menggugah spirit kebangsaan pada jiwa bangsa Indonesia, berikut membikin penjajah gentar.

Di medan keagamaan, kata-kata juga sangat dihargai. Hanya dengan mengucapkan dua kalimat syahadat orang telah ditahbiskan sebagai muslim, dan kalau dia mengingkari kedua kalimat syahadat langsung dicap sebagai syirik, bahkan kafir. Sepasang lelaki-perempuan yang haram berhubungan merubah menjadi halal karena diikat dengan kata-kata yang tersimpul dalam akad nikah. Pun demikian, sepasang suami-istri menjadi haram berhubungan karena diputus oleh kata pula, yakni kata cerai.

Sepatutnya kita berhati-hati melontarkan perkataan, karena bisa berpengaruh pada nasib kita sendiri. Sepadan dengan sabda Nabi Muhammad Saw, “Barangsiapa yang beriman pada Allah dan hari akhir, maka berkatalah yang baik, atau diam.”

Rasulullah Muhammad Saw adalah sosok terdepan di kalangan orang alim di bumi ini, beliau menyabdakan hal itu dilatari pemahaman yang mendalam soal kekuatan kata. Kata yang dilontarkan tak bisa ditarik lagi, serupa dengan menjilat kembali ludah yang kadung menyemburat ke wajah orang lain. Bagi orang dewasa, kata-kata bengis dan sarkastis lebih menyakitkan ketimbang pukulan tangan. Kalau pukulan tangan mungkin hanya sekadar menyakiti tubuh, tetapi kata-kata bengis bisa menyakiti pusat kesadaran manusia yang bernama hati. Sementara orang yang menyakiti hati manusia, tanpa disadari telah merobek-robek rumah Allah yang bertempat pada diri hamba-Nya.

Kita tak hanya belajar agar terampil berbicara, tetapi juga terampil mengendalikan setiap pembicaraan. Harapannya, setiap kata yang terlontar bak mutiara yang menyuguhkan kebahagiaan di hati setiap manusia, atau seperti embun pagi, kendati sedikit tetapi membuat seluruh tubuh menjadi sejuk. Kecerdasan seorang bukan diukur dengan panjangnya kata-kata yang diungkapkan, tetapi seberapa menggugah dan merubah kata-kata yang dilontarkan. Betapa indahnya, orang yang dialiri perkataan yang penuh kharisma dan menginspirasi orang menuju kedekatan pada Allah SWT.

Walau demikian, kau jangan terlalu berharap banyak pada kata yang dirakit lewat tulisan ini, karena belum tentu kebaikan berhimpun di dalamnya. Kau tetap memahami kebaikan kata lewat suara hatimu yang murni. Semoga kita diselamatkan dari perkataan yang menerkam kita sendiri. Insya Allah.


Khalili Anwar, Penutur dari Jalan Cahaya

Minggu, 03 April 2011

BOLEHKAH PUTUS ASA?

Seorang adik yang belum lulus kuliah berkunjung ke kos-kosan, sembari meminta nasihat ringan dari hamba yang bodoh ini. Dia terbilang remaja yang bisa dibanggakan, karena dengan keberanian tinggi melanjutkan studi ke kota, tanpa meminta dana dari orang tuanya. Kini, dia semester akhir—setiap semester akhir mengandung rahasia, biasanya tinggal skripsi—di sebuah kampus yang pernah mendidik hamba. Dia sedang berpikir keras bagaimana bisa menyelesaikan kuliahnya untuk mempersembahkan suatu yang turut membanggakan orang tuanya. Hanya saja dia terhambat masalah finansial, sehingga dia memutuskan untuk mengambil cuti kuliah dalam waktu yang belum ditentukan. Karena memandang finansial sebagai kendala, dia menjelajah perusahaan yang mungkin menyediakan lowongan, siapa tahu ada yang mau menerimanya.

Dia meminta tolong hamba untuk mencarikan lowongan kerja. Ada sebagian teman yang hamba hubungi, mungkin memiliki daftar lowongan kerja. Maklum, hamba juga tidak pernah menginjakkan kaki di dunia kerja. Kecuali kalau ke sawah, hamba sudah berpengalaman menginjak-injakkan kaki hingga berjamur. Dalam proses mencari lowongan, dia bercerita ringan pada hamba. Dulu, pada saat masih aktif di organisasi mahasiswa—tepatnya HMI—dia menggapai karir yang melambung tinggi, seakan bisa menjaga jangkar idealisme yang dibangun sejak remaja. Setelah lepas dari dunia organisasi kemahasiswaan, dia merasa disalip teman-teman sebayanya, terkait dengan pertumbuhan ekonomi. Kini, dia menyadari berada di dunia ril, karenanya harus berpikir ril. Dia merasa tak boleh lagi terpasung oleh idealisme. Memang, kebutuhan perut cenderung tidak mengenal idealisme.

Teman sebayanya bisa mengalami laju ekonomi yang cepat, lantaran disupport oleh seniornya yang pernah mendidiknya di organisasi dulu. Sementara dia masih terbilang stagnan, dan tak mendapatkan support oleh karena dia dikenal sebagai pribadi yang terlalu vocal, kritis, dan keras terhadap keputusan yang bersinggungan dengan spirit idealisme. Dia mengira, orang idealisme akan mati masa depannya, dan orang yang mampu menangkap realitas dengan jiwa oportunis akan bisa bertahan.

Dia bercerita, ada salah satu temannya yang telah berhasil membuka gerai usaha Loundry tanpa modal pribadi sedikit pun. Murni support dana dari seniornya di HMI. Sekarang, bisnis temannya tersebut mengalami perkembangan yang begitu pesat. Demi melihat kenyataan itu, dia menyesal dengan sikap keras yang ditampilkan saat berorganisasi, andaikan tidak terlalu vocal dan kritis, dia berasumsi akan mendapatkan kesempatan yang sama seperti temannya itu.

***

Hamba terus mendengarkan dengan seksama setiap untaian kalimat yang disampaikan. Dia mengira, andai tidak bersikap kritis terhadap seniornya, akan mendapatkan nasib sama seperti yang diterima temannya. Kata “andaikan” sepertinya sudah tidak cocok lagi bagi orang yang hendak melaju cepat ke depan. Dengan kata “andaikan” inilah orang telah menyediakan dirinya dibajak oleh masa lalu. Masa lalu janganlah dijadikan tujuan, hanya tempat bercermin agar kita terus melangkah dengan jiwa besar menuju masa depan yang terang-benderang.
Hamba hanya menyampaikan, orang yang hidup berdasarkan nilai-nilai akan menemukan kemerdekaan dan pembebasan. Bukankah yang diharapkan manusia hanyalah kemerdekaan dan pembebasan? Bahkan manusia diciptakan oleh Allah untuk mengalami pembebasan. Pembebasan disini dalam konteks pembebasan ruhani dari belenggu-belenggu duniawi. Orang yang telah mengalami kemerdekaan ruhani akan terbang di cakrawala tanpa batas, dan selalu menyatu dengan pengalaman-pengalaman indah yang tak terlukiskan. Kalau Anda mendapatkan nasib buruk lantaran idealisme Anda, berarti Anda diperkuat agar tetap berada di jalan benderang. Kalau Anda mendapatkan nasib baik karena Anda telah mencopot idealisme Anda, berarti di depan Anda tersedia jebakan-jebakan yang membuat Anda akan tertimbun di dalamnya. Lebih dari itu, kata hamba, janganlah Anda menganggap nasibmu hari ini sebagai suatu yang permanen, buntet, minus perubahan. Stagnan. Anda tetap bertumbuh menuju pembuahan.

Manusia, serupa pohon, bertumbuh terus yang pada ujungnya berbuah. Manusia juga dilahirkan ke bumi agar bisa berbuah. Kalau manusia sudah berbuah, dia hanya berusaha berbagi pada kehidupan ini. Kalau Anda merespons keadaan hari ini dengan positif, sembari terus berusaha, perlahan-lahan Anda akan mengalami pertumbuhan berikut berbuah. Memang semuanya memerlukan latihan dan keteguhan hati. Orang yang keyakinannya goyah tidak akan mengalami pertumbuhan yang pesat. Pun, orang tidak bisa berbuah jika tidak terpandu tujuan yang jelas plus istiqamah. Serupa dengan pohon, ia akan mengalami pertumbuhan jika akarnya menghunjam ke tanah, dan menetap di medan tersebut. Kalau pohon itu dipindah ke tempat yang lain, justru akan mempersulit pertumbuhan.

Kita telah dianugerahi pengenalan akan talenta, potensi, dan keterampilan yang dikarunia Allah, tinggal apakah kita serius mengeksplorasi dan menekuni bakat inti tersebut atau tidak? Kalau Anda telah mendeteksi diri berbakat sebagai negosiator bisnis misalnya, maka Anda bisa melatih kemampuan tersebut secara serius. Anda menemukan bakat itu mengalami aktualisasi secara luar biasa, sehingga bisa menebar manfaat yang luas bagi kehidupan. Yang penting kita terus bertumbuh sejalan dengan bakat, potensi, dan karakter khas yang ada pada diri kita. Jika orang mengenali betapa melimpahnya anugerah Allah yang dikaruniakan pada dirinya, niscaya ia tidak akan disalak perasaan bimbang, apalagi pesimis dalam menjalani kehidupan ini. Hanya orang yang tertutup dari cahaya potensi dirinya yang selalu terjerat perasaan bimbang, pesimis, bahkan putus asa dalam mengarungi kehidupan.

Putus asa bukan sikap orang muslim, hanya pantas dinisbatkan pada orang kafir. Orang kafir layak berputus asa oleh karena mereka tidak meyakini akan keperkasaan dan kekuasaan Allah Yang Maha Tak Terbatas. Sementara orang muslim dibalik kelemahan dan kekurangan dirinya, selalu menghadapkan hatinya pada belas kasih Allah Yang Maha Kuasa, walhasil ia merasa aman dalam menjalani kehidupan yang dikitari tantangan ini. Modal utama mengarungi kehidupan adalah keyakinan akan kekuasaan Allah Yang Tak terbatas, niscaya Allah akan membimbing kita untuk menggali potensi cemerlang yang tersimpan dalam diri. Tanpa keyakinan, orang yang penuh potensi akan mengalami ketertutupan, sehingga tidak bisa mengerahkan secara optimal potensi tersebut. Ingatlah, Allah akan menganugerahkan prestasi pada kita sebanding dengan kualitas keyakinan kita pada-Nya.

Orang beriman benar-benar yakin akan kekuasaan Allah Yang tak terbatas, dan tak bisa dipatahkan oleh rekayasa manusia. Jika Allah hendak memberikan manfaat pada seseorang, maka seandainya seluruh makhluk berkumpul untuk menghambat datangnya manfaat tersebut, niscaya mereka tidak akan berhasil menghalangi-halanginya. Sebaliknya, andaikan Allah hendak memberikan mudharat, maka tak seorang pun mampu menangkalnya. Kekuasaan Allah tak bisa dihambat siapapun.
Setelah kita meresapi makna tauhid tersebut, harusnya kita putus asa dengan sesuatu selain Allah. Janganlah berharap pada selain-Nya. Tangan boleh bergerak menjalin kerjasama bisnis, kaki melangkah mencari nafkah, lisan boleh berbicara mempresentasikan pemikiran-pemikiran bernas, namun hati selalu bersama Allah. Tenangkan hati bersama Allah, sehingga seluruh gerak-gerik fisik kita terkontrol menuju keridhaan-Nya.

Janganlah kita memiliki harapan sedikit pun pada makhluk, karena hati yang melekatkan harapan pada makhluk akan gampang merasa disakiti. Hanya orang yang berharap pada makhluk yang mudah tersentuh perasaan kecewa dan bahkan jengkel. Berarti, perasaan jengkel, benci, penuh keluhan lantaran hati manusia terlalu lengket pada sesama. Dalam konteks ini, putus asa diperbolehkan, yakni putus asa pada selain Allah. Putus asa berarti putus harapan pada makhluk, lantaran seluruh harapan kita dikerahkan pada Allah SWT. Kita belajar tidak mengharap apa yang ada di tangan makhluk, tetapi berharap sungguh-sungguh apa yang ada di tangan Allah. Suatu yang ada di tangan Allah lebih mulia dan luhur ketimbang yang di tangan makhluk.

Orang yang telah mencapai hakikat tauhid, tidak pernah menambatkan hatinya pada makhluk. Di hatinya dipenuhi kesadaran tentang Tuhan semata-mata. Ketahuilah, kala orang hanya berharap pada Allah, maka Dia akan membuktikan diri-Nya sebagai sebaik-baik harapan. Dan siapa yang berharap pada-Nya akan selalu berada dalam keberuntungan. Kalau kau menyumbat lubang harapan yang tertuju pada seluruh makhluk, pintu agung akan terbuka bagi Anda, yakni pintu Allah SWT. Mengibalah di pintu Allah Yang Maha Kasih dari Yang Pengasih. Mengemislah dalam perasaan fakir di pintu Allah, Anda akan mendapatkan berlimpah rahmat dari-Nya. Kalau Anda secara total menyerahkan urusan bahkan diri Anda pada Allah, maka Anda akan merasakan Allah sebagai penjamin Yang Amat Terpercaya (al-Mukmin). Jika Anda percaya pada Allah, maka Allah akan melulu memberikan keamanan dalam hati Anda. Dan orang yang percaya plus yakin pada Allah, dia akan selalu merasa disertai Allah dimana saja. Adakah kecemasan yang mengusik hati orang yang merasa disertai Yang Maha Kuasa, Maha Belas Kasih, Lagi Maha Luhur?

Khalili Anwar, Penutur dari Jalan Cahaya

INSPIRASI DARI LANGIT


Langit identik dengan ketinggian. Ada slogan umum yang masih membekas, “gantungkan cita-citamu setinggi langit.”Orang yang memandang langit tanpa batas akan selalu terpancari perasaan optimis. Demi menatap langit, seakan seluruh kegelisahan, keresahan, dan kesusahan yang menyumbat hati ini terlepas dan terbang. Kita belajar optimisme dari ketinggian langit, dan warna langit tak berubah. Mungkin dipenuhi mendung hitam dan putih. Aneka warna itu tidak turut mempengaruhi keaslian langit. Langit tetap hadir dengan warna aslinya yang luas. Otentisitas langit tak pernah bisa dijarah oleh mendung yang menghampirinya. Hanya saja, penglihatan kita terhijab untuk memandangi kemurnian langit oleh karena kehadiran mendung itu.


Selain itu, langit sebagai simbol ruang tanpa batas. Mungkinkah orang mengukur batas langit? Ketakterbatasan langit bisa menampung sekian juta gemintang dan berbagai galaksi. Langit memendam kekayaan yang amat berharga, walau dia sendiri tidak pernah terikat dengan suatu yang menempel padanya. Dia tetap merasa nyaman dengan wajah aslinya berwarna biru. Dialah ruang yang zuhud tidak lekat dengan pernak-pernik, tetapi hiasan-hiasan indah menyelimuti langit, seperti gemintang, bahkan pancaran sinar matahari turut memantulkan warna memukau pada langit.

Selain tinggi, ruang tak terbatas, langit melambangkan terang terus tanpa dihiasi kegelapan, dan langit tidak pernah bisa dipengaruhi keadaan di luar dirinya. Kegelapan hanya menghuni bumi, sementara langit hanya dihuni oleh terang cahaya. Terang cahaya telah menjadi kekayaan langit, karenanya bumi membutuhkan tentara “terang” berupa cahaya matahari, rembulan, dan gemintang yang notabena berasal dari langit.
***
Dari uraian sekilas tentang sifat-sifat langit tersebut, kita berusaha menginternalisasi jiwa langit ke medan kesadaran kita. Bukankah manusia sebangsa mikrokosmos yang menyimpan seluruh khazanah makrokosmos. Manusia harusnya bisa mengaktualisasikan jiwa semesta plus, agar bisa menanjak menuju maqam yang tinggi dan luhur.

Pertama, langit lambang ketinggian. Ketahuilah manusia berasal dari ketinggian (surga), kemudian diturunkan ke bumi agar mereka menekuni pendakian menuju ketinggian kembali. Jadi, manusia berasal dari bibit unggul tanpa kecuali, hanya saja apakah manusia bisa menumbuhkan bibit unggul dan luhur itu agar bisa kembali memasuki istana ketinggian, memasuki kembali kuil-kuil surga yang begitu indah. Orang yang menguak karakter “ketinggian” dalam dirinya, niscaya dia tidak terlalu melekat dengan materi duniawi. Kita mendapatkan kehidupan surgawi (di hati) setelah mampu melepaskan diri dari jeratan-jeratan duniawi.
Kalau ditelusuri dari cikal-bakal kejadian, seluruh manusia berasal dari ruh yang tinggi (ruhul ‘aliyyah) yang ditiupkan, yakni ruh Allah. Kalau kita bisa mengoptimalisasi ruh Ilahi yang tertiup ke dalam diri kita, insya Allah kita selalu dihiasi kebahagiaan setiap saat. Namun, jika kita memilih melekatkan hati dengan kehidupan duniawi yang serba semu ini, niscaya kita akan selalu menderita.

Dalam konteks ini, Anda perlu memahami perbedaan orang yang kaya, dan orang yang terikat hatinya dengan kekayaan. Perbedaan orang yang mencari dunia dengan orang yang terikat hatinya dengan kekayaan duniawi. Sehingga tidak menyangka orang yang kaya raya dipandang sebagai orang yang berorientasi harta duniawi, dan orang miskin tidak berorientasi duniawi. Orientasi itu melekat di hati dan terlahir dari cara pandang. Kendati orang kaya raya, namun hatinya tidak melekat dengan kehidupan duniawi, sejatinya dia sedang terbang menuju cakrawala. Sebaliknya, kendati orang dijerat kemiskinan, tetapi hatinya melekat dengan kehidupan duniawi, dia tetap landing di bumi, dan tidak akan pernah terbang menuju langit kesadaran yang tinggi. Jadi, kalau kau hendak terbang menuju langit ketinggian, maka lepaskan keterikatan hati pada kehidupan duniawi menuju kesadaran akan Ilahi. Berangkat dari kesadaran duniawi melintasi kesadaran akhirat, dan puncaknya menuju kesadaran Ilahi. Hati manusia yang dipantik kesadaran Ilahi selalu berada dalam kebahagiaan tanpa batas. Hanya orang yang telah terbang menuju kesadaran langit (ketinggian) yang bakal bersentuhan dan mengalami kebahagiaan.

Kedua, ruang tak terbatas. Ruang langit tak bisa disentuh dan diukur, tetapi dia bisa memasukkan seluruh hiasan di sisinya. Begitulah, lukisan dari rahmat Allah. Rahmat Allah itu tanpa batas, hanya saja kebanyakan manusia menangkap rahmat Allah seluas rumah yang berdiri di bumi. Andaikan manusia belajar pada ruang yang menghias bumi ini, kita sama-sama bisa mengambil pelajaran betapa tidak terbatasnya rahmat Allah. Kalau kita meyakini betapa luasnya rahmat Allah, maka stamina hidup kita tidak akan terkikis oleh sikap pesimisme. Manusia yang bergantung pada dirinya sendiri akan gampang disalak pesimisme bahkan frustasi. Namun, bagi orang yang bergantung sepenuhnya pada Allah, niscaya akan selalu terbang dalam cakrawala optimisme tanpa batas.

Pikiran perlambang bumi yang dijadikan alat untuk mengungkap khazanah yang ada di bumi. Karena pikiran manusia didesain terbatas, manusia sering membatasi keluasan rahmat Allah, walhasil kebahagiaan yang direguk juga terasa begitu terbatas. Tak jarang pula, kita menemukan manusia yang terpasung kehidupan diri yang amat sempit, seakan tak ada ruang yang tersedia baginya untuk mereguk udara kebahagiaan.

Kalau kita terpasung oleh ukuran bumi, maka kita melihat bumi telah di-kavling oleh manusia. Seakan rahmat telah dibagi-bagi sesuai dengan kemampuan masing-masing. Dan bagi orang yang tidak memiliki rumah, berarti dia tidak mendapati rahmat Allah. Peng-kavling-an bermula dari kesepakatan-kesepakatan yang terbentuk diantara manusia. Sehingga kita menemukan, ada orang yang memiliki rumah yang banyak, dinilai sebagai orang yang mendapatkan rahmat Allah yang banyak. Adapun gelandangan, pengemis, dan pengamen yang tidak memiliki hunian dinilai orang yang tidak mendapati rahmat Allah. Apakah berarti rahmat Allah hanya bisa dikeruk oleh orang kaya, dan orang miskin minus rahmat Allah. Rahmat Allah begitu luas—seluas langit dan seluas ruang—dan tanpa disadari kita selalu dipayungi rahmat Allah.

Belajar dari langit, rahmat Allah itu tak terbatas. Kini, bergantung seberapa luas hati manusia menerima rahmat Allah. Jika hatinya telah dipersempit, rahmat Allah tidak bisa menghuni hati manusia. Kalau rahmat Allah tak terbatas, harusnya hati kita juga dibuat luas tak terbatas, agar rahmat Allah bisa dicakup hati kita. Bukankah Allah pernah berfirman dalam hadist Qudsi, “Aku tak bisa dicakup oleh bumi, Aku hanya bisa dicakup oleh hati hamba-Ku yang beriman.”

Buatlah hati kita seluas langit, maka rahmat Allah akan mengalir dan menggenangi hati kita.

Ketiga, langit melambangkan terang terus dan terus terang. Siang-malam hanya dirasakan oleh penduduk bumi. Dan siangnya matahari membutuhkan tentara langit berupa matahari, ketika matahari tenggelam, malam merangkak meliputi bumi. Bergantinya malam bukan berarti matahari tidak lagi memancar, matahari tetap memancarkan sinarnya, hanya tertutup, sehingga bumi tidak mendapati pancaran matahari. Adapun di langit, manusia selalu berada dalam keadaan terang. Jika hatimu telah mendapati kesadaran (langit), maka kau tidak akan pernah diharu-biru oleh keadaan cuaca yang berada di sekitarmu.

Ketahuilah, nikmat-musibah, sehat-sakit, untung-rugi, dipuji-dicaci serupa putaran siang-malam yang datang silih berganti. Kalau hati manusia masih terjebak dengan keadaan luar yang silih berganti ini, berarti masih lekat dengan kesadaran bumi. Dia selalu dipingpong oleh keadaan. Berbeda halnya, orang yang hatinya tak lagi melekat dengan kesadaran bumi (materi duniawi), dia selalu berada dalam keadaan damai. Dia menyadari, siang dan malam bukan suatu yang kekal, mengalami pergantian terus-menerus, dan berkunjung silih berganti. Mengapa kita terlalu risau dengan suatu yang tidak kekal?

Manakala kesadaran manusia telah dipendari karakter langit, maka dia tak lagi berjungkir balik dalam susah-senang. Ia telah berhasil melampaui keadaan dualitas, yang tersisa dan mengkristalisasi dalam hatinya hanya damai. Hati menjadi tenang karena selalu dipendari cahaya terang yang tak pernah redup. Bahkan hati telah menjadi pusat cahaya yang terus menerangi, sebagaimana dari langit cahaya mengalami terbit.

Keempat, langit tidak berubah. Sejak diciptakan hingga sekarang, langit tetap berwarna biru. Kendati berkali-kali dihinggapi awan hitam, ia tidak ikut hitam. Dan andaikan dihinggapi awan putih, langit tak bisa dibekasi warna putih. Warna putih dan hitam hanya menyelimuti langit, tapi tidak akan pernah merubah warna langit yang cerah. Berarti, langit tak bisa disulap warnanya berubah lantaran dicat. Langit tak tersentuh perubahan warna. Dia selalu hadir dengan jiwanya yang otentik. Langit tetap cerah bagi dirinya, dan membuat cerah bagi orang yang memandangnya. Jika Anda bisa menginternalisasi jiwa langit, maka kau tidak akan pernah diperkuda oleh kenyataan dualitas yang hadir.

Ketahuilah, pada sejatinya hati manusia itu berada dalam kondisi damai, yang membuat hati tidak damai, karena terpengaruh pada sisi eksternal, berupa dualitas yang disuguhi keadaan bumi. Namun, kalau manusia tak terikat dengan kondisi dualitas tersebut, maka yang tersisa hanya terang, dan itu berarti dia telah bersama dengan kemurnian dirinya yang tak pernah berubah. Ya, kemurnian yang tak pernah berubah seperti warna langit yang tak pernah berubah.

Langit sebagai simbol dari kesadaran ruhani yang berpusat pada hati manusia. Karena itu, kita ciptakan hati yang bersih sebersih langit, tak tersentuh pengaruh di luar dirinya. Hati telah merengkuh kedamaian dan terang yang holistik. Hati yang mendapatkan maqam ketinggian, yakni tidak melekat dengan materi duniawi, luas, selalu terang, dan selalu tampil otentik sebagai kombinasi karakter yang mewakili sifat-sifat langit. Semoga Allah menghias hati kita dengan jiwa langit. Insya Allah.

Khalili Anwar, Penutur dari Jalan Cahaya

Selasa, 29 Maret 2011

MANIFESTO PENYERAHAN

“Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam keseluruhan, dan janganlah kamu turut langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu.” (QS. Al-Baqarah [2]: 208)

Marilah berjalan dengan bertitik tolak pada firman Allah di atas, berikut memasuki tahap-tahap menuju Islam secara integral. Sudah barang tentu, Anda ingin memasuki rumah Islam tidak sebatas di halamannya, namun bisa menduduki jantung rumah itu hingga bisa mendulang substansi agama. Andaikan rumah, maka Darul Islam bisa disebut rumah penyerahan. Dari rumah penyerahan ini, didapati pilar-pilar penyerahan yang menginspirasi kita agar berserah diri.

Sekarang, kita akan mengupas pilar-pilar penyerahan yang tersimpul dalam 5 rukun Islam plus Jihad fi Sabilillah. Rukun Islam menginspirasi dan mengarahkan kita agar menggapai penyerahan diri secara total pada Allah.

Pertama, Syahadat. Syahadat manifestasi penyerahan hati pada Allah dan Rasulullah Muhammad Saw. Syahadat cermin peneguhan, Allah dan Rasulullah SAW berada di tataran prioritas yang paling dicintai dalam hidupnya. Walhasil, seruan Allah dan Rasul-Nya mengalahkan seruan lainnya. Ketetapan Allah dan Rasul-Nya sebagai preferensi utama setiap gerak-geriknya.

“dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. dan Barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya Maka sungguhlah Dia telah sesat, sesat yang nyata.” (QS. Al-Ahzab [33]: 36).

Mengapa dia mau menyerahkan hatinya, berarti rela melakukan baiat, pada Allah dan Rasul-Nya? Karena meyakini, kebenaran itu hanya bersumber dari Allah dan Rasul-Nya. Sehingga, ia mengikatkan diri pada Allah sebagai tujuan satu-satunya, berikut memposisikan Sayyidina Muhammad Saw sebagai model par excellent.

Kedua, shalat. Shalat menjadi manifestasi penyerahan jasad. Bayangkan, orang melakukan shalat dengan seluruh badannya. Gerak shalat dari takbir hingga salam, turut menggerakkan seluruh badan. Itu berarti, badan berserah pada perintah Allah.

Ketiga, puasa. Puasa menjadi manifestasi penyerahan kesenangan nafsu. Puasa tidak hanya melatihmu menghindar dari suatu yang haram dan makruh, bahkan menghindari, sebagai medan pengendalian diri, suatu yang mubah. Hawa nafsu menyukai makan-minum di siang hari, puasa mengendalikanmu agar tidak makan-minum di siang hari. Kala engkau terlatih meninggalkan perihal mubah yang berlebih-lebihan, insya Allah terpandu meninggalkan perbuatan yang haram.

Keempat, zakat. Zakat menjadi manifestasi penyerahan harta. Lewat zakat Anda dilatih melepaskan keterikatan terhadap harta duniawi. Bukankah harta akan ditinggalkan juga? Akan tetapi, jika jiwa zakat belum menelusup ke hatimu, berarti begitu banyak rantai penghambat kerelaanmu mengeluarkan harta. Padahal, kebahagiaan berbanding lurus dengan besarnya penyerahan (pelepasan).

Kelima, Haji. Haji menjadi manifestasi penyerahan akal. Jika engkau analisis dari perspektif akal pikiran, tidak akan ditemukan kesimpulan logis dari rangkaian ibadah yang mewarnai haji. Bayangkan, jemaah haji diperintah mengenakan pakaian ihram. Kain putih tak berjahit. Pakaian nyentrik ini tidak mungkin suka Anda kenakan di rumah, pesta, apalagi untuk berbelanja ke plaza. Selanjutnya, diperintah memutari batu, berikut lari dari bukit ke bukit. Kemudian, wukuf, yang diisi dengan duduk saja. Sesampai di muzdalifah, diperintah mengumpulkan kerikil, untuk kemudian di Mina kerikil-kerikil itu dilemparkan.

Haji sering dijadikan bahan kritik oleh orientalis untuk menyudutkan Islam sebagai agama tidak rasional. Ketahuilah saudaraku, substansinya, haji mendidik manusia agar menyerahkan selubung akal pikiran yang membuatnya merasa eksis. Pakaian putih yang dikenakan jemaah haji melambangkan penyerahan diri. Makanya, kala orang menunaikan ibadah haji, harus menyerahkan akal pikiran pada kehendak Allah. Bukankah pilihan-pilihan bersumber dari akal pikiran? Dan pikiran yang berserah pada Allah berarti menyerahkan seluruh pilihannya pada pilihan Allah.

Keenam, Jihad Fi Sabilillah. Jihad menjadi manifestasi penyerahan puncak dari segala bentuk penyerahan. Menyerahkan seluruh akumulasi keterikatan yang kerap lengket pada manusia. Jika Anda masuk ke tataran jihad, seperti dakwah amar ma’ruf nahi mungkar, berarti menyerahkan segala bentuk hal yang masih terikat pada diri Anda. Menyerahkan hati, jasad, harta, dan akal. Jihad menghimpun seluruh penyerahan, berpuncak pada menyerahkan penyerahan, atau mengorbankan pengorbanan.

Pilar-pilar penyerahan diri itu berdiri di atas seluruh rukun Islam. Kalau begitu, sejatinya rukun Islam mendidik dan melatih kita agar perlahan-lahan melepaskan keterikatan, atau menyerahkan apapun yang masih melekat pada diri kita. Pada ujungnya, melepaskan keterikatan pada diri sendiri menuju keterikatan secara total pada Allah.

Keterikatan secara total pada Allah akan mengarahkan orang menuju samudera kedamaian yang hakiki. Artinya, telah menggapai penyerahan diri yang kaffah (total). Dia telah melenyapkan keterikatan pada siapapun, bahkan pada dirinya sendiri. Kecuali terus mengikatkan diri pada Allah. Bukankah Allah hanya menerima hamba-Nya yang bersih? Ya, bersih dari segala bentuk keterikatan kecuali pada-Nya.

Penyerahan Diri secara total

Berserah diri bukanlah kedudukan ruhani yang mudah dicapai manusia. Dibutuhkan perjuangan serius untuk berserah diri, yakni berjuang dengan pikiran yang disesaki beragam pemilahan dan pilihan. Orang yang dikepung dan dijerat oleh pilihannya tanpa disadari telah membuat penghalang baginya berserah diri pada Allah Swt. Jika Anda tidak bisa berserah diri, akan mengalami kesulitan tersambung pada Allah. Siapa yang kesadarannya tidak tersambung pada Allah, niscaya tidak bisa menyerap kebahagiaan holistik.

Berarti, engkau diperintahkan berserah diri pada Allah agar bisa menyelam ke dalam samudera kebahagiaan. Bukankah tujuan Allah hanya ekspansi kebahagiaan? Makanya, seluruh perintah Allah yang dirangkum dalam rukun Islam mengarahkan orang agar bisa mereguk kebahagiaan. Akan tetapi, kebahagiaan tidak bisa dicerap, jika penegakan rukun Islam itu tak dilandasi kesadaran penyerahan diri pada Allah.

Ketahuilah saudaraku, modal Anda datang di hadapan Allah adalah berserah diri. Ya, menyerahkan diri. Anda mendatangi Allah tidak dituntut menyetorkan amal yang menggunung, karena Allah sendiri sebagai himpunan kebaikan. Kau tak perlu datang di hadapan Allah dengan tumpukan ilmu, apalagi hadir dengan membawa pundi-pundi kekayaan. Allah adalah gudangnya ilmu dan harta kekayaan. Seluruh apa yang ada di bumi dan langit tergenggam dalam kekuasan-Nya.

Namun demikian, janganlah engkau salah tafsir pada konsep ini, sehingga kau berkesimpulan tidak perlu beramal. Saudaraku, engkau harus beramal berlandaskan ilmu yang benar, ikhlas, dan istiqamah. Akan tetapi, janganlah hatimu sedikit pun bergantung pada amal dan ilmumu. Hal yang paling dihargai di hadapan Allah adalah hati bersih, bersih dari segala bentuk keterikatan pada selain Allah.

“(Yaitu) di hari, harta dan anak-anak laki-laki tidak berguna, kecuali orang yang menghadap Allah dengan hati yang bersih.” (QS. Asy-Syuara [26]: 88-89).

Secara gamblang, modal utama kita menghadap Allah adalah berserah diri. Orang yang berserah diri, tak hanya sebatas menyerahkan hati, jasad, harta, dan akal pikiran, bahkan menyerahkan dirinya pada Allah Azza Wajallah. Tak ada yang tersisa sedikit pun di benaknya, kecuali Allah selaku samudera penyerahan diri.

Syaikh Muhammad Dhiyauddin Qushwandhi
Pentranskripsi: Khalili Anwar

THE POWER OF OK!

Tulisan ini diilhami seorang sahabat senior yang kerap menjadi teman berbagi di jalan cahaya. Dialah seorang pencari yang tak pernah memperlihatkan keletihan, kebosanan, apalagi kegundahan di medan sunyi-sepi ini. Hamba hanya melihat gurat-gurat senyum selalu menghiasi wajahnya. Dia selalu berkata OK, sebagai respons akan setiap perkataan yang disampaikan orang lain. Darimana kata OK itu berasal, seolah menjadi power yang mematri jiwanya.

Setelah ditelusuri, slogan OK itu bermula dari sang guru yang mendapatkan SMS beraneka pesan dari santri-santrinya. Semua pesan yang diterima, cukup dibalas dengan OK! Mungkin bagi orang yang memerlukan penjelasan detail, kata OK terkesan meremehkan, tetapi sejatinya bagi orang yang hendak menangkap dengan ketajaman rasa, kata OK mengandung kedalaman rasa. Bermula dari peristiwa SMS itu, maka sahabat senior ini kian akrab dengan ekspresi OK. Tentu OK itu tidak hanya respons atas perkataan orang, tetapi dia berani mengatakan OK pada Allah.

OK menyimpan kekuatan menghadirkan damai, dan membawa orang selalu berbalut kebahagiaan. OK sebagai pantulan kata yang terlontar dari jiwa yang melulu menerima keadaan dan realitas yang berkunjung di hadapannya. Kalau the power of OK telah meresap dan menginternalisasi di medan kesadaran, hati hanya selalu tersenyum pada setiap keadaan. Karena semua realitas sebagai kunjungan Tuhan padanya. Apakah kita harus menolak Tuhan? Bukankah diam-diam kita merindukan pertemuan dengan Tuhan? Tuhan mengada diantara pergantian siang dan malam. Karenanya siang-malam dihadirkan agar manusia bisa mengingat (wilayah kesadaran) dan bersyukur ( wilayah pengalaman). Bukankah hanya dengan ingat dan syukur orang bisa mereguk kebahagiaan.

“dan Dia (pula) yang menjadikan malam dan siang silih berganti bagi orang yang ingin mengambil pelajaran atau orang yang ingin bersyukur.” (QS. Al-Furqan [25]: 62)

Bukankah setiap realitas itu melekat dan menempel pada siang dan malam. Kalau kita ingat dan bersyukur dalam perputaran siang-malam, berarti kita mensyukuri akan muatan yang ada di dalamnya. Ketahuilah, di perputaran siang-malam Tuhan selalu hadir, menengok respons kita terhadap realitas.

Tak jarang, Tuhan bersembunyi dari suatu yang tidak kita sukai. Karena itu, jangan menaruh kebencian terhadap suatu obyek, boleh jadi Allah mengada dari realitas yang kau benci itu. Bahkan, ketahuilah setiap realitas sebagai bentuk konser Tuhan. Adakah konser Tuhan yang kurang berbobot, bukankah Allah selalu menghidangkan yang terbaik. Hidangan Allah terkesan tidak baik lantaran dilihat dari perspektif yang tidak bening.

Orang yang sering berkata OK pada setiap keadaan akan lebih sering menyerap nutrisi kebahagiaan lewat keadaan tersebut. Namun, orang yang sering berkata NO pada realitas yang mengemuka di hadapannya, dia hanya bisa mengakses penderitaan lewat kenyataan itu. Kebiasaan orang yang mengkritik keadaan, cenderung tidak bisa menemukan hikmah agung dari realitas yang melintas. Kalau negeri dibanjiri kritik, apalagi kritik yang berusaha menguak aib orang lain, niscaya negeri ini tidak akan pernah bangkit dari kegelapan menuju cahaya.
Bayangkan, sudah berapa tahun negeri ini berperang dan melawan korupsi, alih-alih korupsi terkikis, malah semakin merebak luas di berbagai instansi pemerintah, baik pusat apalagi daerah, bahkan mengalami tingkat imunitas yang tak bisa disembuhkan. Orang yang pada mulanya malu melakukan korupsi juga ikut melakukan korupsi. Aneh, korupsi semakin dilawan, semakin menaik grafiknya.

Baru saja kita mengenal istilah NARKOBA, dulu orang hanya mengenal minuman keras. Semakin sering dipublikasikan, berikut tertuang larangan akan NARKOBA, bukan mengurangi pengguna dan pengedar NARKOBA, banyak orang tertarik menggunakan dan bahkan mengedarkan NARKOBA sebagai bisnis sarat gengsi. Penolakan bukan membuat orang kehilangan fokus pada apa yang ditolak, malah semakin membuat orang fokus, dan selalu memikirkankannya. Tak aneh, kalau ada orang yang bergabung dalam gerakan anti-NARKOBA juga terjebak menggunakan dan mengedarkan NARKOBA. Bukankah dia menolak akan NARKOBA, mengapa dia juga ikut tersudut di medan penuh cela dan aib itu?

Iklan rokok selain menampilkan tentang rokok sebagai gengsi, juga terselip pesan larangan merokok. Kendati ada larangan morokok, ternyata tidak mengurangi jumlah perokok di negeri ini, bahkan kian melonjak dan merambat pada komunitas remaja, bahkan anak di bawah umur. Memang, suatu yang memuat larangan memiliki daya magnet orang untuk mencobanya. Serupa dengan seorang adik yang otaknya dipenuhi rasa ingin tahu tinggi, tiba-tiba ibunya berkata padanya, “jangan kau buka lemari itu”. Kalimat larangan itu tidak menghentikan gerak anak tersebut untuk membuka lemari, malah timbul penasaran mengapa dilarang?

Kenyataan itu serupa dengan kisah sekelompok manusia yang didekati ular naga. Saat ular mendekat, mereka masih menyempatkan menghelat seminar kecil-kecilan untuk mencari solusi bagaimana menyerang ular tersebut. Seminar belum menghasilkan kesimpulan, mereka semua telah dipatok ular naga itu. Harusnya mereka tak perlu berseminar tentang ular naga, langsung saja berlari, menyelamatkan diri menuju tempat aman, dan kalau sempat datanglah pada orang yang piawai menjinakkan ular naga. Yang terpenting arahkan pikiran pada suatu yang OK saja, sehingga kita bisa melulu menyerap cahaya kebahagiaan. Setiap orang mendapatkan apa yang menjadi fokusnya. Dan hidup itu terasa indah (life is beautiful) kalau orang selalu merasa OK dengan kehidupan ini.

Dengan OK berarti orang tidak pernah bersikap resistens terhadap realitas yang terhidang di hadapannya. Mengapa harus resistens, bukankah seluruh realitas sebagai hidangan yang disuguhkan Allah? Adakah suguhan Allah yang tidak lezat, kecuali orang yang hatinya masih berpenyakitan? Allah serupa dengan koki terbaik dari setiap realitas yang terhidang di hadapan kita, dan setiap suguhan hasil racikan Allah pasti mengandung kebaikan. Mengapa kita harus resistens? Katakan OK saja pada realitas yang hadir, insya Allah kita akan menemukan berjuntai hikmah yang tergelar lewat realitas tersebut. Orang yang mencapai kematangan jiwa, selalu dengan tenang mengatakan OK pada setiap keadaan. Sosok ini tidak lagi terpengaruh dengan realitas, karena dia telah fokus pada penghadir realitas, Dialah Allah Azza Wajallah.

Khalili Anwar, Penutur dari Jalan Cahaya

Minggu, 27 Maret 2011

BENARKAH KITA TENGAH MENUHANKAN AGAMA?

Agama serupa gudang yang menyimpan kebajikan. Ya, setiap agama mengajarkan pemeluknya untuk berbuat bajik di dalam hidupnya. Kasih, cinta, dan kelembutan menjadi pengajaran agung yang disajikan agama. Agama terasa begitu sakral, suci, kudus, karenanya energi keburukan tak boleh menyelubungi agama.

Tiada cela yang bisa mengendus agama, karena agama sendiri telah mengalami kemurnian. Kendati demikian, agama bukanlah tujuan yang harus diagung-agungkan, sehingga kita terjebak menuhankan agama. Agama sebagai kanal yang disediakan Tuhan agar hamba-Nya kembali pada-Nya dengan keadaan murni berbusanakan cinta.

Kita tidak berhenti di agama sebagai sebuah istilah dan jalan, namun apa yang menjadi maksud agung dibalik kehadiran agama? Betapa sering orang cekcok karena perbedaan cara pandang dalam agama. Agama hadir tidak sebatas disadari sebagai ikon ruhani, tetapi menjadi medan kudus yang harus dialami dan direguk saripatinya.

Agama menjadi alat yang menunjukkan jalan Anda menuju Tuhan Yang Maha Agung. Serupa kendaraan, agama digunakan saat orang berjalan menuju alamat yang dituju. Mungkinkah orang masih menggunakan kendaraan, apalagi bertempat tinggal di kendaraan tersebut, kala sudah sampai pada tujuan. Karenanya saat orang berada di akhirat, ibadah sebagai jalan menuju Tuhan sudah tidak ada lagi. Yang ada sekadar medan pertanggungjawaban akan amal perbuatan manusia saat di dunia. Untuk itu, kita tidak perlu mengklaim apik dan tidak apiknya agama, tetapi apa capaian yang direguk dari agama? Adakah perubahan perilaku? Sudahkah sirna kezaliman di dalam kehidupan kita? Andaikan kezaliman dan keingkaran masih sering menjejali kepribadian kita, berarti cahaya agama belum bersinar di hati kita.

Kita menemukan sosok manusia yang bertengkar soal agama, bahkan berani melakukan kekerasan demi agama. Dia berpikir bahwa kekerasan yang dilatari agama bisa membuat wajah agama kian anggun dan memesona? Malah dengan perilaku kekerasan yang dipraktikkan para pemeluknya membuat agama kian menakutkan, sehingga orang semakin apati dengan agama. Agama itu indah, kudus, anggun, dan menyejukkan hati, kalau ada orang tidak mendapatkan manfaat apa-apa dari agama, bahkan membuat kesan agama itu hanya sumber keangkuhan, maka agama tak lagi hadir sebagai solusi jitu bagi umat.

Tak jarang, kelompok pencari masih penasaran—di tengah matinya ruh agama dalam kehidupan—mungkinkah ada agama lain yang bisa memandu umatnya menuju jalan kebahagiaan yang hakiki. Kini, banyak orang menghias agama hanya sebatas permukaan semata-mata, sehingga mudah berubah-ubah. Dia tidak berusaha menguak agama di kandungan terdalamnya, yang disana ada spirit cinta, kasih, dan kelembutan. Semua orang akan menemukan keteduhan di dalam naungan pribadi yang telah disepuh agama. Kini, kita menghadapi sebuah era paradoksal, semakin banyak orang yang bisa menghafal hadist dan al-Qur’an, hanya saja kita menemukan sedikit sekali orang yang hatinya disepuh hadist dan al-Qur’an agar bisa menjadi tempat berlindung orang yang terjerat kesengsaraan batin.

Munculnya aliran kepercayaan baru yang menyempal dari Islam, serupa dengan Ahmadiyah versi Qodian, Wahidiyah, Bestari berikut aliran nyentrik lainnya, hanya sebagai demonstrasi rasa penasaran yang menyelinap di hati mereka, mungkinkah ada ajaran selain Islam yang bisa memberikan solusi efektif di akhir zaman. Mengapa mereka disusupi distrust terhadap Islam? Lantaran, para pemeluk Islam, terlebih orang yang dipercaya menjaga nilai-nilai agama, ternyata tidak memiliki komitmen kuat untuk menegakkan agama dalam kehidupan.

Tak jarang, kita temukan kyai, alih-alih komitmen terhadap nilai-nilai, mereka cenderung komitmen terhadap materi duniawi. Orang bisa mereguk kedamaian manakala telah berhasil melepaskan diri dari keterikatan duniawi? Sementara kyai yang begitu terikat dengan kehidupan duniawi yang semu ini, justru dia keluar dari gerbang kedamaian menuju gerbang kesengsaraan. Kalau demikian, bagaimana orang yang tidak digenangi kedamaian di hatinya bisa berbagi kedamaian pada kemanusiaan?

Andaikan merebak aliran baru, kyai tidak hanya berteriak keras menentang ajaran tersebut, tetapi harus bisa menggali akar permasalahan meruyaknya serbaneka aliran tersebut. Boleh jadi, kharisma ulama kini telah memudar, lantaran memiliki spirit serupa pebisnis dan pengusaha yang mengarahkan hidupnya untuk menangguk uang sebanyak-banyaknya.

Selain itu agama hanya menjadi simbol-simbol luaran, belum menghunjam sebagai spirit agung dalam setiap jiwa manusia। Kita terpesona dengan cangkang agama, dan menganggap setiap cangkang mewakili mutiara. Padahal, tidak setiap cangkang berisikan mutiara. Ketika agama sudah lepas dari ruhnya, berupa cinta, niscaya agama tidak kembali memiliki kekuatan.

Untuk itu, agama tak hanya mengandung syariat, tetapi juga hakikat. Kini, orang repot mengurus syariat agama, tetapi tidak berusaha menyelam kemurnian agama yang menghidupkan. Apa kiranya pesan yang terliput dalam shalat, sudahkah kita merealisasikan pesan murni yang terkandung dalam shalat berupa syukur? Sudahkah kita berlatih mengekspresikan syukur di setiap berkunjungnya realitas?

Demi bisa menguatkan kembali spirit agama, kita dituntut menghidupkan hakikat agama। Karena itulah, ruh agama। Ruh agama itu mewujud sebagai akhlak. Orang yang telah mencapai hakikat agama, perlahan-lahan akan mengalami pertumbuhan pesat, yang kemudian melahirkan buah, yakni akhlak yang mulia. Jika buah agama berupa akhlak telah menghias kehidupan pribadi mukmin, insya Allah setiap perilaku yang ditampilkan hanya kelembutan dan memesona setiap orang. Hanya orang-orang berbuah yang gampang memesona orang untuk mengikuti jalan yang ditempuhnya. Nabi pun menebarkan agama tak hanya dengan retorika belaka, dikombinasi dengan akhlak yang luhur. Betapa banyak orang yang terpikat masuk Islam lantaran kemuliaan dan keagungan akhlak yang membalut pribadi Nabi Muhammad Saw. Insya Allah.


Khalili Anwar, Penutur dari Jalan Cahaya

KAFIR DALAM CINTA

Manusia telah dianugerahi cinta hakiki di lubuk hatinya. Cinta itulah yang mengilhami manusia menuju istana kebahagiaan. Namun, kendati jiwa telah lekat dengan cinta, kebanyakan manusia salah tafsir tentang cinta, karenanya mereka sering dikendalikan oleh hawa nafsu. Yang subur adalah cinta yang menyeruak dari lubang hawa nafsu, bukan hati nurani. Tak ayal, cinta yang mengejawantah bukan cinta yang turut membuka gerbang kebahagiaan, malah mencaploknya ke dataran penderitaan.

Karena salah merespons seruan cinta yang bergema dari jiwa, mereka sering terjebak pada cinta yang bermula dari tarikan eksternal. Setiap keindahan, kenyamanan, dan kesenangan yang bersifat eksternal dipandang sebagai suatu yang harus dicintai. Mereka men-surfing kebahagiaan di tataran eksternal. Bagaimana mungkin orang bisa menggapai kebahagiaan lewat kondisi eksternal, bukankah di tataran eksternal selalu terbatas, membosankan, dan fana’. Memang, kalau orang melulu dipicu oleh ketertarikan eksternal, ia tidak bisa mereguk kebahagiaan abadi dan hakiki.

Betapa sering kita temukan orang yang mencintai harta benda, sehingga dia mengorbankan seluruh waktu dan tenaga untuk pencapaian harta benda itu. Kemewahan dan kemegahan yang dijanjikan harta benda, telah membuatnya lalai, dan tak tahu arah kemana perahu kehidupannya harusnya berlayar. Dia terus berputar-putar di tengah lautan ketidakpastian, dan digerogoti perasaan kurang yang terus-menerus. Bayangkan, 24 jam terasa kurang baginya untuk memburu harta, tak ayal seluruh waktu dihabiskan untuk mendulang harta yang melimpah, walau pada hakikatnya semakin mengempis dan mengurang.

Saya pernah bertanya pada seorang penjaga warung. Warung itu dijadikan pusat cangkruk anak muda. Memang, warung itu tidak pernah sepi dari remaja yang suka kongkow-kongkow. Dia selalu disibukkan dengan pengunjung yang datang. Saat sepi, saya mampir ke tempat tersebut, sembari memesan secangkir kopi.

“Bagaimana keadaan warungnya, rame ya mas?” tanyaku, “Alhamdulillah, tidak pernah sepi dari pengunjung, kendati tidak berdesak-desakan,”balasnya santun. “warung ini dibuka selama berapa jam sehari?”kembali kubertanya.
“24 jam mas, non stop,” katanya dengan gaya santai anak muda.
“emang yang jaga berapa orang mas?” selaku.
“ada 2 orang mas, jadi gantian pagi dan sore,” ucapnya.
“Bagaimana dengan ibadahnya, apa ada kesempatan?” tanyaku.
“Waduh mas, waktunya tidak cukup untuk beribadah,” katanya dengan dahi mengerut, walau terlihat tanpa beban.
“Mas, kita di dunia hanya sementara mas, hanya numpang ngombe, selebihnya kita di akhirat. Imbangilah mas investasi dunia dan akhirat,” kataku.
“Insya Allah Mas,”tanggapnya.

Kala otak dan hati telah tertembus virus duniawi, membikin orang lupa pada persoalan ukhrawi. Mereka melakukan itu, karena memandang duniawi lebih penting ketimbang ukhrawi. Bukankah duniawi sebagai tuntutan ril di hari ini. Semakin nampak peran kedudukan duniawi saat ini. Cinta akan menggerakkan orang padanya. Ketika orang mencintai dunia, maka dia akan selalu digerakkan untuk menambang sebanyak-banyaknya kekayaan duniawi.

24 jam yang disediakan Tuhan dirasa kurang bagi orang yang hanya tertuju pada duit dan duit. Betapa sering orang tidak bisa menikmati harta benda yang telah berada di genggaman. Dia hanya menyimpan seluruh perolehan harta itu di bank, sembari terus memburu harta sebanyak-banyaknya. Padahal tiada kenikmatan yang dianugerahkan pada manusia kecuali untuk dinikmati. Kenikmatan itu harusnya dinikmati sebagai kebutuhan sehari-hari, dinikmati untuk menumbuhkan kelembutan hati dengan memberikannya pada sesama. Kala orang telah terjebak dalam mencintai selain Allah, pasti dia tidak bisa mereguk kebahagiaan yang hakiki. Semuanya hanya sebuah ilusi yang karenanya ia gampang digerogoti perasaan bosan.
Kini, dengan uang yang dimiliki dia bisa membeli mobil yang paling mewah, tetapi berapa lama dia bisa menikmati keindahan mobil tersebut? Setelah lama dia menggunakan mobil tersebut, diam-diam menyembul rasa bosan, apalagi jika meluncur tipe mobil baru yang lebih mewah serta menawarkan kenyamanan super।

Jadi, orang tidak akan pernah menemukan kebahagiaan yang hakiki dan abadi pada suatu yang semu dan sementara। Maka hati ini sejatinya hanya mencintai satu, yakni Allah SWT. Sementara kecintaan pada dimensi lain sebagai ekspresi atau refleksi dari rasa cinta pada Allah. Itu berarti, mencintai dunia tidak terlarang, sepanjang cinta dunia itu didasari rasa cinta yang kuat pada Allah SWT. Bercintalah karena Allah, niscaya Anda tidak pernah disergap perasaan kecewa setiap saat.

Andaikan orang yang kau cintai tidak berperilaku seperti yang Anda harapkan, ketenangan tidak pernah terungkit dari hati Anda. Karena ketenangan Anda disandarkan pada Allah SWT. Ingat perasaan cinta pada sesuatu selain Allah, akan membawanya pada keadaan yang selalu dirundung perasaan cemas. Cemas, jika yang dicintai hilang dan lepas darinya. Kita terlalu mencintai harta, diam-diam mengalir perasaan cemas, bagaimana kalau hartanya itu lepas bahkan hilang. Kendati harta itu telah diamankan di bank, pasti sedikit ada kecemasan, bagaimana kalau bank itu mengalami pailit, sehingga tidak bisa memenuhi hak-hak nasabah dengan baik. Namun, berbeda orang yang mencintai sesuatu karena Allah, maka dia menyerahkan apa yang dicintai pada Allah, menyerahkan penjagaannya pada Allah. Bukankah benteng Allah begitu kokoh untuk menjaga setiap apa yang hendak dijaga.

Jadikan Allah sebagai poros kecintaanmu, dan perasaan cintamu yang lain tidak boleh lepas dari poros ini agar kau selalu selamat dalam bercinta. Ingatlah, kalau kau benar-benar mencintai Allah, maka kau selalu menyatu dengan kehendak Allah. Andaikan Anda lepas dari apa yang kau cintai, kau tidak pernah mengurangi stok cintamu pada Allah. Karena Allah melakukan seperti itu juga dilandasi cinta, hanya saja saking lembutnya rahasia dibalik perbuatan itu Anda belum mampu meradar makna cinta dibalik perbuatan tersebut. Pandanglah setiap realitas dengan cinta, maka rahasia-rahasia suci dari Allah akan mengalir dibalik realitas itu, sehingga Anda bisa terus menangguk air kearifan dimana saja. Insya Allah.

Khalili Anwar, Penutur dari Jalan Cahaya

Rabu, 09 Februari 2011

BERKUASA MAKIN TIDAK AMAN

Saya teringat dengan kesederhanaan dibalik keagungan khalifah Umar Ibn Khattab. Saat beliau memangku jabatan sebagai khalifah, dia hidup untuk melayani umat sepenuhnya. Hampir tak ada waktu untuk beristirahat. Kata beliau, bagaimana saya bisa istirahat, di siang hari saya harus memenuhi hak-hak rakyat, di malam hari saya harus memenuhi hak-hak Allah SWT. Kekuasaan yang diperoleh tidak membuat beliau hidup dalam suasana santai, tetapi merasa memangku beban dan tanggung jawab yang amat berat. Beliau telah melepaskan seluruh kepentingan dirinya, dan lebih mengutamakan kepentingan rakyat secara keseluruhan.
Karena kekuasaan tidak untuk memenuhi kepentingan diri, maka beliau selalu merasa aman berada di mana saja. Bahkan dia kadang beristirahat dengan cara berteduh di bawah pohon. Bagaimana mungkin seorang khalifah yang notabena pemimpin seluruh umat Islam berteduh di bawah pohon untuk sekadar istirahat tanpa pengamanan seorang pun. Apakah tidak takut ditikam atau tertusuk tombak atau panah? Beliau tidak hanya menjadi penguasa bagi rakyat, tetapi beliau juga telah menguasai dirinya sendiri. Beliau telah menyerahkan seluruh kehidupan ini pada Allah. Dalam hatinya hanya ada rasa takut pada Allah, tidak pernah terbersit sedikit pun takut pada makhluk. Suasana hati itulah yang membuat beliau tidak pernah meminta pengamanan.
Bayangkan dengan penguasa zaman ini. Sungguh kita akan menemukan realitas yang kontras, betapa makin tinggi sebuah kekuasaan, niscaya makin terdera rasa takut. Mengapa dia begitu takut? Ya karena dia tidak bergantung pada Allah, tetapi bergantung pada kedudukan. Saat insan bergantung pada selain Allah, niscaya dia mulai menemukan kerapuhan dalam dirinya. Dia takut kedudukan lenyap dari dirinya, walau sesungguhnya kedudukan pada saatnya akan lenyap. Apakah dirinya terlebih dahulu yang meninggalkan kedudukan dengan datangnya kematian, atau kedudukan itu sendiri yang bakal menghilang dengan adanya pergantian kekuasaan, atau demo rakyat yang memicu meruyaknya kudeta atas kekuasaannya. Sungguh aneh, orang makin berkuasa, makin merasakan tidak aman. Lebih aneh lagi, mengapa banyak orang mengejar kekuasaan yang hanya membuatnya dia makin dikuasai rasa takut. Orang yang berkuasa membutuhkan keamanan, maka dia meminta pengamanan dari pihak keamanan. Saat dia meminta keamanan, siapa yang berkuasa sebenarnya? Apakah yang menjaga keamanan atau yang dijaga keamanannya? Siapa pelayan yang sebenarnya? Apakah yang memberikan pelayanan atau yang meminta pelayanan? Di zaman akhir ini, kita menjadi rabun untuk mengertikan dengan jelas tentang siapa pelayan dan yang dilayani.
Suatu kenyataan yang menggelikan, mengapa saat orang memiliki kedudukan makin tidak bebas untuk mendapatkan kenyamanan hidup. Kemanapun pasti ada orang yang mengikutinya. Dipandu dalam kegiatan protokoler. Hal itu tidak hanya berlaku pada orang yang memiliki kekuasaan tersebut, namun juga berimbas pada keluarganya. Kalau biasanya anaknya bisa bermain bebas dengan sebayanya, sekarang terus saja disertai pengamanan. Seakan terpisah dengan ruang kebebasan. Sungguh tidak masuk akal, ketika orang diberi kekuasaan ternyata makin tidak aman dan bebas.