Jumat, 31 Juli 2009

BUNGA KEDAMAIAN TERTUNDUK LAYU

Hati bangsa bergetar kala mendengar ada ledakan bom yang berakibat tewasanya beberapa WNA dan WNI pada tanggal 17 Juli 2009. Jiwa kamanusiaan bangsa tergugah kembali, diminta hati-hati terhadap serangan tiba-tiba yang memporak-poranda bangsa di berbagai sudut. Rasa takut menyebar ke seluruh sisi negeri ini, dan WNA pun harus berpikir berkali-kali untuk memasuki negeri ini. JW Marriott dan Ritz-Cariton saksi tercecernya darah kemanusiaan, dan menggugat keamanan wilayah ini. Kedamaian menjadi kebutuhan dasar bagi setiap orang. Tanpa rasa aman, maka tersebar virus rasa takut yang luar biasa di hati setiap warga, dan merasa kematian bisa menjemput kapan saja dan dimana saja dengan kondisi keamanan yang amat lemah. Jiwa-jiwa benderang digugah turun ke jalan mendeklarasikan kembali keamanan negeri ini, dan melebarkan perasaan cinta. Mengetuk hati-hati yang gelap lantaran tersumbat kebencian tak beradab. Apakah sayap-sayap cinta sudah lumpuh di negeri ini, atau memang ada orang yang ingin menancapkan realitas baru, negeri ini telah kehilangan rasa cinta?

Suasana sejuk dan damai tengah dibutuhkan negeri ini, diharapkan siapapun merasakan kesejukan setelah berkunjung ke negeri yang terbentuk dalam keanekaragaman ini. Segenap pemimpin bersinergi membingkai Indonesia yang melahirkan warna sejuk di hati rakyat. Tak ada lagi kekerasan agama meletup, tak ada lagi bom meledak, tak ada lagi baku hantam antarsuku, kita mengupayakan kejernihan yang menerbangkan setiap jiwa menuju medan universal, tak tercabik-cabik oleh perbedaan yang amat dangkal. Pasalnya, kalau kita mengerti jiwa yang universal ini, sungguh lebih banyak kesamaan daripada perbedaan yang melekat pada seluruh manusia. Lalu mengapa permusuhan dan dendam sejarah harus terus diabadikan? Sudah saatnya akal sehat perlu kembali dioptimalkan, sehingga tak ada pembenaran atas kekerasan di negeri ini.

Negeri pencinta ini tak perlu menuduh siapa terkait kejadian yang menggetarkan itu, namun perlu menjadi bahan koreksi mendalam atas apa yang dilakukan pemimpin kita. Apakah karena keamanan negera yang lemah, sehingga dengan gampangnya teroris memberangus wajah kemanusiaan Indonesia. Atau karena deposito cinta negeri ini telah terkuras habis, dan yang tersisa hanya permusuhan yang tak pernah berakhir? Seluruh warga dan pemimpin ini pasti mendambakan kedamaian dan kesejukan. Tak perlu kita jadi ladang empuk bagi kekerasan, karena semua warga kita mencintai kelembutan dan keramahan. Teroris membuat wajah negeri ini menjadi angker, beringas, dan seakan monster yang gampang menumpahkan darah kemana-mana. Padahal, cinta itu terus tumbuh dan bersemai di negeri ini, dan hanya sosok-sosok tak beradab yang keluar dari ideologi keindonesiaan yang damai.

Perlu kembali digaungkan ke seluruh warga dunia, Indonesia adalah negeri damai, negerinya para pencinta yang berusaha memberikan yang terbaik bagi kehidupan. Indonesia tak berwajah beringas, tetapi begitu ramah dengan siapapun, terbukti Indonesia meraih gelar negeri murah senyum menurut survey smiling report 2009. Senyum adalah jelmaan keindahan dan kesejukan. Boleh orang merusak bangunan indah, tetapi tak bisa merusak keindahan yang tengah mekar di hati bangsa ini. Mungkin mereka berhasil mengebom dan meledakkan tempat penjualan, restoran, dan hotel tetapi mustahil menjarah kedamaian yang menempati lubuk hati setiap personal bangsa ini. Kesantunan dan keramahan Indonesia tercermin dari kesanturnan pemimpin bangsa yang selalu mengedepankan sikap terbaik dalam menyelesaikan masalah.

Terorisme memang menjarah terlalu banyak bunga keindahan yang bermekaran, yang membikin warga dunia tak tertarik pada negeri yang multi-kultural ini. Negeri ini dikitari belantara alam yang begitu indah, dan keindahan alam ini harusnya menginspirasi negeri menjadi indah secara batiniah. Keindahan alam tanpa ditopang keindahan batiniah bangsanya, niscaya hanya nampak wajah hipokrit yang hanya mencoreng-moreng negeri ini. Keindahan utuh senantiasa dinanti warga dunia. keindahan Indonesia tak hanya sebatas permukaan, tetapi di dalamnya juga indah. Pemimpin pun tidak hanya permukaanny terlihat indah, tetapi sikap batinnya juga harusnya terlihat indah. Bila keindahan holistik dan hakiki itu telah bersemai di hati pemimpin, maka akan memancarkan keindahan ke seluruh atmosfir kehidupan masyarakat. Keindahan di hati pemimpin tak hanya tertuju pada Presiden sebagai kepala negara, bahkan seluruh tokoh bangsa harus berhati indah, untuk memancing mata dunia tertarik kembali menyapa dan bergaul dengan Indonesia.

Terorisme hanyalah oknum kecil yang mencitrakan Indonesia sebagai negeri yang menakutkan, namun sosok pemimpin dan tokoh bangsa yang sejuk lebih memiliki daya tarik ketimbang kejadian menakutkan itu. Jika keindahan telah menjelma di setiap hati pemimpin dan perangkat negara, tercermin dari ketulusan untuk membawa negeri ini ke ranah yang damai, berikut dapat mengikat rasa cinta yang tulus pula dari rakyat, tak ayal seluruh warga dunia akan menaruh cinta dan kagum pula pada negeri ini.

Negeri yang tengah berduka ini akan menjelma kembal sebagai pesona keindahan dunia, manakala setiap pribadi yang berada di dalamnya, berpikir memberi, memberi, dan memberi. Jiwa memberi yang memasuki sudut hati setiap rakyat Indonesia, niscaya akan membuat negeri ini lebih damai dan aman. Kerusakan negeri ini juga mulai dibangun dengan saling memberikan maaf dan menyatukan kembali negeri yang berkeping-keping dalam budayanya dengan rasa kasih tulus yang terjalin diantara seluruh komponen bangsa.



Khalili Anwar, Penutur dari Jalan Cahaya

Sabtu, 18 Juli 2009

CINTA MEKAR DARI TANAH KEDUKAAN

Setiap insan mendambakan energi cinta. Pasalnya, cinta membersitkan kebahagiaan hakiki di hati. Kehadiran cinta menjadikan setiap momentum sarat inspirasi. Namun, apakah cinta hanya bisa dijala saat dikitari kesenangan semata, dan saat derita menjerat hari-hari kita, berarti cinta tak berkunjung bahkan pudar dari ruang hati ini? Nikmatnya cinta tak sebatas dirasakan pada saat manusia dihias oleh kesentosaan dan kemakmuran. Pun saat derita, duka, dan bencana mendera, pintu-pintu cinta terbuka di balik lubuk sanubari. Dari pintu derita kadang cahaya cinta terbit menghampiri manusia dengan penuh daya tarik. Bahkan adikarya cinta terlahir dari rahim derita yang dijalani dengan tulus.

Begawan cinta lahir dari kota penuh derita, bayangkan Syekh Jalaluddin Rumi berhasil melahirkan karya mengharukan setelah beliau ditinggal sang guru, pemasok cahaya cinta di dadanya, Syamsuddin Tibriz. Kahliel Gibran mampu mengobarkan adikaryanya di bawah arakan awan derita yang dialami lantaran tak bisa bertemu sang kekasih. Kegetiran dan kepahitan jiwanya telah mengantarkan karya agungnya. Kalau kita memetik kemblai dawai spirit perjalanan cinta Laila—Majnun, terekam kesimpulan bahwa di tengah derita yang mencengkram sepasang kekasih tersebut, cahaya cinta menemaninya terus-menerus, bahkan Laila—Majnun merasa menikmati percintaan agung saat derita itu mengharu-biru. Manusia Agung, Rasulullah Muhammad SAW, yang hingga hari ini telah menggelar cinta semesta, menjalani masa kegetiran, dibentur tantangan demi tantangan, sehingga beliau pun didapuk sebagai pencinta sejati, dan bergelar rahmat bagi seluruh alam.

Lewat perjalanan tokoh pencinta agung tersebut, saya menyimpulkan, mutiara cinta sering ditemukan dalam kedukaan yang berkecamuk di dada. Seorang pencinta sejati bakal merasakan asupan energi cinta, bila telah berhasil melewati ranjau derita yang amat menggetirkan. Tak ada pencinta yang dilahirkan dalam kemudahan dan serba fasilitas. Pejalan-pejalan cinta menelusuri perjalanan hidupnya penuh kedukaan, dari kaki derita inilah ia mengumpulkan keteguhan untuk menguatkan jiwanya agar sampai di puncak gunung maha daya cinta.

Guru kami yang mulia pernah menegaskan, “tanpa duka, suka kehilangan maknanya,” beliau mencontohkan seperti dua orang yang sama-sama sampai di puncak gunung. Yang pertama sampai ke puncak gunung dengan menaiki hilokopter, tepat terbang di atas gunung, ia pun turun dari hilokopter menuju puncak gunung itu. Yang kedua, ia sampai ke puncak gunung, setelah melewati proses pendakian amat meletihkan, melewati batu terjal yang siap menggores kaki hingga berluka, atau berhadapan dengan binatang berbisa yang tiba-tiba menyergap dan mamatoknya. Kiranya, kebahagiaan hakiki itu berpihak pada siapa? Maka kebahagiaan itu berpihak pada orang yang kedua. Karena telah melewati kedukaan luar biasa, maka kesuksesan itu menjadi begitu bermakna.

Bagi pencinta, menyambut kedukaan amatlah antusias sebagaimana ia menyambut kesenangan. Dia merespons nikmat dan musibah penuh syukur, karena meyakini dibalik semua yang tergelar itu bisa menumbuhkan bibit cinta yang masih terbenam di dada. Respons yang membuat kita membutuhkan dan merindukan Allah bakal memantik maha daya cinta dalam diri.

Bagi kebanyakan orang, penderitaan dan kedukaan yang dialami para pencinta begitu memperihatinkan, karena mereka melihat kebiasaan-kebiasaan di luar orang kebanyakan. Di kala banyak orang menghambur-hamburkan uang untuk memenuhi perut, sang pencinta harus menahan sekuat tenaga dari makan, melewati hari-harinya dengan puasa. Ketika banyak orang tidur terlelap, dia memilih untuk bangun dan terjaga, mengadukan kebutuhan dan kerinduan pada Allah. Disana dia merasa tak memiliki apa-apa yang bisa dibanggakan, sehingga dia selalu mengadu, merintih, dan meraung-raung di hadapan Allah SWT. Di tengah banyak orang terbuai dalam keramaian sarat kesenangan, dia memilih menyendiri, mengunci diri dalam kesunyian, menyatu dalam medan tafakkur perihal kekuasaan Allah yang Maha Luas. Dia mendera fisik dan hawa nafsu agar tak merasa nyaman, bahkan berteriak begitu lantang atas setiap perbuatan yang diilhami hawa nafsu. Dia berhasil menundukkan hawa nafsu di hadapannya.

Petualang sarat tantangan itu dilewati semata-mata guna menumbuhkan bibit cinta. Tanpa ditempa dan didera, terasa sulit membuat gumpalan keakuan meleleh. Seperti membakar besi, maka keakuan juga harus dibakar dan ditempa agar meleleh. Kala keakuan telah meleleh dan lunak, maka cinta pun berkunjung ke dalam hati yang penuh damai. Saya menyadari bahwa mengarungi samudera cinta harus berhadapan dengan ombak derita yang bisa jadi tiba-tiba menghantam, dan membuat diri terjungkal dalam derita nestapa. Untuk menunjukkan cinta memang membutuhkan pengorbanan. Seperti kedelai yang dibenam dalam tanah, maka untuk bisa tumbuh dan mekar, bahkan berbuah, ia harus melewati perjuangan yang luar biasa, bagaimana caranya agar bibit yang tumbuh dan mekar harus menembus kerasnya tanah yang mengatup. Berapa besar perjuangan bibit biji kedelai itu agar bisa menjulangkan daunnya? Disanalah perjuangan cinta diuji.

Pejalan-pejalan sunyi selalu menghibur dirinya kala didepak derita bertubi-tubi. Mereka menganggap derita yang membakarnya tengah memproses dirinya menjadi sang pencinta hakiki. Sang pencinta bakal cepat hampir pada yang dicintai, ketika bisa tersenyum dalam derita, tanda bersinarnya cahaya ridha. Ketika kita berani tersenyum dengan tulus atas derita yang menghujam, maka Sang Pencinta pun akan tersenyum dan menaruh perasaan haru pada pejalan ini.

Sang pencinta akan memeluk derita sama eratnya dengan memeluk kenikmatan. Bahkan sang pencinta menganggap semuanya adalah anugerah, sehingga ia memeluk erat-erat semua yang datang padanya, dan tinggal dia mendapati kejutan-kejutan yang membuatnya tertawa, dan Tuhan pun ikut tertawa. Ketika senyum mengembang dari bibir sang pencinta, sesungguhnya menjadi refleksi senyum Allah yang memancari makhluk dengan penuh kasih tanpa syarat tanpa batas.

Khalili Anwar, Penutur dari Jalan Cahaya

Selasa, 14 Juli 2009

MENIKMATI SETIAP MOMEN

Setiap momen dan keadaan telah dirancang dengan akurat dan bijaksana oleh Allah SWT. tak ada kekeliruan dibalik beragam kenyataan yang tersuguh di hadapan kita, bahkan dibalik itu meresapkan makna bagi orang-orang yang berpikir jernih. Manakala saya tahu ada makna dibalik kejadian, niscaya saya akan menikmati dan sontak menemukan keindahan di dalamnya. Karena makna sendiri saripati yang dituju dari setiap kejadian. Namun, ketika saya merasa tak mendapati makna dibalik kejadian, maka di hati ini sesak oleh kegelisahan, kegundahan, dan rasa jengkel yang tak bisa dielakkan. Suasana hati itu bergumpal menjadi kehampaan.

Tak bisa dipungkiri, kenikmatan yang saya peroleh selama ini lebih banyak didorong oleh kehendak nafsu rendah, sehingga tak bisa merengkuh kenikmatan di setiap keadaan. Padahal setelah ditelusuri kenikmatan model hawa nafsu berbeda dengan kenikmatan menurut hati nurani. Ketika nurani nikmat, maka seluruh keadaan menjadi nikmat. Namun, keniikmatan nafsu cenderung memilih, dan memilah. Tak ayal, ada sisi yang berlawanan, berlingkar dalam dualitas semu yang tak pernah berakhir. Terlintas dari hawa nafsu cantik-buruk, bertemu-berpisah, sehat-sakit, untung-rugi, dan segala keadaan yang berlawanan.

Saya merasakan sendiri, ketika kenikmatan dirasakan saat memeroleh perihal positif menurut pikiran dan hawa nafsu, seperti mengambil bertemu dan melepas berpisah, meletakkan sehat dan membuang sakit, merangkul untung dan menolak rugi, maka kenikmatan yang kuperoleh tak lebih sebagai kenikmatan yang semu, berputar-putar dari satu keadaan ke keadaan yang lain, sehingga jiwaku terasa letih.

Mengapa saya harus berputar-putar pada keadaan di luar yang datang silih berganti? Ya karena sepanjang hidup diri ini hanya terbetut dengan keadaan luaran, tertarik dengan gerakan permukaan yang menyuguhkan beragam keadaan baru. Dari luar, banyak hal berubah tumbuh dengan cepat, belum merasakan yang satu sudah datang suguhan berikutnya. Pikiran makin terarah keluar, menyemburkan keinginan, padahal banyaknya keinginan sumber dari segala derita. Ya, tetapi mengapa pikiran terlalu berpihak pada beragam kenikmatan luaran? Dan apakah diri ini harus terbelenggu dalam keadaan berjungkir balik terus-menerus? Sudah saatnya saya memendam keinginan dan tak terlalu risau dengan tebaran gaya hidup yang datang silih berganti. Karena banyaknya keinginan itu, saya tak bisa menikmati momen demi momen yang kulewati sebagai anugerah dari Allah.

Betapa sering saya meremehkan anugerah Allah, dengan berpikir pada anugerah yang lain. Padahal, kalau dicerna dengan hati lembut, seluruh anugerah itu telah diramu oleh Allah sendiri. Apakah ada suguhan yang diramu langsung oleh Pencipta yang Maha Agung tidak nikmat? Semua suguhan yang diramu Allah pasti nikmat dan mendamaikan, kecuali orang-orang yang sakit. Ketika orang berkunjung ke sebuah restoran ternama, disana dihidangkan menu yang paling mahal, namun ketika menu itu sudah berada di depan meja, orang tersebut tak bisa menikmati dengan lahap, suguhan itu tak berasa dan kurang nikmat. Bisa jadi suguhan itu nikmat, hanya saja mungkin orang tersebut sedang sakit fisik, hatinya sedang sakit, dipenuhi rasa jengkel dan marah-marah, atau memang dia tidak bisa menikmati menu tersebut lantaran pikirannya sesak oleh pekerjaan berikutnya.

Betapa sering saya tidak menikmati hidangan yang datang dari Tuhan. Saya bersusah payah membeli makanan di sebuah warung, tetapi tiba-tiba ketika makanan sudah terhidang di depan mata, pikiran saya melompat pada perkara lainnya, sehingga tak bisa menikmati menu tersebut. Padahal, sebelumnya makanan tersebut menjadi pikiran saya ketika perut berkriuk-kriuk. Seharusnya shalat harus dinikmati, tetapi saat shalat tengah dijalani kadang terlintas di pikiran untuk membaca sebuah buku yang baru saja kubeli, dan ketika buku sudah berada di hadapanku, kemudian kubaca, pikiranku melayang ke perkara yang lain. Akhirnya, saya tak bisa menikmati momen demi momen yang kulalui dengan sebaik-baiknya.

Sungguh sangat merugi diri ini, jika tidak pernah menikmati dengan sungguh akan setiap jengkal ruang yang ditempati, setiap waktu yang dilalui, dan setiap momen yang ditempuh. Padahal pertumbuhan pribadi manusia bermula dari sikap yang dipancarkan di setiap momen yang dilalui. Ketika kita bisa menikmati momen demi momen degan efektif, niscaya bakal tergelar inspirasi yang luar biasa di setiap momen.

Mari kita berusaha menikmati shalat, menikmati bersedakah, menikmati makanan, dan menikmati hal positif lainnya agar semua aktivitas yang kita lakukan bisa menghadirkan inspirasi dan kedamaian ke dalam jiwa. Kita insya Allah bisa menikmati segala sesuatu dengan baik ketika kita bisa menghadirkan hati di setiap momen yang kita lalui. Hadirkan hati, maka disana kita mendapati beragam rahasia yang membuat kita makin kagum pada Allah SWT.

Khalili Anwar, Penutur dari Jalan Cahaya

Senin, 06 Juli 2009

MENDENGARKAN BISIKAN HATI NURANI

Dawai cinta itu terus mengalun dibalik hati yang jernih nan bening. Manakala hati telah berlabur dan berhias cinta, maka seluruh sisi batiniah ini melulu menggemakan nyanyian indah, mengalirkan kedamaian ke prana jiwa. Gema nyanyian dalam hati tidak identik dengan nyanyian yang memekakkan telinga, namun berupa nyanyian yang selalu mengalunkan kesyahduan dan perasaan rindu tak terperikan pada Allah SWT. Nyanyian itu mengantarkan denyut kerinduan, impresi batin, dan perasaan hendak menyatu.

Nyanyian jiwa berupa hymne kudus yang dikidungkan semesta, malaikat, dan para Nabi sebagai tanda pengagungan pada Allah Azza Wajallah. Namun tidak semua orang bisa mendengarkan hymne kudus ini. Hanya segelintir orang bisa merasakan getaran hymne yang sudah menyatu dengan kosmik. Karena dari kosmik inilah terpancar nyanyian kudus yang dialunkan begitu merdu, menembus batas kesedihan dan kesusahan yang kerap merenggut jiwa. Bagi saya, sebagai pemula di jalan ini, demi mendengarkan nyanyian kudus itu masih harus melewati aral tantangan yang amat besar. Terutama, tantangan dari dalam diri sendiri.

Bisikan nurani seperti bisikan lembut yang bisa diterima orang-orang lembut, berteduh dalam keheningan, menelusuri tapak-tapak yang terbuka di ruang jiwa. Tak ayal, ada orang begitu peka menerima suara kejernihan yang terbuka dari langit-langit batin, sehingga gampang menitikkan air mata, mudah terpengaruh pesona yang tersebar di langit-langit batin ini. Saat kita merasakan kesyahduan batin tersebut, seolah pikiran menyentuh arasy, menyatu dengan kosmik yang terbentang melampaui penyaksian lahiriah.

Bagaimana kita bisa mendengarkan atau bahkan mengalunkan nyanyian kudus yang terhantar oleh hati nurani? Bisakah kita terus bernyanyi demi meneguhkan jiwa yang rapuh ini? Dimana kita mencari nyanyian itu, dan bagaimana bisa memperdengarkan bisikan nurani yang syahdu tersebut pada orang lain?

Nyanyian kudus tak bisa dihantarkan dalam keadaan hati yang dongkol, jengkel, marah, atau remuk redam. Pendeknya, hati gelap, kering, dan dangkal tak bisa mengantarkan nyanyian pengabar kedamaian ke prana batin ini. Pasalnya, kegelapan dan kedangkalan hati yang ditandai dengan amukan kemarahan, kejengkelan, dan dendam hanya bertemu dengan kasarnya hawa nafsu. Manakala hawa nafsu masih mendominasi dan mengitari jiwa dengan kuat, maka nyanyian kudus itu tersumbat dan tak bisa didengarkan dengan indah. Perlulah kita melunakkan hawa nafsu, memadamkan bara hasrat. Bagaimana cara melunakkan hawa nafsu?

Kata para ahli bijak, melunakkan hawa nasfu hanya dengan mengendalikan pikiran, jika orang bisa mengendalikan pikiran, insya Allah bisa mengendalikan keinginan dan hasrat nafsu yang kerap mengembara tanpa kendali. Janganlah sampai kita dibuai oleh pikiran, sehingga kita tidak pernah menyadari dengan kesadaran nurani atas hal yang diperbuat. Ketika pikiran tak terkontrol, emosi pun ikut tak terkontrol, sehingga perbuatan tak terarah, dan minus makna. Pikiran, sebagai jerat setan yang memerangkap manusia dalam perbuatan yang nihil. Apakah berarti pikiran berbahaya? Pikiran diperlukan sebagai pelayan, bukan sebagai master, atau tuan dari kehidupan kita.

Jika pikiran diposisikan sebagai pelayan, tentu selalu berada dalam kontrol diri kita, ketika pikiran terkontrol, maka aktivitas yang kita lakukan juga terkontrol secara efektif, sebagai pertanda mengikuti jalan cahaya. Apa pengontrol pikiran? Zikir menjadi pengontrol pikiran yang mudah, namun sulit bagi orang yang tidak memiliki komitmen berdzikir. Dan komitmen berdzikir sebagai rahmat dari Allah. Kala berzikir, terasa ada energi ketenangan menyusup ke dalam dinding hati kita, goncangan-goncangan kecil yang beriak di hati akan mereda, dan terasa ketenangan mengalir luas ke lubuk batin ini. Zikir berarti ingat, mengingat Allah dengan kesadaran jernih. Mengingat Allah dalam hati, sekaligus merasakan kehadiran Allah terus-menerus.

Sesekali kita juga perlu memerhatikan kerja pikiran. Seringkali kerja pikiran melebar kemana-mana, bayangkan kalau berbicara dengan teman, kadang melompat-lompat, dari satu tema ke tema yang lain, alur pembicaraan terputus dari topic perbincangan ke topik lain yang tak relevan. Berbicara burung piaraan, hingga perseteruan elite politik. Dari bisnis ngalantur ke perkara jodoh. Pembicara yang ngalur-ngidul menandakan fokus pikiran terganggu, dan setiap pembicaraan terkesan out of context. Padahal, rasa-rasanya tanpa disertai fokus, kerja apapun terasa tidak maksimal, dan kurang bisa memberikan kepuasan optimal. Pekerjaan yang tidak terlalu sulit, kalau tidak mau disebut gampang, menulis. Menulis, tanpa disertai semangat fokus dan gairah yang positif, kadang sering keseleo, ide berkelana tanpa tujuan yang jelas. Dan mungkin ide menjadi buntu, ngadat. Alangkah indahnya ketika bisa memfokuskan diri dan menikmati setiap aktivitas agar membekaskan kenikmatan mendalam bagi kita.

Patutlah kita menyisakan waktu membaca pikiran kita, apa yang dipikirkan sang pikiran ini. Apakah benar-benar fokus, atau sering ngelantur. Bagi orang yang tidak menjejakkan perhatian pada satu fokus, berarti pikiran masih terus berterbangan tanpa arah yang jelas. Kalau kita mengenali dengan akrab kerja pikiran, semoga menjadi pemicu kita untuk mengoptimalkan pikiran pada perihal yang bermanfaat. Selain itu, kita memiliki kuasa mengendalikan pikiran, sehingga ada saatnya pikiran dipergunakan, dan adakalanya diistirahatkan. Saat pikiran istirahat, maka suara nurani insya Allah melengking merdu dengan nyanyian kudus.

Dari seluruh tuturan yang berpanjang-panjang, saya meyakini untuk mendengarkan bisikan nurani, perlu mengatur dan mengendalikan pikiran, bahkan ada saatnya mengistirahatkan pikiran agar bisa berteduh dalam kedamaian sembari mendengarkan bisikan nurani tersebut.

Khalili Anwar, Penutur dari Jalan Cahaya

Jumat, 03 Juli 2009

MERENDAHKAN DIRI

Setiap orang tak berkenan direndahkan “harga” dirinya. Selama ini kita dicekoki kepercayaan, setiap orang harus memiliki harga diri yang tinggi (high-selfesteem), sehingga jika ada yang merendahkan, bisa saja naik pitam, bersikap dongkol, berujung pada pertengkaran yang sengit. Memang, harga diri menjadi perjuangan setiap orang untuk meneguhkan egonya, hanya sebagian kecil manusia yang emosinya tetap tenang kala direndahkan. Hanya orang-orang yang menyadari siapa dirinya yang semakin menundukkan diri dan kata yang merendahkan bisa mengalirkan kesadaran yang jernih soal bertumpuknya dosa yang melekat pada dirinya. Mereka pun memandang bahwa cacian dan makian itu sebagai bentuk utusan dari Allah agar semakin gigih memperbaiki diri secara tulus dan jernih.

Merendahkan diri bukan tanda kehinaan, tapi tanda kemuliaan. Pun kerendahan diri bukan tanda sikap hidup pesimis, mediocre, atau pecundang, bahkan merendahkan diri sebagai refleksi keteguhan diri yang tertanam kuat dan menjadi bentuk sikap optimis yang membersit dari kesadaran nurani terdalam. Saya sering menemui sosok yang bersikap merendahkan diri di hadapan orang lain. Alih-alih dari sikap tersebut mendapatkan kehinaan, malahan menarik sikap respek orang lain terhadapnya. Saya bertemu dengan putera seorang kiai yang amat terkenal di negeri ini. Sebelum mengenal beliau lebih dekat, saya tak melihat tanda-tanda beliau seorang putra kiai, hanya saja beliau selalu berlaku sopan, lembut, dan bersikap mau melayani tamu dengan tulus. Bahkan, beliau sempat menyapa dengan suara lembut, merendah, dan mempersilahkan saya untuk mencicipi hidangan yang sudah disediakan. Karena saya belum mengetahui beliau yang sebenarnya, saya bersikap biasa saja, “mungkin dia pelayan ndalem?” batinku.

Beberapa saat berikutnya, beliau ternyata tidak sebatas melayani, namun ikut melontarkan usulan-usulan cerdas di forum, dan beberapa peserta yang hadir memanggilnya Gus. Saya pun tergugah untuk bertanya, siapa sejatinya sosok yang amat cerah dan tulus tersebut? Setelah bertanya, saya mendapatkan jawaban mengejutkan dan membuka rasa hormat saya pada beliau. Beliau adalah putra kiai ndalem yang insya Allah akan menjadi pengganti kiai ke depan.

Belajar dari kerendahan diri “Gus” saya mengambil kesimpulan, ternyata merendahkan diri tak bisa menghacurkan kehidupan kita, malahan meneguhkan kejayaan dan membangkitkan kecemerlangan yang terselubung dalam diri kita. merendahkan diri bukanlah refleksi rasa putus asa, bahkan sebagai pemancar rasa optimis yang bisa menebarkan energi positif bagi orang-orang sekitar kita. Rasulullah SAW bersabda, “ Barang siapa yang bersikap sombong niscaya akan direndahkan oleh Allah, dan siapa yang bersikap merendahkan diri niscaya akan diangkat derajatnya oleh Allah SWT,”

Bagaimana kita mengembangkan sikap merendahkan diri tersebut?

Pertama, Pandanglah orang lain sebagai yang terbaik. Ketika Anda bertemu dengan seseorang, pandanglah dia sebagi sosok cemerlang dan memiliki prestasi luar biasa. Pendek kata, diposisikan sebagai sosok terhormat di hadapan Anda. Pancarkan rasa syukur Anda, lantaran bisa bertemu orang yang begitu luar biasa tersebut, sembari berharap Anda bisa memeroleh pelajaran berharga darinya. ketika Anda menilai orang itu luar biasa, maka akan timbul rasa apresiasi yang tinggi, dan selalu menikmati pertemuan itu sebagai momen istimewa. Ketika orang diperlakukan istimewa dan terhormat, selain mengalirkan kebahagiaan pada orang tersebut, pun hati Anda dipenuhi dengan energi kebahagiaan yang tak terbatas. Dari situ, orang yang diperlakukan terhormat akan menaruh sikap hormat terhadap Anda. Gamblangnya, sikap orang lain terhadap kita adalah pantulan sikap kita terhadap orang tersebut.

Kedua, mengenali diri Anda dengan segenap kelemahan yang melekat. Allah Maha menutupi cacat yang ada pada makhlukNya. Dia telah menutupi cacat kita, andaikan Allah membuka selubung cacat yang melekat pada kita, mungkin banyak orang yang akan menjauhi kita, hingga mengisolasi kita dalam pergaulan. Hanya dengan kasih sayang Allah, cacat kita tak terungkap, pun Allah menuntun kita untuk melakukan kebaikan. Memang hanya dengan rahmat Allah semata kita bisa berbuat baik. Sesungguhnya kita tidak kuasa untuk berbuat yang terbaik, dan kebaikan yang melekat pada kita hanya sebatas anugerah dari Allah. Betapa banyak pelajaran yang bisa digali dari realitas hidup yang terbabar di sekitar kita, ada orang yang pada mulanya bersungguh-sungguh berbuat baik, kemudian terperangkap dalam perilaku jahat. Pada mulanya begitu tekun shalat berjemaah di masjid, tapi tanpa mengerti apa sebabnya, dia pun menjauhi kegiatan-kegiatan masjid. Dari situ, saya berkesimpulan, hanya dengan rahmat Allah kita bisa berbuat kebajikan. Karena itu, tak pantas kesombongan melekat pada diri manusia, karena seluruh kedirian manusia terhantar oleh rahmat Allah SWT semata.

Merendahkan diri perlu dikristalisasi dalam kesadaran kita, sehingga kita akan mendapati keagungan dan kemuliaan. Bukankah yang tempat yang rendah yang akan ditempati genangan hujan. Hanya hati yang merendahkan diri yang insya Allah akan selalu dialiri rahmat Allah SWT. Karena itu, tak layak kita mempersepsi merendahkan diri refleksi keringkihan mental, bahkan itu keteguhan mental, karena kala merendahkan diri, dia bersua dengan keagungan Allah yang tak tertandingi. Insya Allah.

Khalili Anwar, Penutur dari Jalan Cahaya