Rabu, 01 Desember 2010

MENELAAH MUSIBAH DARI PERSPEKTIF CINTA

Bangsa Indonesia diterpa prahara bertubi-tubi, dari banjir Wasior di Papua, Gunung Merapi di Jawa Tengah, dan Gempa di Mentawai, Sumatera Barat, bersambung oleh gejala aktifnya Gunung Anak Krakatau. Patut kiranya aneka peristiwa menggetirkan itu menjadi bahan refleksi nasional, berikut menginspirasi kesadaran kebangsaan, agar tergerak menjadi negeri yang dilimpahi keberkahan dari langit dan bumi.

Bencana yang menimpa berbagai daerah, janganlah hanya dianggap sebagai bencana untuk wilayah tersebut dan menjadi bahan pikiran bagi korban semata, tetapi diharapkan bisa mengetuk kesadaran seluruh bangsa agar bersikap simpati, empati, bahkan berusaha menyelami perasaan mereka yang ditimpa musibah. Bagaimana perasaan anak-anak yang tidak berdosa? Bagaimana perasaan perempuan yang ditinggalkan suaminya? Bagaimana perasaan anak-anak yang ditinggal ayah dan ibunya? Keadaan itu perlu mengetuk kesadaran kita sebagai satu bangsa dan satu umat.

Selaku satu bangsa apalagi sesama umat Islam, kita jangan pernah menghakimi korban sebagai orang yang berdosa. Ingatlah, dosa manusia berada dalam rahasia Allah. Kita tidak boleh mengklaim orang lain berlumur dosa. Kita belajar melihat dari jendela belas kasih, sehingga yang terpantul dari setiap sikap kita hanya belas kasih semata pada orang-orang yang berada di lingkaran musibah. Kita, selaku umat Islam, tidak patut berburuk sangka pada saudara sendiri, karena di beberapa tempat yang mengalami bencana, pasti juga ada komunitas muslim. Padahal berburuk sangka pada sesama adalah suatu yang tidak disukai Allah SWT.

Kenyataan pahit itu layaknya menjadi bahan introspeksi bagi kita, bukan bahan ekstrospeksi orang lain. Yakinilah, orang tidak pernah bisa menggali hikmah di balik kejadian buruk, kalau dialiri spirit menghakimi dan menyalahkan orang lain. Carilah terang di setiap makhluk Allah, niscaya kita bisa menambang hikmah melimpah. Adapun sikap pada diri sendiri, kita harus menjelajah titik gelap yang menodai diri, berikut dibersihkan, agar kian hari hati menjadi lebih bening dan terang. Bukankah di rumah yang terang orang bakal memeroleh keterangan-keterangan agung?

Bagaimana menelaah musibah dalam perspektif cinta? Ketika hati kita penuh cinta, tiada yang terpantul dari setiap tindakan kita kecuali dijiwai cinta. Semesta ini terlahir dari cinta, serupa manusia terlahir dari rahim ibu, maka sejatinya semesta terlahir dari sifat “rahim” Allah SWT. Berarti, seluruh kehidupan terlahir dari spirit cinta. Kalau terlahir dari spirit cinta, tiada yang menyertai kehidupan makhluk kecuali cinta.

Kejadian yang meletup akhir-akhir ini pasti terpancar dari mata air kasih sayang Allah yang tanpa batas. Karena itu, diharapkan kejadian tersebut membuat orang bisa kembali pada Allah SWT. Semua menyeru dan bergerak kembali pada Allah, pun kita bersemangat kembali pada Allah dengan cara terus menelaah dan mengintrospeksi diri sendiri, bagaimana hubungan kita dengan Allah SWT. Boleh jadi, lewat kejadian pahit ini sejatinya Allah hendak memancing bagaimana kerekatan persaudaraan kita sebagai bangsa atau sesama umat Islam? Apakah kita lebih suka menghakimi orang lain, atau hati kita tersentuh untuk berbagi dan menolong mereka? Bagaimana andaikan kita tak bisa membantu dalam bentuk materi? Ya, setidaknya ada spirit yang menggenangi jiwa kita untuk menjadi bagian solusi atas musibah yang menerpanya, minimal mendoakan mereka sebagai sesama muslim atau satu bangsa.

Penghakiman, berburuk sangka, apalagi kutukan tidak menambah terang keadaan yang diliputi gelap, malah membuat keadaan makin pekat. Karena itu, bagaimana kita hadir menjadi orang yang bisa mengantarkan suluh cahaya belas kasih bagi mereka, sehingga mereka merasa memiliki saudara. Mereka tidak sendirian, mereka memiliki saudara sebangsa. Tetapi, kalau keakuan dalam bentuk individualism atau chauvinisme masih menebal di tubuh batin bangsa, justru yang meruyak semangat menyalahkan dan berburuk sangka. Padahal, boleh jadi kenyataan tersebut sebagai cara Allah untuk menumbuhkan spirit persaudaraan sesama muslim dan kebangsaan. Spirit menghakimi dan berburuk sangka sendiri rentan merapuhkan persaudaraan.

Apakah ketika sebagian komponen bangsa sakit, semua komponen bangsa merasa sakit? Atau kepekaan negeri ini semakin tajam? Apakah kepekaan pemimpinnya tetap tumpul? Apakah pemimpin negeri ini lebih meluangkan waktu untuk merasakan dan memperhatikan apa yang diderita rakyatnya, atau lebih sibuk mempertahankan kedudukan dan citra diri? Masihkah pemimpin sibuk memikirkan citra diri ketika harus berhadapan dengan musibah yang memedihkan rakyat kecil itu?

Kejadian besar itu tidak hanya tertuju pada satu daerah terdampak, tetapi diharapkan bisa membuka kesadaran dan mata hati seluruh bangsa, dari rakyat kecil hingga pemimpin bangsa. Ketika seluruh komponen bangsa merenungi dan memikirkan pelajaran agung dibalik kejadian tersebut, insya Allah kejadian itu bisa menginspirasi bangsa mengalami kebangkitan bersama. Diharapkan timbul kembali rasa gotong royong yang kini perlahan-lahan memudar, tenggelam oleh sikap individualisme yang lahir dari perut kapitalisme. Bisakah kejadian ini memutus mata rantai individualism yang sudah begitu kuat?

Inilah tugas yang dipikulkan pada kita dari kejadian besar tersebut. Selayaknya bangkit semangat membantu, perlahan-lahan tergerus spirit keakuan yang masih bersemi di dada anak bangsa. Kita bisa bercermin pada peristiwa Gempa Tsunami yang melanda Aceh beberapa tahun silam. Kejadian itu tak hanya bisa memanggil kebersamaan anak bangsa, bahkan bangsa-bangsa luar pun turut terinspirasi berbagi kemanusiaan di Aceh. Ketika setiap komponen negeri telah berhasil menyatukan jiwanya dalam jiwa bangsa, insya Allah disanalah identitas kebangsaan akan mengejawantah secara optimal.

Percayalah, kasih sayang Allah melampaui kemurkaan-Nya. Kalau kasih sayang Allah melampuai kemurkaan-Nya, mengapa kita tidak mengutamakan kasih sayang ketimbang kutukan. Allah mencintai hamba-Nya, lebih dari kecintaan ibu pada anaknya. Lalu mengapa kita tidak berusaha menempa spirit cinta selaras dengan cinta yang dicontohkan Allah dan Sayyidina Muhammad SAW pada korban kejadian yang menimpa negeri kita tercinta?

Syaikh Muhammad Dhiyauddin Qushwandhi
Ditranskripsi: Khalili Anwar

Tidak ada komentar:

Posting Komentar