Saya teringat dengan kesederhanaan dibalik keagungan khalifah Umar Ibn Khattab. Saat beliau memangku jabatan sebagai khalifah, dia hidup untuk melayani umat sepenuhnya. Hampir tak ada waktu untuk beristirahat. Kata beliau, bagaimana saya bisa istirahat, di siang hari saya harus memenuhi hak-hak rakyat, di malam hari saya harus memenuhi hak-hak Allah SWT. Kekuasaan yang diperoleh tidak membuat beliau hidup dalam suasana santai, tetapi merasa memangku beban dan tanggung jawab yang amat berat. Beliau telah melepaskan seluruh kepentingan dirinya, dan lebih mengutamakan kepentingan rakyat secara keseluruhan.
Karena kekuasaan tidak untuk memenuhi kepentingan diri, maka beliau selalu merasa aman berada di mana saja. Bahkan dia kadang beristirahat dengan cara berteduh di bawah pohon. Bagaimana mungkin seorang khalifah yang notabena pemimpin seluruh umat Islam berteduh di bawah pohon untuk sekadar istirahat tanpa pengamanan seorang pun. Apakah tidak takut ditikam atau tertusuk tombak atau panah? Beliau tidak hanya menjadi penguasa bagi rakyat, tetapi beliau juga telah menguasai dirinya sendiri. Beliau telah menyerahkan seluruh kehidupan ini pada Allah. Dalam hatinya hanya ada rasa takut pada Allah, tidak pernah terbersit sedikit pun takut pada makhluk. Suasana hati itulah yang membuat beliau tidak pernah meminta pengamanan.
Bayangkan dengan penguasa zaman ini. Sungguh kita akan menemukan realitas yang kontras, betapa makin tinggi sebuah kekuasaan, niscaya makin terdera rasa takut. Mengapa dia begitu takut? Ya karena dia tidak bergantung pada Allah, tetapi bergantung pada kedudukan. Saat insan bergantung pada selain Allah, niscaya dia mulai menemukan kerapuhan dalam dirinya. Dia takut kedudukan lenyap dari dirinya, walau sesungguhnya kedudukan pada saatnya akan lenyap. Apakah dirinya terlebih dahulu yang meninggalkan kedudukan dengan datangnya kematian, atau kedudukan itu sendiri yang bakal menghilang dengan adanya pergantian kekuasaan, atau demo rakyat yang memicu meruyaknya kudeta atas kekuasaannya. Sungguh aneh, orang makin berkuasa, makin merasakan tidak aman. Lebih aneh lagi, mengapa banyak orang mengejar kekuasaan yang hanya membuatnya dia makin dikuasai rasa takut. Orang yang berkuasa membutuhkan keamanan, maka dia meminta pengamanan dari pihak keamanan. Saat dia meminta keamanan, siapa yang berkuasa sebenarnya? Apakah yang menjaga keamanan atau yang dijaga keamanannya? Siapa pelayan yang sebenarnya? Apakah yang memberikan pelayanan atau yang meminta pelayanan? Di zaman akhir ini, kita menjadi rabun untuk mengertikan dengan jelas tentang siapa pelayan dan yang dilayani.
Suatu kenyataan yang menggelikan, mengapa saat orang memiliki kedudukan makin tidak bebas untuk mendapatkan kenyamanan hidup. Kemanapun pasti ada orang yang mengikutinya. Dipandu dalam kegiatan protokoler. Hal itu tidak hanya berlaku pada orang yang memiliki kekuasaan tersebut, namun juga berimbas pada keluarganya. Kalau biasanya anaknya bisa bermain bebas dengan sebayanya, sekarang terus saja disertai pengamanan. Seakan terpisah dengan ruang kebebasan. Sungguh tidak masuk akal, ketika orang diberi kekuasaan ternyata makin tidak aman dan bebas.