Selasa, 16 Maret 2010

KERJAKU, BEBANKU

“tumpukan dan tekanan kerja membuat kepala jadi judeg,”kata saudaraku yang sudah setahun bergelut di karir finansial. Dia mengutarakan sekian problem kerja yang membelit dirinya. Sehingga dari waktu ke waktu, terasa beban yang dipanggul kian berat. Kendati demikian, karirnya begitu cepat menanjak, dari sales jalanan, kini dipercaya sebagai supervisor hanya dalam tenggat waktu setahun. Perihal finansial sudah tidak menjadi kerisauannya sebagaimana halnya pada saat dia baru lulus kuliah. Secara finansial dia telah merasa aman, apalagi belum menikah, sehingga kebutuhan tidak terlampau banyak. Tetapi diam-diam, dia merasa ada suatu di dalam dirinya yang telah dirampas oleh perusahaan. Apa itu? Itulah kemerdekaan intelektual, psikologis, terlebih kemerdekaan ruhani yang menjadi pijakan dasar orang merengkuh kebahagiaan sejati.

Di tengah kegundahannya itu, ia bersilaturrahim pada saya, seraya berharap bisa mencurahkan segenap kejudegan dan menimba pencerahan, sehingga gumpulan kesedihan yang telah membetot hatinya, mencair, dan dia bisa kembali menemukan makna hidup yang mencerahkan dan membahagiakan.

“tekanan yang kurasakan makin berat. Tekanan dari manager, dan juga dari anak buah yang kurang bisa bekerja secara cepat. Dengan berbagai benturan itu, saya kadang jengkel sendiri, dan bahkan akhirnya pasrah, tidak apa-apa kalau saya keluar dari pekerjaan ini. Sebelumnya saya sempat ditawarin oleh pihak direksi, untuk menjadi analis, tetapi saya dalam keadaan gundah, menolak tawaran tersebut, dan memilih fokus mengelola pekerjaan yang kutangani. Saya tidak ingin meninggalkan pekerjaan yang masih berpelepotan beragam masalah. Setiap hari saya bermain dengan strategi, perencanaan, dan target-target, kadang membuat pikiran jadi buntu,”tandasnya.

***

Problem seperti itu tidak sekadar dialami oleh saudara saya tersebut, bisa saja dialami oleh setiap karyawan yang hari-harinya dipacu oleh target dan rencana yang moving. Semuanya menggunakan pikiran rasional, dan jarang mendapatkan sentuhan “the power of spiritual.” Ketika kita terus berjibaku dengan persoalan harian yang meletup dari pikiran-pikiran luar, dan tidak mendidik hati agar bisa memiliki mental terbaik, niscaya pekerjaan akan menjadi beban, bahkan racun yang akan mematikan sisi ruhani. Ketika ruhani mati, atau setidaknya sakit, niscaya akan menguap kehampaan, perasaan kering, gersang, dan nurani jadi tumpul untuk menggali makna terindah dari setiap momen yang terlintas.

Saya sempat tidak percaya dengan penelitian, bahwa ada sufi di korporat, karena korporat yang telah menjadikan kapital berikut mengumpulkan modal material sebagai tindakan sehari-hari, karenanya sulit menggapai sufi yang sejati. Kendati tak bisa dipungkiri, ada juga sosok sufi yang dilahirkan dari sebuah komunitas di perusahaan. Ketika perusahaan, dan orang yang berada di perusahaan hanya terpancing untuk mencapai keamanan dan kestabilan keuangan, niscaya kesucian ruhani sulit untuk bisa dirangkai secara efektif. Jarang sekali kita melihat perusahaan yang bisa melahirkan sufi-sufi handal, karena cara kerjanya di-create kental orientasi materialistik.

Andaikan ada gairah memunculkan nilai dan semangat spiritual dalam perusahaan, pada akhirnya diarahkan untuk bisa meningkatkan pendapatan yang lebih besar. Kita bisa bercermin pada pelayanan perbankan, pelayanannya begitu anggun, senyum tersimpul indah menghiasi wajah setiap teller, costumer service, dan bahkan security yang menyambut para nasabah. Hanya saja, dari wajah batinnya terpancar bahwa sikap dan penampilan mereka sepertinya tidak muncul dari kejernihan hatinya, tetapi diformat oleh sistem yang dikembangkan perusahaan. Mereka bersikap indah, interesting, elegan selaras dengan tuntutan perusahaan, yang bertujuan menarik pelanggan agar betah bersama pelayanannya, dan pada akhirnya bisa meningkatkan aggregasi pendapatan.

Setiap perilaku, sikap, dan performance yang pada ujungnya berharap pada terpenuhi materi bukanlah spiritual. Kendati disebut spiritualitas itu bersifat spiritual semu (pseudo-spiritual). Karena bagi orang yang berorientasi spiritualitas, maka duniawi dengan segenap aksesorisnya hanyalah jalan, menuju kejayaan ruhani, berujung pada upaya mendulang tambang kebahagiaan yang begitu berharga yang diproduksi dari dalam dirinya sendiri. Mereka bahagia, karena telah diberi kemampuan oleh Allah untuk mewujudkan panggilan jiwa yang terus menggedor batinnya. Ada orang yang begitu bahagia, setelah melalui kekayaan yang didapatkan, dia bisa memberi lebih banyak lagi pada orang yang membutuhkan, bisa membuat yayasan kusta yang diperuntukkan bagi orang yang terjangkit kusta. Mereka bahagia bukan karena kekayaan itu, tetapi karena telah bisa memenuhi panggilan jiwanya untuk bisa membantu orang yang membutuhkan dengan panduan hatinya yang suci.

Pekerjaan menjadi beban, dan menjadi lahan yang begitu menarik, tidak bergantung pada perolehannya, tetapi misi atau prinsip yang tertanam dalam pekerjaan tersebut. Ketika misi yang tertanam mulia dan indah, maka kerja dan seluruh prosesnya terasa indah. Seperti orang hendak rekreasi sebuah tempat yang begitu indah nan eksotis, tentu saja tidak ada cemberut yang menjelma dari wajahnya, bahkan senyum terus disertai gurauan kecil mengiringi perjalanan tersebut. Apalagi ketika telah sampai pada tujuan, maka kebahagiaan itu seperti telah menyatu ke dalam hatinya. Atau ketika orang hendak berkunjung pada sang kekasih, sebelum tiba di rumah sang pujaan hati, masih hendak berangkat atau berada dalam perjalanan menujunya, sepertinya simfoni kebahagiaan terus mengalun indah dari hati ini, bahkan ketika dalam perjalanan itu diwarnai siulan, nyanyian merdu yang melukiskan suasana hati yang indah dan penuh bahagia, bahkan telah membayangkan momen indah yang bakal terjadi dalam persuaan dengan sang kekasih.

Ketika orang dipasoki nilai-nilai ruhani otentik dalam hatinya, maka dia akan selalu meresapi, menghayati, dan berpelukan dengan kebahagiaan. Dia bisa merasakan pantulan kristal-kristal kebahagiaan memancar dari seluruh sudut kehidupannya. Karena memang, hatinya telah dihiasi taman yang indah, dia tidak terpengaruh dengan kotoran yang ada di luar dirinya, karena dia telah merasakan taman indah yang tak bakal terganggu oleh siapapun, kecuali dia sendiri yang mengizinkan untuk diganggu. Karena dia telah punya alam hati yang bertatahkan taman indah, dia tidak sekadar menikmati kebahagiaan, tetapi berusaha menebarkan dan membagikan kebahagiaan itu pada lingkungan sekitarnya. Dengan menatapnya, banyak orang yang mengalami kegersangan spiritual, tiba-tiba terasa mendapatkan hujan spiritual dari wajahnya sehingga kegersangan itu berakhir, berikut bisa menumbuhkan bibit-bibit kebaikan yang bersemi dalam dirinya.

Bagi orang sudah berpelukan dengan kedamaian, bahkan benturan, intrik, dan taktik yang terjadi dalam perusahaan tidak pernah bisa merampas kebahagiaan yang telah berdiam dalam dirinya. Bahkan seluruh suasana gelap itu akan menjadi terang dalam sudut pandangnya, bahkan mencerahkan. Dia terampil mengelola suasana yang semberawut menjadi suasana yang rapi dan melahirkan aneka hikmah. Sikap dan perilakunya sering membawa cahaya, dan mengilhami orang lain untuk berbuat yang terbaik. Tindakan dan sikap hidupnya lebih bernas dampaknya ketimbang kata-katanya. Karena hatinya telah ditumbuhi sakinah, maka dalam kondisi apapun dia selalu berada dalam keadaan sakinah, tak pernah terusik sedikit pun. Bekerja pun menjadi aktivitas yang enjoy, karena bekerja dipandang menjadi instrumen untuk mendapatkan kebahagiaan, juga membagi kebahagiaan yang didambakan oleh setiap insan.


Khalili Anwar, Penutur dari Jalan Cahaya

Tidak ada komentar:

Posting Komentar