Sabtu, 26 September 2015

GALAULAH DI HADAPAN AHLI SYUKUR



Galau menyesakkan dada. Menyempitkan pandangan. Menyumbat ide-ide kreatif. Bahkan membikin kondisi batin semakin membeku. Galau tak jarang menarik kegalauan yang lain. Intinya, tak ada bahagianya dengan galau. Demikianlah, kondisinya kegalauan terpantik dari hawa nafsu. Karena kegalauan hawa nafsu muncul manakala orang tak bisa menyerap dan mencicipi kesenangan yang bersifat duniawi. 

Bagi Anda yang sering terperangkap dalam kegalauan. Anda tak akan pernah menghentikan kegalauan Anda. Apalagi jika Anda selalu berjumpa dan satu ruang dengan orang yang sama-sama galau. Sontak saja, ruang akan menjadi neraka bagi Anda. Boleh jadi, Anda tak akan pernah bisa menguras kegalauan yang mengeruhkan batin Anda oleh kucuran kegalauan mereka. Ketika energi negatif berjumpa dengan energi negatif lainnya, maka akan membakar menjadi energi yang lebih besar. Adakah orang bisa menyerap kebahagiaan di ruang berenergi negatif? Tak ada. 

Jika Anda tengah dipatok api kegalauan, carilah kekuatan air yang mendinginkan, menyejukkan, dan mendamaikan jiwa. Teman yang selalu membawa Anda mengenali Allah SWT. Kawan yang akan memandu Anda untuk memahami hidup ini sangatlah indah. Kawan yang memancarkan energi positif padamu, sehingga perlahan-lahan “kotoran” kegalauan yang memenuhi ruang batin Anda bisa dilap. Yakni, kawan yang hatinya dipenuhi cinta pada Allah dan Sayyidina Muhammad. Dia akan mempertegas akan adanya jalan keluar dalam setiap masalah. Bahkan, masalah adalah batu loncatan Anda untuk meninggi dan mencapai puncak kemuliaan. Memang, orang yang hendak dimuliakan akan selalu diberi tantangan untuk bertumbuh. 

Tak jarang “penantang” seperti pendengki, penghasut, pemfitnah tidak mengalami pertumbuhan yang berarti dalam hidupnya, tapi orang yang dihasut, difitnah, dan didengki justru berkembang super cepat menggapai tujuan yang indah. Karena itu, jika juara dan kemenangan sudah ada di tangan, orang seperti ini tak hanya berterima kasih pada orang yang mendukung dan meng-endorse kehidupannya, bahkan orang yang berperan menjadi tantangan juga tak luput mendapatkan ucapan terima kasih darinya. Dia sadar, dia tak akan disebut mendapatkan kemenangan pribadi tanpa ditantang oleh orang-orang yang juga hebat. Hebat dalam keburukan. Dan kalau orang menang tanpa upaya yang hebat, justru kemenangan kurang mengendapkan kepuasan batin yang berkesan di hatinya.

Kini, jika Anda ingin menumpahkan kegalauan Anda. Tumpahkanlah pada orang-orang yang hatinya lapang. Kalau Anda meluapkan kegalauanmu pada mereka, selain Anda bisa dengan tenang mengalirkan semua perasaan negatifmu. Dia sendiri akan mengolah “sampah” keluhanmu menjadi mutiara hikmah yang sangat mahal, dan Anda pun ikut tersenyum. Wah ternyata bahan-bahan burukku sudah menjadi mutiara! Seperti orang menyerahkan benang kusut dan terjalin tanpa beraturan, lalu sang penenun mengurai benang tersebut, dan ditenun dengan sangat indah. Betapa bahagia orang yang menyerahkan benang kusut itu.

Begitu juga, bilamana Anda menyerahkan “kusutnya” masalah yang membelenggu hidup Anda, orang itu menawarkan solusi yang mencerahkan jiwa. Pikiranmu yang kusut kembali menjadi indah. Hatimu yang gelap diterangi oleh cahaya kearifannya. Dan kegalauanmu akan bermetamerfosa menjadi rasa syukur yang mendalam. Saat itu, tak hanya masalah Anda yang didaur-ulang menjadi mutiara hikmah yang berharga. Anda pun yang berjiwa hina—karena suka mengeluh—akan didaur menjadi jiwa yang berlimpah kemuliaan. Ikut menyerap nikmatnya syukur.

Anda bisa belajar bersyukur pada orang ahli syukur. Anda bisa tahu kualitas syukur, ketika dia masih bisa tersenyum dalam pelbagai musibah dan menghantamnya. Juga merubah Anda yang datang kepadanya dalam keadaan kalut dan kesedihan mendalam, lantas Anda pulang dengan senyum bahagia. Padahal Anda sadar, sejatinya masalahmu belum selesai. Tetapi awan kegalauan yang melumuri langit kehidupanmu, kini hilang. Dan langit itu kembali pada kemurniannya yang cerah bercahaya.

Adalah orang yang selalu menebar senyum pada sesama. Seakan dia hendak menebar kebahagiaan merata pada setiap orang yang ditemui. Tak ada kekalutan yang meluapinya. Makanya, orang selalu berpikir dia tanpa masalah. Padahal, boleh jadi beban hidupnya lebih berat ketimbang orang lain. Tapi, dia memilih masalah disimpan sendiri dalam kamar rahasia dirinya bersama Allah, dan menyerahkan urusannya pada Allah. Dia selalu melihat setiap realitas yang berkunjung sebagai wujud kehadiran-Nya saja. Apakah Anda melihat keburukan dari Yang Maha Indah? Apakah Anda melihat yang cecat dari Yang Maha Suci? Adakah Anda meraba suatu yang hina dan menistakan dari Yang Maha Mulia? Terasa semuanya sebagai hamparan nikmat yang sangat indah.

Khalili Anwar, Penutur dari Jalan Cahaya

Rabu, 09 September 2015

RISET DIRI



“Dalam dirimu, apakah kau tidak melihatnya.” (QS. Az-Zariat [51]:21

Adalah penonton tidak pernah salah. Dan pemain selalu salah. Karena penonton tak pernah salah, maka dia tidak akan pernah menaiki tangga yang lebih baik. Andai pemain kalah, penonton memberikan analisa yang sangat tajam ihwal titik lemah pemain di laga tersebut, seolah apa yang dianalisa sangat efektif agar pemain keluar dari kesalahan yang dilakukan. Dan andai pemain menang, maka dia akan bersorak-sorai, disertai analisa yang juga mengagumkan. 

Karena hanya menilai orang lain, tak pernah menilai dirinya sendiri. Hasilnya, pemain mengalami grafik prestasi yang luar biasa, sementara penonton tidak mengalami transformasi yang signifikan dalam hidupnya.
Dari situ, kita bisa mengunduh simpulan, orang yang terlalu fokus pada orang lain, tak akan pernah mengalami pertumbuhan dan kemajuan dalam hidupnya. Adapun orang yang selalu berfokus pada diri sendiri—sembari melakukan muhasabah—kemampuannya akan melejit dengan luar biasa.

Kita sendiri tak jarang lebih mengenali orang lain, alam sekitar kita ketimbang diri kita sendiri. Kita tak jarang asing dengan diri kita sendiri. Kita sudah terlena berada dalam putaran rutinitas yang tiada pernah berakhir, artinya kita diposisikan sebagai mesin yang dipergunakan untuk memenuhi keinginan hawa nafsu diri kita sendiri. Kalau kita disuruh menilai orang lain—jujur ya—sangat lancar, sehingga kita mengorek keburukan, aib, dan segala bentuk kekurangan yang melekat pada orang lain. Kalau sudah membincangkan ihwal orang lain—ada kata yang mewakili, semakin digosok semakin sip. Karena hari-hari kita hanya sibuk mengurus orang lain, dan tak pernah berpikir menyelesaikan masalah orang lain, malah menambah masalah. Mengeruhkan masalah. Dia hanya tukang mencaci maki, tetapi tak pernah menyuguhkan solusi. Yakinilah, orang yang selalu mencari masalah dan aib orang lain, sejatinya orang tersebut dalam masalah. Bukankah orang baik saja yang menemukan kebaikan? Adapun orang buruk saja sangat piawai menemukan keburukan orang lain. Kita termasuk yang mana?

Jika pedagang saja, di siang hari sibuk dengan barang dagagannya. Malam hari dipergunakan untuk menghitung laba-rugi yang dialami. Harusnya, Anda memberikan jatuh waktu untuk mendeteksi diri sendiri. Selami keadaan diri yang paling lembut. Temukan integritas atau kesesuaian di dalam dan di luar. Bukankah hanya orang orang yang “berintegritas” yang bakal temukan kebahagiaan sejati dalam hidupnya. Sebaliknya orang yang memiliki kepribadian terpecah (split personality) atau berkepribadian ganda, dia tak akan pernah menemukan kebahagiaan sejati dalam hidupnya. Dia sibuk memperbaiki dimensi lahir, lalai dengan dimensi batin. Walau penampilan lahirnya bersih dan bening, tapi dalamnya busuk penuh kotoran. 

Jika al-Qur’an menganjurkan kita memandangi diri sendiri. Bukan eksistensi luar. Tapi esensi diri Anda berupa jiwa. Bagaimana kondisi jiwa Anda? Kalau kondisi jiwa Anda bersih, Anda akan temukan kebahagiaan yang sejati dalam hidup Anda. Kalau jiwa kotor, justru derita akan membelenggu diri. Sejatinya kecenderungan jiwa adalah menginginkan kesucian. Apalagi keinginan jiwa tak terpenuhi, yang bakal dirasakan kesusahan, kegalauan, dan derita yang tak berujung. 

Anda mungkin mengenal banyak hal tentang kehidupan duniawi ini, akan tetapi terkait dengan ihwal diri kita sendiri lalai dan asing. Bisa mengeksplorasi kesalahan yang memenuhi rumah sebuah negeri. Seperti mengenali cecat yang menempel pada pimpinan negeri ini. Hanya saja sering gagal untuk mengenali kekurangan diri sendiri. Anda mungkin sering berhasil melakukan penelitian tentang suatu di luar diri Anda. Tapi sering gagal untuk mengungkap dan meneliti kondisi riil diri Anda. Begitulah, ilmu pengetahuan mengajarkan kita meneliti apa yang ada di luar diri Anda, diharapkan bisa memperoleh pelajaran dibalik peristiwa tersebut. Penelitian  di luar diri tak banyak memberikan dampak terhadap transformasi diri sendiri. Karena siapa fokus meneliti di luar, justru dia akan lalai menangkap apa yang ada di dalam dirinya.

Adapun tasawuf memandu kita untuk menjejaki dan menelusuri diri sendiri. Hanya ketika orang telah mengenali diri sendiri, akan terpandu untuk mengenal Allah SWT. Kita dipandu tour ke dalam diri kita sendiri, sembari menyalakan pertanyaan sebagai pembuka jawaban. Benarkah diriku adalah yang fisik? Benarkah diriku yang disebut pikiran? Benarkah diriku yang disebut kepribadian? Benarkah diriku jabatan? Ternyata semua yang disebut bukan diri Anda yang sejati. Apa yang disebutkan hanya berupa piranti yang menempel Anda. Anda yang sejati bukan yang ada di luar atau yang di dalam, akan tetapi diri Anda meliputi apa yang bisa Anda lihat. Dan dirimu yang sejati tak pernah berubah dan abadi.

Apakah Anda mengira dirimu yang seonggok badanmu? Jika kau asumsikan dirimu yang badan, apakah badan tak berubah. Badan akan terus berubah dari waktu ke waktu. Dulu Anda kecil, sekarang sudah besar. Bahkan ketika Anda telah wafat, semua tetangga menyebut Anda telah meninggal dunia. Siapa yang meninggalkan dunia? Bukankah seonggok tubuhmu masih ada? Telingamu masih lengkap. Wajahmu masih terlihat. Kalau begitu, sejatinya Anda bukan yang fisik.

Apakah Anda menyangka dirimu adalah pikiran. Anggapan itu muncul dilatari oleh berapa banyak karya-karya hebat bermunculan di dunia disebabkan pikiran. Pikiran ada ketika Anda sedang berpikir, ketika Anda tak berpikir apakah berarti Anda sudah lenyap. Misal, Anda sedang tidur tanpa mimpi. Apakah Anda sudah tidak ada. Anda masih ada. Walau secara diri Anda sendiri sedang meninggalkan fisikmu sementara waktu. Dan pikiran itu sering berubah-ubah. Inkonsisten. Dulu ada yang bilang tentang hukum kemutlakan oleh Newton. Lantas muncul penemuan baru yang digawangi oleh Einstein tentang hukum relativitas. Yang mutakhir, terkuak penemuan tentang hukum ketidakpastian dari Q-Rak. Pikiran terus bertumbuh dan berubah. Apa yang datang dari pikiran tidak akan abadi. Anda temukan berapa kecenderungan yang sedang fashionable, hanya berapa bulan bertahan, orang sudah beralih ke yang lain. Walau nanti pada saatnya, akan datang lagi dengan kemasan yang berbeda.

Atau kau anggap “esensimu” adalah kepribadian? Apakah kepribadianmu menetap atau berubah? Jika kepribadianmu berubah dan bertumbuh berarti bukan kesejatian dirimu. Ada orang yang dikenal sebagai preman pasar yang sangat galak, bahkan membunuh banyak orang. Setelah berlabuh di kesadaran puncak, dia bertobat pada Allah. Menjadi orang yang superbaik, dermawan, dan welas asih pada sesama. Sebaliknya, ada orang yang mengenakan pakaian penutup aurat, dan selalu membagikan motivasi pada umat. Pada saat pikirannya telah terbalik. Paradigmanya dikotori. Dia pun melepaskan penutup aurat dan menjadi sosok yang tampil modis dan seksi. 

Apakah dia tak sadar bahwa dia yang dulu mengenalkan jilbab sama dengan yang sekarang sudah melepaskan jilbab. Ya dia sadar. Pun mantan preman tadi sadar. Bahwa dia yang dulu doyan membunuh tak berbeda dengan orang yang sekarang menjadi orang yang dermawan dan welas asih. Dia sadar sekali diri sejati tak pernah berubah. Inti sari manusia tidak berubah dan tak berbeda. Ketika Anda telah mencapai level kesadaran aku yang sejati ini, yang Anda temukan hanya titik kesamaan dengan sesama, bahkan dengan seluruh makhluk yang ada di jagat kehidupan ini.

Diriku sejati adalah yang tak pernah berubah. Dialah ruh. Dan ruh sendiri selalu hadir di hadapan Allah sebagai hamba. Esensi diri selalu bersandar pada Allah. Lantas, bagaimana orang yang sombong. Justru dia sedang menyiksa ruhnya sendiri. Tak ada kebahagiaan menghampiri orang yang sombong. Anda tak menyerap kebahagiaan manakala berbenturan dengan Allah. Karena ruh sendiri selalu ingin sejalan, selaras, dan berpadu dengan Allah SWT seterusnya. Dan seterusnya.  

Manakala Anda telah mengenali diri sendiri—dari hasi meriset—Anda akan selalu bisa mencangkul kebahagiaan dalam dirimu. Sembari meyakini kebahagiaan tak ada di luar. Yang diluar akan menyetorkan kebahagiaan apabila dalam dirimu telah diluapi kebahagiaan. Hanya ketika Anda telah mengenali dengan terang siapa Anda, Anda akan menemukan di hadapanmu terhampar kebahagiaan yang tanpa batas. Anda telah menemukan medan magnet kebahagiaan dalam dirimu, maka segala apa yang mengalir dari luar selalu meninggalkan kebahagiaan di hatimu.

Khaliel Anwar, Penutur dari Jalan Cahaya

Minggu, 06 September 2015

KUASA KERENDAHAN HATI



Nabi Muhammad adalah manusia yang paling dimuliakan oleh Allah SWT. Ingatlah, kita boleh jadi menemukan kemuliaan oleh karena apresiasi manusia sekitar kita. Bahkan seorang artis yang kerap menjadi inspirator “kemaksiatan” dan memutus jejaring moralitas tak jarang dimuliakan oleh banyak penggemar.

Disisi lain, ada seorang ulama’ yang berjuang gigih untuk membangun moralitas, karena hanya berbuat suatu yang “bersinggungan” dengan pemahaman orang awam—dan tidak bertentangan dengan spirit nilai agama—tiba-tiba menerima lontaran cercaan dan makian dari berjuta-juta manusia. Standar kemuliaan seseorang tidak bisa diukur dengan penilaian manusia, hanya Allah saja yang bisa mentahbis dan menggelari kemuliaan pada manusia.

Sayyidina Muhammad Saw menggapai kemuliaan karena beliau memandang dirinya sebagai seorang hamba Allah. Jika Nabi Ibrahim AS memandang dirinya sebagai khalilullah (kekasih Allah), Nabi Musa AS menganggap dirinya sebagai kalimullah (orang yang bisa berbicara langsung dengan Allah), dan Nabi Isa AS mengakui dirinya sebagai ruhullah (ruh Allah), adapun Sayyidina Muhammad menyebut dirinya sebagai hamba Allah. Sikapnya yang sangat rendah hati itulah mengantarkan Nabi Saw memeroleh kedudukan yang sangat tinggi melampaui Nabi-Nabi sebelumnya di hadapan Allah.

Banyak cerita-cerita keajaiban tawadhu’ yang menyertai cerita Nabi-Nabi terdahulu. Adalah Nabi Nuh AS yang dengan perintah Allah SWT membuat perahu untuk menghadapi banjir bandang yang akan membinasakan banyak kaum tersesat dan membangkang pada Allah SWT. Pada saat banjir bah tiba melanda kaum ‘Ad, maka Allah mengabarkan pada semua gunung, bahwa ada gunung yang akan dijadikan tempat berlabuhnya perahu Nabi-Nya.

Semua gunung yang mendapati kabar tersebut sangat percaya dan sombong, bahwa mereka akan menjadi tempat berlabuh Nabi Nuh AS, akan tetapi gunung Judi yang lebih kecil ketimbang gunung yang lainnya tak sempat berpikir akan dijadikan tempat berlabuhnya perahu Nabi Allah itu. “siapa saya ini bisa dijadikan tempat berlabuh bagi Nabi Allah.” Sikapnya yang betul-betul tawadhu’ ternyata menarik perahu Nabi Nuh AS untuk berlabuh di gunung itu. Mungkin gunung lain mengaduh, tetapi begitulah Allah selalu berpihak pada yang hatinya dipadati dengan kerendahan hati.

Adalah gunung Tursina yang dikenal sebagai tempat dialog antara Nabi Musa AS dengan Allah SWT, dia berpikir, “siapa saya ini bisa dijadikan tempat berdialog Allah dengan hamba yang digelari Kalimullah?” Adapun gunung lainnya tatkala mendengar kabar tersebut, berkeyakinan bahwa ialah yang akan menjadi tempat dialog Nabi Musa AS dengan Allah SWT. Dan Allah memilih gunung yang menyediakan dirinya dengan spirit tawadhu’ sebagai tempat dialog antara Allah dan Nabi Musa AS.

Alkisah Nabi Yunus AS yang tenggelam ke laut, yang kemudian ditelan oleh ikan hiu. Anda tahu, bahwa ikan hiu tersebut, ternyata ikan yang paling tawadhu. Pada saat Allah mengabarkan tentang adanya hamba-Nya yang dimuliakan akan tenggelam ke laut dan akan ditangkap oleh ikan, maka seluruh ikan berlagak angkuh, merasa bahwa mereka yang sangat layak untuk dijadikan penjaga Nabi Allah tersebut. Kecuali ada satu ikan yang dengan kerendahan hati berkata, “siapa saya ini jika perutnya dijadikan tempat tinggalnya Nabi Allah?” ternyata ikan hiu yang amat rendah hati ini menjadi ikan yang perutnya bisa menjaga Nabi Yunus AS.

Hanya orang-orang mulia yang akan dipertemukan dengan yang mulia, dan kemuliaan seorang itu tercermin oleh spirit kerendahan hatinya. Sejak saat kita berusaha mengasah kerendahan hati kita, dengan berusaha menyingkap di hadapan diri kita sendiri perihal kehinaan dan kelemahan kita. Betapa kita hanyalah makhluk yang diadakan Allah, andaikan Allah tidak berkehendak maka kita tidak akan pernah ada. Jika keberadaan kita amatlah bergantung pada “kebijaksanaan” Allah, lantas apakah patut kita bersikap sebagai sosok yang sombong lagi membanggakan diri. Seberapa besarkah jasa kita, sehingga menjadi sosok yang patut berlaku sombong?

Jika Anda merenungi butiran pasir yang kecil, tidak memiliki arti apa-apa, tetapi karena dia berada dihempaskan oleh gelombang besar dan ditarik ke tengah dan palung laut, maka dia kemudian dikirimkan ke kerang untuk kemudian diproses menjadi mutiara. Pasir yang tak berarti apa-apa, ternyata menjelma sebagai barang yang sangat mahal setelah menjadi mutiara. Anda melihat batu karang yang kokoh berada di lautan, hanya tetap menjadi karang yang siap terus dihantam gelombang. Maka, kecilkan dirimu seperti kecilnya pasir, insya Allah Anda akan diproses menjadi mutiara bagi kehidupan ini.

Khalili Anwar, Penutur dari jalan Cahaya