Senin, 15 Maret 2010

MENYIBAK CAHAYA BAHAGIA

Saya sempat bertemu dengan bapak yang sudah berumur, yang tengah didera persoalan yang amat kompleks. Istri dan anaknya sudah tidak lagi bisa dijadikan pandangan yang menyejukkan mata, tatapan tetangga dirasa sebagai ajakan permusuhan, perilaku orang-orang sekelilingnya terasa kurang bersahabat. Dia mempersepsi tak ada lagi tempat berteduh untuk mengungkapkan perasaan dan gelora kegundahan yang membungkamnya. Saat saya bertemu dengannya, saya berusaha menjadi pendengar dan teman bicara terbaik, mau berempati untuk mendengarkan seluruh keluh-kesah, dan kekecewaan yang sepertinya membetot seluruh perasaannya. Dia berusaha mengungkapkan permasalahan yang menghadang dan mendekap dirinya. “saya mendapatkan ujian yang besar dari Allah, keluarga tidak lagi punya perhatian dan welas asih padaku, semua orang seakan telah memusuhi diriku. Karenanya aku berusaha meninggalkan mereka sementara waktu untuk bisa menyadarkan mereka. Tetapi sayang, mereka tidak juga sadar, “katanya dengan wajah penuh kerisauan.

“setiap hari saya berusaha menjaga perasaan, saya tidak sebatas diremehkan oleh keluarga, tetapi tetangga pun kerap melemparkan pandangan kecut terhadap saya. Saya tidak pernah merasa berbuat salah pada mereka, saya tidak pernah mengambil hak mereka, atau saya mengemis pada mereka. Sama sekali tidak pernah, tetapi mengapa mereka memandang saya dengan sikap merendahkan,”lanjutnya dengan nada agak meninggi.

Selanjutnya dia melemparkan kesalahan ke banyak orang. Walau dia sendiri tidak lupa menyebutkan kebaikan pada pihak yang lain. Hanya saja ketika dia memadang buruk orang lain, dia mempreteli keburukan itu lebih telanjang. Ketika berbicara kebaikan orang lain, maka dia pun mengungkapkan seluruh kebaikan yang tiada terperihkan. Saya sendiri sedih, kalut mendengarkan sekian pembicaraan yang dilontarkan, memang banyak penuturannya yang masuk akal, hanya saja ketika dia terbelenggu dengan suasana seperti itu, dia tidak akan mengecap kebahagiaan hakiki dalam hidupnya.

Saya menuturkan padanya, kesalahan dan masalah tidak berada di luar diri kita. Kesalahan dan masalah yang kita nilai dan persepsi itu ada dalam hati kita sendiri. Betapa agung pribadi manusia ketika dia berusaha menyalahkan bahkan menertawakan diri sendiri, ketimbang menyudutkan dan menertawakan orang lain. Makanya ketika kita terus meracau menyalahkan orang lain, maka berhentilah sejenak, diam, dan merenung, apakah benar kesalahan yang dialamatkan pada orang lain benar-benar kesalahan, atau ternyata pikiran kita yang selalu memandang dari sudut pandang yang keliru dan salah. Padahal ketika orang terjebak untuk menyalahkan orang lain, dia telah memasokkan api dalam dirinya sendiri, lebih tepatnya menyalakan neraka di dalam dirinya sendiri.

“tidak ada orang yang tersakiti, kecuali dia mengizinkan dirinya untuk disakiti. Dan adanya masalah yang kita lihat pada orang lain, karena mata kita bermasalah. Ketika mata kita bermasalah, maka setiap sudut menampilkan layar masalah. Ketika kita berjalan dalam keadaan pincang, jangan buru-buru menyalahkan tanah yang dijadikan tempat berpijak sebagai tidak rata, tetapi sesungguhnya yang bermasalah adalah kaki kita sendiri. Dan andaikan ada orang buta berjalan di sebuah auditorium yang ditata berjejer di dalamnya kursi dan meja, kemudian si buta berjalan, dan membentur meja dan kursi yang tertata secara rapi, jangan buru menyalahkan bahwa meja dan kursi tidak ditata secara rapi dan diletakkan tempat benar, tetapi karena matanya buta, sehingga tak bisa melihat jalan yang harus dilewati. Masalah tidak berada di luar diri kita, tetapi tengah bercokol dalam hati kita sendiri,” kata saya tanpa beban.

“apa yang harus aku lakukan?” ujarnya meminta nasihat dariku.
“Ingatlah Pak, Allah itu Maha Pengasih dan Maha Lembut. Tidak ada kejadian dan peristiwa kecuali berada dalam kekuasaan Allah, kekuasaan-Nya terbungkus dalam keinginan- Nya yang suci, dan keinginanNya dibungkus dengan ilmuNya Yang Luhur, dan ilmu-Nya dibungkus dengan hikmah yang penuh kasih sayangNya yang tak terbatas. Ketika orang mampu menatap kasih sayang Allah dibalik kenyataan pahit yang dialami, niscaya dia akan selalu berusaha mendekat pada Allah yang menyediakan jalan keluar dari setiap masalah. Ketika keluarga sudah tidak lagi memberikan perhatian, tetangga tidak lagi memberikan energi positif dan senantiasa memandang apa yang kita lakukan keliru, maka sesungguhnya Allah membuka gerbang-Nya selebar-lebarnya agar kau kembali pada-Nya. Fafirruu Ilallah….! Berlari pada Allah SWT. Mengungsi pada-Nya. Mungkin kita pada mulanya melekat pada anak istri, pada harta yang dimiliki, bahkan pada kedudukan, tetapi tidak selama hiasan dunia itu menyertai kita. Setelah kematian menjemput, seluruh hiasan itu pun tanggal dari diri kita. Janganlah kita melekat semelekat-melekatnya pada selain Allah, karena niscaya kita akan dibuat menderita karenanya. Ada orang yang begitu mencintai anaknya, sehingga dia memberikan apa saja yang diinginkan, maka pada saat dewasa anak ini akan tumbuh sebagai orang yang membuat si ayah menderita, karena anak tidak tumbuh secara dewasa, karena sejak anak-anak dia selalu mendapatkan fasilitas dari sang ayah.” Kataku, sembari dia mendengarkan dengan begitu seksama.

“bagaimana bisa berlari pada Allah?”tanyanya
“Ketika orang berlari menuju pada Allah, maka dia bertobat. Menyesali segenap aktivitas dan kemelekatan pada makhluk yang menariknya lupa pada Allah SWT. Bertobat itu kuncinya pak, banyaklah membaca istighfar. Istighfar itulah yang banyak memberikan pencerahan ke dalam hati-hati yang gelap. Kalau kita sudah beristighfar, memohon ampun pada Allah, juga disertai keberanian memaafkan orang-orang yang dianggap bersalah pada kita. Bukankah dengan memaafkan, api kemarahan dan kejengkelan akan padam seketika? Juga membuang kotoran-kotoran busuk yang masih menempel dalam dinding hati kita. Mungkin ada kedengkian menjejali hati, keangkuhan yang mengeraskan jiwa, atau merasa berkuasa daripada orang lain, semua kotoran itu harus dihilangkan. Ketika hati sudah bisa dibersihkan, maka hati sudah siap memantulkan kebaikan semata. Hanya saja, membuang kotoran itu tidak bisa, sebelum program kotoran yang datang dari pikiran dihentikan. Bagaimana cara menghentikannya, ya harus menekuni uzlah, menyingkirkan diri sementara dari pergaulan sehari-hari. Menjauhi kebiasaan berbaur dengan sesama untuk sementara waktu, agar menghadap sepenuhnya pada Allah SWT. Uzlah dilakukan orang suci untuk membersihkan hati, Nabi Musa 40 hari berada di bukit Tursina, membersihkan hati sembari mendapatkan cahaya wahyu dari Allah SWT, Rasulullah Muhammad SAW lama bertahannuts di gua hira’ membersihkan hati, mempersiapkan diri mendapatkan wahyu dari Allah SWT. Tak ketinggalan para wali yang diperankan sebagai penyebar dan penguat agama melakukan uzlah selama bertahun-tahun. Semoga bapak nantinya bisa mendapatkan pencerahan dengan melakukan uzlah, dan menjadikan istighfar sebagai alat membersihkan kotoran yang masih mengerak dalam hati.”lanjutku.

Semoga nasihat sederhana dari orang dungu ini bisa mewariskan pencerahan ke hati sang Bapak, sehingga dia bisa bertemu dan bersua dengan kedamaian dimana saja, berikutnya dia bisa berjalan menjadi cahaya yang mencerahkan sesama. Diri yang juga masih dalam perjalanan menuju taman kebahagiaan ini ingin sekali membagi kebahagiaan dimana pun saja, agar orang bisa merasakan kebahagiaan. Kebahagiaan tak sebatas dipikirkan, tetapi meresap dalam perasaan hatinya yang halus, lembut, merembes ke sumsum kesadarannya. Ketika orang telah merasakan kebahagiaan, niscaya dia tidak bisa menguraikan dengan kata-kata, walau mampu menguraikannya, pasti tidak bisa menggambarkan secara persis. Kiranya siapa yang bisa menggambarkan rasanya susu, persis dengan rasa yang dicecap, rasa tidak bisa dilukiskan dengan kata-kata. Rata-rata orang merengkuh kebahagiaan puncak setelah menapaki penderitaan yang begitu menggetirkan.

Khalili Anwar, Penutur dari Jalan Cahaya

Tidak ada komentar:

Posting Komentar