Rabu, 28 Januari 2009

MENGHIDUPKAN SIKAP WARA'


Berhati-hati. Itulah inti dari sikap wara’. Sikap hati-hati, takut ada sikap dan perbuatan yang bertolak belakang dengan perintah Allah. Sebelum teknologi merajai kehidupan manusia, wara’ sebatas soal makan-minum. Mengapa makan-minum? Karena lewat makan-minum, manusia bisa mengumpulkan energi. Dan energi itulah yang membuat manusia bisa beraktivitas. Kalau makanannya haram, niscaya akan melahirkan energi negatif, dan energi negatif akan menimbulkan aktivitas yang negatif. Demikian sebaliknya. Tetapi, ketiga teknologi telah merambah dan memiliki peran yang kuat dalam mempengaruhi sikap manusia, sudah saatnya kita menggemakan kampanye agar bersikap wara’ terhadap beragam makanan pikiran. Bukankah ketika pikiran kotor, cenderung menggerakkan orang untuk bertindak kotor. Kalau begitu, pikiran kotor sebagai sumbu yang membikin dosa terus berkobar dan menyala. Saban hari, bahkan setiap detik pikiran kita kerap digempur beragam informasi. Kalau kita mau terus mendengarkan informasi, kita bisa mendengarkan sambil istirahat dengan memejamkan mata, atau sambil tidur-tiduran. Informasi yang didukung teknologi visual membuat orang betah berlama-lama di depan televisi. Kalau kita hayati soal dampak televisi tersebut, sungguh amat luar biasa dalam memugar pola hidup kita. Bagi orang yang tidak piawai mengendalikan diri dalam menangkap informasi tersebut, justru pendiriannya gampang digoyahkan.

Dan karena orang tidak hati-hati (wara’) menangkap informasi, membikin mereka terus diperbudak oleh keinginan rendahnya. Bayangkan, beragam iklan sering nongol di televisi dengan menawarkan harapan, sensasi, dan siap membangkitkan setiap hasrat pemirsa untuk membelinya. Kalau mereka tidak wara’ dalam menyaksikan tayangan dan informasi, niscaya mereka makin dibelenggu oleh penyakit cinta duniawi. Karena itu, wara’ adalah pintu awal bagi kita untuk memasuki sikap zuhud. Kalau Anda belum bisa bersikap wara’ niscaya Anda tidak bisa bersikap zuhud. Padahal sikap zuhud itulah yang mengantarkan manusia memeroleh kebahagiaan batin yang tak terkira. Berbincang soal wara’, kira-kira hal apa saja yang perlu kita sikapi dengan wara’ (hati-hati)?

Pertama, wara’ dalam makan-minum. Persoalan perut masih menempati posisi teratas, karena dari makanan-minuman yang tidak halal dan baik inilah yang membikin manusia mengalami penyakit lahir dan batin. Saat ini kita telah disuguhi makanan siap saji, sehingga banyak ibu rumah tangga malas untuk masak sendiri di rumah. Sudah banyak warung berjejer di pinggir jalan dari kelas bawah hingga atas, bahkan ada rumah makan hingga restoran yang menyediakan makanan berkelas. Kalau kita tidak cerdas secara agama, justru kita akan tergiur mengonsumsi apapun yang terhidang di hadapan kita. Tetapi bagi orang yang dipandu oleh iman yang sehat, tentu saja dia amat hati-hati memilih makanan. Sekarang makanan dari berbagai menu telah disediakan, dari daging tikus hingga daging babi, sungguh keadaan yang membuat kita harus berhati-hati. Ingatlah, makanan itu akan menjadi darah dan daging kita, dan juga turut membantu terciptanya pikiran, dan pikiran menentukan tindakan. Ketika kita tidak hati-hati dalam soal makanan, niscaya kita tidak bisa hati-hati dalam persoalan yang lain. Kita berhati-hati soal menu yang terdiri dari daging, karena daging memungkinkan tercampur dengan daging lain yang tidak halal untuk dikonsumsi. Kehati-hatian kita terhadap makanan ukuran ketakwaan kita.

Kedua, wara’ dalam melihat dan mendengar. Ingatlah, banyak kemaksiatan berawal dari mata dan telinga. Awal perzinahan adalah dari melihat model artis yang kerap menampilkan diri dengan pakaian norak, sehingga timbul birahi. Saat birahi timbul, maka orang tersebut mencari lawan jenis, terjalin dalam pacaran, dan terjadilah perbuatan maksiat tersebut. Awal zina sesungguhnya adalah zina mata. Ketika orang tidak pernah berhati-hati dalam melihat atau mendengar, cenderung dia akan terseret ke dalam perbuatan maksiat. Awal orang kecanduan Narkoba, berasal dari melihat dan mendengar tentang narkoba, akhirnya dia ingin merasakan kenikmatan Narkoba tersebut. Ketika orang telah menangkap informasi yang salah, dan tidak berusaha mengevaluasi informasi tersebut, justru itulah yang bakal menghanyutkannya ke lembah kemaksiatan. Sebelum televisi merambah sebagai media komunikasi dan entertain, kita hanya bisa melihat orang cantik dan ganteng yang berada di sekeliling kita, dan ia pun berpakaian amat sopan, sehingga tetap terjaga kesopanan dan kesantunan dalam pergaulan. Tetapi dengan adanya televisi ditopang oleh jaringan internet sebagai media informasi global, telah membuat orang tidak sebatas melihat gadis desa, tetapi juga bisa melihat gadis dari negara lain (import girls) yang pakaiannya justru akan membangkitkan birahi.

Mesum dan perzinahan tidak sebatas membudaya di kota, tetapi telah merambah ke seluruh pelosok pedalaman sekalipun. Selama teknologi televisi masuk ke tempat tersebut, kemungkinan energi dan tarikan kemaksiatan pun bakal menggurita. Mengapa? Karena televisi tidak sebatas menginformasikan tetapi telah memberikan contoh-c0ntoh ekspresif bagaimana cara berpacaran yang ampuh, cara berciuman yang merangsang, dan bahkan seterusnya yang membuat hati makin pekat dalam penderitaan. Kalau televisi tetap saja dengan hidangan gambar yang eksotis dan norak, tentu saja bahasa-bahasa ulama tidak ampuh untuk menyelesaikan kemaksiatan umat. Apalagi ulama’ tidak bisa memberikan contoh otentik dari kebaikan. Ingatlah contoh yang visual lebih berdampak ketimbang kata-kata yang abstrak. Ketika orang sudah tidak lagi wara’ dalam melihat dan mendengarkan informasi, maka justru dia makin jauh dari kebahagiaan hidup. Karena setiap informasi kotor yang mengendap dalam pikiran bawah sadar kita bakal menciptakan tombol kesadaran negatif setiap saat. Jika kita tidak bisa memelihara mata dan telinga dari kemaksiatan, justru penderitaan makin langgeng di hati kita.

Ketiga, wara’ dalam berbicara. Makin banyak berbicara, makin besar peluang berbuat dosa. Memang sebagian dosa berasal dari lisan yang tidak terkendali. Zaman ini menuntut orang berbicara terlalu banyak. Kini, kita tidak hanya diajak berbicara kala berada di keramaian, pun dalam keadaan sepi orang bisa berbicara, bahkan lebih intim daripada dalam keadaan ramai. Jarak tidak lagi membuat kita kesulitan dalam berbicara dan berkomunikasi, karena telah dipermudah dengan kehadiran teknologi HandPhone. Andaikan kita tidak hati-hati dalam menjaga setiap kata yang keluar dari mulut kita, justru pembicaraan kita akan banyak mewariskan kesedihan dan kegalauan dalam hati. Ketika orang sering berbicara, justru akan makin kekurangan cahaya batin. Karena, saat berbicara dia tidak lagi berpikir secara mendalam. Bukankah berpikir mendalam itu hanya bisa dilakukan saat manusia berada dalam keadaan diam? Dan berpikir itulah yang berpeluang mengirimkan pelita ke dalam hati manusia.

Sungguh Rasulullah Muhammad SAW telah memberikan pedoman pada kita untuk hati-hati dalam berbicara melalui sabdanya, “berbicaralah yang baik atau diam.” Pesan tersebut amatlah sederhana, tetapi terasa sulit dipraktikkan bagi orang yang tidak memiliki tekad kuat disertai pertolongan dari Allah. Ketika orang telah berhasil menjaga lisannya berarti dia telah berhasil menjaga hatinya. Berbicara menunjukkan kualitas pengetahuannya. Saat orang banyak berbicara, menandakan pengetahuannya masih dangkal. Bagi orang yang berpengetahuan, tentu saja diam dalam tafakkur menjadi kebiasaan, sehingga setiap pembicaraan yang dilontarkan tertancap jitu di hati orang lain. Mereka berbicara sedikit tetapi begitu membekas dan mengubah orang lain. Betapa indahnya, sebuah pembicaraan yang sedikit tetapi berperan seperti ragi yang membuat singkong menjadi tapei. Pembicaraan yang sedikit menjadi menggugah dan mengubah hati yang bermasalah.

Sudah saatnya dibangun komitmen dalam hati kita agar bersikap wara’ dalam hal makan-minum, wara’ dalam melihat dan mendengar, serta wara’ dalam berbicara, agar seluruh aktivitas yang dilakukan kita bisa melahirkan keberkahan. Hanya aktivitas yang disertai sikap wara’ yang insya Allah akan melahirkan keberkahan di dunia dan akhirat.

Khalili Anwar, Penutur Dari Jalan Hati

2 komentar:

  1. Wara' dipesankan terhadap apa yang mubah. Dimaksudkan agar kita berhati-hati terhadap segala hal yang memungkinkan dilewati batasnya.
    Makan, minum, bicara, bergaul, memandang mendengar atau apa pun hal yang diperlukan untuk keberlangsungan kehidupan. Tetapi semua itu hanyalah syarat saja. Jadi yang penting ada. Kalau lebih malah berbahaya.

    Zuhud itu untuk apa yang sudah dikenal lebih banyak bahayanya dari pada gunanya. Jadi hanya digunakan karena terpaksa dan tidak ada pilihan lain.

    Wallahu a'lam.

    BalasHapus