Senin, 09 Mei 2011

SEKULARISASI GAYA BARU

Kita mengambil tajuk mengenai sekuler. Apa sih sekuler itu? Kemudian apa berbedaan titik aksentuasi dengan pluralisme yang akhir-akhir ini menjadi perbincangan hangat di kancah aktivis nasional? Pluralisme menekankan akan keragaman budaya, bahkan keragaman agama yang dibingkai dalam kesamaan, sehingga timbul kesan bahwa seluruh agama sama.
Adapun sekular memaknai agama dan dunia sebagai domain yang berbeda, sehingga agama tak berhak mengintervensi dimensi dunia. Agama hanya bergerak dalam lingkup ritual-seremonial, tidak boleh memasuki ruang aktivitas sosial. Karenanya, agama terkesan terisolasi dari kehidupan masyarakat, dan hanya bisa digalakkan di masjid dan mushalla. Penyempitan peran agama, membikin agama sebagai channel penebar rahmat tidak bisa mengejawantah secara optimal.

Penulis sendiri pernah membaca secuil ulasan tentang sekularisasi yang pernah dipopulerkan oleh Nurcholish Madjid di tahun 70-an, yang kemudian memunculkan konsep praksis, “Agama Yes, Partai Islam No.” Partai dipersepsi bukan bagian dari agama, tetapi diletakkan sebagai entitas di luar domain agama. Demikian gambaran ide praksis Nurcholish Madjid yang menggemparkan jagat keagamaan di Indonesia, dan memancing perdebatan yang sengit dari aktivis muslim saat itu.

Kini, kendati sekularisasi gaya Nurcholish Madjid masih diteruskan oleh generasi muda yang nyentrik, Ulil Abshar Abdallah, tetap sebagai hidangan lama, yang hanya berubah bungkus saja. Tanpa kita sadari, kita sedang disuguhi gaya sekularisme baru yang dibidani kelompok ekstrim kanan, yang menjuluki dirinya sebagai penegak agama secara murni dan konsekuen, dan gampang melontarkan cercaan bid’ah pada golongan yang lain, bahkan tak segan-segan mengklaim orang lain sesat, dan masuk neraka. Seakan lisensi dan paspor menuju “negeri surga dan neraka” ada di tangan mereka. Mereka memandang dirinya sebagai ahlun nur (ahli cahaya), sehingga merasa terjamin masuk surga, dan yang lain sebagai ahlun naar (ahli neraka), karenanya dipandang layak memasuki neraka. Apakah mereka memang the owner kingdom of heaven and hell (pemilik sah kerajaan surga dan neraka)? Saya tidak mengerti, yang saya pahami surga dan neraka adalah milik Allah.

Kelompok ini dengan gampangnya—tanpa merasa bersalah—menganggap amal saudaranya berbau bid’ah, dan diklaim amal itu menyeret orang ke neraka. Pembacaan Qasidah maulid—saluran mengekspresikan cinta pada Rasulullah Saw—dianggap bid’ah, zikir bersama disebut bid’ah, bahkan kalau ada orang shalat tidak mengikuti gerakan seperti yang direkomendasikan mereka, dicap bid’ah. Gamblangnya, seluruh kebudayaan yang diramu dengan nilai-nilai agama oleh para ulama’ salaf terdahulu tiba-tiba dilabeli bid’ah.

Mantra bid’ah yang dilemparkan tersebut cukup membuat kebudayaan yang diwarnai nilai-nilai agama mengalami kemandekan. Bayangkan, kelompok remaja yang terbiasa membaca Diba’ saban malam jum’at perlahan tergerus dan punah. Malam Jum’at tak lagi menjadi tempo yang dimuliakan dan memancing kegembiraan, bahkan diidentikkan dengan pocong dan hantu sebagaimana ditayangkan oleh televisi. Jadinya, malam jumat dikesankan bukan malam yang menyajikan kegembiraan, malah sebagai malam yang menakutkan dan menyeramkan. Bahkan, tak jarang kalangan remaja muslim, mengalihkan hiburan dengan menjajal malam minggu. Pacaran pun marak menjadi budaya baru yang memasuki ceruk kehidupan kaum muda muslim. Tak sedikit kaum muda muslim yang terseret ke dalam perzinahan, dan menganggap lumrah adanya free-sex.

Kita tak bisa mengulas fenomena aneh ini, bagaimana mungkin sebuah sekolah yang bernaung di bawah Yayasan Ormas Islam menghelat pertunjukkan musik Rock and Roll. Di sisi lain, mereka membid’ahkan kegiatan keagamaan yang dikemas sebagai hiburan yang memiliki muatan dakwah, seperti group hadrah, group shalawat, namun melegalkan kegiatan musik yang sama sekali tidak bermuatan nilai agama, bahkan mendekonstruksi nilai-nilai agama. Sebuah fenomena aneh yang tak bisa dilogikakan. Orang awam pun mungkin ikut mengerutkan dahi.

Kelompok pemilik mantra bid’ah ini telah melakukan dekonstruksi terhadap bangunan budaya keagamaan di Nusantara, tetapi tidak bisa menyajikan alternatif yang tepat. Karenanya, agama kian jumud tidak bisa merembes ke seluruh rongga-rongga kehidupan masyarakat, bahkan agama dikesankan sebagai musuh peradaban (vis a vis civilization). Padahal, dari rahim agama peradaban yang humanis dan luhur bisa dilahirkan. Karena domain agama kian dipersempit, tak ayal gerak kebaikan pun semakin menyempit. Fenomena inilah yang kita sebut sebagai sekularisasi gaya baru yang didukung oleh orang-orang yang sering mengemukakan kata-kata menawan, “kembali pada al-Qur’an dan hadist.” Sehingga dia mengalami keterputusan dengan sejarah dan guru-guru terdahulu yang tak sedikit telah mencapai waliyullah. Bagaimana mungkin mereka mengapresiasi pandangan waliyullah, wong mereka sendiri tidak mengakui adanya waliyullah.

Agama diturunkan ke dunia untuk mengekspansi kebaikan, sebagaimana Rasululah Saw diutus untuk menebar rahmat ke seluruh alam. Ketahuilah, induk sunnah adalah menebar kebaikan. Kalau orang telah menyempitkan bahkan turut membuntukan kebaikan, berarti telah memblokade sunnah atau jejak Rasulullah Saw.

Tulisan ini bukan untuk mengundang kontroversi, hanya hendak menuangkan kegelisahan yang dirasakan penulis tentang cahaya agama yang kian redup, dan agama kini dijadikan sebagai monster yang menakutkan. Marilah kita pulihkan kepercayaan masyarakat tentang keluhuran dan keagungan Islam dan umat Islam.

Khalili Anwar, Penutur dari Jalan Cahaya

Tidak ada komentar:

Posting Komentar