Jumat, 03 Juli 2009

MERENDAHKAN DIRI

Setiap orang tak berkenan direndahkan “harga” dirinya. Selama ini kita dicekoki kepercayaan, setiap orang harus memiliki harga diri yang tinggi (high-selfesteem), sehingga jika ada yang merendahkan, bisa saja naik pitam, bersikap dongkol, berujung pada pertengkaran yang sengit. Memang, harga diri menjadi perjuangan setiap orang untuk meneguhkan egonya, hanya sebagian kecil manusia yang emosinya tetap tenang kala direndahkan. Hanya orang-orang yang menyadari siapa dirinya yang semakin menundukkan diri dan kata yang merendahkan bisa mengalirkan kesadaran yang jernih soal bertumpuknya dosa yang melekat pada dirinya. Mereka pun memandang bahwa cacian dan makian itu sebagai bentuk utusan dari Allah agar semakin gigih memperbaiki diri secara tulus dan jernih.

Merendahkan diri bukan tanda kehinaan, tapi tanda kemuliaan. Pun kerendahan diri bukan tanda sikap hidup pesimis, mediocre, atau pecundang, bahkan merendahkan diri sebagai refleksi keteguhan diri yang tertanam kuat dan menjadi bentuk sikap optimis yang membersit dari kesadaran nurani terdalam. Saya sering menemui sosok yang bersikap merendahkan diri di hadapan orang lain. Alih-alih dari sikap tersebut mendapatkan kehinaan, malahan menarik sikap respek orang lain terhadapnya. Saya bertemu dengan putera seorang kiai yang amat terkenal di negeri ini. Sebelum mengenal beliau lebih dekat, saya tak melihat tanda-tanda beliau seorang putra kiai, hanya saja beliau selalu berlaku sopan, lembut, dan bersikap mau melayani tamu dengan tulus. Bahkan, beliau sempat menyapa dengan suara lembut, merendah, dan mempersilahkan saya untuk mencicipi hidangan yang sudah disediakan. Karena saya belum mengetahui beliau yang sebenarnya, saya bersikap biasa saja, “mungkin dia pelayan ndalem?” batinku.

Beberapa saat berikutnya, beliau ternyata tidak sebatas melayani, namun ikut melontarkan usulan-usulan cerdas di forum, dan beberapa peserta yang hadir memanggilnya Gus. Saya pun tergugah untuk bertanya, siapa sejatinya sosok yang amat cerah dan tulus tersebut? Setelah bertanya, saya mendapatkan jawaban mengejutkan dan membuka rasa hormat saya pada beliau. Beliau adalah putra kiai ndalem yang insya Allah akan menjadi pengganti kiai ke depan.

Belajar dari kerendahan diri “Gus” saya mengambil kesimpulan, ternyata merendahkan diri tak bisa menghacurkan kehidupan kita, malahan meneguhkan kejayaan dan membangkitkan kecemerlangan yang terselubung dalam diri kita. merendahkan diri bukanlah refleksi rasa putus asa, bahkan sebagai pemancar rasa optimis yang bisa menebarkan energi positif bagi orang-orang sekitar kita. Rasulullah SAW bersabda, “ Barang siapa yang bersikap sombong niscaya akan direndahkan oleh Allah, dan siapa yang bersikap merendahkan diri niscaya akan diangkat derajatnya oleh Allah SWT,”

Bagaimana kita mengembangkan sikap merendahkan diri tersebut?

Pertama, Pandanglah orang lain sebagai yang terbaik. Ketika Anda bertemu dengan seseorang, pandanglah dia sebagi sosok cemerlang dan memiliki prestasi luar biasa. Pendek kata, diposisikan sebagai sosok terhormat di hadapan Anda. Pancarkan rasa syukur Anda, lantaran bisa bertemu orang yang begitu luar biasa tersebut, sembari berharap Anda bisa memeroleh pelajaran berharga darinya. ketika Anda menilai orang itu luar biasa, maka akan timbul rasa apresiasi yang tinggi, dan selalu menikmati pertemuan itu sebagai momen istimewa. Ketika orang diperlakukan istimewa dan terhormat, selain mengalirkan kebahagiaan pada orang tersebut, pun hati Anda dipenuhi dengan energi kebahagiaan yang tak terbatas. Dari situ, orang yang diperlakukan terhormat akan menaruh sikap hormat terhadap Anda. Gamblangnya, sikap orang lain terhadap kita adalah pantulan sikap kita terhadap orang tersebut.

Kedua, mengenali diri Anda dengan segenap kelemahan yang melekat. Allah Maha menutupi cacat yang ada pada makhlukNya. Dia telah menutupi cacat kita, andaikan Allah membuka selubung cacat yang melekat pada kita, mungkin banyak orang yang akan menjauhi kita, hingga mengisolasi kita dalam pergaulan. Hanya dengan kasih sayang Allah, cacat kita tak terungkap, pun Allah menuntun kita untuk melakukan kebaikan. Memang hanya dengan rahmat Allah semata kita bisa berbuat baik. Sesungguhnya kita tidak kuasa untuk berbuat yang terbaik, dan kebaikan yang melekat pada kita hanya sebatas anugerah dari Allah. Betapa banyak pelajaran yang bisa digali dari realitas hidup yang terbabar di sekitar kita, ada orang yang pada mulanya bersungguh-sungguh berbuat baik, kemudian terperangkap dalam perilaku jahat. Pada mulanya begitu tekun shalat berjemaah di masjid, tapi tanpa mengerti apa sebabnya, dia pun menjauhi kegiatan-kegiatan masjid. Dari situ, saya berkesimpulan, hanya dengan rahmat Allah kita bisa berbuat kebajikan. Karena itu, tak pantas kesombongan melekat pada diri manusia, karena seluruh kedirian manusia terhantar oleh rahmat Allah SWT semata.

Merendahkan diri perlu dikristalisasi dalam kesadaran kita, sehingga kita akan mendapati keagungan dan kemuliaan. Bukankah yang tempat yang rendah yang akan ditempati genangan hujan. Hanya hati yang merendahkan diri yang insya Allah akan selalu dialiri rahmat Allah SWT. Karena itu, tak layak kita mempersepsi merendahkan diri refleksi keringkihan mental, bahkan itu keteguhan mental, karena kala merendahkan diri, dia bersua dengan keagungan Allah yang tak tertandingi. Insya Allah.

Khalili Anwar, Penutur dari Jalan Cahaya

Tidak ada komentar:

Posting Komentar