Rabu, 26 Desember 2012

KEASLIAN

Kalau Anda ditawari sebuah produk yang palsu dan asli, mana kiranya yang Anda pilih? Kalau saya sendiri menjatuhkan pilihan pada yang asli daripada yang palsu. Jika Anda disuguhi produk yang instan, gampang rusak dan yang awet, kiranya yang mana kau pilih? Kalau saya sendiri akan memilih yang awet ketimbang yang gampang rusak.
Pilihan saya insya Allah mewakili kemauan manusia secara universal. Kalau kemudian ada orang yang memilih yang palsu dan cepat rusak bukan karena dorongan dari hati nuraninya, tetapi boleh jadi karena ada keterbatasan finansial untuk membeli produk yang asli.
Jika saya membeli onderdil untuk sepeda motor yang perlu diganti, bengkel biasanya menawarkan pada saya onderdil yang asli dan imitasi, saya terpaksa memilih onderdil yang imitasi karena jauh lebih murah dari yang asli. Bayangkan, kalau ada perjaka yang hendak mencari jodoh, mereka tentu menjadi yang masih perawan (suci) ketimbang yang sudah “terenggut” keperawanannya.
Keaslian bukan hanya kemauan universal manusia, bahkan itulah entitas sejati manusia, yang asli dan abadi. Manusia mendapatkan tiupan ruh yang kudus, abadi, dan berbalutkan kedamaian tanpa batas. Disanalah manusia telah merasakan surga. Begitu juga kondisi ruhani yang dialami oleh manusia ketika masih berada di rahim, tepat saat berada dalam alam ruh, mereka berada dalam damai tanpa batas. Dan saat lahir ke dunia, dia memasuki dunia baru, bagi yang tidak berpegang pada warisan nilai surgawi yagn pernah diusung saat di alam rahim, justru dunia menjadi gerbang neraka. Disanalah manusia akan selalu menyapa derita demi derita, melangkah dari satu kegelapan ke kegelapan berikutnya.
Kini, bagaimana kita mengembalikan keaslian, sehingga kita menyerap aroma surga setiap saat. Kejujuran menjadi bekal awal untuk merasakan surga. Karenanya, kejujuran menjadi jalan menggapai suasana surgawi, dan dusta (kepura-puraan) menjadi jalan merasakan suasana neraka.
Kita mendapati sebuah fenomena dimana kejujuran amat sulit didapatkan, sehingga KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) yang berkomitmen memberantas korupsi seakar-akarnya mengusung tagline Jujur itu hebat. Tagline itu semoga ampun untuk menyuntikkan keagungan nilai-nilai dalam kehidupan berbangsa yang salama ini lebih sering dibelenggu oleh keagungan materialisme.
Parameter kehebatan yang dipakai selama ini adalah lebih tertuju pada pencapaian kekayaan secara materi, tak ayal orang kaya lebih banyak memeroleh pundi-pundi penghargaan ketimbang orang miskin. Padahal penghargaan manusia bukan tanda kemuliaan, karena bukan tanda kemuliaan berarti juga bukan ukuran kebahagiaan seseorang. Tak jarang kita temukan orang yang bisa menyedot apresiasi dari banyak orang, tetapi nyatanya hidupnya merana dan terbelit penderitaan yang disembunyikan melalui bungkus senyum. Bibirnya bisa tersenyum indah, walau hanya sekadar mencadari tangis yang memenuhi hatinya.
Ingatlah kebahagiaan tidak membutuhkan kompensasi dari luar dirinya. Karena jika hadirnya kebahagiaan itu bergantung pada kompensasi dari luar diri manusia, bagaimana seorang bayi merasa kedamain tak terkirakan. Kedamaian akan bersemi di dada Anda, tatkala Anda berlaku jujur pada diri Anda sendiri, dan memantul kejujuran pada orang lain.
Ada pendapat yang mengatakan, kejujuran akan membuat manusia terbirit-birit dalam kesulitan, dan dusta akan membukakan pintu gerbang kemudahan. Kalau ditakar dengan logika setan, kejujuran di akhir zaman seakan tidak punya ruang, dan dusta memeroleh lahan yang luas, tapi ketahuilah masa depan kejujuran akan lebih indah dan berkesan. Kejujuran akan menjadi pelita dalam hati, sehingga akan mudah kebahagiaan mewujud dalam ruang batin Anda, tetapi kalau Anda berdusta atau berpura-pura, sejatinya kau sedang mengusir cahaya dengan kegelapan.

JAHIL

Jahil alias bodoh bukan terkait jupednya pikiran atau mandulnya intelektual, sehingga di otaknya tak berbekas ilmu sedikit pun. Kejahilan orang tidak diukur oleh kecerdasan intelektual yang didemonstrasikan, tetapi berkait dengan kecerdasan spiritual (akhlak). Tak sedikit orang terdahulu, disebut manusia terpandang di tataran ilmu sastra, tetapi disebut orang jahil, seperti Abu Jahal yang ditahbis sebagai bapaknya orang bodoh. Nama aslinya Abu Jahal sendiri adalah Abul Hakam (Bapak orang bijak). Tetapi mengapa dia disemati gelar sebagai bapaknya orang bodoh. Karena, hati dan pikirannya terhijab untuk mengenal Allah SWT.

Kalau begitu, ukuran kecerdasan seorang bukan encernya otak mencerap berbagai ilmu yang dibabarkan di hadapannya, tetapi berkait dengan pengenalannya pada Allah. Dan mengenal Allah juga tidak berkait dengan sebagai “knowledge” (ilmu) tetapi berkait dengan awareness (kesadaran) yang guru saya lebih memilih sebagai consciousnesss (kesadaran). 

Walau seorang menguasai segudang pengetahuan duniawi, tetapi membuatnya semakin terhijab dan jauh dari Allah, sejatinya dia orang yang bodoh. Walau dia sendiri dianugerahi ilmu yang sedikit, sederhana, dan terbatas, akan tetapi meyakini akan penyaksian Allah atas setiap gerak-geriknya, baik yang terang atau yang samar, maka sejatinya dia orang yang alim.