Selasa, 29 Maret 2011

MANIFESTO PENYERAHAN

“Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam keseluruhan, dan janganlah kamu turut langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu.” (QS. Al-Baqarah [2]: 208)

Marilah berjalan dengan bertitik tolak pada firman Allah di atas, berikut memasuki tahap-tahap menuju Islam secara integral. Sudah barang tentu, Anda ingin memasuki rumah Islam tidak sebatas di halamannya, namun bisa menduduki jantung rumah itu hingga bisa mendulang substansi agama. Andaikan rumah, maka Darul Islam bisa disebut rumah penyerahan. Dari rumah penyerahan ini, didapati pilar-pilar penyerahan yang menginspirasi kita agar berserah diri.

Sekarang, kita akan mengupas pilar-pilar penyerahan yang tersimpul dalam 5 rukun Islam plus Jihad fi Sabilillah. Rukun Islam menginspirasi dan mengarahkan kita agar menggapai penyerahan diri secara total pada Allah.

Pertama, Syahadat. Syahadat manifestasi penyerahan hati pada Allah dan Rasulullah Muhammad Saw. Syahadat cermin peneguhan, Allah dan Rasulullah SAW berada di tataran prioritas yang paling dicintai dalam hidupnya. Walhasil, seruan Allah dan Rasul-Nya mengalahkan seruan lainnya. Ketetapan Allah dan Rasul-Nya sebagai preferensi utama setiap gerak-geriknya.

“dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. dan Barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya Maka sungguhlah Dia telah sesat, sesat yang nyata.” (QS. Al-Ahzab [33]: 36).

Mengapa dia mau menyerahkan hatinya, berarti rela melakukan baiat, pada Allah dan Rasul-Nya? Karena meyakini, kebenaran itu hanya bersumber dari Allah dan Rasul-Nya. Sehingga, ia mengikatkan diri pada Allah sebagai tujuan satu-satunya, berikut memposisikan Sayyidina Muhammad Saw sebagai model par excellent.

Kedua, shalat. Shalat menjadi manifestasi penyerahan jasad. Bayangkan, orang melakukan shalat dengan seluruh badannya. Gerak shalat dari takbir hingga salam, turut menggerakkan seluruh badan. Itu berarti, badan berserah pada perintah Allah.

Ketiga, puasa. Puasa menjadi manifestasi penyerahan kesenangan nafsu. Puasa tidak hanya melatihmu menghindar dari suatu yang haram dan makruh, bahkan menghindari, sebagai medan pengendalian diri, suatu yang mubah. Hawa nafsu menyukai makan-minum di siang hari, puasa mengendalikanmu agar tidak makan-minum di siang hari. Kala engkau terlatih meninggalkan perihal mubah yang berlebih-lebihan, insya Allah terpandu meninggalkan perbuatan yang haram.

Keempat, zakat. Zakat menjadi manifestasi penyerahan harta. Lewat zakat Anda dilatih melepaskan keterikatan terhadap harta duniawi. Bukankah harta akan ditinggalkan juga? Akan tetapi, jika jiwa zakat belum menelusup ke hatimu, berarti begitu banyak rantai penghambat kerelaanmu mengeluarkan harta. Padahal, kebahagiaan berbanding lurus dengan besarnya penyerahan (pelepasan).

Kelima, Haji. Haji menjadi manifestasi penyerahan akal. Jika engkau analisis dari perspektif akal pikiran, tidak akan ditemukan kesimpulan logis dari rangkaian ibadah yang mewarnai haji. Bayangkan, jemaah haji diperintah mengenakan pakaian ihram. Kain putih tak berjahit. Pakaian nyentrik ini tidak mungkin suka Anda kenakan di rumah, pesta, apalagi untuk berbelanja ke plaza. Selanjutnya, diperintah memutari batu, berikut lari dari bukit ke bukit. Kemudian, wukuf, yang diisi dengan duduk saja. Sesampai di muzdalifah, diperintah mengumpulkan kerikil, untuk kemudian di Mina kerikil-kerikil itu dilemparkan.

Haji sering dijadikan bahan kritik oleh orientalis untuk menyudutkan Islam sebagai agama tidak rasional. Ketahuilah saudaraku, substansinya, haji mendidik manusia agar menyerahkan selubung akal pikiran yang membuatnya merasa eksis. Pakaian putih yang dikenakan jemaah haji melambangkan penyerahan diri. Makanya, kala orang menunaikan ibadah haji, harus menyerahkan akal pikiran pada kehendak Allah. Bukankah pilihan-pilihan bersumber dari akal pikiran? Dan pikiran yang berserah pada Allah berarti menyerahkan seluruh pilihannya pada pilihan Allah.

Keenam, Jihad Fi Sabilillah. Jihad menjadi manifestasi penyerahan puncak dari segala bentuk penyerahan. Menyerahkan seluruh akumulasi keterikatan yang kerap lengket pada manusia. Jika Anda masuk ke tataran jihad, seperti dakwah amar ma’ruf nahi mungkar, berarti menyerahkan segala bentuk hal yang masih terikat pada diri Anda. Menyerahkan hati, jasad, harta, dan akal. Jihad menghimpun seluruh penyerahan, berpuncak pada menyerahkan penyerahan, atau mengorbankan pengorbanan.

Pilar-pilar penyerahan diri itu berdiri di atas seluruh rukun Islam. Kalau begitu, sejatinya rukun Islam mendidik dan melatih kita agar perlahan-lahan melepaskan keterikatan, atau menyerahkan apapun yang masih melekat pada diri kita. Pada ujungnya, melepaskan keterikatan pada diri sendiri menuju keterikatan secara total pada Allah.

Keterikatan secara total pada Allah akan mengarahkan orang menuju samudera kedamaian yang hakiki. Artinya, telah menggapai penyerahan diri yang kaffah (total). Dia telah melenyapkan keterikatan pada siapapun, bahkan pada dirinya sendiri. Kecuali terus mengikatkan diri pada Allah. Bukankah Allah hanya menerima hamba-Nya yang bersih? Ya, bersih dari segala bentuk keterikatan kecuali pada-Nya.

Penyerahan Diri secara total

Berserah diri bukanlah kedudukan ruhani yang mudah dicapai manusia. Dibutuhkan perjuangan serius untuk berserah diri, yakni berjuang dengan pikiran yang disesaki beragam pemilahan dan pilihan. Orang yang dikepung dan dijerat oleh pilihannya tanpa disadari telah membuat penghalang baginya berserah diri pada Allah Swt. Jika Anda tidak bisa berserah diri, akan mengalami kesulitan tersambung pada Allah. Siapa yang kesadarannya tidak tersambung pada Allah, niscaya tidak bisa menyerap kebahagiaan holistik.

Berarti, engkau diperintahkan berserah diri pada Allah agar bisa menyelam ke dalam samudera kebahagiaan. Bukankah tujuan Allah hanya ekspansi kebahagiaan? Makanya, seluruh perintah Allah yang dirangkum dalam rukun Islam mengarahkan orang agar bisa mereguk kebahagiaan. Akan tetapi, kebahagiaan tidak bisa dicerap, jika penegakan rukun Islam itu tak dilandasi kesadaran penyerahan diri pada Allah.

Ketahuilah saudaraku, modal Anda datang di hadapan Allah adalah berserah diri. Ya, menyerahkan diri. Anda mendatangi Allah tidak dituntut menyetorkan amal yang menggunung, karena Allah sendiri sebagai himpunan kebaikan. Kau tak perlu datang di hadapan Allah dengan tumpukan ilmu, apalagi hadir dengan membawa pundi-pundi kekayaan. Allah adalah gudangnya ilmu dan harta kekayaan. Seluruh apa yang ada di bumi dan langit tergenggam dalam kekuasan-Nya.

Namun demikian, janganlah engkau salah tafsir pada konsep ini, sehingga kau berkesimpulan tidak perlu beramal. Saudaraku, engkau harus beramal berlandaskan ilmu yang benar, ikhlas, dan istiqamah. Akan tetapi, janganlah hatimu sedikit pun bergantung pada amal dan ilmumu. Hal yang paling dihargai di hadapan Allah adalah hati bersih, bersih dari segala bentuk keterikatan pada selain Allah.

“(Yaitu) di hari, harta dan anak-anak laki-laki tidak berguna, kecuali orang yang menghadap Allah dengan hati yang bersih.” (QS. Asy-Syuara [26]: 88-89).

Secara gamblang, modal utama kita menghadap Allah adalah berserah diri. Orang yang berserah diri, tak hanya sebatas menyerahkan hati, jasad, harta, dan akal pikiran, bahkan menyerahkan dirinya pada Allah Azza Wajallah. Tak ada yang tersisa sedikit pun di benaknya, kecuali Allah selaku samudera penyerahan diri.

Syaikh Muhammad Dhiyauddin Qushwandhi
Pentranskripsi: Khalili Anwar

THE POWER OF OK!

Tulisan ini diilhami seorang sahabat senior yang kerap menjadi teman berbagi di jalan cahaya. Dialah seorang pencari yang tak pernah memperlihatkan keletihan, kebosanan, apalagi kegundahan di medan sunyi-sepi ini. Hamba hanya melihat gurat-gurat senyum selalu menghiasi wajahnya. Dia selalu berkata OK, sebagai respons akan setiap perkataan yang disampaikan orang lain. Darimana kata OK itu berasal, seolah menjadi power yang mematri jiwanya.

Setelah ditelusuri, slogan OK itu bermula dari sang guru yang mendapatkan SMS beraneka pesan dari santri-santrinya. Semua pesan yang diterima, cukup dibalas dengan OK! Mungkin bagi orang yang memerlukan penjelasan detail, kata OK terkesan meremehkan, tetapi sejatinya bagi orang yang hendak menangkap dengan ketajaman rasa, kata OK mengandung kedalaman rasa. Bermula dari peristiwa SMS itu, maka sahabat senior ini kian akrab dengan ekspresi OK. Tentu OK itu tidak hanya respons atas perkataan orang, tetapi dia berani mengatakan OK pada Allah.

OK menyimpan kekuatan menghadirkan damai, dan membawa orang selalu berbalut kebahagiaan. OK sebagai pantulan kata yang terlontar dari jiwa yang melulu menerima keadaan dan realitas yang berkunjung di hadapannya. Kalau the power of OK telah meresap dan menginternalisasi di medan kesadaran, hati hanya selalu tersenyum pada setiap keadaan. Karena semua realitas sebagai kunjungan Tuhan padanya. Apakah kita harus menolak Tuhan? Bukankah diam-diam kita merindukan pertemuan dengan Tuhan? Tuhan mengada diantara pergantian siang dan malam. Karenanya siang-malam dihadirkan agar manusia bisa mengingat (wilayah kesadaran) dan bersyukur ( wilayah pengalaman). Bukankah hanya dengan ingat dan syukur orang bisa mereguk kebahagiaan.

“dan Dia (pula) yang menjadikan malam dan siang silih berganti bagi orang yang ingin mengambil pelajaran atau orang yang ingin bersyukur.” (QS. Al-Furqan [25]: 62)

Bukankah setiap realitas itu melekat dan menempel pada siang dan malam. Kalau kita ingat dan bersyukur dalam perputaran siang-malam, berarti kita mensyukuri akan muatan yang ada di dalamnya. Ketahuilah, di perputaran siang-malam Tuhan selalu hadir, menengok respons kita terhadap realitas.

Tak jarang, Tuhan bersembunyi dari suatu yang tidak kita sukai. Karena itu, jangan menaruh kebencian terhadap suatu obyek, boleh jadi Allah mengada dari realitas yang kau benci itu. Bahkan, ketahuilah setiap realitas sebagai bentuk konser Tuhan. Adakah konser Tuhan yang kurang berbobot, bukankah Allah selalu menghidangkan yang terbaik. Hidangan Allah terkesan tidak baik lantaran dilihat dari perspektif yang tidak bening.

Orang yang sering berkata OK pada setiap keadaan akan lebih sering menyerap nutrisi kebahagiaan lewat keadaan tersebut. Namun, orang yang sering berkata NO pada realitas yang mengemuka di hadapannya, dia hanya bisa mengakses penderitaan lewat kenyataan itu. Kebiasaan orang yang mengkritik keadaan, cenderung tidak bisa menemukan hikmah agung dari realitas yang melintas. Kalau negeri dibanjiri kritik, apalagi kritik yang berusaha menguak aib orang lain, niscaya negeri ini tidak akan pernah bangkit dari kegelapan menuju cahaya.
Bayangkan, sudah berapa tahun negeri ini berperang dan melawan korupsi, alih-alih korupsi terkikis, malah semakin merebak luas di berbagai instansi pemerintah, baik pusat apalagi daerah, bahkan mengalami tingkat imunitas yang tak bisa disembuhkan. Orang yang pada mulanya malu melakukan korupsi juga ikut melakukan korupsi. Aneh, korupsi semakin dilawan, semakin menaik grafiknya.

Baru saja kita mengenal istilah NARKOBA, dulu orang hanya mengenal minuman keras. Semakin sering dipublikasikan, berikut tertuang larangan akan NARKOBA, bukan mengurangi pengguna dan pengedar NARKOBA, banyak orang tertarik menggunakan dan bahkan mengedarkan NARKOBA sebagai bisnis sarat gengsi. Penolakan bukan membuat orang kehilangan fokus pada apa yang ditolak, malah semakin membuat orang fokus, dan selalu memikirkankannya. Tak aneh, kalau ada orang yang bergabung dalam gerakan anti-NARKOBA juga terjebak menggunakan dan mengedarkan NARKOBA. Bukankah dia menolak akan NARKOBA, mengapa dia juga ikut tersudut di medan penuh cela dan aib itu?

Iklan rokok selain menampilkan tentang rokok sebagai gengsi, juga terselip pesan larangan merokok. Kendati ada larangan morokok, ternyata tidak mengurangi jumlah perokok di negeri ini, bahkan kian melonjak dan merambat pada komunitas remaja, bahkan anak di bawah umur. Memang, suatu yang memuat larangan memiliki daya magnet orang untuk mencobanya. Serupa dengan seorang adik yang otaknya dipenuhi rasa ingin tahu tinggi, tiba-tiba ibunya berkata padanya, “jangan kau buka lemari itu”. Kalimat larangan itu tidak menghentikan gerak anak tersebut untuk membuka lemari, malah timbul penasaran mengapa dilarang?

Kenyataan itu serupa dengan kisah sekelompok manusia yang didekati ular naga. Saat ular mendekat, mereka masih menyempatkan menghelat seminar kecil-kecilan untuk mencari solusi bagaimana menyerang ular tersebut. Seminar belum menghasilkan kesimpulan, mereka semua telah dipatok ular naga itu. Harusnya mereka tak perlu berseminar tentang ular naga, langsung saja berlari, menyelamatkan diri menuju tempat aman, dan kalau sempat datanglah pada orang yang piawai menjinakkan ular naga. Yang terpenting arahkan pikiran pada suatu yang OK saja, sehingga kita bisa melulu menyerap cahaya kebahagiaan. Setiap orang mendapatkan apa yang menjadi fokusnya. Dan hidup itu terasa indah (life is beautiful) kalau orang selalu merasa OK dengan kehidupan ini.

Dengan OK berarti orang tidak pernah bersikap resistens terhadap realitas yang terhidang di hadapannya. Mengapa harus resistens, bukankah seluruh realitas sebagai hidangan yang disuguhkan Allah? Adakah suguhan Allah yang tidak lezat, kecuali orang yang hatinya masih berpenyakitan? Allah serupa dengan koki terbaik dari setiap realitas yang terhidang di hadapan kita, dan setiap suguhan hasil racikan Allah pasti mengandung kebaikan. Mengapa kita harus resistens? Katakan OK saja pada realitas yang hadir, insya Allah kita akan menemukan berjuntai hikmah yang tergelar lewat realitas tersebut. Orang yang mencapai kematangan jiwa, selalu dengan tenang mengatakan OK pada setiap keadaan. Sosok ini tidak lagi terpengaruh dengan realitas, karena dia telah fokus pada penghadir realitas, Dialah Allah Azza Wajallah.

Khalili Anwar, Penutur dari Jalan Cahaya

Minggu, 27 Maret 2011

BENARKAH KITA TENGAH MENUHANKAN AGAMA?

Agama serupa gudang yang menyimpan kebajikan. Ya, setiap agama mengajarkan pemeluknya untuk berbuat bajik di dalam hidupnya. Kasih, cinta, dan kelembutan menjadi pengajaran agung yang disajikan agama. Agama terasa begitu sakral, suci, kudus, karenanya energi keburukan tak boleh menyelubungi agama.

Tiada cela yang bisa mengendus agama, karena agama sendiri telah mengalami kemurnian. Kendati demikian, agama bukanlah tujuan yang harus diagung-agungkan, sehingga kita terjebak menuhankan agama. Agama sebagai kanal yang disediakan Tuhan agar hamba-Nya kembali pada-Nya dengan keadaan murni berbusanakan cinta.

Kita tidak berhenti di agama sebagai sebuah istilah dan jalan, namun apa yang menjadi maksud agung dibalik kehadiran agama? Betapa sering orang cekcok karena perbedaan cara pandang dalam agama. Agama hadir tidak sebatas disadari sebagai ikon ruhani, tetapi menjadi medan kudus yang harus dialami dan direguk saripatinya.

Agama menjadi alat yang menunjukkan jalan Anda menuju Tuhan Yang Maha Agung. Serupa kendaraan, agama digunakan saat orang berjalan menuju alamat yang dituju. Mungkinkah orang masih menggunakan kendaraan, apalagi bertempat tinggal di kendaraan tersebut, kala sudah sampai pada tujuan. Karenanya saat orang berada di akhirat, ibadah sebagai jalan menuju Tuhan sudah tidak ada lagi. Yang ada sekadar medan pertanggungjawaban akan amal perbuatan manusia saat di dunia. Untuk itu, kita tidak perlu mengklaim apik dan tidak apiknya agama, tetapi apa capaian yang direguk dari agama? Adakah perubahan perilaku? Sudahkah sirna kezaliman di dalam kehidupan kita? Andaikan kezaliman dan keingkaran masih sering menjejali kepribadian kita, berarti cahaya agama belum bersinar di hati kita.

Kita menemukan sosok manusia yang bertengkar soal agama, bahkan berani melakukan kekerasan demi agama. Dia berpikir bahwa kekerasan yang dilatari agama bisa membuat wajah agama kian anggun dan memesona? Malah dengan perilaku kekerasan yang dipraktikkan para pemeluknya membuat agama kian menakutkan, sehingga orang semakin apati dengan agama. Agama itu indah, kudus, anggun, dan menyejukkan hati, kalau ada orang tidak mendapatkan manfaat apa-apa dari agama, bahkan membuat kesan agama itu hanya sumber keangkuhan, maka agama tak lagi hadir sebagai solusi jitu bagi umat.

Tak jarang, kelompok pencari masih penasaran—di tengah matinya ruh agama dalam kehidupan—mungkinkah ada agama lain yang bisa memandu umatnya menuju jalan kebahagiaan yang hakiki. Kini, banyak orang menghias agama hanya sebatas permukaan semata-mata, sehingga mudah berubah-ubah. Dia tidak berusaha menguak agama di kandungan terdalamnya, yang disana ada spirit cinta, kasih, dan kelembutan. Semua orang akan menemukan keteduhan di dalam naungan pribadi yang telah disepuh agama. Kini, kita menghadapi sebuah era paradoksal, semakin banyak orang yang bisa menghafal hadist dan al-Qur’an, hanya saja kita menemukan sedikit sekali orang yang hatinya disepuh hadist dan al-Qur’an agar bisa menjadi tempat berlindung orang yang terjerat kesengsaraan batin.

Munculnya aliran kepercayaan baru yang menyempal dari Islam, serupa dengan Ahmadiyah versi Qodian, Wahidiyah, Bestari berikut aliran nyentrik lainnya, hanya sebagai demonstrasi rasa penasaran yang menyelinap di hati mereka, mungkinkah ada ajaran selain Islam yang bisa memberikan solusi efektif di akhir zaman. Mengapa mereka disusupi distrust terhadap Islam? Lantaran, para pemeluk Islam, terlebih orang yang dipercaya menjaga nilai-nilai agama, ternyata tidak memiliki komitmen kuat untuk menegakkan agama dalam kehidupan.

Tak jarang, kita temukan kyai, alih-alih komitmen terhadap nilai-nilai, mereka cenderung komitmen terhadap materi duniawi. Orang bisa mereguk kedamaian manakala telah berhasil melepaskan diri dari keterikatan duniawi? Sementara kyai yang begitu terikat dengan kehidupan duniawi yang semu ini, justru dia keluar dari gerbang kedamaian menuju gerbang kesengsaraan. Kalau demikian, bagaimana orang yang tidak digenangi kedamaian di hatinya bisa berbagi kedamaian pada kemanusiaan?

Andaikan merebak aliran baru, kyai tidak hanya berteriak keras menentang ajaran tersebut, tetapi harus bisa menggali akar permasalahan meruyaknya serbaneka aliran tersebut. Boleh jadi, kharisma ulama kini telah memudar, lantaran memiliki spirit serupa pebisnis dan pengusaha yang mengarahkan hidupnya untuk menangguk uang sebanyak-banyaknya.

Selain itu agama hanya menjadi simbol-simbol luaran, belum menghunjam sebagai spirit agung dalam setiap jiwa manusia। Kita terpesona dengan cangkang agama, dan menganggap setiap cangkang mewakili mutiara. Padahal, tidak setiap cangkang berisikan mutiara. Ketika agama sudah lepas dari ruhnya, berupa cinta, niscaya agama tidak kembali memiliki kekuatan.

Untuk itu, agama tak hanya mengandung syariat, tetapi juga hakikat. Kini, orang repot mengurus syariat agama, tetapi tidak berusaha menyelam kemurnian agama yang menghidupkan. Apa kiranya pesan yang terliput dalam shalat, sudahkah kita merealisasikan pesan murni yang terkandung dalam shalat berupa syukur? Sudahkah kita berlatih mengekspresikan syukur di setiap berkunjungnya realitas?

Demi bisa menguatkan kembali spirit agama, kita dituntut menghidupkan hakikat agama। Karena itulah, ruh agama। Ruh agama itu mewujud sebagai akhlak. Orang yang telah mencapai hakikat agama, perlahan-lahan akan mengalami pertumbuhan pesat, yang kemudian melahirkan buah, yakni akhlak yang mulia. Jika buah agama berupa akhlak telah menghias kehidupan pribadi mukmin, insya Allah setiap perilaku yang ditampilkan hanya kelembutan dan memesona setiap orang. Hanya orang-orang berbuah yang gampang memesona orang untuk mengikuti jalan yang ditempuhnya. Nabi pun menebarkan agama tak hanya dengan retorika belaka, dikombinasi dengan akhlak yang luhur. Betapa banyak orang yang terpikat masuk Islam lantaran kemuliaan dan keagungan akhlak yang membalut pribadi Nabi Muhammad Saw. Insya Allah.


Khalili Anwar, Penutur dari Jalan Cahaya

KAFIR DALAM CINTA

Manusia telah dianugerahi cinta hakiki di lubuk hatinya. Cinta itulah yang mengilhami manusia menuju istana kebahagiaan. Namun, kendati jiwa telah lekat dengan cinta, kebanyakan manusia salah tafsir tentang cinta, karenanya mereka sering dikendalikan oleh hawa nafsu. Yang subur adalah cinta yang menyeruak dari lubang hawa nafsu, bukan hati nurani. Tak ayal, cinta yang mengejawantah bukan cinta yang turut membuka gerbang kebahagiaan, malah mencaploknya ke dataran penderitaan.

Karena salah merespons seruan cinta yang bergema dari jiwa, mereka sering terjebak pada cinta yang bermula dari tarikan eksternal. Setiap keindahan, kenyamanan, dan kesenangan yang bersifat eksternal dipandang sebagai suatu yang harus dicintai. Mereka men-surfing kebahagiaan di tataran eksternal. Bagaimana mungkin orang bisa menggapai kebahagiaan lewat kondisi eksternal, bukankah di tataran eksternal selalu terbatas, membosankan, dan fana’. Memang, kalau orang melulu dipicu oleh ketertarikan eksternal, ia tidak bisa mereguk kebahagiaan abadi dan hakiki.

Betapa sering kita temukan orang yang mencintai harta benda, sehingga dia mengorbankan seluruh waktu dan tenaga untuk pencapaian harta benda itu. Kemewahan dan kemegahan yang dijanjikan harta benda, telah membuatnya lalai, dan tak tahu arah kemana perahu kehidupannya harusnya berlayar. Dia terus berputar-putar di tengah lautan ketidakpastian, dan digerogoti perasaan kurang yang terus-menerus. Bayangkan, 24 jam terasa kurang baginya untuk memburu harta, tak ayal seluruh waktu dihabiskan untuk mendulang harta yang melimpah, walau pada hakikatnya semakin mengempis dan mengurang.

Saya pernah bertanya pada seorang penjaga warung. Warung itu dijadikan pusat cangkruk anak muda. Memang, warung itu tidak pernah sepi dari remaja yang suka kongkow-kongkow. Dia selalu disibukkan dengan pengunjung yang datang. Saat sepi, saya mampir ke tempat tersebut, sembari memesan secangkir kopi.

“Bagaimana keadaan warungnya, rame ya mas?” tanyaku, “Alhamdulillah, tidak pernah sepi dari pengunjung, kendati tidak berdesak-desakan,”balasnya santun. “warung ini dibuka selama berapa jam sehari?”kembali kubertanya.
“24 jam mas, non stop,” katanya dengan gaya santai anak muda.
“emang yang jaga berapa orang mas?” selaku.
“ada 2 orang mas, jadi gantian pagi dan sore,” ucapnya.
“Bagaimana dengan ibadahnya, apa ada kesempatan?” tanyaku.
“Waduh mas, waktunya tidak cukup untuk beribadah,” katanya dengan dahi mengerut, walau terlihat tanpa beban.
“Mas, kita di dunia hanya sementara mas, hanya numpang ngombe, selebihnya kita di akhirat. Imbangilah mas investasi dunia dan akhirat,” kataku.
“Insya Allah Mas,”tanggapnya.

Kala otak dan hati telah tertembus virus duniawi, membikin orang lupa pada persoalan ukhrawi. Mereka melakukan itu, karena memandang duniawi lebih penting ketimbang ukhrawi. Bukankah duniawi sebagai tuntutan ril di hari ini. Semakin nampak peran kedudukan duniawi saat ini. Cinta akan menggerakkan orang padanya. Ketika orang mencintai dunia, maka dia akan selalu digerakkan untuk menambang sebanyak-banyaknya kekayaan duniawi.

24 jam yang disediakan Tuhan dirasa kurang bagi orang yang hanya tertuju pada duit dan duit. Betapa sering orang tidak bisa menikmati harta benda yang telah berada di genggaman. Dia hanya menyimpan seluruh perolehan harta itu di bank, sembari terus memburu harta sebanyak-banyaknya. Padahal tiada kenikmatan yang dianugerahkan pada manusia kecuali untuk dinikmati. Kenikmatan itu harusnya dinikmati sebagai kebutuhan sehari-hari, dinikmati untuk menumbuhkan kelembutan hati dengan memberikannya pada sesama. Kala orang telah terjebak dalam mencintai selain Allah, pasti dia tidak bisa mereguk kebahagiaan yang hakiki. Semuanya hanya sebuah ilusi yang karenanya ia gampang digerogoti perasaan bosan.
Kini, dengan uang yang dimiliki dia bisa membeli mobil yang paling mewah, tetapi berapa lama dia bisa menikmati keindahan mobil tersebut? Setelah lama dia menggunakan mobil tersebut, diam-diam menyembul rasa bosan, apalagi jika meluncur tipe mobil baru yang lebih mewah serta menawarkan kenyamanan super।

Jadi, orang tidak akan pernah menemukan kebahagiaan yang hakiki dan abadi pada suatu yang semu dan sementara। Maka hati ini sejatinya hanya mencintai satu, yakni Allah SWT. Sementara kecintaan pada dimensi lain sebagai ekspresi atau refleksi dari rasa cinta pada Allah. Itu berarti, mencintai dunia tidak terlarang, sepanjang cinta dunia itu didasari rasa cinta yang kuat pada Allah SWT. Bercintalah karena Allah, niscaya Anda tidak pernah disergap perasaan kecewa setiap saat.

Andaikan orang yang kau cintai tidak berperilaku seperti yang Anda harapkan, ketenangan tidak pernah terungkit dari hati Anda. Karena ketenangan Anda disandarkan pada Allah SWT. Ingat perasaan cinta pada sesuatu selain Allah, akan membawanya pada keadaan yang selalu dirundung perasaan cemas. Cemas, jika yang dicintai hilang dan lepas darinya. Kita terlalu mencintai harta, diam-diam mengalir perasaan cemas, bagaimana kalau hartanya itu lepas bahkan hilang. Kendati harta itu telah diamankan di bank, pasti sedikit ada kecemasan, bagaimana kalau bank itu mengalami pailit, sehingga tidak bisa memenuhi hak-hak nasabah dengan baik. Namun, berbeda orang yang mencintai sesuatu karena Allah, maka dia menyerahkan apa yang dicintai pada Allah, menyerahkan penjagaannya pada Allah. Bukankah benteng Allah begitu kokoh untuk menjaga setiap apa yang hendak dijaga.

Jadikan Allah sebagai poros kecintaanmu, dan perasaan cintamu yang lain tidak boleh lepas dari poros ini agar kau selalu selamat dalam bercinta. Ingatlah, kalau kau benar-benar mencintai Allah, maka kau selalu menyatu dengan kehendak Allah. Andaikan Anda lepas dari apa yang kau cintai, kau tidak pernah mengurangi stok cintamu pada Allah. Karena Allah melakukan seperti itu juga dilandasi cinta, hanya saja saking lembutnya rahasia dibalik perbuatan itu Anda belum mampu meradar makna cinta dibalik perbuatan tersebut. Pandanglah setiap realitas dengan cinta, maka rahasia-rahasia suci dari Allah akan mengalir dibalik realitas itu, sehingga Anda bisa terus menangguk air kearifan dimana saja. Insya Allah.

Khalili Anwar, Penutur dari Jalan Cahaya