Rabu, 26 Desember 2012

KEASLIAN

Kalau Anda ditawari sebuah produk yang palsu dan asli, mana kiranya yang Anda pilih? Kalau saya sendiri menjatuhkan pilihan pada yang asli daripada yang palsu. Jika Anda disuguhi produk yang instan, gampang rusak dan yang awet, kiranya yang mana kau pilih? Kalau saya sendiri akan memilih yang awet ketimbang yang gampang rusak.
Pilihan saya insya Allah mewakili kemauan manusia secara universal. Kalau kemudian ada orang yang memilih yang palsu dan cepat rusak bukan karena dorongan dari hati nuraninya, tetapi boleh jadi karena ada keterbatasan finansial untuk membeli produk yang asli.
Jika saya membeli onderdil untuk sepeda motor yang perlu diganti, bengkel biasanya menawarkan pada saya onderdil yang asli dan imitasi, saya terpaksa memilih onderdil yang imitasi karena jauh lebih murah dari yang asli. Bayangkan, kalau ada perjaka yang hendak mencari jodoh, mereka tentu menjadi yang masih perawan (suci) ketimbang yang sudah “terenggut” keperawanannya.
Keaslian bukan hanya kemauan universal manusia, bahkan itulah entitas sejati manusia, yang asli dan abadi. Manusia mendapatkan tiupan ruh yang kudus, abadi, dan berbalutkan kedamaian tanpa batas. Disanalah manusia telah merasakan surga. Begitu juga kondisi ruhani yang dialami oleh manusia ketika masih berada di rahim, tepat saat berada dalam alam ruh, mereka berada dalam damai tanpa batas. Dan saat lahir ke dunia, dia memasuki dunia baru, bagi yang tidak berpegang pada warisan nilai surgawi yagn pernah diusung saat di alam rahim, justru dunia menjadi gerbang neraka. Disanalah manusia akan selalu menyapa derita demi derita, melangkah dari satu kegelapan ke kegelapan berikutnya.
Kini, bagaimana kita mengembalikan keaslian, sehingga kita menyerap aroma surga setiap saat. Kejujuran menjadi bekal awal untuk merasakan surga. Karenanya, kejujuran menjadi jalan menggapai suasana surgawi, dan dusta (kepura-puraan) menjadi jalan merasakan suasana neraka.
Kita mendapati sebuah fenomena dimana kejujuran amat sulit didapatkan, sehingga KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) yang berkomitmen memberantas korupsi seakar-akarnya mengusung tagline Jujur itu hebat. Tagline itu semoga ampun untuk menyuntikkan keagungan nilai-nilai dalam kehidupan berbangsa yang salama ini lebih sering dibelenggu oleh keagungan materialisme.
Parameter kehebatan yang dipakai selama ini adalah lebih tertuju pada pencapaian kekayaan secara materi, tak ayal orang kaya lebih banyak memeroleh pundi-pundi penghargaan ketimbang orang miskin. Padahal penghargaan manusia bukan tanda kemuliaan, karena bukan tanda kemuliaan berarti juga bukan ukuran kebahagiaan seseorang. Tak jarang kita temukan orang yang bisa menyedot apresiasi dari banyak orang, tetapi nyatanya hidupnya merana dan terbelit penderitaan yang disembunyikan melalui bungkus senyum. Bibirnya bisa tersenyum indah, walau hanya sekadar mencadari tangis yang memenuhi hatinya.
Ingatlah kebahagiaan tidak membutuhkan kompensasi dari luar dirinya. Karena jika hadirnya kebahagiaan itu bergantung pada kompensasi dari luar diri manusia, bagaimana seorang bayi merasa kedamain tak terkirakan. Kedamaian akan bersemi di dada Anda, tatkala Anda berlaku jujur pada diri Anda sendiri, dan memantul kejujuran pada orang lain.
Ada pendapat yang mengatakan, kejujuran akan membuat manusia terbirit-birit dalam kesulitan, dan dusta akan membukakan pintu gerbang kemudahan. Kalau ditakar dengan logika setan, kejujuran di akhir zaman seakan tidak punya ruang, dan dusta memeroleh lahan yang luas, tapi ketahuilah masa depan kejujuran akan lebih indah dan berkesan. Kejujuran akan menjadi pelita dalam hati, sehingga akan mudah kebahagiaan mewujud dalam ruang batin Anda, tetapi kalau Anda berdusta atau berpura-pura, sejatinya kau sedang mengusir cahaya dengan kegelapan.

JAHIL

Jahil alias bodoh bukan terkait jupednya pikiran atau mandulnya intelektual, sehingga di otaknya tak berbekas ilmu sedikit pun. Kejahilan orang tidak diukur oleh kecerdasan intelektual yang didemonstrasikan, tetapi berkait dengan kecerdasan spiritual (akhlak). Tak sedikit orang terdahulu, disebut manusia terpandang di tataran ilmu sastra, tetapi disebut orang jahil, seperti Abu Jahal yang ditahbis sebagai bapaknya orang bodoh. Nama aslinya Abu Jahal sendiri adalah Abul Hakam (Bapak orang bijak). Tetapi mengapa dia disemati gelar sebagai bapaknya orang bodoh. Karena, hati dan pikirannya terhijab untuk mengenal Allah SWT.

Kalau begitu, ukuran kecerdasan seorang bukan encernya otak mencerap berbagai ilmu yang dibabarkan di hadapannya, tetapi berkait dengan pengenalannya pada Allah. Dan mengenal Allah juga tidak berkait dengan sebagai “knowledge” (ilmu) tetapi berkait dengan awareness (kesadaran) yang guru saya lebih memilih sebagai consciousnesss (kesadaran). 

Walau seorang menguasai segudang pengetahuan duniawi, tetapi membuatnya semakin terhijab dan jauh dari Allah, sejatinya dia orang yang bodoh. Walau dia sendiri dianugerahi ilmu yang sedikit, sederhana, dan terbatas, akan tetapi meyakini akan penyaksian Allah atas setiap gerak-geriknya, baik yang terang atau yang samar, maka sejatinya dia orang yang alim.

Minggu, 18 November 2012

MEMBELI KEBAHAGIAAN


Kita telah berada dalam zaman instan. Makanan instan menjadi menu harian anak muda, orang bisa meraih kakayaan secara instan, bisa mendongkrak popularitas dengan instan, memeroleh jabatan prestesius juga dengan instan, bahkan diyakini orang bisa mendulang kebahagiaan dengan instan. Budaya instan telah melumuri kebudayaan bangsa, walhasil perlahan-lahan generasi ini tidak pernah tahu bagaimana bertahan memeluk kebahagiaan dalam kondisi perubahan yang amat ganas.

Semua dimensi instan itu—katanya—bisa diraih hanya dengan uang. Seakan uang bisa membeli segala bentuk yang rasanya sulit dicapai dalam waktu singkat. Makanya, orang berkejar-kejaran untuk menumpuk kekayaan, sehingga dia menganggap dirinya layak menjadi pribadi bahagia oleh karena pundi-pundi kekayaan yang dihimpun.

Apalagi, kita kini mendapati realitas menjamurnya lembaga penjual kebahagiaan, sehingga orang berduyun-duyun untuk membeli kebahagiaan. Apa lembaga yang menjual kebahagiaan yang dikemas dengan spiritualitas? Itulah disebut dengan lembaga training yang membimbing dan memandu orang dengan cepat untuk meraih kebahagiaan.

Karena itu, kita tak bisa menutup mata, jika pada saat ini menjamur lembaga pelatihan yang menjual cara-cara meraih kebahagiaan secara instan. Yang mengikuti pelatihan ini bukan kelompok level ekonomi rendah, tetapi kalangan elite, eksekutif muda, pengusaha-pengusaha sukses yang melulu diburu oleh pencapaian demi pencapaian. Mereka mengikuti training spiritual, cara mendekat pada Allah sehingga bisa mudah meraih kebahagiaan.

Guru saya mengemukakan, kebahagiaan tidak berkait dengan ilmu, tetapi ahwal yang menyala dalam diri manusia. Kebahagiaan bukan ilmu, sehingga siapa yang mengerti tentang bagaimana bahagia tidak dijamin bahagia. Belum tentu orang yang tahu bahagia memeroleh kebahagiaan. Kebahagiaan itu sebuah kesadaran yang menjadi suluh terang dalam jiwa manusia.

Sabtu, 17 November 2012

MATERIALISME MERASUKI DOMAIN AGAMA






Materialisme tak sebatas bersemi di mall, kafe, bursa saham, dan jejaring ekonomi lainnya, malah wahana yang paling sakral telah terjalari penyakit materialisme. Sejatinya, bukan karena tempatnya berwajah materi, tetapi cara pandang manusia yang semakin menjurus pada materialisme. Bukankah paradigma atau cara pandang akan selalu mengilhami orang untuk berbuat senafas dengan paradigma yang melekat pada dirinya.
 

Kalau Anda seorang santri, menghormati ulama lantaran ilmu dan haibah yang menghiasinya. Bagi pencopet yang dilihat bukan keagungan ilmunya, mata mereka lebih tertuju pada kantong gamis si ulama, siapa tahu disana ada uang yang bisa dijarah. Kita mendapati sebuah ruangan besar yang sarat dengan karya lukis. Bagi pelukis, pastinya menaruh takjub pada lukisan yang terpampang di aula tersebut, bagi seorang arsitek yang diperhatikan adalah desain bangunannya, adapun seorang reporter lebih memperhatikan apa kiranya situs yang bisa dijadikan berita segar.

Materialisme telah menjejakkan kakinya ke seluruh sektor kehidupan, bahkan merembes ke ranah agama. Bayangkan, kita temukan banyak pelatihan yang berkesan agamis dijual dengan harga yang mahal. Tanpa kita berfikir buruk ihwal pelatihan tersebut, tetapi setidaknya banyak orang mencari penghidupan melalui lahan-lahan agama. Seolah peluang mendulang materi di lahan lainnya sudah kian menyempit.

Orang mengajarkan tentang ikhlas, tetapi tidak mengajari dengan ikhlas. Ada titik paradoksal antara pengetahuan yang disampaikan dengan hal (kenyataan) memadati ruang batinnya. Ada orang mengajari khusyuk, tetapi belum pernah merasakan khusyuk, bahkan merasa ada kegelisahan yang menggedor hatinya setiap saat. Anda bisa menguji kondisi batin orang, tatkala memeroleh musibah yang tiba-tiba mendepak dirinya. Jika dia tidak bisa menghadapi dengan ketenangan jiwa, maka sejatinya dia belum mencapai posisi hati yang tenang (muthmainnah).

Capaian pencerahan tidak dilihat seberapa buku yang diterbitkan, tetapi seberapa tenang menghadapi turbulensi yang menghadang dirinya, dan seberapa luas sebaran ketenangan yang diinspirasikan pada orang lain. Makin banyak orang yang memeroleh ketenangan dan kebahagiaan hidup melaluinya, berarti dia telah menebarkan kemanfaatan yang besar bagi umat.

Bukankah ketenangan atau kebahagiaan sebagai inti harapan setiap manusia? Jika Anda menjadi kanal memperkaya kebahagiaan di hati manusia, berarti kau telah dipilih Allah sebagai orang yang mulia. Karena kau telah dijadikan kanal untuk memeroleh tujuan hakiki setiap manusia, bahkan seluruh makhluk.

Kau tidak bisa menebar kebahagiaan pada manusia atau seluruh makhluk, jika cintamu menyempit. Cintamu hanya sebatas diri, keluarga, atau kaum yang berada dalam tanggung jawabmu, maka kau tidak bisa menebar lebih luas dari pada itu. Anda bisa membahagiakan manusia, jika kau memiliki stok cinta yang luas untuk kemanusiaan ini. Kemana-mana kau tidak menebar kekecewaan dan kedengkian, tapi mengalirkan cinta Allah yang meluas ke seluruh semesta ini.

Cinta itu menggerakkan orang untuk membahagiakan orang yang dicintai. Seperti hal seorang suami yang sangat mencintai istrinya, maka dia selalu tergerak untuk mencari pelbagai cara yang kiranya bisa membagikan kebahagiaan bagi istrinya. Bahkan dia mungkin mengorbankan seluruh hidupnya untuk membahagiakan istrinya. Kecintaan yang amat besar terhadap istri menjadi ukuran kebahagiaan yang bakal Anda dapatkan. Kau amat bahagia, jika Anda mendapati istri yang Anda cintai sedang dalam zona bahagia.
 
Materi tidak identik dengan kebahagiaan
 
Tak jarang orang terjebak dalam persepsi, kebahagiaan identik dengan kekayaan materi. Siapa yang bisa mendulang kekayaan yang melimpah dan meruah, meraih jabatan prestesius, dengan ladang bisnis yang meluas adalah orang yang paling bahagia. Kita tidak bisa memungkiri, Jepang menjadi deretan negara yang makmur secara ekonomi, tetapi mengapa “peristiwa bunuh diri” tidak pernah sepi di negara itu.

Kalau kebahagiaan itu identik dengan kekayaan, harusnya disana orang merasakan ketenteraman dan kemakmuran yang sejati. Tetapi, mengapa mereka terus mencari-cari dimana sejatinya kebahagiaan itu bersembunyi? Kebahagiaan hanya diperoleh oleh hati yang bersih dari harapan-harapan duniawi. Makin besar keinginan Anda terhadap materi dunia, maka makin gelaplah hati Anda. Akan tetapi, kalau hati ini dibersihkan dari “kecintaan” dan “kemelekatan” terhadap harta duniawi, insya Allah kebahagiaan dengan sendirinya memancar dari dalam hati Anda.

Ada orang yang menghabiskan uang miliaran rupiah untuk rekreasi. Melalui rekreasi itu—diharapkan—bisa menghirup kebahagiaan yang murni melalui pantai, situs-situs wisata yang menarik, dan sebagainya, tetapi ternyata uang miliaran tersebut hangus dan tak berarti apa-apa untuk menyuntikkan kebahagiaan dalam hati. Anda tak bisa memeroleh kebahagiaan dengan kebanggaan dan kesombongan diri, karena sifat tersebut malah menghalangi masuknya kebahagiaan dalam hati Anda. Kalau dengan kekayaan Anda yang terdongkrak malah menimbulkan kesombongan, maka Anda tak bisa mengakses kebahagiaan, kecuali hanya sempah kesenangan. Materi akan mengucurkan kebahagiaan pada Anda, ketika Anda barengi dengan sikap rendah hati (tawadhu’) dan ikhlas dalam menjalani hidup ini.

Jalan mendapati kebahagiaan berangkat dari sikap batin. Kalau batin Anda selalu dihiasi sikap positif dan mulia, insya Allah Anda akan selalu berada dalam zona bahagia setiap saat. Cara Anda merespons kenyataan tersebut akan mentransmisikan kebahagiaan dalam hati Anda, karena kebahagiaan tidak berkait kelindan dengan realitas yang ada diluar, tetapi berkait sekali dengan respons yang terlahir  dari dalam hati. Katanya, orang yang memeroleh nikmat akan selalu bahagia, belum tentu dia bahagia, jika tidak merespons kenyataan “nikmat” tersebut dengan jiwa syukur. Katanya, setiap orang yang ditimpa musibah itu pasti mengalami penderitaan, belum tentu jika dia ridha dengan musibah yang menimpanya—karena disertai perspektif bahwa semua datang dari Allah dan apapun yang datang dari Allah menyimpan kebaikan—justru dia akan selalu bahagia.
Ringkasnya, kebahagiaan tidak bertempat di luar diri Anda, sehingga kau harus berusaha menariknya. Kebahagiaan telah bersemi dalam diri Anda, tinggal Anda menyala pelita kebahagiaan itu dengan selalu tersambung pada Allah SWT. Makanya, orang beriman akan selalu merasakan kebahagiaan tatkala mengingat—menyadari akan kehadiran Allah……

Kamis, 15 November 2012

INILAH THE LIFE UNIVERSITY




Kita dilahirkan ke dunia sebagai peserta ujian, entah kita berhasil melampaui beragam materi ujian atau tidak. Jika Anda berhasil melampaui beragam ujian yang telah Allah bentangkan di dunia ini, maka Anda berhak menyandang sosok yang sempurna. Artinya, jika Anda berhasil melampaui beragam materi ujian tersebut maka Anda bisa menggapai peringkat kemuliaan melebihi malaikat, tetapi kalau Anda gagal menggarap ujian tersebut, derajatmu bisa turun lebih rendah ketimbang binatang.
 
Sadarilah saudaraku, Allah menciptakan Anda tidak main-main, namun dilandasi tujuan yang nyata. Karenanya, seketika manusia terlahir ke dunia langsung menyandang gelar khalifah. Gelar khalifah janganlah dijadikan ajang kebanggaan bagi diri, karena gelar ini menyimpan ujian yang luar biasa, yang menuntut pertanggung-jawaban dua peran sekaligus, yakni sebagai hamba dan khalifah Allah. Di sisi lain, bagaimana Anda mengukuhkan hubungan vertical dengan Allah, berikut menyemen hubungan horizontal dengan sesama manusia dan makhluk lainnya.
 
Kalau menggapai kedigdayaan di dunia, orang harus bekerja keras dan menyiapkan dengan tenaga yang ekstra, bagaimana orang bisa menggapai kesempurnaan di akhirat, tentu dia harus melewati berbagai ujian dari Allah untuk mengukur keimanan pada-Nya. Janganlah Anda menganggap sebagai orang beriman kalau belum pernah merespons dengan positif aneka ujian yang dialami. Apalagi sering mengeluhkan ujian yang menghantam Anda. Mengeluh bukan karakter sikap orang beriman, tetapi sikap orang kafir, yang selalu terhalang dari rahmat Allah.
 
Bagaimana mungkin orang bisa menyerap kebahagiaan, sementara dia sendiri membentuk penghalang yang tebal untuk bisa menyentuh cahaya kebahagiaan. Penghalang itu adalah keluhan tanpa henti. Padahal, dia sadar dia tidak akan bisa meraup kebahagiaan lewat mengeluh, malah yang diperoleh adalah kegelapan batin.
 
Ujian menjadi suatu keniscayaan yang bakal dialami oleh manusia. Bagaimana manusia mengalami kenaikan tingkat tanpa sebuah ujian. Dan orang-orang tidak pernah sepi dari ujian, bahkan mereka selalu berlangganan ujian, sementara hati mereka ditata dengan spirit kelembutan dalam menghadapi aneka persoalan yang menghantamnya. Semakin tinggi peringkat kemuliaan seseorang, maka semakin tinggi kualitas ujian yang dihadirkan padanya.
 
Berkait dengan ujian, manusia mendapatkan dua ujian, yakni ujian normative dan ujian empirik. Seperti halnya pelajar, dia akan mendapatkan ujian tertulis dan ujian praktikum—praktik lapangan. Marilah kita urai dua ujian penting yang bakal dialami oleh manusia, bagaimana kiranya cara efektif untuk meresponsnya?

Pertama, ujian normative. Ujian berkait kelindan dengan perintah-larangan. Kalau Anda ingin merasakan kebahagiaan dalam hidup ini, maka Anda tidak boleh berselisih dengan perintah-perintah Allah. Seperti halnya, orang yang hendak membeli sepeda motor, maka pabrik sepeda motor itu amat paham bagaimana cara kerja dan penggunaan sepeda motor secara standard, sehingga tidak mudah rusak. Pun yang paling paham perihal kita adalah Pencipta kita, yakni Allah SWT. Jika Anda selalu selaras dengan perintah Allah, berikut menjauhi larangan-Nya, insya Allah Anda akan merasakan kebahagiaan.
 
Karena itu, berkait dengan perintah-larangan ini, Anda harus bersikap patuh dan tulus ikhlas. Kepatuhan yang disertai ketulusan tatkala merespons perintah-larangan berperan melahirkan kebahagiaan di hati kita. Kepatuhan yang tulus ikhlas itu akan melahirkan takwa, bukankah dalam ketakwaan manusia akan bisa meraih keberuntungan dan kebahagiaan.
 
Kepatuhan pada perintah dan larangan Allah perlu disertai spirit muhasabah, mungkinkah ada amal ibadah yang masih kurang sempurna dipersembahkan pada Allah. Mungkinkah shalat, puasa, atau sedakah kita masih bolong. Banyak perintah-larangan Allah yang kerapkali diabaikan dan diremehkan. Walau kita telah mengerjakan ibadah dengan benar, namun sudahkah ibadah kita disertai ketulusan. Bukankah Allah hanya menerima amal yang tulus? Jika Anda berhasil menegakkan ibadah dengan kepatuhan dan ketulusan, Anda telah dilahirkan sebagai sosok yang bertakwa pada Allah. Sosok yang bertakwa akan bisa memeroleh kebahagiaan setiap saat, lantaran telah mampu menjalin hubungan yang positif dan efektif dengan Allah dan manusia.
 
Kedua, ujian empirik. Banyak manusia yang sukses menempuh ujian normatif, tetapi gagal menghadapi ujian empirik. Mengapa demikian? Kalau ujian normatif yang sudah pasti, tetapi ujian empiric penuh ketidakpastian, bahkan tak terduga sebelumnya. Bayangkan, ada orang yang pada mulanya tenang, dikitari oleh kekayaan melimpah, berada dalam kemakmuran, tiba-tiba seluruh kekayaannya hangus ditelan dalam waktu yang sangat cepat. Ada orang yang tak disangka—karena ditemukan keluarganya adem-ayem, tenteram, dan sakinah—tiba-tiba meledak pertengkaran yang berujung pada perceraian. Lantas bagaimana menyikapi kenyataan yang tiba-tiba menghampiri kita? Bukankan realitas itu di luar rencana kita? Kalau ibadah mahdah kita mengikuti waktu, tetapi ibadah sosial ini sudah yang kadang di luar perencanaan kita. Siapa yang berhasil menyikapi dengan cara terbaik apa yang tidak direncanakan, insya Allah dia akan mendapatkan kemuliaan di sisi Allah.
 
Sikap sebagai adalah respons spontan atas apa yang terjadi. Sejalan dengan sabda Rasulullah Muhammad Saw, “Sabar terlihat pada pukulan pertama.” Kalau ada orang yang misalnya, difitnah lalu kemudian balas memfitnah orang tersebut, begitulah kualitas sikap orang tersebut, kendati pada akhirnya dia mengakui kesalahan yang dilakukan. Kualitas manusia dilihat ketika berada dalam kondisi abnormal. Nelayan yang terampil tidak bisa diukur pada saat gelombang dalam kondisi tenang, tetapi bisa dilihat ketika gelombang dalam kondisi turbulensi. Dia masih mampu berpikir tenang, walau sedang berada dalam kondisi crowded.

Kita bisa menjejaki sebuah kisah dimana pada saat itu ada seorang wali sedang menumpangi sebuah kapal. Kapal yang ditumpangi hampir saja oleng dan karam saking besarnya gelombang yang menghantamnya. Seluruh penumpang kapal tersebut teriak histeris, tetapi sang ulama ini terlihat tenang dan damai. Beliau tenang dalam tidurnya, sembari beliau mendapati mimpi untuk membaca shalawat munjiyat. Maka dibacalah shalawat munjiyat, walhasil keadaan kembali normal.
 
Yang perlu kita fokus dari kejadian tersebut bukan perihal berkat shalawat munjiyat tersebut yang membuat kondisi kapal kembali tenang, tetapi sikap ulama yang amat tenang di saat badai gelombang yang dahsyat. Dari situ, kita bisa melihat kualitas manusia.
 
Kunci sukses untuk menghadapi realitas yang kerap di luar dugaan kita adalah ridha. Dalam kacamata ridha, Anda akan bisa meneropong semua realitas begitu indah. Ya, orang yang ridha telah berhasil melihat realitas apa adanya, tidak lagi tertuju pada bungkus realitas tersebut. Sikap batin seperti ini ditaburi spirit doa, “Ya Allah perlihatkan yang benar sebagai mana adanya.” Padahal tidak ada dibalik setiap realitas itu kecuali Yang Maha Benar, Allah SWT. Bagaimana kau tidak bersikap ridha dengan seluruh realitas yang disana ada Dia? Karena Dia adalah kebaikan mutlak dan full cinta. Dia menyuguhkan realitas di hadapan Anda dengan cinta, adakah yang keliru dari yang dicintai?
 
Kalau begitu ukuran kesuksesan orang dalam menghadapi realitas yang terus berubah ini adalah berserah diri yang dicerminkan dari sikap ridha pada seluruh realitas yang menghampiri dirinya, entah baik atau buruk. Karena baik dan buruk itu hanya menurut pandangan manusia, adapun apapun yang datang dari Allah hanya kebaikan semata-mata.
 
Jika manusia memeroleh penderitaan, karena kesalahan menafsirkan realitas. Dia mempersepsi realitas adalah buruk semata-mata. Kalau orang mempersepsi realitas itu buruk, maka yang didapatinya keburukan, berbentuk penderitaan di dalam batin. Orang akan memeroleh apa yang disangkanya, dan ketahuilah siapa yang menyangka realitas itu berarti menyangka Allah. Karena dibalik realitas itu adalah Allah. Sepertinya dibalik lukisan itu adalah sifat pelukis. Kalau Anda mencela realitas, berarti Anda mencela pencipta realitas itu sendiri, seperti halnya siapa yang mencela lukisan berarti mencela pelukisnya. Tetapi, kalau Anda ridha dengan segenap realitas yang menghampirimu, berarti kau menerima Allah secara utuh. Siapa yang menerima Allah secara utuh, dia layak menggapai keridhaan Allah, yang keridhaan Allah itu lebih agung daripada surga.

Jika hidup ini sebagai universitas yang di dalamnya berhimpun aneka ujian, baik dari aspek materi atau aspek empirik, tentu saja bagi yang berhasil melampaui ujian itu dengan gemilang berhak memeroleh gelar prestesius. Orang yang berhasil meraih pretasi dahsyat kedua-duanya berhak memandang Allah, karena mereka telah bersifat dengan sifat Allah.
 
Karena itu, inilah saatnya Anda berlomba-lomba untuk mengisi kebaikan dari waktu ke waktu, dan sadarilah bahwa setiap saat Allah mencatat sikap yang melintas dalam hati Anda, pada saatnya nanti semuanya akan diperhitungkan untuk mengukur kelayakan Anda di hadapan Allah. Insya Allah.

Khalili Anwar, Penutur dari Jalan Cahaya 

IKHLAS

Kalau Anda lakukan survey, apakah setiap manusia mencita-citakan kebahagiaan? Mereka pasti berkata, kebahagiaan merupakan tujuan kami semua. Kecuali kalau Anda bertanya pada orang yang putus-asa, mereka telah mengalami kondisi pupus harapan meraih kebahagiaan, dan mereka pasrah dan tunduk di bawah hegemoni realitas yang buruk. Walau derita itu sendiri hanya sebagai respons negatif yang mengakar dalam jiwanya.
 
Intinya, kebahagiaan menjadi aspirasi dan harapan besar seluruh manusia, bahkan seluruh makhluk. Lantas bagaimana orang bisa meraih kebahagiaan? Kebahagiaan tidak bisa dibeli dengan uang dan kedudukan jabatan, akan tetapi kebahagiaan diperoleh dengan spirit ikhlas dan kerendahan hati.
 
Kian menghunjam keikhlasan di hati, insya Allah semakin meluap kebahagiaan memenuhi ruang batin Anda. Kalau hati Anda kosong dari ikhlas, maka seluruh amal tidak mampu mendongkrak kebahagiaan bagi Anda. Ikhlas itu perkara dalam hati, dan hati sendiri adalah tempat berseminya kebahagiaan.
 
Mengapa ikhlas menjadi salah satu kunci pembuka kebahagiaan dalam batin Anda? Dengan ikhlas, Anda akan tersambung dan terpaut dengan Allah SWT. Dan manusia hanya bisa menyerap kebahagiaan tatkala sudah dekat dengan sumber kebahagiaan itu sendiri. Di tataran praktik, ikhlas bukanlah sebuah ahwal yang mudah digapai oleh kita.

Demi tertancapnya ikhlas dalam hati, seketika itu pula dia menyandang gelar sebagai kakasih Allah. Adakah kekasih Allah yang tersentuh penderitaan? Bukankah derita itu muncul dari orang yang kecewa atas harapannya yang tak  terpenuhi. Adapun orang ikhlas tidak memiliki harapan apa-apa kecuali agar selalu tersambung jiwanya dengan Allah SWT.

Ikhlas sendiri tidak bisa diukur oleh diri kita dan orang lain, hanya Allah yang bisa menakar dan mengukur kualitas keikhlasan seseorang. Kalau ada orang merasa ikhlas, sejatinya dia tidak ikhlas. Bukankah ada orang yang berkata, “Saya ikhlas memberikan untuknya.”

Perkataan itu baik, tetapi sejatinya tidak menampilkan esensi ikhlas itu sendiri. Apalagi, tiba-tiba ikhlas diajarkan oleh motivator yang secara terang-terangan membuka tariff dari pelatihan. Bagaimana orang bisa menyerap energi ikhlas dari orang yang belum ikhlas?  Ikhlas diperoleh melalui transfer ahwal dari orang yang ikhlas. Itulah fungsinya kita selalu menautkan relasi dengan sosok arif billah, mursyid, atau Begawan ruhani yang telah menggapai mukhlas (merasa tidak melakukan apa-apa kecuali kehendak Allah).

Orang yang ikhlas belum tentu mukhlas, tetapi orang yang mukhlas sudah tentu ikhlas. Sosok yang mukhlas telah menyadari bahwa tidak ada yang ada kecuali Allah, sehingga tidak ada yang berbuat kecuali perbuatan Allah. Kesadaran ini memupus keakuan yang bertumbuh pada diri manusia, sembari tidak akan mengklaim bahwa amal yang dilakukan karena kuasa diri sendiri, akan tetapi karena kuasa dari Allah SWT.

Semoga Allah menumbuhkan keikhlasan dalam hati kita, sehingga kebahagiaan pun tumbuh kembang dalam hati, dan bahkan bisa mentransfer kebahagiaan di hati orang lain.
Khalili Anwar, Penutur dari Jalan Cinta

Jumat, 30 Maret 2012

RENCANA ALLAH PADAMU MAHA INDAH


Tak ada satu pun perancang bangunan yang terbersit mendesain maket dengan acak-acakan tanpa sentuhan artistik. Setiap arsitek ingin agar postur bangunan yang dirancang benar-benar mengagumkan dan mewariskan pesona bagi yang memandangnya. Hanya saja tak jarang orang memandang karya arsitek itu begitu jelek lantaran tidak sejalan dengan seleranya yang subyektif. Ketahuilah, Allah adalah Perencana Yang Maha Handal, perajut seluruh dimensi kehidupan dengan keindahan yang sungguh mempesona. Karenanya, tak ada di balik setiap realitas yang menyeruak ke permukaan kecuali telah diramu dengan ilmu Allah Yang Maha Indah. Lantas bagaimana mungkin dari Yang Maha Ahli dan juga Maha Indah terlahir karya-karya buruk dan menakutkan?

Saudaraku, luangkan waktu untuk menatap dan merenungi ciptaan Allah, baik yang berupa peristiwa atau kejadian yang tersebar di permukaan kehidupan ini, sehingga Anda bisa menghimpun kearifan yang jarang diperoleh orang pada umumnya. Sadarilah, kehidupan ini tidak seindah rencana kita, tetapi rencana Allah itu Maha Indah. Padahal, tidak ada dibalik setiap realitas yang menyembul ke permukaan kecuali sebagai manifestasi dari rencana Allah. Lantas, mengapa kita jarang sekali bisa menangkap keindahan dari realitas tersebut? Kita menilai realitas tidak indah dikarenakan alat pandang kita yang terganggu. Bagaimana mungkin orang buta bisa merasakan terang-benderangnya kehidupan.

Keyakinan bahwa rencana Allah itu Maha Indah akan memandu keselarasan (muwafaqah) kita dengan Allah setiap saat. Padahal, hanya orang yang telah menjalin keselarasan dengan Allah yang akan diluberi kebahagiaan hakiki dalam hidupnya. Dan ketidakselarasan sebagai akar ketidakbahagiaan yang menyeruak ke permukaan. Bayangkan, orang yang tak selaras dengan sesama, pertemuan malah malah memijarkan kemarahan dan kebencian yang akan membakar rumah ruhani manusia.

Siapa yang menyukai rumahnya dibakar? Apalagi kita sedang tinggal di rumah tersebut, tentu saja akan menyebar lolongan dan teriakan yang menyayat hati. Bagaimana kalau yang terbakar adalah rumah batinnya, niscaya dia akan terjerat dalam penderitaan yang semakin tak terperikan. Jika orang tak bisa memungut butir-butir kebahagiaan karena tak selaras dengan sesama, bagaimana nasib orang yang tidak sejalan dengan Allah, justru dia akan selalu mendapati dirinya berada di kawan penderitaan. Orang yang tidak selaras dengan Allah, berarti membiarkan rumah batinnya selalu terbakar, tak ayal kebahagiaan pun hengkang dari rumah tersebut.

Sadarilah saudaraku, kebahagiaan Anda sejalan dengan keyakinan Anda akan baik dan indahnya rencana Allah pada setiap hamba-hamba-Nya. Dan bukankah Allah selalu sejalan dengan prasangka hamba-Nya. Jika Anda selalu dijejali prasangka buruk, berarti Anda tengah merangkai akhir hidup yang buruk (end life), akan tetapi jika Anda menyalakan prasangka baik pada Allah, bahwa Dia telah memiliki rencana terbaik pada Anda, Allah akan merealisasikan dengan konkret seperti apa yang Anda sangka. Dan siapa yang hatinya lengket pada rencana Allah dengan berserah diri, dia akan memeroleh keindahan demi keindahan melayari samudera kehidupan ini.

Allah Maha Merencanakan (al-Mushawwir) dan Maha Indah, karenanya Dia amat menyukai keindahan। Apakah mungkin ada karya Allah yang tidak indah? Kalau Anda meyakini seluruh karya Allah dengan segala manifestasinya adalah indah, maka akan bisa menyesap keindahan dari seluruh realitas yang tergelar di hadapan kita. Marilah lihat semua dengan kacamata keyakinan bahwa seluruh rencana Allah itu indah, Anda akan mendapatkan inspirasi indah, bahkan Anda bisa menjadi keindahan itu sendiri. Insya Allah.

Khalili Anwar, Penutur dari Jalan Cahaya

PENEBAR AIB


Aib bukan untuk ditebar, tetapi ditutupi. Allah Maha menutup aib hamba-hamba-Nya. Bisa Anda bayangkan, bagaimana jadinya, kalau Allah membuat organ kita transpran, sehingga seluruh kotoran melekat di tubuh kita, bahkan aliran darah yang mengarus juga terlihat jelas. Bagaimana rasanya kalau paru-paru ini diperlihatkan dengan jelas, sungguh ketampanan itu tidak menampak bagi orang yang melihatnya. Kita semakin terperangah dengan kasih sayang-Nya, Dia membalut aib kita dengan kebaikan.

Untuk itu, jika ada orang yang memuji kita, boleh jadi karena pandangannya tertuju pada pembalut Anda yang terlihat indah dan kekar, bagaimana kalau mereka mengerti akan aib yang tersembunyi pada diri Anda, mungkin mereka semua akan berlarian dari Anda. Allah menamakan diri-Nya sebagai Yang Maha Menutup aib (Saatirul Uyuub), sehingga dia selalu menjaga rahasia-rahasia yang tersembunyi pada setiap hamba-Nya, andaikan Allah membongkar seluruh aib itu, dan diberitahukan sungguh tidak sulit bagi Allah.

Mungkin orang yang pada mulanya mencintai Anda akan berbalik membenci Anda jika telah terbongkar aib yang tersimpan pada diri Anda. Kalau Allah Yang Maha Tahu akan segenap aib yang melekat setiap hamba-Nya tidak pernah membongkar aib hambanya, mengapa kita tidak meniru sifat Allah yang agung tersebut. Karena Yang Maha Mulia hanya memberitahukan kemuliaan dan keindahan yang menghiasi hamba-Nya, adapun manusia yang berperangai buruk hanya bisa memotret keburukan yang melekat pada saudaranya. Ketahuilah, kalau orang menebarkan aib saudaranya, sejatinya bukan menebar aib saudaranya tersebut, tetapi semakin mempertebal keburukan dan aib bagi dirinya sendiri.

Saya teringat dengan kisah Abu Jahal dan Abu Bakar Ash-Shiddiq yang memberikan penilaian pada Sayyidina Muhammad Saw, pada saat itu, Abu Jahal bilang, “Saya tidak melihat orang yang lebih buruk ketimbang engkau, wahai Muhammad,” berkata dg roman wajahnya yang terlihat sangar. “Kau benar,” sambut Sayyidina Muhammad Saw dengan lembut. Lantas Abu Bakar Ash-Shiddiq melontarkan penilaian sebaliknya, “tidak ada orang yang lebih indah yang pernah kulihat kecuali engkau Wahai Rasulullah Saw,” “benar engkau sahabatku,”respons Sayyidina Muhammad Saw. Mengapa Sayyidina Muhammad memberikan jawaban yang sama pada penilaian yang berbeda dan bertolak-belakang itu.

Diam-diam Sayyidina Abu Bakar bertanya mengapa memberikan respons yang sama terhadap penilaian yang sangat bertolak-belakang tersebut. “Ya, karena saya adalah seperti kaca yang bening, dan orang hanya bisa melihat wajahnya di kaca yang bening tersebut. Kalau wajahnya buruk, dia akan melihat keburukan tersebut, dan kalau wajahnya bening dan bersih tak ada yang dilihat kecuali yang bening dan bersih saja,” demikian Rasulullah Saw bertutur lembut.

Pembuka Aib orang Lain=Membuka Aib diri sendiri

Merujuk pada kisah diatas, bisa diambil pemahaman bahwa orang sering mencari kejelekan orang lain, justru dia tengah mempurukkan dirinya di lembah keburukan yang semakin dalam. Bayangkan, kalau Anda mencari keburukan dan menebarkan keburukan alih-alih orang bertambah terpesona pada Anda, malah mereka akan bersikap tertutup pada Anda, lantaran takut bila aibnya juga ditebar oleh Anda pada orang lain.

Jika orang tidak setia pada yang tidak hadir—dengan mengurai segala bentuk keburukan orang yang tidak hadir tersebut—justru orang yang hadir akan memberikan penilaian buruk penebar berita itu, walhasil kredibilitas dan kehormatannya bakal tersungkur di hadapan teman dialognya। Setiap perkataan dan sikap Anda menjadi pengukur kualitas diri Anda, semakin tinggi dan berkualitas perkataan Anda justru semakin tinggi kualitas Anda di hadapan orang lain. Orang mulia selalu membuka diri untuk meminta koreksi bagi dirinya sendiri, dan selalu bisa melihat sisi kebaikan yang menghias orang lain.

Adapun perkataan yang cenderung mempreteli keburukan orang lain akan mempergelap citra Anda sendiri. Kita sangat kagum, jika ada orang selalu bisa mencari dan mengungkapkan sisi kebaikan orang yang tidak hadir pada yang hadir. Begitulah tipikal sahabat sejati, yang selalu menebarkan keharuman temannya pada orang lain, tetapi berani memberikan nasihat jika sahabatnya menempuh jalan yang keliru. Tak sedikit orang yang bermanis muka dan menggelar pujian di hadapan temannya, akan tetapi ketika berada di belakangnya lebih sering mengumbar sisi keburukan pada orang lain.

Kalau Anda ingin menjadi orang yang selalu indah di hadapan Allah dan sesama, tinggalkan membuka dan menggunjing keburukan orang lain, malah berusaha meminta saran nasihat bagi diri Anda sendiri. Jika Anda membuka diri untuk mendapatkan koreksi dari lingkungan sekitar Anda, justru Anda telah berproses menjadi pribadi yang bening. Bukankah hanya orang yang merasa kotor yang gampang dibersihkan?

Orang yang mulia selalu mencari sisi terang orang lain, berikut mencari sisi gelap dalam dirinya untuk diperterang, sementara orang bodoh selalu mencari kegelapan orang lain, dan merasa telah menemukan terang dalam dirinya. Dan ingatlah, siapa yang merasa gelap, sejatinya dia sedang menyalakan cahaya dalam dirinya, dan siapa yang merasa terang, sembari mengklaim orang lain berada dalam kegelapan, justru dia sedang memadamkan cahaya dalam dirinya.

Khalili Anwar, Penutur dari Jalan Cahaya

ALLAH MENATAP DENGAN KASIH



Kita tak akan terlahir ke dunia ini tanpa kasih sayang Allah. Jika permulaan kita diawali dengan kasih-Nya, bagaimana mungkin Allah membiarkan kita selalu dalam kondisi merana tanpa kasih sayang-Nya. Andaikan kau selalu merana bukan karena Allah yang hendak membuat Anda merana, tetapi sikap Anda sendiri yang mengundang terciptanya kemeranaan tersebut.
Ingatlah saudaraku, Allah selalu menatap dan mengawasi kita dengan kasih sayang-Nya, hanya saja kita kerapkali dibayangi perasaan ditinggalkan oleh Allah. Bukan Allah yang meninggalkan Anda, tetapi Allah telah kau tanggalkan dan lepaskan dari domain kesadaranmu. Lantas, bagaimana mungkin orang bisa merajut kebahagiaan tanpa hadirnya kesadaran pada-Nya. Anda akan merasa ditinggalkan oleh Allah lantaran terhijab oleh kualitas pengetahuan tentang Dia. Kalau Anda semakin mengenal-Nya lebih dekat, maka Anda akan selalu merasa berada dalam “zona butuh” pada Allah setiap saat. Dan orang yang berada dalam zona butuh pada Allah secara berkelanjutan insya Allah akan memeroleh kelezatan munajat pada-Nya.

Adalah seorang kenalan TNI mengabarkan pada saya tentang kondisinya yang sedang tidak beruntung. Berkali-kali dia urung memeroleh kenaikan karir. Saya sampaikan agar jangan pernah putus asa dengan kasih sayang Allah, karena Allah selalu meluberkan kasih sayang-Nya pada seluruh hamba-Nya tanpa henti. Rahmat Allah akan selalu turun tak pernah berhenti, mungkin hujan bisa berhenti, tetapi rahmat Allah selalu tersedia bagi makhluk yang mengharapkannya. Siapa yang putus asa dari rahmat Allah, berarti telah memutuskan segala kanal dan saluran sampainya rahmat Allah padanya. Hanya saja, kita sering menilai bahwa realitas itu tidak mengalir dari sungai kasih-Nya, sehingga kita gagal mendapati kebahagiaan melalui rentetan realitas tersebut.

Katanya Allah Maha Kasih, lantas mengapa mendepakkan cobaan pada hamba-Nya? Tahukah Anda bahwa orang tua yang penuh kasih pada anaknya, tidak hanya mengekspresikan kasihnya dengan belaian, ada kalanya dia bersikap keras untuk membentuk karakter anaknya agar kuat. Anaknya disuruh menimba air di sumur, di suruh bangun di malam hari yang dingin, dilatih memasak dsb.

Semua kegiatan tersebut sekilas sebagai hal yang tidak baik, tetapi sejatinya seluruh kegiatan yang keras itu untuk membuat anaknya semakin tangguh dan berdaya। Perlakuan keras orang tua bukan penanda minusnya kasih sayang, malah mencerminkan begitu kentalnya kasihnya pada si anak, orang tua harus terus melatih anak tersebut agar menjadi sosok yang perkasa dan anggun. Pada saatnya, anak tersebut layak mendapatkan kemuliaan. Bayangkan, kalau seorang tentara tanpa melalui pelatihan yang ketat tiba-tiba diangkat menjadi Panglima TNI? Sosok yang diangkat tanpa melalui kelayakan justru tak akan pernah menyimpan kharisma di hadapan sesama. Kalau begitu, setiap realitas yang menghantam kita sebagai bentuk agenda Allah pada Anda agar layak memeroleh kemuliaan dari-Nya. Adakah Nabi-Nabi ulul Azmi yang sepi dari cobaan? Semua Nabi Ulul Azmi mendapati cobaan yang memperkuat beton-beton kepribadiannya, sehingga mereka layak bersematkan kemuliaan dari Allah dan dimuliakan oleh manusia. Kalau begitu, segala kenyataan pahit yang Anda rasakan saat ini hanya sebagai wahana untuk membuat Anda semakin layak menjadi orang hebat dan besar. Maka orang yang bisa mendulang kemakmuran yang besar, dia pernah mengalami krisis besar. Kehebatan seseorang sejalan dengan sikapnya menghadapi masalah-masalah besar.


Karena itu saya selalu teringat pada Sabda Nabi Saw, “barangsiapa yang diinginkan kebaikan pada hamba-Nya, maka Allah akan menurunkan ujian.” Sudah saatnya, kita berprasangka terbaik pada Allah, bahwa semua apa yang hadir di hadapan kita disajikan Allah dengan kasih sayang-Nya. Hadapilah seluruh kenyataan dengan prasangka terbaik, dan hati selalu berserah diri pada Allah. Jaringlah segera matahari kebahagiaan. Insya Allah.

Khalili Anwar, Penutur dari Jalan Cahaya

Senin, 19 Maret 2012

MENEPI UNTUK MENGGAPAI MUTIARA


Siapa yang tidak senang pada mutiara. Seluruh orang menyukai mutiara, kecuali orang yang tidak mengenali harga mutiara, atau mereka berada dalam kondisi yang terjepit, seperti orang yang hampir tenggelam hendak ditelan oleh air, maka mutiara tidak lagi memiliki harga baginya. Dia lebih menyukai orang memberikan ban bekas, agar dia bisa menepi dari hantaman ombak yang hendak menelannya.

Jika setiap orang menyukai mutiara, tentu kita tidak berhenti hanya menyukai mutiara, sehingga berjuang untuk menjadi mutiara. Kalau Anda bahagia karena berdekatan dengan mutiara, justru Anda akan didepak kegelisahan oleh karena dipaksa berpisah dari mutiara. Kita tidak berjuang meraih mutiara yang berasal dari samudera, akan tetapi bagaimana kita bisa mendulang mutiara yang bersembunyi dalam diri kita sendiri. Kalau Anda telah berhasil mengenali dan mengeruk mutiara yang bertempat dalam diri Anda sendiri, justru Anda akan diliputi kebahagiaan setiap saat. Lantas apa bedanya mutiara yang dikeruk dari samudera, dan yang didapati dalam samudera batin ini?

Jika orang mendapatkan mutiara dari samudera yang terbentang di alam raya, dia memeroleh kebahagiaan sebatas ketika mutiara berada di genggemannya. Dan mutiara yang dikeruk dari lautan tersebut pada saatnya melahirkan kebosanan. Seketika orang bosan, kebahagiaan yang dimaksud tak lebih sekadar gejala (bayang) kebahagiaan yang datang-pergi, timbul-tenggelam, dan bongkar-pasang. Tatkala orang menyandarkan kebahagiaan pada dimensi eksternal, pastilah dia akan selalu berada dalam posisi yang berjarak dengan dimensi yang membuatnya bahagia.


Dan lebih dari itu, bahwa orang yang menyandarkan kebahagiaan pada mutiara yang berada di eksternal dirinya, dia telah merendahkan posisi di hadapan benda-benda, bukankah hanya orang yang merendahkan dirinya di hadapan benda-benda, yang layak diperbudak oleh benda-benda, sehingga dia gagal bersentuhan dengan elemen kebahagiaan yang sejati.
Tak jarang orang menemukan kebanggaan dengan gelar yang disematkan padanya, menemukan kebahagiaan melalui kedudukan yang disandangkan padanya, mendapati kesenangan lewat aksesoris duniwi yang menghiasinya. Kebahagiaan yang bersandarkan pada sisi luar itu mengkonfirmasi bahwa seluruh dimensi kebahagiaan tersebut lebih agung ketimbang dirinya sendiri.

Allah telah memuliakan manusia ketimbang makhluk-Nya yang lain, dan manusia menjadi rendah lantaran orientasi dan sikapnya yang cenderung tertuju pada selain-Nya. Kalau manusia telah menjadikan Allah sebagai orientasi dan tujuan hidupnya, insya Allah kebahagiaan akan segera memancar indah dari dalam hatinya. Ya, kalau manusia berorientasi pada selain Allah, semua kebanggaan dunia tidak bisa mempersembahkan kebahagiaan sempurna bagi dirinya.

Becoming Mutiara

Saatnya kita harus menggali mutiara dalam diri kita sendiri, bahkan kita telah menjadi mutiara, sehingga kebahagiaan layak menempati hati kita setiap saat. Kalau Anda ingin merasakan mutiara dalam diri Anda, maka Anda harus bisa memahami bagaimana pasir bisa mengubah dirinya menjadi mutiara.

Pertama, tanamkan perasaan Anda bukan siapa-siapa, dan Anda adalah sehina pasir. Kalau Anda telusuri, pasir tidaklah lebih berharga ketimbang besi. Kalau Anda menjual besi dan pasir, tentu saja orang akan lebih membayar harga mahal bagi besi. Hanya saja, ketika pasir telah merubah dirinya menjadi mutiara, maka orang-orang kaya akan mendekati mutiara tersebut. Pun demikian, kalau Anda ingin mengenal harga manusia yang dimuliakan Allah dalam dirimu, ternyata bukan didapatkan dengan menyombongkan diri.

Hargailah diri Anda seperti halnya pasir, yang pada mulanya diinjak-injak, bahkan pasir menepi dari berbagai hiruk-pikuk gelombang. Tatkala pasir menepi, pada saatnya ia disauk gelombang untuk dibawa menuju tengah samudera, berikut ditarik ke titik pusaran gelombang sehingga mencapai kedalaman samudera. Kemudian, ia dipertemukan dengan kerang yang siap memprosesnya menjadi mutiara. Ringkasnya, pada saat manusia sudah pupus perasaan berharganya, justru sebagai proses memuliakan dirinya di hadapan Allah.

Kecilkan dirimu seperti pasir, dan biarkan dirimu dihina, dan jangan pernah merasa disakiti oleh hinaan orang yang menghina, lenyapkan segala bentuk pengakuan yang hanya membesarkan dirimu, maka siap-siaplah Anda akan ditarik menuju medan magnet Ilahi. Bukankah hanya orang yang merasa hina yang akan dimuliakan oleh Allah, hanya orang yang merasa bodoh yang akan dialiri ilmu dan hikmah oleh Allah, dan hanya orang yang tak merasa berdaya yang justru akan diperkuat oleh Allah SWT. Gampangnya, orang yang telah merasa sebagai mutiara, justru tidak akan diproses menjadi mutiara yang mengabarkan kebahagiaan bagi orang lain.
Berkait dengan mutiara dan pasir, saya teringat pada sebuah kisah, seorang pelayan yang mendampingi majikannya dalam sebuah perjalanan. Di tengah perjalanan, rupanya sang majikan dongkol dengan perilaku pelayannya, sehingga dia selalu mengoceh dan mencaci maki si pelayan. “kau tak lebih berharga daripada pasir,” kata majikan dengan nada kesal. “Ya, saya memang tak lebih daripada pasir ini, dan engkau adalah mutiara,” kata si pelayan sembari menggenggam pasir. “tapi, walau ini hanya sejumput pasir, dan engkau adalah mutiara, pasir tetap yang pertama kali mendapatkan pancaran sinar matahari. Dan mutiara yang ditaruh di lemari yang memiliki pengaman yang berlapis-lapis, justru sama-sekali terhalang dari pancaran sinar matahari,” lanjut si pelayan layaknya pengkhotbah.

Selintas perbincangan itu mengabarkan pada kita, bahwa kalau Anda ingin menjadi mutiara yang hakiki, jangan pernah sedikit pun terbetik perasaan bahwa Anda adalah mutiara. Jangan pernah sedikit pun Anda menahbiskan diri sebagai sosok yang mulia. Alih-alih orang bersematkan kemuliaan tatkala merasa mulia, malah akan terpuruk dalam kehinaan.
Kedua, berserah dirilah. Penyerahan diri sebagai jalan tercepat agar Anda ditarik menuju titik pusat Ilahiah, walhasil dia akan bercengkerama dengan pusat kebahagiaan yang tanpa batas. Bayangkan, pasir yang menepi tidak seterusnya dia bersikukuh untuk menepi, justru dia akan selalu berserah diri, sehingga ada gelombang besar yang menggapainya menarik ke pusat arus gelombang. Dengan berserah diri, manusia akan gampang ditarik oleh Allah.
Sadarilah, sikap berserah diri menandakan bahwa orang telah memupus penghalang baginya dari Allah SWT. Jiwanya berada di titik terdekat dengan Allah SWT, sehingga gerakan yang dilakoni selalu dijiwai dengan spirit Ilahi. Jika hati telah disepuh dengan penyerahan diri, berarti dia pupus dari daya dan kekuatan dirinya sendiri, menuju daya dan kekuatan Allah SWT. Karenanya, jika orang telah menggapai pengalaman batin “Laa Hawla Walaa Quwwata Illa Billah”, dia telah mendapati perbendaharaan kekayaan yang tak pernah lenyap. Dia telah bersama Allah setiap saat. Siapakah kiranya yang akan terdera penderitaan manakala sudah bersama dengan Yang Maha Menguasai bumi dan langit dan Maha Kaya?

Menepilah seperti pasir, agar kau dibawa oleh arus Ilahi untuk diproses sebagai mutiara yang amat berharga Sehingga kau tidak hanya mendapatkan kebahagiaan, kau telah diproses sebagai kebahagiaan itu sendiri. Setiap orang yang memandangmu akan selalu mengakses kebahagiaan yang hakiki. Insya Allah.

Khalili Anwar, Penutur dari Jalan Cahaya

MENGGAPAI KEKAYAAN HAKIKI




Jika ditanya ke semua orang, “apakah kalian menginginkan kekayaan?” serempak mereka jawab, “Yaa saya ingin sekali kaya!.” Kaya menjadi dambaan setiap manusia, kendati tidak semua orang bisa merengkuh kekayaan yang diharapkan. Seluruh rakyat negeri ini berminat menjadi orang kaya, tetapi kenyataannya kekayaan terkonsentrasi pada segelintir orang saja, bahkan mereka masih tega merampas hak rakyat yang sudah berada di lembah kemiskinan.

Ketahuilah kekayaan bukan hanya keinginan yang muncul dari kawah hawa nafsu, tetapi kekayaan juga didambakan oleh hati nurani. Bahkan sejatinya kekayaan definisi hawa nafsu hanya pantulan yang terdistorsi dari kekayaan yang dimaksud oleh hati nurani. Hati nurani mendambakan kekayaan, ketika dia telah merasakan kelezatan bermunajat pada Allah, berzikir pada Allah, dan timbul perasaan fakir dan butuh pada Allah semata-mata. Kalau orang telah mendapati kekayaan hakiki ini, dia tidak berharap kekayaan eksternal, dan dia selalu berada dalam keadaan bahagia, walau kondisi luar membenturnya ke tembok-tembok kesusahan. Siapa yang telah mendapati kekayaan batin, ia akan selalu mencapai bahagia setiap saat.

Selama ini banyak orang memburu kekayaan, sehingga rentang waktu 24 jam dihabiskan oleh perkara perolehan harta duniawi. Bahkan, walau mereka telah diberi waktu 24 jam, terasa masih kurang. Jika pemburu duniawi itu ditanya, apakah Anda sudah puas dengan capaian kekayaan yang Anda dapatkan di hari ini? Mereka akan menanggapinya, saya belum puas dengan perolehan saya di hari ini. Ketahuilah, tatkala di dalam hatinya telah lenyap perasaan puas terhadap anugerah duniawi ini, sejatinya ada kekayaan hakiki yang dicabut dari hatinya, yakni qonaah. Bilamana sifat qona’ah telah dicabut dari hatinya, justru hatinya akan selalu digoncang oleh persoalan duniawi, walhasil dia luput mendulang kebahagiaan yang hakiki.
Adalah seorang guru pernah bertamu pada orang kaya raya yang menghuni rumah sangat mewah. Pada saat berjumpa dengan pemilik rumah, tidak ada yang terlontar dari lisannya kecuali keluhan semata-mata. Mengeluh seolah menjadi menu hariannya, sehingga kekayaan yang didapatkan tidak memantulkan kekayaan di batinnya. Guru saya menyindir, “ji ji, masak rumah sebesar ini tidak turun setetes rahmat pun dari Allah?” demi mendengar perkataan sederhana dari guru, dia pun tersentak kaget menyadari betapa rahmat Allah yang dianugerahkan padanya amat besar, tetapi keluhan telah menindih rahmat tersebut, walhasil kebahagiaan tidak merealisasi dalam kehidupannya.

Kita sering menemui orang kaya, tetapi wajahnya terlihat amat miskin, disesaki berbagai keinginan, dan anehnya keinginan yang menggantung di pikirannya kerap berbenturan dengan keinginan Allah. Keinginan yang sering tidak tercapai telah menebalkan alasannya baginya untuk melontarkan keluhan yang tak pernah surut, sehingga dia selalu terlihat miskin. Tetapi, ada orang yang profesinya sebagai tukang sapu di jalan, dia selalu terlihat tersenyum indah, setiap orang yang melihatnya kadang cemburu akan kebahagiaan yang ditampilkan. Bagaimana kiranya dia bisa mengukir rumah kebahagiaan dalam hatinya, padahal jelas-jelas pekerjaan sebagai tukang bersih-bersih digaji dengan tidak seberapa. Ya, kendati dia tidak memeroleh uang yang banyak, tetapi hatinya telah dianugerahi kekayaan oleh Allah, sehingga dia layak bahagia setiap saat.

Ada seorang guru yang telah mewakafkan dirinya pada umat. Waktunya lebih banyak dipergunakan mengajari umat ihwal ilmu agama, tidak ada pekerjaan yang bisa menjadi mesin nafkah bagi keluarganya. Hanya saja Allah selalu memberikan kecukupan dalam hidupnya. Ya, dia selalu dicukupkan oleh Allah, karena beliau mengenal dan meyakini Allah sebagai Yang Maha Mencukupi (al-Kafii), dan beliau sudah merasa cukup dengan Allah. Sepanjang hidup yang dijalani, beliau tidak pernah terdengar mengeluh apalagi mengelus dada oleh sesaknya persoalan duniawi.

Beliau selalu tersenyum, sehingga kondisi yang sebenanrya dari sosok ini tidak bisa diradar oleh orang lain. Karena beliau tak lagi terpengaruh dengan iklim kehidupan, dia telah menguasai iklim kehidupan, sehingga wajahnya selalu terlihat bercahaya bahkan ditumpahi perasaan syukur terus-menerus. Beliau tidak pernah meminta diperhatikan apalagi dikasihi orang lain, beliau merasa cukup dengan kasih sayang Allah SWT padanya, bahkan beliau selalu ingin berbagi kebahagiaan dengan sesama.

Mungkin semua orang mengira bahwa beliau memiliki kekayaan yang melimpah, tak ayal ada orang yang terbelit ekonomi menghampirinya untuk memeroleh pinjaman uang. Ya, beliau memiliki kekayaan, tapi bukan kekayaan tersimpan di brankas atau di bank, tetapi beliau memiliki kekayaan yang terpendam dalam hatinya, sejalan dengan apa yang disampaikan Sayyidina Muhammad Saw melalui sabdanya, “tidak ada kekayaan itu adalah kekayaan yang diperoleh dari bumi (harta benda), hanya sanya kekayaan itu adalah kekayaan jiwa.”
Manakala orang telah menggapai kekayaan yang hakiki ini, maka wajahnya akan selalu terlihat sumbringah dan memancarkan spirit bagi orang yang menatap wajahnya. Setiap saat dia berbagi kekayaan—pencerahan—pada setiap orang yang dijumpai, bukankah hanya kata-katanya yang menerangi dan mencerahkan jiwa, bahkan wajahnya yang bening dan bercahaya turut menerangi hati orang yang menatapnya.

Marilah kita terus menerus menggali kekayaan yang terpendam dalam hati kita dengan melatih sifat qonaah (puas) dengan apa yang diberikan Allah, dan kita tidak puas dengan kebaikan yang kita lakukan. Sehingga kita selalu berusaha berbagi kebahagiaan dan kebaikan pada setiap orang… Insya Allah.

Khalili Anwar, Penutur dari Jalan Cahaya

RE-KIMIAWI AA GYM DAN TEH NINIH MUTHMAINNAH



Mendadak hati ini terasa lega dan bahagia sesudah membaca kabar bahwa Aa Gym dan Teh Ninih Muthmainnah (teh Ninih) rujuk, terjalin kembali dalam hubungan suami-istri. Seperti apapun orang berujar tentang Aa Gym, beliau masih termasuk deretan inspirator yang menjejakkan ilmu di hati saya. Banyak pencerahan yang saya jaring dari ceramah yang disampaikan, berikut tindakan-tindakan konkret yang mewarnai perjalanan dakwahnya.
Dakwah Aa Gym bersinar salah satunya berkat dukungan full dari Teh Ninih yang dengan kelembutan plus ketegarannya menemani perjuangan dakwahnya Sebelum Aa Gym muncul—dengan mode dakwahnya yang menyejukkan—negeri ini seolah miskin keteladanan, dan seluruh rakyat mencari siapa kira-kira yang layak menjadi kiblat dan rujukan bagi umat.

Apalagi, tatkala itu banyak tokoh ulama yang berduyun-duyun masuk ke ranah politik praktis, sehingga kepercayaan publik terhadap ulama’ mengalami ujian yang luar biasa. Aa Gym berusaha merespons segenap kegamangan yang memadati relung publik Indonesia melalui dakwah yang menjurus pada perbaikan diri ketimbang sibuk memperbaiki dan mengonceki orang lain. Perbaikan diri itu terpantul dari semangat untuk memperbaiki hati yang kemudian dipopulerkan dengan sebutan Managemen Qolbu (MQ).

Keruntuhan pamor Aa Gym bermula dari keputusan poligami yang masih terkesan tabu di ranah masyarakat Indonesia yang aneh ini, yang disisi lain hubungan di luar nikah dari pacaran hingga perzinahan dianggap suatu yang biasa. Tak kurang intelektual muslim, bahkan ada sebagian tokoh agama mengkritisi keputusan poligami yang ditempuh Aa Gym disertai prasangka buruk, bahwa Aa Gym menikah oleh karena dorongan hawa nafsu.

Penulis berharap rujuknya Aa Gym dan Teh Ninih menjembatani bersinarnya kembali dakwah Aa Gym, sehingga bertambah banyak publik Indonesia yang bisa mengakses pencerahan. Akhir-akhir ini, kita lebih sering mengonsumsi berita negative ketimbang berita yang positif, sehingga publik kerap-kali terbentuk oleh berita-berita negative tersebut. Bagaimana kita bisa mendapati berita yang baik, kalau yang dijadikan news maker notabena orang yang tidak bisa disebut baik. Bukankah dari orang yang berkarakter buruk hanya bisa melahirkan berita-berita buruk dan dari orang-orang baik insya Allah kita bisa memeroleh berita-berita baik. Kecuali, media merekayasa dan menjungkir-balikkan fakta untuk kepentingan komersialisasi, sehingga orang baik diberitakan buruk, dan orang buruk diberitakan baik.

Makanya, kita harus membantu orang-orang baik agar terus bisa bersinar, sehingga banyak teladan-teladan baik yang bisa dijadikan cermin bagi generasi muda. Jangan biarkan orang yang telah menjadi teladan bagi generasi muda, kemudian diruntuhkan ‘iffahnya’ dengan berbagai rumor negative, sehingga generasi muda seakan tak mendapati cahaya yang bisa menunjukkan mereka menuju kesuksesan. Semakin banyak model of life yang dijiwai dengan spirit agama, insya Allah akan makin bertambah generasi yang menjadi orang baik.

Pemberitaan media memiliki kekuatan yang dahsyat untuk memproyeksi citra seorang meroket naik secara mendadak, dan meluncur runtuh secara tiba-tiba. Pemberitaan negative yang tidak berdasar ihwal seorang tokoh yang sejatinya baik, justru akan memupus ekspektasi publik untuk bisa berlaku baik. Bukankah orang tergerak melakukan kebaikan lantaran ada model kebaikan tersebut, tetapi tatkala orang yang dijadikan model hidup dibaluri citra negative, yang kemudian menimbulkan persepsi berbeda tentang tokoh tersebut, maka perlahan-lahan semangat melakukan kebaikan akan menurun. Bukankah kebaikan kolektif hanya bisa dicapai dengan kehadiran seorang tokoh yang bisa menggerakkan massa Indonesia secara kolektif. Dan Aa Gym saat itu memiliki peran yang menasional, dan bisa merangkul umat dengan berbagai aliran, dan bisa bisa merekatkan hubungan antara agama dalam bingkai keindonesiaan. Dia diterima oleh semua kalangan masyarakat, membuktikan ihwal keteduhan dan kesejukan Islam yang sejati.

Selamat atas rujuknya Aa Gym dan Teh Ninih. Semoga kembalinya cinta Aa Gym dan Teteh menjadi awal terbukanya kembali pintu bagi Aa Gym untuk berkiprah mendandani bangsa ini bersama tokoh-tokoh lainnya. Ayo Aa, bangkit kembali, tebarilah kembali bangsa ini dengan pencerahanmu. Kita merindukan Aa Gym yang dulu tidak pernah berhenti menebar inspirasi-inspirasi mencerahkan bagi generasi muda. Semoga Aa Gym kini tidak hanya memberikan pencerahan, juga berperan melahirkan generasi-generasi yang siap berbagi pencerahan bagi bangsa ini. Insya Allah. Amien.

Khalili Anwar, Penutur dari Jalan Cahaya

Jumat, 16 Maret 2012

BELAJAR DIAM PADA BUNGA

Pada pagi berbalutkan kecerahan, diwarnai cahaya mentari yang memancar dari ufuk timur, kutemukan lahan “farsyi” melalui bunga yang melulu menampakkan senyum di hadapanku। Dalam diamnya, bunga itu telah mematrikan kebahagiaan di batin ini. Lisanku diam, pikiranku hening, dan hatiku pun fokus menyapa bunga dengan segenap keindahannya.

Dari situ, hamba yang amat hina ini berusaha menyerap pelajaran pada kemuliaan yang telah Allah sematkan pada bunga. Ia memang diam, tetapi diamnya sebagai manifestasi puncak kefasihan berbicara, tak ayal diamnya menarik pesona setiap orang yang menatapnya.

Wahai bunga, kau seakan telah merangkum seluruh keindahan universal, karenanya kau telah memesona seluruh semesta. Manusia dari berbagai sekte, agama, dan etnis tak ada sedikit pun yang menaruh kebencian padamu, semuanya menyukaimu. Tak ayal, kau kadang dijadikan sebagai bentuk ekspresi syukur oleh seluruh manusia. Kau kadang dijadikan wahana mengekspresikan cinta seorang pada kekasihnya, kau akan menjadi hiasan pagi pengantin yang bersendawa di pelaminan, kau juga dihaturkan sebagai ekspresi selamat atas pencapaian sebuah gelar pada seseorang, kau juga ditaburkan di tempat pemakaman sebagai ekspresi kasih yang tak pernah lekang oleh kematian. Kau boleh layu, tetapi keindahanmu telah dijejakkan di hati setiap orang, sehingga siapa yang mengingatmu hanya mengingat keindahanmu saja. Kau boleh mati, meninggalkan kehidupanmu tetapi harummu tak pernah pudar di “penciuman batin” semesta.

Saya menemukan keindahanmu, saat saya dan kau sama-sama diam, mematung dalam zona meditatif, seakan berbisik banyak kearifan dari lubuk batin ini. Bunga, kau tak meninggalkan jejak keburukan sedikit pun di hati orang lain, tetapi hamba yang hina dan bertumpuk dosa ini, sering meninggalkan jejak keburukan di hati orang lain. Bukankah kemuliaan makhluk di sisi Tuhan-nya bergantung pada atsarnya. Kau telah meninggalkan rangkaian kenangan indah di hati setiap orang, insya Allah kau memang dihadirkan untuk dimuliakan oleh semesta.
****

Memang, keanggunan bersematkan pada bunga yang selalu diam. Bolehkah aku diam untuk bisa mengakses keanggunan bunga. Pasalnya, diam bukan perkara mudah. Diam memerlukan perjuangan yang gigih agar bisa bersentuhan dengan kelembutan yang bertempat di dimensi batin. Bayangkan, kalau Anda ingin merasakan ramai, belajarlah pada mesin-mesin yang mati, yang tak jarang memekkan telinga, dan membudekkan batin. Saban hari, kita lebih sering menemukan keramaian, daripada suasana hening. Di jalan-jalan, kita tidak pernah terhindar dari suara mesin motor dan mobil, apalagi jika yang mengendarai berpenampilan ugal-ugalan.

Kalau kita makin tertarik pada suatu yang artifisial, justru semakin tidak menyukai diam, malah lebih senang dengan hiruk-pikuk keramaian. Bayangkan, kini kebanyakan orang terjangkiti penyakit tidak kerasan di rumah, pasalnya di rumah tidak ditemukan suasana ramai. Tidak menyukai keadaan yang sepi. Karenanya, mereka berselancar di suasana ramai dengan mengunjungi mall atau tempat-tempat hiburan. Bayangkan, berapa banyak orang yang memadati konser bernuansa hiburan, apalagi yang berjingkrak-jingkrak di panggung notabena penyanyi kelas internasional. Jika sudah berada di mall atau tempat hiburan, mereka seakan bisa mengobati kesepian yang mengungkungnya selama ini. Akan tetapi yakinilah saudaraku, hiburan yang Anda tonton tersebut tidak mewariskan kebahagiaan di batin. Bahkan hiburan itu telah menguras kebahagiaan di lahan batin Anda. Karena itu, tak jarang orang yang menonton konser yang membuat orang lalai pada Allah, merasa ada suatu yang hilang. Yang hilang itu adalah kebahagiaan. Anda hanya bisa menemukan kebahagiaan tatkala Anda bisa terkoneksi dengan zona hening dalam diri Anda sendiri.

Anda berlatih diam memerlukan ketekunan yang lebih ketimbang berlatih berbicara. Karena keterampilan berbicara mudah hanya dengan mengikuti pelatihan-pelatihan public speaking plus hawa nafsu sangat menyukai berbicara. Apa-apa yang didukung hawa nafsu akan lebih mudah dikuasai. Adapun berlatih diam memang terasa sulit, karena hawa nafsu sendiri tidak menyukai diam. Berlatih diam, tidak hanya menutup lisan, tetapi juga mengekang hawa nafsu agar tidak sering menginterupsi kita untuk berbicara.

Ada saatnya, kita menyediakan waktu untuk berdiam dalam renung, sehingga kita bisa menyapa hening dalam diri kita, walhasil menemukan mutiara kearifan yang berjejak dalam diri kita. Insya Allah.

Khalili Anwar, Penutur dari Jalan Cahaya

Kamis, 15 Maret 2012

DARI LUBANG MENUJU LUBANG


Manusia kerap memahami lubang sebagai tempat berdiamnya hal-hal yang menjijikkan. Kita mengenal ada lubang—sarang—ular, lubang biawak, lubang semut, lubang hidung yang menyimpan kotoran, lubang telinga juga menyimpan kotoran, bahkan lubang mata menyimpan kotoran. Padahal tanpa disadari kita hidup lantaran adanya lubang. Apakah Anda membayangkan bisa hidup tanpa hidung yang berlubang? Bisakah Anda merasakan kelezatan makanan tanpa mulut yang berlubang? Bisakah Anda melihat tanpa mata yang berlubang? Bahkan kotoran yang menjejali perut dan kantong kemih Anda juga harus dikeluarkan lewat lubang. Bagaimana rasanya orang yang hendak mengeluarkan kencing, tetapi penisnya tak berlubang?


Karena adanya lubang manusia bisa mengalami hidup। Bahkan awal manusia mengalami hidup berasal dari lubang. Kejadian manusia bermula dari pertemuan mani dan ovum yang sama-sama berasal dari lubang—maaf kemaluan. Pertemuan keduanya berproses menjadi segumpal daging, dan bertumbuh menjadi bayi yang juga dikeluarkan lewat (lubang) wanita. Jika kelahiran melalui lubang, maka kematian manusia pun akan kembali ke lubang, yakni liang lahat.

Tidak sebatas manusia yang mewujud dari lubang, bahkan kehidupan ini berasal dari lubang, andaikan ada lubang yang tertutup tidak akan ada manfaat yang bisa dibagikan. Air yang kita minum juga berasal dari lubang, pepohonan untuk bisa mencapai pertumbuhan sempurna juga harus ditanamkan di tanah yang berlubang.
***
Karena itu, jangan pernah kau meremehkan lubang, karena dari lubang seluruh kehidupan ini mengalami realisasi secara optimal। Manusia tidak bisa lepas dari lubang. Kiranya bagaimana orang bisa mendapatkan kehidupan tanpa adanya lubang. Lubang mewakili ruang. Ketahuilah, orang mengalami hidup lantaran adanya ruang. Anda bisa duduk menikmati makanan yang terhidang di depan meja lantaran ada ruang yang disediakan untuk Anda. Ruang itu sepertinya tidak ada, padahal ruang itu ada, bahkan ruang mendasari keberadaan segala sesuatu. Mungkinkah Anda melihat segala sesuatu yang mengalami eksistensi di ranah tanpa ruang?

Memang, kau tidak bisa melihat rupa ruang (lubang), apalagi warnanya, tetapi ia selalu hadir dalam setiap keadaan. Karena lubang itu seakan tidak berbentuk, Anda kurang menghargai kehadiran lubang tersebut. Dan Anda lebih menghargai apa yang keluar dari lubang. Bayangkan, Anda mungkin jijik menyentuh dubur ayam, tetapi Anda tidak pernah jijik kalau menyentuh telur ayam. Padahal Anda sadar, bahwa telur itu keluar dari (lubang) dubur ayam. Manusia yang diciptakan sebagai khalifah ini keluar dari kemaluan. Kemaluan identik dengan suatu yang memalukan, dan hanya layak dihampiri kamaluan juga. Akan tetapi, perlu disadari bahwa dari kemaluan itulah muncul makhluk yang dimuliakan Allah Jalla Jalaaluh sebagai khalifah. Kendati Anda berasal dari lubang yang penuh dengan kotoran, Anda mensyukuri kelahiran, dan Anda harus berusaha menumbuhkan kemuliaan yang bertempat dalam diri. Jika manusia mengerti akan asal muasalnya, niscaya dia akan selalu menghargai segala lubang yang melekat padanya dengan cara menjaganya dari segala bentuk kemaksiatan pada-Nya.

Begitu pentingnya lubang, maka manusia harus menjaga lubang-lubang yang lekat pada tubuhnya dari segala bentuk kemaksiatan. Andaikan orang berbuat kemaksiatan melalui lubang yang terinstalasi pada dirinya—berarti tidak bersyukur—tak ayal kalau di kemudian hari manusia akan didepak penderitaan oleh karena perbuatan tersebut. Bayangkan, banyak orang terjangkiti penyakit HIV AIDS lantaran menyalahgunakan lubang. Banyak penyakit yang melanda manusia saat ini oleh karena makanan yang dikonsumsi. Anda pasti sudah tahu makanan tersalurkan lewat mulut. Padahal, ketika manusia menjaga makanan insya Allah kesehatan badannya akan terjaga pula. Mulut disini tidak sekadar terkendali dari masuknya penyakit lahir, tetapi harus terkendali dari masuknya penyakit batin. Bayangkan, tak jarang perseteruan, kebencian yang terus menebar, dan bahkan peperangan bermula dari lisan (mulut). Karena itu, Rasulullah Muhammad Saw bersabda, “siapa yang menjamin bisa menjaga lisan, maka saya menjamin surga.” Bermula dari fitnah terkadang menyulut permusuhan satu sama lain.

Penyakit juga datang dari udara kotor yang dihirup oleh hidung kita. Karena itu, hidung harus terjaga dari menghirup udara kotor (polutan). Andaikan kita mampu menjaga hidung kita dari menghirup zat-zat yang kotor, insya Allah kesehatan kita tetap terjaga dengan baik. Janganlah membiarkan diri mencium segala bentuk yang dilarang Allah, bukankah ciuman akan mengantar orang mencapai kesan yang mendalam. Andaikan kau mencium apa yang dilarang, justru itu akan selalu membawa kesan mendalam atas dosa-dosa yang kau perbuat, atau bahkan Anda akan ditarik pada bayangan gelap tersebut. Bayangkan muda-mudi yang berani berciuman, sejatinya dia sedang menghunjamkan derita ke dalam batinnya sendiri.

Tulisan sederhana ini hanya hendak mengajak Anda agar mensyukuri kehadiran lubang, karena dari lubang inilah Anda bisa menyelenggarakan kehidupan. Selain itu, Anda harus bersabar agar tidak menggunakan lubang-lubang yang menempel pada tubuh pada hal yang dilarang oleh Allah. Perpaduan syukur-sabar tersebut insya Allah akan mengantar Anda dalam zona kebahagiaan secara berkelanjutan.

Khalili Anwar, Penutur dari Jalan Cahaya