Selasa, 16 Maret 2010

THE AWARENESS OF JOYOBOYO

Terang-gelap, untung-rugi, bertemu-berpisah, sehat-sakit dan lainnya merupakan cakram putaran dualisme kehidupan yang akan dihadapi setiap insan. Itulah yang disebut JOYOBOYO. Sejak awal perlu dipatrikan di lubuk kesadaran kita, bahwa kita tidak bisa bersikap status quo (kemapanan) dalam suatu keadaan. Ingin sehat terus, sehingga membenci sakit, ingin untung terus, dan selalu ingin menyingkirkan rugi, merangkul pertemuan, tetapi melemparkan perpisahan. Kedua sisi tersebut dihadapi dengan kesadaran bahwa disitu ada pengalaman yang begitu bermakna. Sementara kemapanan tidak bakal memberi warna pelajaran dan hikmah dalam kehidupan ini. Bukankah kita suka dengan pelangi yang berwarni-warni, harusnya kita juga suka dengan warna-warni peristiwa dan kenyataan yang mengecat kanvas kehidupan kita.

Namun demikian, kendati warna peristiwa yang membalut kehidupan beraneka ragam, kita tetap tertuju pada warna dasar kehidupan, yakni putih. Disinilah, makna dari ikhlas, sabar, bahkan syukur yang akan menorehkan warna terang bagi kehidupan kita. Itu artinya, dasar dari seluruh anugerah Allah adalah putih. Lekatkan mata pikiran kita untuk melihat titik putih tersebut, niscaya semua sisi yang negatif akan menyingkir dari hati kita.

Bagaikan pergelaran besar, pasti ada agenda yang mewarnai pergelaran tersebut. Dari pembukaan, hingga penutupan. Dari opening hingga closing. Andaikan opening dan closing telah diagendakan, maka muatan yang mengiringi keduanya pasti telah diagendakan dengan rapi dan teratur oleh sang perencana. Contoh pergelaran teater, Anda akan menyaksikan bagaimana plot cerita yang mewarnai drama teater tersebut, mungkin Anda melihat plot cerita yang diwarnai decak kebahagiaan, menari-nari penuh suka cita, bahkan disertai tertawa cekikikan. Namun, ada tahapan, kesedihan, suasana kelam, kehancuran yang tak terperihkan mewarnai pemandangan dalam teater tersebut. Begitulah cermin rangakaian agenda yang mengiringi kehidupan kita.

Di suatu kesempatan guru yang mulia berkata, “kelahiran tidak kita undang, dan kematian juga tidak kita pesan.” Kata tersebut menancap dalam kesadaran saya, “diantara kelahiran dan kematian ada kehidupan, harusnya menghadapi kehidupan dengan sikap tawakkal, dan menghadapi kematian dengan berserah diri,”lanjut beliau.

Ya, memang hanya orang yang tidak mengerti hakikat kelahiran dan kematian yang selalu didera dan dipenjara perasaan gelisah, resah, dan keluh kesah, karena menyandarkan kehidupan pada dirinya sendiri, tidak ada spirit penyerahan diri (surrender) di medan kesadarannya. Berbeda halnya, ketika orang telah memahami dan meresapi makna kelahiran dan kematian, maka ia selalu tersuluhi cahaya terang, bahwa di antara batas kelahiran dan kematian Allah telah menetapkan bagi kita masing-masing, kapan kita berada di momen kejayaan dan kapan terkapar dalam keruntuhan. Kejayaan dan keruntuhan suatu keadaan yang bersifat eksternal, yang keduanya bisa menyeret kita dalam kubang penderitaan atau menggiring ke istana kebahagiaan. Apa yang membuat kita tertelungkup dalam penjara derita dan bersuka cita dalam kursi bahagia (the happiness chair)? Tiada lain sikap kita sendiri.

Boleh jadi terkuak sebuah pertanyaan, benarkah kenyataan jaya-runtuh, sehat-sakit telah ditentukan? Anda bisa menelaah QS. Al-Hadid:22 “tiada bencana yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (lawh Mahfudz) sebelum kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu mudah bagi Allah.”

Ayat tersebut mematrikan pesan, setiap kejadian dan peristiwa yang mewarnai hari-hari kita telah ditetapkan oleh Allah, kita tidak bisa mengelak ketika kejadian itu sudah hendak berkunjung, dan tidak bisa mendesak kala kejadian itu belum saatnya hadir. Semua telah dijadwal oleh Allah SWT. Kita bisa menelaah juga QS. Ali-Imran: 140 “…..Dan masa (kejayaan dan kehancuran) itu, Kami pergilirkan diantara manusia (agar mereka mendapatkan pelajaran), dan supaya Allah membedakan orang-orang yang beriman (dengan orang-orang kafir), dan supaya sebagian kami dijadikan gugur sebagai syuhada’. Dan Allah tidak menyukai orang-orang yang zalim.”

“jika Anda berada di hari Rabu, Anda tidak bisa melompat ke hari Jumat, pun tidak bisa meloncat ke hari Senin,”jelas guru yang mulia. “padahal peristiwa dan kejadian menempel pada hari-hari itu, kalau kita tidak bisa mengelak dan menarik hari, pun tidak boleh mengelak dan menghindar dari kejadian peristiwa yang hadir,”lanjutnya. “kita hanya perlu mempersiapkan dengan sabar, bukan keluhan, karena mengeluh bukan sikap orang beriman, muslim saja tidak. Orang muslim itu bersikap sabar, mukmin bersikap ridha, orang muhsin bersikap syukur. Serendah-rendah sikap orang muslim adalah sabar, dan orang yang mengeluh ciri karakter orang kafir,” nasihat beliau.

Jadi, kita perlu mempersiapkan senjata batin untuk menghadapi kejadian dan peristiwa yang hadir tanpa diundang, sehingga semua kejadian itu bisa didaurulang menjadi kenyataan positif dalam batin, dan meningkatkan derajat kita di sisi Allah SWT. Kita dikunjungi musibah, maka respons dengan sikap sabar, ridha, bahkan tidak kehilangan rasa syukur. Ketika diapit kejayaan, pancarkan sikap sabar tanpa batas. Sikap tersebut terbungkus sebagai ibadah batin, ibadah batin inilah yang bisa melejitkan potensi ruhani manusia, dan mengantarkannya untuk menggapai maqam yang tak bisa dilalui dengan ibadah-ibadah lahir.

Mari kita merangkai kedamaian melalui awareness of Joyoboyo (kesadaran akan jaya-bahaya), dan memantulkan kedamaian itu pada sesama, dengan menebarkan kesadaran bahwa kehidupan ini adalah tugas untuk mengikuti jadwal Allah SWT yang didalamnya berisi JOYOBOYO, dan tak ada JOYOBOYO tersebut kecuali demi mengantarkan manusia ke dalam samudera kebahagiaan. Andaikan ada orang terus tersungkur dalam penderitaan, berarti ada kezaliman yang dilakukan pada dirinya sendiri, karena Allah tidak pernah berlaku dzalim pada hambaNya.


Khalili Anwar, Penutur dari Jalan Cahaya

Tidak ada komentar:

Posting Komentar