Sabtu, 18 Juli 2009

CINTA MEKAR DARI TANAH KEDUKAAN

Setiap insan mendambakan energi cinta. Pasalnya, cinta membersitkan kebahagiaan hakiki di hati. Kehadiran cinta menjadikan setiap momentum sarat inspirasi. Namun, apakah cinta hanya bisa dijala saat dikitari kesenangan semata, dan saat derita menjerat hari-hari kita, berarti cinta tak berkunjung bahkan pudar dari ruang hati ini? Nikmatnya cinta tak sebatas dirasakan pada saat manusia dihias oleh kesentosaan dan kemakmuran. Pun saat derita, duka, dan bencana mendera, pintu-pintu cinta terbuka di balik lubuk sanubari. Dari pintu derita kadang cahaya cinta terbit menghampiri manusia dengan penuh daya tarik. Bahkan adikarya cinta terlahir dari rahim derita yang dijalani dengan tulus.

Begawan cinta lahir dari kota penuh derita, bayangkan Syekh Jalaluddin Rumi berhasil melahirkan karya mengharukan setelah beliau ditinggal sang guru, pemasok cahaya cinta di dadanya, Syamsuddin Tibriz. Kahliel Gibran mampu mengobarkan adikaryanya di bawah arakan awan derita yang dialami lantaran tak bisa bertemu sang kekasih. Kegetiran dan kepahitan jiwanya telah mengantarkan karya agungnya. Kalau kita memetik kemblai dawai spirit perjalanan cinta Laila—Majnun, terekam kesimpulan bahwa di tengah derita yang mencengkram sepasang kekasih tersebut, cahaya cinta menemaninya terus-menerus, bahkan Laila—Majnun merasa menikmati percintaan agung saat derita itu mengharu-biru. Manusia Agung, Rasulullah Muhammad SAW, yang hingga hari ini telah menggelar cinta semesta, menjalani masa kegetiran, dibentur tantangan demi tantangan, sehingga beliau pun didapuk sebagai pencinta sejati, dan bergelar rahmat bagi seluruh alam.

Lewat perjalanan tokoh pencinta agung tersebut, saya menyimpulkan, mutiara cinta sering ditemukan dalam kedukaan yang berkecamuk di dada. Seorang pencinta sejati bakal merasakan asupan energi cinta, bila telah berhasil melewati ranjau derita yang amat menggetirkan. Tak ada pencinta yang dilahirkan dalam kemudahan dan serba fasilitas. Pejalan-pejalan cinta menelusuri perjalanan hidupnya penuh kedukaan, dari kaki derita inilah ia mengumpulkan keteguhan untuk menguatkan jiwanya agar sampai di puncak gunung maha daya cinta.

Guru kami yang mulia pernah menegaskan, “tanpa duka, suka kehilangan maknanya,” beliau mencontohkan seperti dua orang yang sama-sama sampai di puncak gunung. Yang pertama sampai ke puncak gunung dengan menaiki hilokopter, tepat terbang di atas gunung, ia pun turun dari hilokopter menuju puncak gunung itu. Yang kedua, ia sampai ke puncak gunung, setelah melewati proses pendakian amat meletihkan, melewati batu terjal yang siap menggores kaki hingga berluka, atau berhadapan dengan binatang berbisa yang tiba-tiba menyergap dan mamatoknya. Kiranya, kebahagiaan hakiki itu berpihak pada siapa? Maka kebahagiaan itu berpihak pada orang yang kedua. Karena telah melewati kedukaan luar biasa, maka kesuksesan itu menjadi begitu bermakna.

Bagi pencinta, menyambut kedukaan amatlah antusias sebagaimana ia menyambut kesenangan. Dia merespons nikmat dan musibah penuh syukur, karena meyakini dibalik semua yang tergelar itu bisa menumbuhkan bibit cinta yang masih terbenam di dada. Respons yang membuat kita membutuhkan dan merindukan Allah bakal memantik maha daya cinta dalam diri.

Bagi kebanyakan orang, penderitaan dan kedukaan yang dialami para pencinta begitu memperihatinkan, karena mereka melihat kebiasaan-kebiasaan di luar orang kebanyakan. Di kala banyak orang menghambur-hamburkan uang untuk memenuhi perut, sang pencinta harus menahan sekuat tenaga dari makan, melewati hari-harinya dengan puasa. Ketika banyak orang tidur terlelap, dia memilih untuk bangun dan terjaga, mengadukan kebutuhan dan kerinduan pada Allah. Disana dia merasa tak memiliki apa-apa yang bisa dibanggakan, sehingga dia selalu mengadu, merintih, dan meraung-raung di hadapan Allah SWT. Di tengah banyak orang terbuai dalam keramaian sarat kesenangan, dia memilih menyendiri, mengunci diri dalam kesunyian, menyatu dalam medan tafakkur perihal kekuasaan Allah yang Maha Luas. Dia mendera fisik dan hawa nafsu agar tak merasa nyaman, bahkan berteriak begitu lantang atas setiap perbuatan yang diilhami hawa nafsu. Dia berhasil menundukkan hawa nafsu di hadapannya.

Petualang sarat tantangan itu dilewati semata-mata guna menumbuhkan bibit cinta. Tanpa ditempa dan didera, terasa sulit membuat gumpalan keakuan meleleh. Seperti membakar besi, maka keakuan juga harus dibakar dan ditempa agar meleleh. Kala keakuan telah meleleh dan lunak, maka cinta pun berkunjung ke dalam hati yang penuh damai. Saya menyadari bahwa mengarungi samudera cinta harus berhadapan dengan ombak derita yang bisa jadi tiba-tiba menghantam, dan membuat diri terjungkal dalam derita nestapa. Untuk menunjukkan cinta memang membutuhkan pengorbanan. Seperti kedelai yang dibenam dalam tanah, maka untuk bisa tumbuh dan mekar, bahkan berbuah, ia harus melewati perjuangan yang luar biasa, bagaimana caranya agar bibit yang tumbuh dan mekar harus menembus kerasnya tanah yang mengatup. Berapa besar perjuangan bibit biji kedelai itu agar bisa menjulangkan daunnya? Disanalah perjuangan cinta diuji.

Pejalan-pejalan sunyi selalu menghibur dirinya kala didepak derita bertubi-tubi. Mereka menganggap derita yang membakarnya tengah memproses dirinya menjadi sang pencinta hakiki. Sang pencinta bakal cepat hampir pada yang dicintai, ketika bisa tersenyum dalam derita, tanda bersinarnya cahaya ridha. Ketika kita berani tersenyum dengan tulus atas derita yang menghujam, maka Sang Pencinta pun akan tersenyum dan menaruh perasaan haru pada pejalan ini.

Sang pencinta akan memeluk derita sama eratnya dengan memeluk kenikmatan. Bahkan sang pencinta menganggap semuanya adalah anugerah, sehingga ia memeluk erat-erat semua yang datang padanya, dan tinggal dia mendapati kejutan-kejutan yang membuatnya tertawa, dan Tuhan pun ikut tertawa. Ketika senyum mengembang dari bibir sang pencinta, sesungguhnya menjadi refleksi senyum Allah yang memancari makhluk dengan penuh kasih tanpa syarat tanpa batas.

Khalili Anwar, Penutur dari Jalan Cahaya

Tidak ada komentar:

Posting Komentar