Jumat, 04 Desember 2009

SAYA MENDAMBA JADI MANUSIA PRIMITIF



Di sebuah kesempatan, guru kami yang mulia meluncurkan kearifan yang turut meniupkan kesegaran ke dalam hati. Menurut beliau, primitif bermakna asli, berakar dari bahasa Yunani Primus, dan diadopsi ke dalam bahasa Inggris menjadi Prime, yang berarti utama. Saya pun segera mencerna pemikiran yang didulangkan guru yang mulia. Andai primitive itu diartikan sebagai yang asli, original, otentik, berarti layak jadi gaya hidup yang terhormat. Tak ayal, sifat itu menjadi dambaan terdalam setiap insan? Ciri manusia primitive gampang berkata jujur, sulit berkata dusta. 

Jujur saja, kita menginginkan orang yang jujur, tidak berpura-pura, tidak gampang tipu sana-sini, dan selalu berkata polos. Kita menginginkan teman yang jujur, partner bisnis yang polos, mendamba relasi yang tak berbalutkan intrik. Dengan berbekal kejujuran dan keaslian, manusia bakal selalu menemukan terang dimana saja. Tuhan bermukim di hati orang yang jujur. Bukankah hanya orang yang berpikir dan berbuat apa adanya yang bakal selalu menemukan keindahan dalam hidup. Dan hanya orang yang mengada-ada, penuh pretensi yang melulu dibajak kekecewaan dan kepedihan. 

Hanya saja, selama ini kita sudah meremehkan manusia primitif dengan kesan sebagai manusia terbelakang, dan lebih akrab dijuluki manusia Jadul (jaman dulu). Mengapa mereka dianggap jadul. Ya, mereka dipandang jadul, lantaran ketika orang beramai-ramai bermain intrik dan menebar fitnah, dia masih sanggup berjuang dalam pusaran pengaruh integritas diri yang berisikan jujur. Ketika orang berlomba-lomba mengejar kedudukan bergengsi dengan beragam cara tuna nilai, dia hanya terlihat termangu-mangu dan merasa asing. Ketika orang bersaing membalut citra diri palsu, dia tetap memilih untuk menunjukkan apa adanya. Dia menyadari, balutan citra hanya kemasan sementara, ada saatnya kemasan itu bakal robek, dibuang, sehingga yang terlihat hanya isi semata. Apakah sama antara citra kemasan dan isi yang terbungkus? Disanalah integritas dan kejujuran dipertaruhkan. 

Apakah manusia primitif identik dengan orang yang tertinggal dalam informasi, teknologi, dan trendsetter bisnis? manusia primitif tidak terkait soal ketinggalan informasi, tetapi berkait dengan keteguhan memandang hati nurani sebagai panduan utama dalam melangkah. Dia masih menjadikan hati nurani sebagai commander yang mendorongnya bergerak dan berbuat. Pikiran, dan tindakan terpandu secara integral oleh hati nurani. Manusia yang masih tersambung dengan kejernihan hati nurani disebut manusia primitif (manusia utama) yang berada dalam arus sejarah. Karena mereka punya panduan lekat, berupa hati nurani yang jernih, maka perbuatannya selalu terarah menuju kebahagiaan. Kejujuran, penuh integritas, dan kredibilitas telah melekat kuat dalam dirinya, tak pernah sedikit pun bergeser antara suara hati dan perbuatannya. Karena perbuatan yang tergelar sebagai ekspresi yang dituangkan hati nurani. Tepatnya, perbuatan sebagai cetakan nyata dari hati nurani. 

Kini, terasa sekali bahwa jujur dan polos hanya layak dikenakan orang yang bermental terbelakang. Kejujuran terasa langka, bahkan dusta telah menjadi habit publik sebagaimana dipertunjukkan berbagai saluran media yang ada. Dari kebohongan pengusaha, hingga pejabat tinggi, mungkin rakyat kecil juga tertulari penyakit dusta tersebut. Di suatu kesempatan, saya chatting dengan teman semasa Madrasah Aliyah di Madura. Panggil saja namanya, Vinda Rosyidi. Di sekolah, dia termasuk siswa yang cerdas, vokal, dan selalu menguasai debat. Saya sebagai teman akrabnya, menyukai gaya bicaranya yang fasih dan segar, kadang-kadang disertai diplomasi. Tepat di awal tahun 2000 saya berpisah dengannya. Dia melanjutkan studi ke IAIN Syarif Hidayatullah, sementara saya sendiri melanjutkan ke kampus swasta di Surabaya. Sejak awal, saya menduga dia akan jadi politisi, setidaknya politisi kampus, terlihat dari keterampilannya mempengaruhi teman-teman aktivitas sekolah. 

Sudah lama saya tidak ketemu dia. Setelah saya punya akun facebook, alhamudlillah saya bisa menjalin komunikasi kembali dengannya. Di dalam percakapannya, dia mengutarakan bahwa hidup di Jakarta membutuhkan keberanian untuk tidak jujur. Siapa yang jujur akan hancur. “orang jujur tidak punya opportunity untuk bisa sukses, “ tambah dia lagi. Kata-kata itu sempat menyentak perasaan saya. Tersentak bukan karena perkataan itu, tetapi dia sendiri bersikap permisif dengan penyakit dusta yang mewabah selama ini. Di zaman sekarang, terasa manusia primitif –manusia yang dipandu dengan kejernihan hati—semakin langka. Ketika sikap primitive berupa kejujuran, integritas, dan krediblitas telah memudar dari horizon kehidupan manusia, pertanda semangat agama mengalami senjakala, ditelan peradaban yang beroientasi duniawi. Padahal kebahagiaan hanya berpihak pada orang yang berperilaku primitif tersebut. Orang yang penuh intrik dan dusta justru makin jauh dari medan kebahagiaan yang diharapkan. Alih-alih menggapai kebahagiaan yang sempurna, malahan terjebak dalam derita sepanjang masa. 

Sekarang, kita selalu berusaha menjadi manusia primitif yang mau memegang teguh nilai-nilai universal yang bersumber dari hati nurani dan diperkuat oleh agama. Kita harus tetap teguh kendati berada di tengah kepungan manusia modern yang menyingkirkan spirit kejujuran. Mari kita berlatih dengan keyakinan, menjadi manusia primitive itu lebih bahagia. Karena manusia primitive manusia berkesadaran hati nurani.  


Khalili Anwar, Penutur dari Jalan Cahaya

Tidak ada komentar:

Posting Komentar