Senin, 06 Juli 2009

MENDENGARKAN BISIKAN HATI NURANI

Dawai cinta itu terus mengalun dibalik hati yang jernih nan bening. Manakala hati telah berlabur dan berhias cinta, maka seluruh sisi batiniah ini melulu menggemakan nyanyian indah, mengalirkan kedamaian ke prana jiwa. Gema nyanyian dalam hati tidak identik dengan nyanyian yang memekakkan telinga, namun berupa nyanyian yang selalu mengalunkan kesyahduan dan perasaan rindu tak terperikan pada Allah SWT. Nyanyian itu mengantarkan denyut kerinduan, impresi batin, dan perasaan hendak menyatu.

Nyanyian jiwa berupa hymne kudus yang dikidungkan semesta, malaikat, dan para Nabi sebagai tanda pengagungan pada Allah Azza Wajallah. Namun tidak semua orang bisa mendengarkan hymne kudus ini. Hanya segelintir orang bisa merasakan getaran hymne yang sudah menyatu dengan kosmik. Karena dari kosmik inilah terpancar nyanyian kudus yang dialunkan begitu merdu, menembus batas kesedihan dan kesusahan yang kerap merenggut jiwa. Bagi saya, sebagai pemula di jalan ini, demi mendengarkan nyanyian kudus itu masih harus melewati aral tantangan yang amat besar. Terutama, tantangan dari dalam diri sendiri.

Bisikan nurani seperti bisikan lembut yang bisa diterima orang-orang lembut, berteduh dalam keheningan, menelusuri tapak-tapak yang terbuka di ruang jiwa. Tak ayal, ada orang begitu peka menerima suara kejernihan yang terbuka dari langit-langit batin, sehingga gampang menitikkan air mata, mudah terpengaruh pesona yang tersebar di langit-langit batin ini. Saat kita merasakan kesyahduan batin tersebut, seolah pikiran menyentuh arasy, menyatu dengan kosmik yang terbentang melampaui penyaksian lahiriah.

Bagaimana kita bisa mendengarkan atau bahkan mengalunkan nyanyian kudus yang terhantar oleh hati nurani? Bisakah kita terus bernyanyi demi meneguhkan jiwa yang rapuh ini? Dimana kita mencari nyanyian itu, dan bagaimana bisa memperdengarkan bisikan nurani yang syahdu tersebut pada orang lain?

Nyanyian kudus tak bisa dihantarkan dalam keadaan hati yang dongkol, jengkel, marah, atau remuk redam. Pendeknya, hati gelap, kering, dan dangkal tak bisa mengantarkan nyanyian pengabar kedamaian ke prana batin ini. Pasalnya, kegelapan dan kedangkalan hati yang ditandai dengan amukan kemarahan, kejengkelan, dan dendam hanya bertemu dengan kasarnya hawa nafsu. Manakala hawa nafsu masih mendominasi dan mengitari jiwa dengan kuat, maka nyanyian kudus itu tersumbat dan tak bisa didengarkan dengan indah. Perlulah kita melunakkan hawa nafsu, memadamkan bara hasrat. Bagaimana cara melunakkan hawa nafsu?

Kata para ahli bijak, melunakkan hawa nasfu hanya dengan mengendalikan pikiran, jika orang bisa mengendalikan pikiran, insya Allah bisa mengendalikan keinginan dan hasrat nafsu yang kerap mengembara tanpa kendali. Janganlah sampai kita dibuai oleh pikiran, sehingga kita tidak pernah menyadari dengan kesadaran nurani atas hal yang diperbuat. Ketika pikiran tak terkontrol, emosi pun ikut tak terkontrol, sehingga perbuatan tak terarah, dan minus makna. Pikiran, sebagai jerat setan yang memerangkap manusia dalam perbuatan yang nihil. Apakah berarti pikiran berbahaya? Pikiran diperlukan sebagai pelayan, bukan sebagai master, atau tuan dari kehidupan kita.

Jika pikiran diposisikan sebagai pelayan, tentu selalu berada dalam kontrol diri kita, ketika pikiran terkontrol, maka aktivitas yang kita lakukan juga terkontrol secara efektif, sebagai pertanda mengikuti jalan cahaya. Apa pengontrol pikiran? Zikir menjadi pengontrol pikiran yang mudah, namun sulit bagi orang yang tidak memiliki komitmen berdzikir. Dan komitmen berdzikir sebagai rahmat dari Allah. Kala berzikir, terasa ada energi ketenangan menyusup ke dalam dinding hati kita, goncangan-goncangan kecil yang beriak di hati akan mereda, dan terasa ketenangan mengalir luas ke lubuk batin ini. Zikir berarti ingat, mengingat Allah dengan kesadaran jernih. Mengingat Allah dalam hati, sekaligus merasakan kehadiran Allah terus-menerus.

Sesekali kita juga perlu memerhatikan kerja pikiran. Seringkali kerja pikiran melebar kemana-mana, bayangkan kalau berbicara dengan teman, kadang melompat-lompat, dari satu tema ke tema yang lain, alur pembicaraan terputus dari topic perbincangan ke topik lain yang tak relevan. Berbicara burung piaraan, hingga perseteruan elite politik. Dari bisnis ngalantur ke perkara jodoh. Pembicara yang ngalur-ngidul menandakan fokus pikiran terganggu, dan setiap pembicaraan terkesan out of context. Padahal, rasa-rasanya tanpa disertai fokus, kerja apapun terasa tidak maksimal, dan kurang bisa memberikan kepuasan optimal. Pekerjaan yang tidak terlalu sulit, kalau tidak mau disebut gampang, menulis. Menulis, tanpa disertai semangat fokus dan gairah yang positif, kadang sering keseleo, ide berkelana tanpa tujuan yang jelas. Dan mungkin ide menjadi buntu, ngadat. Alangkah indahnya ketika bisa memfokuskan diri dan menikmati setiap aktivitas agar membekaskan kenikmatan mendalam bagi kita.

Patutlah kita menyisakan waktu membaca pikiran kita, apa yang dipikirkan sang pikiran ini. Apakah benar-benar fokus, atau sering ngelantur. Bagi orang yang tidak menjejakkan perhatian pada satu fokus, berarti pikiran masih terus berterbangan tanpa arah yang jelas. Kalau kita mengenali dengan akrab kerja pikiran, semoga menjadi pemicu kita untuk mengoptimalkan pikiran pada perihal yang bermanfaat. Selain itu, kita memiliki kuasa mengendalikan pikiran, sehingga ada saatnya pikiran dipergunakan, dan adakalanya diistirahatkan. Saat pikiran istirahat, maka suara nurani insya Allah melengking merdu dengan nyanyian kudus.

Dari seluruh tuturan yang berpanjang-panjang, saya meyakini untuk mendengarkan bisikan nurani, perlu mengatur dan mengendalikan pikiran, bahkan ada saatnya mengistirahatkan pikiran agar bisa berteduh dalam kedamaian sembari mendengarkan bisikan nurani tersebut.

Khalili Anwar, Penutur dari Jalan Cahaya

Tidak ada komentar:

Posting Komentar