Senin, 31 Mei 2010

KEBAHAGIAAN ADA DALAM MENCINTAI

Cukupkah kebahagiaan dengan mencintai? Bagaimana ketika yang dicintai tak membalas cintanya pada Anda, masihkah kebahagiaan berbalut dalam hati? Bukankah Anda akan merasa sakit ketika engkau dibenci bahkan dicaci maki oleh orang yang Anda cintai, mengapa kau harus tetap mencintainya, jika dekat dengannya malah mendapatkan dampratan dan cacian? Pertanyaan ini mungkin tersusun rapi sebagai bentuk paradoks atas ide besar yang terpampang di judul tulisan ini. Selama ini orang merasa bahagia ketika dicintai, tetapi ketika tidak dicintai akan merasa sedih. Seakan kebahagiaan ada ketika dicintai, dipeluk, dan dihargai orang lain. Tapi, ketika cinta, pelukan, dan penghargaan pupus, yang tersisa hanya puing-puing derita.

Pada mulanya, perlu dibangun kesadaran, kita tidak bisa mengarahkan agar orang mencintai kita, lebih tepatnya memposisikan diri yang dicintai. Bukankah suasana hati orang sering berubah, kadang sekarang begitu mencintai kita sepenuh hati, maka kita mendapatkan kebahagiaan yang full. Pada kesempatan lain, dia menunjukkan cinta yang setengah full, berdampak pada kebahagiaan yang juga setengah, dan bila dia tak lagi menunjukkan selera cinta, membuat kebahagiaan kita lenyap dan hilang, berganti derita.

Kita tak bisa mengarahkan mata angin cinta agar tetap mengarah pada kita, tetapi kita bisa mengarahkan diri sendiri untuk menyesuaikan dengan angin cinta itu. Kita tak bisa menuntut dan mengarahkan agar orang mencintai kita, tetapi kita bisa memilih untuk mencintai orang lain tanpa batas. Kita bisa merancang iklim cinta kita sendiri, mengapa kita tidak terus memancarkan cinta pada orang lain tanpa batas. Ketika kita mencintai orang lain, niscaya kita akan bahagia. Mengapa? Karena dalam cinta, kita hanya menemukan kebaikan dan kesejukan. Andaikan suatu saat, orang yang kita cintai membenci, mencaci, memfitnah kita, tentu tidak selayaknya mengurangi kualitas rasa cinta kita padanya. Karena cinta kita pada orang tersebut bukan karena dia mencintai kita, tetapi memang berangkat dari cinta kita padanya. Orang yang mencintai melampaui bentuk tubuh dan bentuk perbuatan. Dia selalu melihat fitrah suci yang tertanam dalam diri yang dicintai.

Makanya ketika mencintai sesuatu, tertanam dalam lubuk sanubari sikap sabar dan ikhlas. Sabar dalam menerima beragam ujian dalam cinta, ikhlas dengan apa pun yang dikorbankan, tidak pernah mengungkit-ungkit pemberian pada orang yang dicintai, yang bakal menghapus rasa cinta itu sendiri. Dia tidak melihat apapun dari yang dicintai, kecuali kebaikan. Bukankah ketika orang memikirkan kebaikan, yang ada hanya surga. Rasulullah bersabda, “Jujurlah, karena jujur menunjukkan pada kebaikan, dan kebaikan menunjukkan pada surga.”

Orang yang mencintai tak pernah berpikir apa yang diperoleh dari yang dicintai, tetapi apa yang bisa diberikan pada yang dicintai. Karena dia tak berharap apapun pada yang dicintai, andaikan dia mendapatkan senyum ketulusan, atau mendapatkan cacian maka bagi pencinta tidak ada bedanya. Mengapa? Karena fokusnya bukan pada sikap yang dicintai padanya, tetapi sikap dia pada orang yang dicintai. Makin sering dia memberi, maka dengan sendirinya akan tumbuh dan tumbuh rasa bahagia. Ia begitu tulus mencintai, karena baginya mencintai makhluk hanyalah saluran mengekspresikan cinta pada Allah. Karenanya sang pencinta tidak merasa disakiti, bahkan dia terus merasa bahagia. Cacian dan senyuman bagi sang pencinta, hanyalah cara orang yang dicintai menunjukkan perhatiannya pada kita. Ketika orang telah berhasil mencintai seperti itu, niscaya cinta bukan jalan derita, tetapi cinta adalah jalan menggapai kebahagiaan yang hakiki. Karena tujuan cinta kebahagiaan, maka perjalanan cinta pun bertabur bunga kebahagiaan.

Pesan cinta Rasulullah SAW bisa dijadikan acuan bagaimana agar bisa mencintai dengan focus pada kebaikan yang dicintai. Mencintai yang membuat kokoh, bukan karena orang yang dicintai, tetapi mencintai karena Allah. Mengapa mencintai karena Allah akan menjadi kokoh dan kuat? Ya karena Allah sandaran yang tidak pernah berubah dan sempurna. Ketika kita menyandarkan pada yang sempurna, maka semua pernak-pernik yang dialami dalam cinta sempurna datang dari Allah, dan disambut dengan cinta penuh bahagia. Ketika cinta telah disandarkan pada Allah, maka cinta itu akan terus terasa bahagia. Tetapi kalau disandarkan pada sesuatu selainnya, maka itu akan terasa rapuh, dan kebahagiaan dalam persahabatan tidak bakal bertahan lama. Mencintailah karena Allah, maka kebahagiaan tidak akan berhenti mengalir ke dalam hati kita.

Saatnya, kita belajar mencintai tanpa syarat pada apapun, ketika kita bisa mencintai tanpa syarat, bahkan kebahagiaan gratis terkirim ke dalam tangki hati kita. Ketika orang mencintai tanpa syarat, niscaya kebahagiaannya pun tanpa syarat. Ketika orang mencintai tanpa batas, sama kebahagiaannya pun tanpa batas. Makin luas cakupan cintamu, makin luas cakupan kebahagiaan di hatimu.


Khalili Anwar, Penutur dari Jalan Cahaya

Tidak ada komentar:

Posting Komentar