Selasa, 16 Maret 2010

MERENDA CINTA RASUL BERSAMA HABAIB

Cinta Rasul tidak boleh padam, karena ketika cinta pada Rasulullah SAW padam, maka gairah islam pun bakal redup, pada ujungnya kita tidak bakal mencecap kelezatan ruhani dalam menjalani agama. Ada orang yang tekun beribadah, tetapi karena tidak disertai energi cinta pada Rasulullah Muhammad SAW, niscaya ia tidak bisa merengkuh mutiara agama dari cangkangnya. Bahkan tak jarang ada orang yang dibelenggu oleh konflik yang muncul dari dalam dirinya sendiri, sehingga tidak bisa menjalin harmoni yang indah dengan diri dan sesama.

Suatu kisah yang amat menarik, ada orang yang tekun beribadah, bahkan dia mengklaim hidupnya dipandu al-Qur’an dan Hadist, hanya saja kenyataan hidup dirasakan tetangganya tidak pernah memancar kedamaian darinya, terbukti dia tidak pernah bisa mengambil hati tetangga. Dia terkenal oversensorship terhadap ajaran-ajaran yang dikatakan tidak selaras dan al-Qur’an dan as-Sunnah. Namun, cara dakwah yang dilakukan tidak mengundang simpati, malahan menuai kontroversi dan kebencian dari masyarakat sekitar. Karena dia tidak bisa memoles dan menikmati suasana kondusif, dia sering pindah dari satu perumahan ke perumahan yang lain, dari satu kota ke kota yang lain. Mengapa mereka mengalami konflik batin, ya karena tidak pernah tersambung dalam jalinan cinta pada Rasulullah Muhammad SAW.

Cinta Rasul menjadi modalitas untuk bisa menumbuhkan cinta dalam diri setiap orang, yang kemudian merambat pada sesama dan kehidupan. Bagaimana bisa memekarkan bunga cinta pada Rasulullah Muhammad SAW dalam hati? Saya diajak teman untuk menghadiri maulid yang digelar para habaib, kebetulan maulid diselenggarakan di rumah seorang habib yang ceramah-ceramahnya menggetarkan jiwa, meruntuhkan kebekuan iman, dan membuka gerbang kesadaran baru tentang kecintaan pada Rasul yang Agung.

Saya berangkat dari kos ke tempat penyelenggaraan acara, tepatnya di Ampel 30 menit sebelum maghrib. Saya sampai disana pas adzan maghrib, sehingga bisa mengikuti shalat berjamaah di masjid Sunan Ampel. Seusai shalat sunah ba’diyah, saya langsung menuju tempat penyelenggaraan acara, saya bertemu dengan habib Husein, putera Habib Najib. Melihat penampilan busananya saya mengingatkan Habib di Malang, yang meniru gurunya yang agung Hb. Umar bin Hafidz. Mata saya tertuju pada sosok Hb. Najib yang begitu mempesona dengan kesederhanaan yang melekat pada penampilannya.

Beberapa menit sampai di tempat tujuan, acara langsung dimulai diawali dengan tahlil, disertai dengan pembacaan manaqib beberapa sosok mulia untuk dikirimi doa. Masuk acara shalawat Maulid yang diiringi dengan rebana. Sungguh, saya mendapatkan pantulan Rasulullah SAW dari para keturunan yang disucikan. Para jemaah yang hadir begitu khusyuk mengikuti lantunan shalawat yang dibawakan dengan lagu yang lama, mengikuti irama yang telah dibagikan para salafus saleh. Memang lagu-lagu lama lebih mengena dan menyusup ke jantung, ketimbang lagu yang dikreasi dengan sentuhan-sentuhan modern. Bertemu dengan habaib saat memuja-memuja Rasulullah SAW meresapkan kebahagiaan tersendiri bagi diri ini. Tercermin dari wajah yang berseri-seri dan kelembutannya dalam berdakwah dan mengajak orang, tak ada wajah sangar yang saya lihat dari habaib yang hadir. Mereka telah disuluh dengan cahaya kelembutan Rasul, karena itu dakwah yang dilakukan mereka lebih mengedepankan akhlak luhur dan sikap yang punya daya interesting.

Pada saat acara itu, saya membayangkan akan mendapatkan sentuhan motivasional cinta Rasul dari Hb. Najib, namun yang dipersilahkan untuk memberikan materi ceramah saat itu, Hb. Zainal dari Pasuruan. Kalau ceramah Hb. Najib tidak pernah mengundang gelak tawa, tetapi Hb. Zainal ceramahnya kerap diselipi guyonan yang tak jarang membuat jamaah tertawa. Memang, setiap jamaah punya kecenderung masing-masing. Ada yang mendahulukan isi daripada kemasan, mereka membutuhkan sentuhan-sentuhan ceramah yang serius tapi membahana dengan motivasi. Ada banyak jemaah yang suka dengan ceramah yang diselipi goyunan. Namun, ketika melihat wajah Habaib saya merasa makin masuk dalam jantung kecintaan pada Rasulullah Muhammad SAW.

Seusai acara ceramah, acara tersebut diwarnai dengan penyelenggaraan akad nikah. Berikutnya ada acara makan bersama. Saya mengira jemaah yang hadir hanya sedikit, tetapi ternyata meluber hingga ke jalan raya. Mungkin ada ratusan atau mungkin mendekati seribu orang di acara cinta Rasul, kendati acara dikemas dengan begitu sederhana, tetapi dibalik kesederhanaan menyimpan pesona Rasul yang Agung. Hal itu baru saya sadari, pada saat panitia membagikan makanan yang dihidangkan dengan baki. Setiap baki terdiri nasi, lauk-pauk, dan buah.

Melihat begitu lamanya pembagian, saya meyakini jemaah mendekati seribu orang. Dari momen ini, saya tidak hanya diperkenalkan tentang cinta pada Rasulullah Muhammad SAW, tetapi menyibak tirai keajaiban keturunan Rasulullah yang tidak pernah lepas dari busana akhlak yang dipergunakan beliau SAW, salah satunya dermawan. Kedermawanan Hb. Najib terasa dalam acara tersebut, dan beliau benar-benar berusaha bagaimana bisa memuaskan jamaah yang hadir. Kebanyakan jamaah yang hadir tanpa mendapatkan undangan langsung, hanya mungkin melihat woro-woro yang tertempel di dinding atau papan pengumuman. Tapi, alhamdulillah makanan yang dihidangkan cukup. “kendati jemaah yang hadir begitu banyak, saya tak pernah mendapati persediaan konsumsi kurang, sehingga ada yang tidak makan,”kata teman saya

Cermin akhlak Rasulullah SAW sebagian bisa dilihat dari akhlak yang terlukis dari keturunan beliau. Dan kalau kita mencintai Rasulullah SAW, maka kita harus mencintai keturunannya. Karena dari keturunan Rasulullah, ilmu hikmah mengalir dengan deras yang membikin orang menemukan keindahan agama, tanpa harus merasa kesulitan. Bergaul dengan keturunan Rasulullah SAW, kita bakal mendapati agama yang humanis, mengedepankan akhlak yang agung, tak pernah sedikit pun menyalahkan apalagi mencemooh orang lain. Rasa cinta pada beliau SAW makin bergelora ketika melihat pantulan akhlak Rasulullah yang terpancar pada pribadi-pribadi Habaib. Saya melihat senyum indah melulu menghiasi wajah mereka. Ada keguyupan dan kebersatuan dalam komunitas mereka, selain mereka dengan suka cita berbaur bersama orang-orang di luar komunitas habaib. Ini membuktikan, demi bisa menggelar dakwah lebih luas diharuskan berbaur dengan masyarakat yang berbeda latar belakang tradisi, tetapi tetap mengacu pada cara-cara yang telah dicontohkan oleh Rasulullah Muhammad SAW. Islam dicitrakan sebagai agama inklusif, terbuka terhadap tradisi dan latar belakang apapun. Mengapa demikian? Karena islam digelar oleh utusan yang berprinsip rahmatal lil ‘alamin.

Mengikuti maulid tidak sekadar bisa mengejawantahkan rasa kerinduan dan cinta pada Rasulullah Muhammad SAW lewat pembacaan shalawat bersama, tetapi bisa membangun jalinan ukhuwah atau pergaulan dengan orang yang berasal dari trah yang mulia, trah Rasulullah Muhammad SAW. Bukankah yang ditinggalkan Nabi ada tiga, yakni al-Qur’an, Hadist, dan keturunan beliau yang suci. Al-Qur’an dan hadist sebuah konsep agama yang mati, tetapi keturunan beliau yang dipasoki nilai-nilai agama tetap hidup, dan mengikuti jalan dakwah yang pernah dirintis beliau Saw. Semoga kita makin bisa meneguhkan cinta pada Rasulullah Muhammad SAW dengan cara bershalawat dan diperkenankan bergaul dengan keturunan Nabi Saw yang suci.

Khalili Anwar, Penutur dari Jalan Cahaya

Tidak ada komentar:

Posting Komentar