Selasa, 26 April 2011

TELAGA CINTA

Kehidupan di bumi tak akan berlangsung tanpa tersedianya air. Hasil riset mengemukakan, 80% tubuh manusia terdiri dari air. Itu artinya, air tak bisa dipisahkan dari kehidupan manusia, bahkan kehidupan bumi ini terus terjaga lantaran adanya air yang diturunkan Allah.
Seperti diurai pada tulisan sebelumnya, air hanyalah metafor dari cinta. Jika bumi ini tidak dialiri spirit cinta, masihkah di bumi ada kehidupan. Tak bisa dibayangkan kalau Arsy berada di atas air. Singgasana Allah berada di atas air (cinta)

“dan Dia-lah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, dan adalah singgasana-Nya (sebelum itu) di atas air, agar Dia menguji siapakah di antara kamu yang lebih baik amalnya…” (QS. Hud [11]: 7)

Maka, kalau hati kita ingin dijadikan ‘arsy Allah, jadikanlah hati dipenuhi dengan cinta tanpa syarat dan tanpa batas.

Bayangkan, bagaimana potret sebuah negara—sebagai lingkup yang kecil—yang miskin dengan cinta, niscaya akan timbul kerusakan dan demoralisasi di berbagai lapisan masyarakat. Pejabat sudah saling curiga diantara pejabat, pengusaha juga mencurigai sesama pengusaha, di masyarakat juga merebak distrust terhadap pejabat publik. Ketercukupan materi tanpa disertai cinta, kehidupan berjejal dengan kebencian, karena seluruh masyarakat berorientasi individualisme. Dampaknya, gunung kebahagiaan negeri gampang tergerus. Bahkan boleh jadi akan menyeruak kekacauan sosial yang tak tertangguhkan.

Kini, di sebuah negara yang hampir mengalami kerusakan di setiap struktur, dirasa perlu kebangkitan spirit cinta, agar masyarakat Indonesia bisa kembali mereguk kebahagiaan dari telaga cinta. Cinta dirintis oleh orang-orang yang telah dianugerahi cinta, yakni yang telah memeroleh kedekatan cinta pada Allah SWT, seperti ulama’. Ulama selaku hati (pusat kekuatan spiritual) umat dan bangsa dituntut rajin mengakses air cinta agar nantinya bisa mendonasikan kasih. Bukankah hanya hati yang telah tergenangi kasih yang bisa berbagi kasih dengan kehidupan? Serupa dengan orang yang punya uang yang bisa berbagi uang.

Ketahuilah, keagungan pribadi manusia bertaut dengan keluasan medan cintanya. Jiwa yang telah digenangi spirit cinta, akan terbang tinggi, dan semakin jauh dari gravitasi duniawi. Manakala manusia terlalu cinta pada duniawi, berarti tidak akan terpantik rasa kasihnya pada kehidupan. Lenyapnya cinta duniawi dalam hatinya akan membawa orang terbang menuju istana-istana kebahagiaan dan kemuliaan. Keagungan jiwa manusia bergantung seberapa jauh dirinya dari gravitasi duniawi, tidak terikat dengan duniawi. Kehidupan duniawi telah berada dalam kekuasaannya.

Bangsa ini mengenal gelar-gelar agung yang disematkan pada tokoh-tokohnya, seperti Hamengku Buwono, Paku Alam, Raden, Ngabai dan beberapa gelar lainnya. Hamengku Buwono berarti pemangku jagat. Inilah sosok yang bisa mengemong jagat, dan jiwanya telah dibasuh sehingga luntur dari kotoran keakuan. Paku Alam, salah satu gelar yang disematkan pada Kanjeng Sunan Giri, sosok yang diserahi sebagai tiang jagat. Beliau dihadirkan sebagai pemelihara agar kehidupan tetap berjalan secara seimbang. Raden berasal dari kata roh adi, atau jiwa yang besar.

Siapapun yang merasa mendapatkan julukan Raden harusnya memiliki jiwa besar, dan hidup yang dijalani bukan untuk dirinya, tetapi dipersembahkan bagi kehidupan. Andaikan kita menemukan ada seorang bergelar Raden, namun hidupnya hanya dibaktikan bagi diri dan keluarganya, berikut menutup diri dengan lingkungan sosial, maka tanpa disadari gelar raden telah tercopot darinya. Pribadi yang telah bergelar Raden adalah sosok orang berjiwa besar, yang tak gampang menyerah dengan keadaan. Memiliki semangat membaja untuk menggapai cita-cita hidup yang mulia.

Orang yang berjiwa besar serupa dengan rumah besar yang bisa memasukkan banyak orang. Kalau hanya kamar kecil, tentu saja hanya sedikit orang yang bisa masuk ke ruang tersebut. Andaikan dia membongkar kamar itu, kemudian disulap menjadi aula yang begitu besar, makin banyak orang yang bisa berhimpun di ruang itu. Seorang raden tidak hanya memiliki jiwa seluas aula pertemuan, tetapi memiliki jiwa seluas ruang yang mampu merengkuh seluruh kehidupan.
Raden bisa juga disebut sebagai Adiatma, yakni jiwa yang besar. Kebesaran jiwa bukan terkait dengan prestasi-prestasi yang digapainya, tetapi seberapa luas medan cinta yang menghias hatinya, terlihat semakin luas medan kontribusinya bagi kehidupan. Ia pun gampang memaafkan orang, tidak pernah menyimpan kebencian apalagi dendam di dalam hati. Adiatma memancarkan kekuatan cinta pada bangsa, bahkan seluruh umat.

Adapun yang lebih agung dari Adiatma adalah Mahatma, berarti jiwa yang agung. Boleh jadi, secara fisik dia bukanlah masuk orang gagah, tetapi cintanya meresap ke seluruh bangsa. Ia tidak ingin meletup kezaliman di medan kemanusiaan, sehingga tergerak untuk berjuang menghapus segala bentuk kejahatan di dunia dengan cara-cara kelembutan. Sosok ini tak sempat berpikir tentang dirinya, dia tetap menjalani hidup supersederhana, sembari dia memancarkan kasih tanpa batas pada kehidupan. Bahkan dia memilih menghadirkan cinta pada orang yang nyata-nyata menebar kezaliman.

Dia meyakini menghapus penjajahan tidak harus dengan kekerasan, dengan kelembutan pun bisa menyingkirkan penjajahan, terlebih jiwa penjajah yang melekat di hati manusia. Serupa dengan cahaya yang melulu hadir untuk menerangi kehidupan, walhasil dengan sendirinya kegelapan menjadi sirna. Jiwa Mahatma lekat dengan waliyullah yang hatinya hanya digenangi kasih sayang tanpa batas pada kehidupan. Dia telah menjelma sebagai telaga-telaga kecil yang tersambung pada telaga besar, yakni telaga Sayyidina Muhammad Saw yang air cintanya merembes ke seluruh semesta.

Peringkat yang lebih agung dari Mahatma adalah Wijayatma, jiwa successful, sosok yang telah berbalutkan cahaya kesempurnaan. Jiwa ini meliputi Nabi Muhammad Saw. Inilah telaga al-Kautsar yang kita kenal lewat hadist. Dimana kala mereguk telaga al-Kautsar ini, maka manusia tidak akan lagi dilanda kehausan. Telaga al-Kautsar semacam telaga cinta Rasulullah Muhammad Saw yang memenuhi jagat semesta, hanya manusia-manusia yang telah dihinakan yang gagal mereguk telaga cinta Sayyidina Muhammad Saw.

Diriwayatkan, telaga al-Kautsar tersambung dengan telaga Haudh yang ada di luar surga, dan digambarkan pula bahwa di pinggir telaga al-Kautsar tersedia cangkir-cangkir untuk menyauk air yang ada di telaga al-Kautsar. Ketahuilah, telaga Haudh juga bersumber dari telaga al-Kautsar, itulah telaga Nabi Muhammad Saw. Orang yang telah digenangi cinta, berarti dia telah tersambung dengan telaga cinta semesta, Dialah Nabi Muhammad Saw. Walau demikian, seluruh air itu akhirnya akan bermuara pada laut, itulah yang disebut dengan lautan ketunggalan (bahrul wahdah), Allah SWT.

Jika manusia telah meminum telaga Haudh, maka dia tak akan lagi tertimpa kehausan. Siapa yang bakal ditimpa penderitaan, jika hatinya hanya dipenuhi cinta dan kasih sayang. Bukankah cinta turut menghapus seluruh kegelisahan, kecemasan, dan kedukaan bagi setiap manusia? Yang terbit dari cinta hanya kebahagiaan tanpa batas.

Bagaimana kita bisa mereguk air telaga Haudh itu. Kita bisa mereguk telaga haudh (cinta) tersebut dengan cara menanggalkan keakuan, karena yang membendung kita untuk bisa mereguk cinta itu hanyalah keakuan. Demi bisa menjebol bendungan keakuan, maka air cinta itu akan mengalir deras ke dalam hati kita. Kian terkikis keakuan, semakin banyak cinta yang mengalir ke hati kita, pun semakin banyak kasih sayang yang bisa kita donasikan pada sesama dan kehidupan. Ketahuilah telaga Haudh itu berada dalam diri kita sendiri, di saat kita telah digenangi air cinta. Dan kalau kita telah digenangi cinta, maka kita bisa mengalirkan cinta pada hati yang lain, berikut menginspirasi orang untuk bisa menemukan telaga cinta di dalam dirinya sendiri.

Kini tugas kita, menjebol keakuan, agar kita tersambung dengan telaga cinta Nabi Muhammad Saw, sehingga kita bisa menjadi telaga-telaga kecil yang turut merembeskan cinta kemana-mana.

Syaikh Muhammad Dhiyauddin Qushwandhi
Pentranskripsi: Khalili Anwar

IZINKAN KELEMBUTAN BERBICARA


Kini, kita berada di medan kehidupan yang begitu gersang dan tandus, ditandai semakin tergerusnya spirit kasih sayang di tubuh bangsa ini. Kebanyakan orang didorong gairah pemenuhan kepentingannya sendiri-sendiri. Kehidupan nafsi-nafsi telah merebak di seluruh sendi-sendi sosial. Mungkinkah ini pertanda kiamat akan segera menyapa kita?


Kita temukan di berbagai dimensi kehidupan diranggasi kegersangan jiwa, diliputi permusuhan tak berkesudahan, informasi yang ditebar media minus pesan-pesan empatik yang menyejukkan hati. Kita lebih sering mendapatkan asupan “informasi api” yang membakar, ketimbang air yang menyejukkan. Apakah ini menandai semakin membatunya hati manusia, padahal batu yang dipukul oleh Nabi Musa AS saja bisa memancarkan air yang menyegarkan tenggorokan? Apakah dari hati manusia tak lagi berpeluang dihadirkan air yang menyejukkan ruhani, membuat jiwa bisa bertumbuh?


Bisa dijelajah bagaimana kondisi kemanusiaan saat ini. Ditilik dari ekonomi, kita hanya mendapati suguhan konglomerasi yang kian menuhankan ekonomi. Tak jarang, kelompok berekonomi kuat dengan mudah mengganyang kelompok berekonomi lemah. Politik pun dipenuhi dengan fitnah tak berkesudahan. Kawan seperjuangan bisa menjerat teman sendiri. Sungguh, kekuasaan telah melumpuhkan kemanusiaan, yang berbicara setiap saat hanya uang dan kekuasaan. Bahkan, tak bisa dibayangkan agama juga ditampilkan dengan wajah yang keras, menakutkan, seperti monster yang siap mencabik-cabik manusia yang berlaku jahat. Ringkasnya, seluruh sisi kehidupan telah diliputi kegelapan yang kian pekat. Kalau demikian, dari mana cahaya kasih itu bisa kita peroleh? Bagaimana kita bisa menumbuhkan hati yang tandus dari kasih sayang? Apa yang membuat hati tandus?


Benih cahaya kasih telah disediakan dalam diri manusia, hanya karena tertindih pengaruh eksternal yang lebih besar, walhasil benih kasih ini tidak tumbuh dengan baik. Malah, yang tumbuh adalah benih-benih keras yang memandu manusia menuju ketidakbahagiaan. Watak keras muncul dikarenakan manusia merespons keadaan dengan cara sporadis agar bisa berubah secepatnya. Padahal, menegakkan agama memerlukan kesabaran dan kekuatan hati. Orang kuat bukan orang yang gampang mendaratkan pukulan pada pelaku yang berbuat ingkar, tetapi orang yang mampu menahan diri untuk tidak mendaratkan pukulan, malah dia mencurahkan kasih sayang tanpa tepi.


Sumber cahaya kasih tersedia dalam diri manusia. Makin sering kita menggali kedalaman diri, maka akan ditemukan cahaya kasih dalam diri kita. Tidak terpantiknya spirit kasih dalam diri lantaran kita lebih sering fokus pada sisi eksternal. Kalau cahaya kasih itu bersumber di dalam diri kita, bagaimana cara menguak the power luar biasa itu? Pertama, mengontrol pikiran. Demi merealisasi cahaya kasih dalam diri adalah dengan mengontrol pikiran, bukankah pikiran ini yang menjebak manusia dalam jalinan dualitas yang tak berujung. Jika Anda berhasil melampaui pikiran, artinya tak lagi dikuasai pikiran, insya Allah Anda bisa menguak potensi cahaya kasih dalam diri Anda. Pelampauan Anda terhadap pikiran akan membuahkan damai yang kemudian mengkristalisasi sebagai kasih dalam diri Anda. Ketika kau melampaui pikiran, akan Anda temukan hidup yang hampa kepentingan diri, hati tak lagi dikotori kepentingan individu. Bukankah kepentingan individu inilah yang menjebak manusia ke lembah kesengsaraan? Manakala manusia telah berhasil menyisihkan kekuatan individualism yang mematahkan jaringan-jaringan kasih dalam dirinya, disana akan tumbuh cinta yang membawanya terbang menuju cahaya kebahagiaan tak bertepi.


Kedua, bertindak mengikuti hati nurani. Tindakan berdasarkan hati nurani insya Allah akan selalu menunjukkan manusia ke istana kebahagiaan. Sekali Anda mengikuti suara nurani, kau bakal dicurahi ketenangan dan kedamaian di dalam jiwamu, karena kau berhasil mengalami simfoni atau keserasian ke dalam. Hati nurani seperti cahaya, kalau kau menyalakan setitik cahaya, perlahan-lahan cahaya itu kian membesar, menerangi medan sekitarnya. Cahaya itu menjadi petunjuk yang akan mengantarkan Anda melewati cahaya yang lebih agung, yang pada akhirnya akan sampai pada Cahaya Di Atas Cahaya, selaku sumber dari seluruh cahaya.


Pengikut cahaya akan diperjumpakan dengan cahaya. Dan cahaya itu sejatinya selalu menyala dalam diri manusia, namun kadangkala manusia tidak terlalu tertarik dengan cahaya itu. Dia lebih tertarik dengan petunjuk kegelapan yang menjanjikan kesenangan sementara. Adapun jalan cahaya harus melampaui proses pendakian yang begitu panjang, seperti halnya Nabi Musa AS yang berjalan menuju cahaya yang ada di bukit Tursina. Pada mulanya, cahaya itu terlihat kecil, tetapi setelah didekati cahaya itu kian membesar, semakin dekat dia tertelan oleh cahaya itu, dan akhirnya dia tersungkur di depan cahaya itu. Berlatih setiap hari, Anda mengikuti petunjuk cahaya yang ada di dalam dirimu, berupa hati nurani, agar engkau perlahan-lahan bisa bertemu dengan sumber cahaya itu.


Ketiga, menerangi hati dengan zikirullah. Zikir berfungsi sebagai penerang bagi medan hati yang dikuasai kegelapan. Pun bisa melembutkan hati yang kesat membatu. Zikir yang dimaksud tidak sembarang zikir, tetapi zikir yang diwariskan dari seorang guru yang memiliki pertalian keilmuan hingga Sayyidina Muhammad SAW. Kekuatan zikir telah merubah Sayyidina Umar bin Khattab ra yang berperangai keras dan temperamental menjadi sosok yang lembut dan lekas menangis. Zikir amat ampuh untuk melunakkan hati yang keras, selain telah mendapakan ijazah dari guru yang memiliki pertalian rahasia zikir hingga Sayyidina Muhammad Saw, juga dijalani secara istiqamah. Ketekunan atau istiqamah berzikir menjadi jembatan untuk mengukir hati yang lembut, berikut membentuk perangai dan perilaku yang memesona.


Bagi pemula, diawali dengan menekuni zikir pagi-petang. Zikir pagi petang akan menghapus seluruh kegelapan hati, diganti dengan cahaya damai. Zikir pagi-petang yang ditekuni dengan serius begitu ampuh menghilangkan pelbagai bentuk kotoran yang melekat di hati, berupa kedengkian, riya’, dan sombong. Ingatlah, sesungguhnya kegelapan yang berarak di dalam hati adalah berupa sifat dengki, riya’, sombong. Tiga tentara kegelapan itu bisa dimusnahkan dengan kekuatan zikir yang istiqamah.

Tiga cara yang disodorkan, berupa mengontrol pikiran, mengikuti hati nurani, dan menekuni zikir pagi petang, bisa menjadi suluh cahaya yang segera menerangi mata batin kita, dan akan membentuk perangai, perkataan, dan perbuatan melulu diliputi kelembutan. Insya Allah.

Khalili Anwar, Penutur dari Jalan Cahaya

Selasa, 19 April 2011

KATA

Berkata terasa mudah. Menurut orang bijaksana, “belajar berkata lebih mudah ketimbang belajar mendengarkan.” Siapa yang sering berkata, semakin banyak ihwal dirinya yang terbabar pada orang lain, sementara orang yang tekun mendengarkan semakin kaya pemahamannya tentang orang lain, berikut kian mendalam kepekaannya pada sesama. Yang diucapkan dan didengarkan sama-sama kata, tetapi setiap kata mencerminkan keadaan hati. Bahkan semakin banyak orang berkata, semakin banyak kesalahan yang terlontar.

Sayyidina Ali Kw berdawuh, “kalau kau hendak menakar nilai seseorang, bisa dilihat dari kata-kata yang dilontarkan.” Dengan kata, popularitas dan kemuliaan seseorang menjulang tinggi, dengan kata pula kehinaan dan kenistaan gampang menindih seseorang. Makanya, kita harus berhati-hati dalam berkata. Dan kata yang sulit dikelola adalah kata-kata yang terucapkan lewat lisan. Kalau kata yang dituliskan, mungkin masih bisa dikelola, karena masih bisa memasuki tahap editing penulisnya. Tapi, apakah engkau bisa meng-edit ulang kata-kata yang sudah terlontar, dan kadung sudah terdengar telinga orang lain?

Kata-kata seakan sebuah ejaan yang sederhana, tetapi mengandung muatan yang bernilai tinggi, tetapi juga menghimpun kehinaan yang begitu rendah. Bermula dari kata-kata, dua remaja bisa menjalin hubungan kasih. Keduanya bermain dan saling berbalas prosa dan kata-kata sastra, pun bermula dari kata kedua remaja itu putus cinta, bahkan mengalami broken home. Kata cinta yang terucapkan lewat lisan mengundang cinta bagi sesama, tetapi kata-kata kebencian akan membuahkan permusuhan. Betapa anggunnya orang yang selalu berusaha menularkan kata-kata cinta yang meneguhkan jiwa, menyalakan optimisme, dan membuka gerbang kesadaran setiap manusia. Kata memberikan efek yang besar, Ir. Soekarno bersama kawan-kawannya mendulang kemerdekaan Indonesia lewat kekuatan kata-kata yang menggugah spirit kebangsaan pada jiwa bangsa Indonesia, berikut membikin penjajah gentar.

Di medan keagamaan, kata-kata juga sangat dihargai. Hanya dengan mengucapkan dua kalimat syahadat orang telah ditahbiskan sebagai muslim, dan kalau dia mengingkari kedua kalimat syahadat langsung dicap sebagai syirik, bahkan kafir. Sepasang lelaki-perempuan yang haram berhubungan merubah menjadi halal karena diikat dengan kata-kata yang tersimpul dalam akad nikah. Pun demikian, sepasang suami-istri menjadi haram berhubungan karena diputus oleh kata pula, yakni kata cerai.

Sepatutnya kita berhati-hati melontarkan perkataan, karena bisa berpengaruh pada nasib kita sendiri. Sepadan dengan sabda Nabi Muhammad Saw, “Barangsiapa yang beriman pada Allah dan hari akhir, maka berkatalah yang baik, atau diam.”

Rasulullah Muhammad Saw adalah sosok terdepan di kalangan orang alim di bumi ini, beliau menyabdakan hal itu dilatari pemahaman yang mendalam soal kekuatan kata. Kata yang dilontarkan tak bisa ditarik lagi, serupa dengan menjilat kembali ludah yang kadung menyemburat ke wajah orang lain. Bagi orang dewasa, kata-kata bengis dan sarkastis lebih menyakitkan ketimbang pukulan tangan. Kalau pukulan tangan mungkin hanya sekadar menyakiti tubuh, tetapi kata-kata bengis bisa menyakiti pusat kesadaran manusia yang bernama hati. Sementara orang yang menyakiti hati manusia, tanpa disadari telah merobek-robek rumah Allah yang bertempat pada diri hamba-Nya.

Kita tak hanya belajar agar terampil berbicara, tetapi juga terampil mengendalikan setiap pembicaraan. Harapannya, setiap kata yang terlontar bak mutiara yang menyuguhkan kebahagiaan di hati setiap manusia, atau seperti embun pagi, kendati sedikit tetapi membuat seluruh tubuh menjadi sejuk. Kecerdasan seorang bukan diukur dengan panjangnya kata-kata yang diungkapkan, tetapi seberapa menggugah dan merubah kata-kata yang dilontarkan. Betapa indahnya, orang yang dialiri perkataan yang penuh kharisma dan menginspirasi orang menuju kedekatan pada Allah SWT.

Walau demikian, kau jangan terlalu berharap banyak pada kata yang dirakit lewat tulisan ini, karena belum tentu kebaikan berhimpun di dalamnya. Kau tetap memahami kebaikan kata lewat suara hatimu yang murni. Semoga kita diselamatkan dari perkataan yang menerkam kita sendiri. Insya Allah.


Khalili Anwar, Penutur dari Jalan Cahaya

Minggu, 03 April 2011

BOLEHKAH PUTUS ASA?

Seorang adik yang belum lulus kuliah berkunjung ke kos-kosan, sembari meminta nasihat ringan dari hamba yang bodoh ini. Dia terbilang remaja yang bisa dibanggakan, karena dengan keberanian tinggi melanjutkan studi ke kota, tanpa meminta dana dari orang tuanya. Kini, dia semester akhir—setiap semester akhir mengandung rahasia, biasanya tinggal skripsi—di sebuah kampus yang pernah mendidik hamba. Dia sedang berpikir keras bagaimana bisa menyelesaikan kuliahnya untuk mempersembahkan suatu yang turut membanggakan orang tuanya. Hanya saja dia terhambat masalah finansial, sehingga dia memutuskan untuk mengambil cuti kuliah dalam waktu yang belum ditentukan. Karena memandang finansial sebagai kendala, dia menjelajah perusahaan yang mungkin menyediakan lowongan, siapa tahu ada yang mau menerimanya.

Dia meminta tolong hamba untuk mencarikan lowongan kerja. Ada sebagian teman yang hamba hubungi, mungkin memiliki daftar lowongan kerja. Maklum, hamba juga tidak pernah menginjakkan kaki di dunia kerja. Kecuali kalau ke sawah, hamba sudah berpengalaman menginjak-injakkan kaki hingga berjamur. Dalam proses mencari lowongan, dia bercerita ringan pada hamba. Dulu, pada saat masih aktif di organisasi mahasiswa—tepatnya HMI—dia menggapai karir yang melambung tinggi, seakan bisa menjaga jangkar idealisme yang dibangun sejak remaja. Setelah lepas dari dunia organisasi kemahasiswaan, dia merasa disalip teman-teman sebayanya, terkait dengan pertumbuhan ekonomi. Kini, dia menyadari berada di dunia ril, karenanya harus berpikir ril. Dia merasa tak boleh lagi terpasung oleh idealisme. Memang, kebutuhan perut cenderung tidak mengenal idealisme.

Teman sebayanya bisa mengalami laju ekonomi yang cepat, lantaran disupport oleh seniornya yang pernah mendidiknya di organisasi dulu. Sementara dia masih terbilang stagnan, dan tak mendapatkan support oleh karena dia dikenal sebagai pribadi yang terlalu vocal, kritis, dan keras terhadap keputusan yang bersinggungan dengan spirit idealisme. Dia mengira, orang idealisme akan mati masa depannya, dan orang yang mampu menangkap realitas dengan jiwa oportunis akan bisa bertahan.

Dia bercerita, ada salah satu temannya yang telah berhasil membuka gerai usaha Loundry tanpa modal pribadi sedikit pun. Murni support dana dari seniornya di HMI. Sekarang, bisnis temannya tersebut mengalami perkembangan yang begitu pesat. Demi melihat kenyataan itu, dia menyesal dengan sikap keras yang ditampilkan saat berorganisasi, andaikan tidak terlalu vocal dan kritis, dia berasumsi akan mendapatkan kesempatan yang sama seperti temannya itu.

***

Hamba terus mendengarkan dengan seksama setiap untaian kalimat yang disampaikan. Dia mengira, andai tidak bersikap kritis terhadap seniornya, akan mendapatkan nasib sama seperti yang diterima temannya. Kata “andaikan” sepertinya sudah tidak cocok lagi bagi orang yang hendak melaju cepat ke depan. Dengan kata “andaikan” inilah orang telah menyediakan dirinya dibajak oleh masa lalu. Masa lalu janganlah dijadikan tujuan, hanya tempat bercermin agar kita terus melangkah dengan jiwa besar menuju masa depan yang terang-benderang.
Hamba hanya menyampaikan, orang yang hidup berdasarkan nilai-nilai akan menemukan kemerdekaan dan pembebasan. Bukankah yang diharapkan manusia hanyalah kemerdekaan dan pembebasan? Bahkan manusia diciptakan oleh Allah untuk mengalami pembebasan. Pembebasan disini dalam konteks pembebasan ruhani dari belenggu-belenggu duniawi. Orang yang telah mengalami kemerdekaan ruhani akan terbang di cakrawala tanpa batas, dan selalu menyatu dengan pengalaman-pengalaman indah yang tak terlukiskan. Kalau Anda mendapatkan nasib buruk lantaran idealisme Anda, berarti Anda diperkuat agar tetap berada di jalan benderang. Kalau Anda mendapatkan nasib baik karena Anda telah mencopot idealisme Anda, berarti di depan Anda tersedia jebakan-jebakan yang membuat Anda akan tertimbun di dalamnya. Lebih dari itu, kata hamba, janganlah Anda menganggap nasibmu hari ini sebagai suatu yang permanen, buntet, minus perubahan. Stagnan. Anda tetap bertumbuh menuju pembuahan.

Manusia, serupa pohon, bertumbuh terus yang pada ujungnya berbuah. Manusia juga dilahirkan ke bumi agar bisa berbuah. Kalau manusia sudah berbuah, dia hanya berusaha berbagi pada kehidupan ini. Kalau Anda merespons keadaan hari ini dengan positif, sembari terus berusaha, perlahan-lahan Anda akan mengalami pertumbuhan berikut berbuah. Memang semuanya memerlukan latihan dan keteguhan hati. Orang yang keyakinannya goyah tidak akan mengalami pertumbuhan yang pesat. Pun, orang tidak bisa berbuah jika tidak terpandu tujuan yang jelas plus istiqamah. Serupa dengan pohon, ia akan mengalami pertumbuhan jika akarnya menghunjam ke tanah, dan menetap di medan tersebut. Kalau pohon itu dipindah ke tempat yang lain, justru akan mempersulit pertumbuhan.

Kita telah dianugerahi pengenalan akan talenta, potensi, dan keterampilan yang dikarunia Allah, tinggal apakah kita serius mengeksplorasi dan menekuni bakat inti tersebut atau tidak? Kalau Anda telah mendeteksi diri berbakat sebagai negosiator bisnis misalnya, maka Anda bisa melatih kemampuan tersebut secara serius. Anda menemukan bakat itu mengalami aktualisasi secara luar biasa, sehingga bisa menebar manfaat yang luas bagi kehidupan. Yang penting kita terus bertumbuh sejalan dengan bakat, potensi, dan karakter khas yang ada pada diri kita. Jika orang mengenali betapa melimpahnya anugerah Allah yang dikaruniakan pada dirinya, niscaya ia tidak akan disalak perasaan bimbang, apalagi pesimis dalam menjalani kehidupan ini. Hanya orang yang tertutup dari cahaya potensi dirinya yang selalu terjerat perasaan bimbang, pesimis, bahkan putus asa dalam mengarungi kehidupan.

Putus asa bukan sikap orang muslim, hanya pantas dinisbatkan pada orang kafir. Orang kafir layak berputus asa oleh karena mereka tidak meyakini akan keperkasaan dan kekuasaan Allah Yang Maha Tak Terbatas. Sementara orang muslim dibalik kelemahan dan kekurangan dirinya, selalu menghadapkan hatinya pada belas kasih Allah Yang Maha Kuasa, walhasil ia merasa aman dalam menjalani kehidupan yang dikitari tantangan ini. Modal utama mengarungi kehidupan adalah keyakinan akan kekuasaan Allah Yang Tak terbatas, niscaya Allah akan membimbing kita untuk menggali potensi cemerlang yang tersimpan dalam diri. Tanpa keyakinan, orang yang penuh potensi akan mengalami ketertutupan, sehingga tidak bisa mengerahkan secara optimal potensi tersebut. Ingatlah, Allah akan menganugerahkan prestasi pada kita sebanding dengan kualitas keyakinan kita pada-Nya.

Orang beriman benar-benar yakin akan kekuasaan Allah Yang tak terbatas, dan tak bisa dipatahkan oleh rekayasa manusia. Jika Allah hendak memberikan manfaat pada seseorang, maka seandainya seluruh makhluk berkumpul untuk menghambat datangnya manfaat tersebut, niscaya mereka tidak akan berhasil menghalangi-halanginya. Sebaliknya, andaikan Allah hendak memberikan mudharat, maka tak seorang pun mampu menangkalnya. Kekuasaan Allah tak bisa dihambat siapapun.
Setelah kita meresapi makna tauhid tersebut, harusnya kita putus asa dengan sesuatu selain Allah. Janganlah berharap pada selain-Nya. Tangan boleh bergerak menjalin kerjasama bisnis, kaki melangkah mencari nafkah, lisan boleh berbicara mempresentasikan pemikiran-pemikiran bernas, namun hati selalu bersama Allah. Tenangkan hati bersama Allah, sehingga seluruh gerak-gerik fisik kita terkontrol menuju keridhaan-Nya.

Janganlah kita memiliki harapan sedikit pun pada makhluk, karena hati yang melekatkan harapan pada makhluk akan gampang merasa disakiti. Hanya orang yang berharap pada makhluk yang mudah tersentuh perasaan kecewa dan bahkan jengkel. Berarti, perasaan jengkel, benci, penuh keluhan lantaran hati manusia terlalu lengket pada sesama. Dalam konteks ini, putus asa diperbolehkan, yakni putus asa pada selain Allah. Putus asa berarti putus harapan pada makhluk, lantaran seluruh harapan kita dikerahkan pada Allah SWT. Kita belajar tidak mengharap apa yang ada di tangan makhluk, tetapi berharap sungguh-sungguh apa yang ada di tangan Allah. Suatu yang ada di tangan Allah lebih mulia dan luhur ketimbang yang di tangan makhluk.

Orang yang telah mencapai hakikat tauhid, tidak pernah menambatkan hatinya pada makhluk. Di hatinya dipenuhi kesadaran tentang Tuhan semata-mata. Ketahuilah, kala orang hanya berharap pada Allah, maka Dia akan membuktikan diri-Nya sebagai sebaik-baik harapan. Dan siapa yang berharap pada-Nya akan selalu berada dalam keberuntungan. Kalau kau menyumbat lubang harapan yang tertuju pada seluruh makhluk, pintu agung akan terbuka bagi Anda, yakni pintu Allah SWT. Mengibalah di pintu Allah Yang Maha Kasih dari Yang Pengasih. Mengemislah dalam perasaan fakir di pintu Allah, Anda akan mendapatkan berlimpah rahmat dari-Nya. Kalau Anda secara total menyerahkan urusan bahkan diri Anda pada Allah, maka Anda akan merasakan Allah sebagai penjamin Yang Amat Terpercaya (al-Mukmin). Jika Anda percaya pada Allah, maka Allah akan melulu memberikan keamanan dalam hati Anda. Dan orang yang percaya plus yakin pada Allah, dia akan selalu merasa disertai Allah dimana saja. Adakah kecemasan yang mengusik hati orang yang merasa disertai Yang Maha Kuasa, Maha Belas Kasih, Lagi Maha Luhur?

Khalili Anwar, Penutur dari Jalan Cahaya

INSPIRASI DARI LANGIT


Langit identik dengan ketinggian. Ada slogan umum yang masih membekas, “gantungkan cita-citamu setinggi langit.”Orang yang memandang langit tanpa batas akan selalu terpancari perasaan optimis. Demi menatap langit, seakan seluruh kegelisahan, keresahan, dan kesusahan yang menyumbat hati ini terlepas dan terbang. Kita belajar optimisme dari ketinggian langit, dan warna langit tak berubah. Mungkin dipenuhi mendung hitam dan putih. Aneka warna itu tidak turut mempengaruhi keaslian langit. Langit tetap hadir dengan warna aslinya yang luas. Otentisitas langit tak pernah bisa dijarah oleh mendung yang menghampirinya. Hanya saja, penglihatan kita terhijab untuk memandangi kemurnian langit oleh karena kehadiran mendung itu.


Selain itu, langit sebagai simbol ruang tanpa batas. Mungkinkah orang mengukur batas langit? Ketakterbatasan langit bisa menampung sekian juta gemintang dan berbagai galaksi. Langit memendam kekayaan yang amat berharga, walau dia sendiri tidak pernah terikat dengan suatu yang menempel padanya. Dia tetap merasa nyaman dengan wajah aslinya berwarna biru. Dialah ruang yang zuhud tidak lekat dengan pernak-pernik, tetapi hiasan-hiasan indah menyelimuti langit, seperti gemintang, bahkan pancaran sinar matahari turut memantulkan warna memukau pada langit.

Selain tinggi, ruang tak terbatas, langit melambangkan terang terus tanpa dihiasi kegelapan, dan langit tidak pernah bisa dipengaruhi keadaan di luar dirinya. Kegelapan hanya menghuni bumi, sementara langit hanya dihuni oleh terang cahaya. Terang cahaya telah menjadi kekayaan langit, karenanya bumi membutuhkan tentara “terang” berupa cahaya matahari, rembulan, dan gemintang yang notabena berasal dari langit.
***
Dari uraian sekilas tentang sifat-sifat langit tersebut, kita berusaha menginternalisasi jiwa langit ke medan kesadaran kita. Bukankah manusia sebangsa mikrokosmos yang menyimpan seluruh khazanah makrokosmos. Manusia harusnya bisa mengaktualisasikan jiwa semesta plus, agar bisa menanjak menuju maqam yang tinggi dan luhur.

Pertama, langit lambang ketinggian. Ketahuilah manusia berasal dari ketinggian (surga), kemudian diturunkan ke bumi agar mereka menekuni pendakian menuju ketinggian kembali. Jadi, manusia berasal dari bibit unggul tanpa kecuali, hanya saja apakah manusia bisa menumbuhkan bibit unggul dan luhur itu agar bisa kembali memasuki istana ketinggian, memasuki kembali kuil-kuil surga yang begitu indah. Orang yang menguak karakter “ketinggian” dalam dirinya, niscaya dia tidak terlalu melekat dengan materi duniawi. Kita mendapatkan kehidupan surgawi (di hati) setelah mampu melepaskan diri dari jeratan-jeratan duniawi.
Kalau ditelusuri dari cikal-bakal kejadian, seluruh manusia berasal dari ruh yang tinggi (ruhul ‘aliyyah) yang ditiupkan, yakni ruh Allah. Kalau kita bisa mengoptimalisasi ruh Ilahi yang tertiup ke dalam diri kita, insya Allah kita selalu dihiasi kebahagiaan setiap saat. Namun, jika kita memilih melekatkan hati dengan kehidupan duniawi yang serba semu ini, niscaya kita akan selalu menderita.

Dalam konteks ini, Anda perlu memahami perbedaan orang yang kaya, dan orang yang terikat hatinya dengan kekayaan. Perbedaan orang yang mencari dunia dengan orang yang terikat hatinya dengan kekayaan duniawi. Sehingga tidak menyangka orang yang kaya raya dipandang sebagai orang yang berorientasi harta duniawi, dan orang miskin tidak berorientasi duniawi. Orientasi itu melekat di hati dan terlahir dari cara pandang. Kendati orang kaya raya, namun hatinya tidak melekat dengan kehidupan duniawi, sejatinya dia sedang terbang menuju cakrawala. Sebaliknya, kendati orang dijerat kemiskinan, tetapi hatinya melekat dengan kehidupan duniawi, dia tetap landing di bumi, dan tidak akan pernah terbang menuju langit kesadaran yang tinggi. Jadi, kalau kau hendak terbang menuju langit ketinggian, maka lepaskan keterikatan hati pada kehidupan duniawi menuju kesadaran akan Ilahi. Berangkat dari kesadaran duniawi melintasi kesadaran akhirat, dan puncaknya menuju kesadaran Ilahi. Hati manusia yang dipantik kesadaran Ilahi selalu berada dalam kebahagiaan tanpa batas. Hanya orang yang telah terbang menuju kesadaran langit (ketinggian) yang bakal bersentuhan dan mengalami kebahagiaan.

Kedua, ruang tak terbatas. Ruang langit tak bisa disentuh dan diukur, tetapi dia bisa memasukkan seluruh hiasan di sisinya. Begitulah, lukisan dari rahmat Allah. Rahmat Allah itu tanpa batas, hanya saja kebanyakan manusia menangkap rahmat Allah seluas rumah yang berdiri di bumi. Andaikan manusia belajar pada ruang yang menghias bumi ini, kita sama-sama bisa mengambil pelajaran betapa tidak terbatasnya rahmat Allah. Kalau kita meyakini betapa luasnya rahmat Allah, maka stamina hidup kita tidak akan terkikis oleh sikap pesimisme. Manusia yang bergantung pada dirinya sendiri akan gampang disalak pesimisme bahkan frustasi. Namun, bagi orang yang bergantung sepenuhnya pada Allah, niscaya akan selalu terbang dalam cakrawala optimisme tanpa batas.

Pikiran perlambang bumi yang dijadikan alat untuk mengungkap khazanah yang ada di bumi. Karena pikiran manusia didesain terbatas, manusia sering membatasi keluasan rahmat Allah, walhasil kebahagiaan yang direguk juga terasa begitu terbatas. Tak jarang pula, kita menemukan manusia yang terpasung kehidupan diri yang amat sempit, seakan tak ada ruang yang tersedia baginya untuk mereguk udara kebahagiaan.

Kalau kita terpasung oleh ukuran bumi, maka kita melihat bumi telah di-kavling oleh manusia. Seakan rahmat telah dibagi-bagi sesuai dengan kemampuan masing-masing. Dan bagi orang yang tidak memiliki rumah, berarti dia tidak mendapati rahmat Allah. Peng-kavling-an bermula dari kesepakatan-kesepakatan yang terbentuk diantara manusia. Sehingga kita menemukan, ada orang yang memiliki rumah yang banyak, dinilai sebagai orang yang mendapatkan rahmat Allah yang banyak. Adapun gelandangan, pengemis, dan pengamen yang tidak memiliki hunian dinilai orang yang tidak mendapati rahmat Allah. Apakah berarti rahmat Allah hanya bisa dikeruk oleh orang kaya, dan orang miskin minus rahmat Allah. Rahmat Allah begitu luas—seluas langit dan seluas ruang—dan tanpa disadari kita selalu dipayungi rahmat Allah.

Belajar dari langit, rahmat Allah itu tak terbatas. Kini, bergantung seberapa luas hati manusia menerima rahmat Allah. Jika hatinya telah dipersempit, rahmat Allah tidak bisa menghuni hati manusia. Kalau rahmat Allah tak terbatas, harusnya hati kita juga dibuat luas tak terbatas, agar rahmat Allah bisa dicakup hati kita. Bukankah Allah pernah berfirman dalam hadist Qudsi, “Aku tak bisa dicakup oleh bumi, Aku hanya bisa dicakup oleh hati hamba-Ku yang beriman.”

Buatlah hati kita seluas langit, maka rahmat Allah akan mengalir dan menggenangi hati kita.

Ketiga, langit melambangkan terang terus dan terus terang. Siang-malam hanya dirasakan oleh penduduk bumi. Dan siangnya matahari membutuhkan tentara langit berupa matahari, ketika matahari tenggelam, malam merangkak meliputi bumi. Bergantinya malam bukan berarti matahari tidak lagi memancar, matahari tetap memancarkan sinarnya, hanya tertutup, sehingga bumi tidak mendapati pancaran matahari. Adapun di langit, manusia selalu berada dalam keadaan terang. Jika hatimu telah mendapati kesadaran (langit), maka kau tidak akan pernah diharu-biru oleh keadaan cuaca yang berada di sekitarmu.

Ketahuilah, nikmat-musibah, sehat-sakit, untung-rugi, dipuji-dicaci serupa putaran siang-malam yang datang silih berganti. Kalau hati manusia masih terjebak dengan keadaan luar yang silih berganti ini, berarti masih lekat dengan kesadaran bumi. Dia selalu dipingpong oleh keadaan. Berbeda halnya, orang yang hatinya tak lagi melekat dengan kesadaran bumi (materi duniawi), dia selalu berada dalam keadaan damai. Dia menyadari, siang dan malam bukan suatu yang kekal, mengalami pergantian terus-menerus, dan berkunjung silih berganti. Mengapa kita terlalu risau dengan suatu yang tidak kekal?

Manakala kesadaran manusia telah dipendari karakter langit, maka dia tak lagi berjungkir balik dalam susah-senang. Ia telah berhasil melampaui keadaan dualitas, yang tersisa dan mengkristalisasi dalam hatinya hanya damai. Hati menjadi tenang karena selalu dipendari cahaya terang yang tak pernah redup. Bahkan hati telah menjadi pusat cahaya yang terus menerangi, sebagaimana dari langit cahaya mengalami terbit.

Keempat, langit tidak berubah. Sejak diciptakan hingga sekarang, langit tetap berwarna biru. Kendati berkali-kali dihinggapi awan hitam, ia tidak ikut hitam. Dan andaikan dihinggapi awan putih, langit tak bisa dibekasi warna putih. Warna putih dan hitam hanya menyelimuti langit, tapi tidak akan pernah merubah warna langit yang cerah. Berarti, langit tak bisa disulap warnanya berubah lantaran dicat. Langit tak tersentuh perubahan warna. Dia selalu hadir dengan jiwanya yang otentik. Langit tetap cerah bagi dirinya, dan membuat cerah bagi orang yang memandangnya. Jika Anda bisa menginternalisasi jiwa langit, maka kau tidak akan pernah diperkuda oleh kenyataan dualitas yang hadir.

Ketahuilah, pada sejatinya hati manusia itu berada dalam kondisi damai, yang membuat hati tidak damai, karena terpengaruh pada sisi eksternal, berupa dualitas yang disuguhi keadaan bumi. Namun, kalau manusia tak terikat dengan kondisi dualitas tersebut, maka yang tersisa hanya terang, dan itu berarti dia telah bersama dengan kemurnian dirinya yang tak pernah berubah. Ya, kemurnian yang tak pernah berubah seperti warna langit yang tak pernah berubah.

Langit sebagai simbol dari kesadaran ruhani yang berpusat pada hati manusia. Karena itu, kita ciptakan hati yang bersih sebersih langit, tak tersentuh pengaruh di luar dirinya. Hati telah merengkuh kedamaian dan terang yang holistik. Hati yang mendapatkan maqam ketinggian, yakni tidak melekat dengan materi duniawi, luas, selalu terang, dan selalu tampil otentik sebagai kombinasi karakter yang mewakili sifat-sifat langit. Semoga Allah menghias hati kita dengan jiwa langit. Insya Allah.

Khalili Anwar, Penutur dari Jalan Cahaya