Rabu, 01 Desember 2010

BERSABAR DALAM IMAN

Keyakinan memantulkan sikap hidup, sabar, syukur, ridha, dan tawakkal. Seluruh sikap itu menandai adanya iman atau keyakinan di hati. Andaikan tidak ada sabar di jagat batin kita, menandai spirit iman belum menghunjam di lubuk hati. Kita berusaha meneguhkan keyakinan sehingga memancar aneka sikap elok yang menjembatani kita makin dekat pada yang kita yakini. Pada mulanya kita belum melihat apa yang kita yakini, tetapi kita berproses melihat apa yang kita yakini. Mencapai tangga haqqul yaqin.

Bermula dari adanya tantangan dan problem hidup, disitulah daya keimanan tengah dicoba. Apakah kita bisa bersabar dengan kenyataan pahit yang tengah menerpa. Sabar sebagai senjata luar biasa yang bisa mengantarkan manusia menuju kesuksesan. Kesabaran berasal dari keyakinan bahwa seluruh rangkaian peristiwa tidak pernah luput dari sentuhan Kekuasaan Allah, dan Kekuasaan Allah didasari oleh kehendak-Nya, Kehendak-Nya berlandaskan pada ilmu-Nya, sementara ilmu Allah terbingkai oleh kasih sayang Allah tanpa batas. Kristalisasi kesadaran itu akan meneguhkan kesabaran kita dalam mengarungi tantangan hidup.

Ujian kesabaran datang dari berbagai arah, yang lazim dari kesulitan ekonomi dan gangguan manusia. Dalam konteks ini, kita akan membincangkan bagaimana bisa bersabar menghadapi gangguan manusia. Tak sedikit orang merasa sakit secara psikologis ketika bertemu malah satu kantor dengan orang yang suka mengganggu, dan menyakiti.

Sosok mulia tidak pernah sepi dari ujian manusia, malah andaikan ada seorang ulama’ belum mendapatkan ujian dari sesama, terkesan belum teruji keulamaannya. Di tengah menekuni dakwah, mungkin ada orang yang menebar berita negatif soal kita, bahkan sampai pada tataran memfitnah, merusak nama baik. Tetapi berlian tetaplah berlian, kendati diinjak ia tidak akan pernah berubah. Karena tidak berubah, maka daya tarik orang-orang berhati nurani tetap saja semakin kuat. Bahkan saat mendapatkan terpaan cacian dari orang lain, keindahan dirinya semakin terpancar besar. Al-Qur’an sendiri memberikan tuntunan bagi kita, ketika mendengar perkataan jelek, berupa cacian, yang mengarah pada kita dengan pesan yang amat anggun.

“Dan bersabarlah terhadap apa yang mereka ucapkan dan jauhilah mereka dengan cara yang baik.” (QS. Al-Muzammil [73]: 10).

Lalu apa kesadaran yang harus dibangun untuk menumbuhkan keyakinan dalam kesabaran itu?

Pertama, meyakini Allah selalu Ada. Allah tidak pernah berpisah dengan kita. Tinggal kita meyakini kesadaran tersebut. Kalau kita belum meyakini bahwa Allah selalu bersama kita, niscaya akan berdampak pada rapuhnya keberanian kita bertindak dan menghadapi masalah. Bukankah orang hanya merasa takut ketika sendirian? Bahkan kendati ada teman, tetapi temannya sama-sama takut, justru tidak bergelora api keberanian di jiwanya. Dia ikut berani ketika orang yang menemaninya seorang pemberani, perkasa, dan mampu melerai masalah sebesar apapun.

Ketika kita sudah merasa bersama Allah Yang Maha Agung, Maha Perkasa, Maha Tahu, dan Maha Kasih Sayang, maka hati tak tersentuh kekhawatiran sedikit pun. Seperti isyarat Sayyidina Muhammad SAW pada sahabat karibnya, Sayyidina Abu Bakar Ash-Shiddiq, “jangan cemas, Allah bersama kita.” Perkataan Sayyidina Muhammad SAW yang memancar dari lubuk keyakinan mendalam, tentu akan memantulkan vibrasi keyakinan pula pada diri Sayyidina Abu Bakar ra. Kita mungkin tidak memiliki pembela dalam menegakkan kebenaran, jangan pernah sedikit pun merasa gentar, karena ada Allah Yang Maha Menjaga dan Maha Menolong hamba-hamba-Nya yang bertawakkal.

Bukankah orang begitu sedih lantaran selalu bergantung pada kebaikan makhluk, atau terlalu fokus pada keburukan makhluk. Tetapi ketika terus menghadapkan wajahnya pada Allah yang selalu ada bersamanya, niscaya dia akan merasakan ketenangan. Lewat ketenangan mendalam maka akan memantul kerja-kerja yang lebih produktif. Semangat kita juga melambung ketika selalu merasa diawasi bahkan ditolong Allah SWT.

Kedua, dalam kesulitan ada kemudahan. Keyakinan itu harus mengkristalisasi di ruang kesadaran kita. Kesulitan tidak selamanya menghuni kehidupan kita, ada saatnya cahaya kemudahan akan terbit. Bahkan kesulitan hanya sebagai pintu awal menuju kemudahan demi kemudahan, jika kesulitan itu dijelang dengan kesabaran yang teguh. Kita berusaha meresapi pesan Allah.

“karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan. Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan.” (QS. Al-Insyirah [94]:5-6).

Rahmat Allah mengalahkan kemurkaan-Nya. Kasih sayang Allah amat luas, tak ayal kesulitan yang dihadiahkan mengantarkan kita pada gerbang kemudahan demi kemudahan. Sikap tepat menghadapi kesulitan adalah sabar. Bukankah kesabaran menghadirkan cahaya yang menunjuki kita pada kemudahan?

Ketiga, suatu yang tidak mungkin menurut hukum kebiasaan tidak mustahil bagi Allah। Pengetahuan manusia terbatas, tetapi keyakinan manusia tidak terbatas, karena tertuju pada yang tak terbatas, Allah Azza Wajalla. Pikiran cenderung membatasi rahmat Allah, tetapi keyakinan menyadari rahmat Allah tak terbatas, bergantung prasangka hamba-Nya. Manusia akan memeroleh apa yang diyakini. Ketika keyakinan pada Allah terpatri kuat di hati, niscaya hidupnya tidak pernah tersentuh kekhawatiran, dan pesimisme. Yang memancar adalah optimisme yang tak pernah redup. Dia lebih yakin pada kekuasaan Allah daripada siapapun, bahkan pada pikirannya sendiri. Bukankah pikiran sering berperan sebagai monster yang kerap menakut-nakuti manusia untuk bertindak besar, tetapi keyakinan akan siap menerobos halangan sebesar apapun dengan bersandar total pada Allah SWT. Ketika orang telah dihuni keyakinan di hatinya, maka dia akan melakukan tindakan-tindakan melampaui rasio. Tindakan-tindakan melampaui rasio inilah yang sering menorehkan sejarah agung dalam kehidupan.

Keempat, berbuat ihsan pada sesama. Perbuatan ihsan amat disukai Allah, bahkan nilai ketakwaan seseorang tercermin dari spirit ihsan yang memancar pada perilaku dan sikap hidupnya. Ihsan dalam bahasa lain memberikan tambahan kebaikan. Seperti halnya, ada orang yang menjual sayuran di pasar, ketika para pembeli membeli beberapa ikat sayuran, penjual tersebut menambahinya dengan lombok atau kecambah. Tambahan itu disebut ihsan. Ihsan tidak hanya menggerakkan orang berbuat baik, tetapi berbuat lebih baik.
Ketika orang sudah masuk dalam tataran ihsan, tidak hanya memberikan maaf pada orang yang mengganggu dan memfitnah, bahkan dia berani berbuat baik pada orang yang nyata-nyata berbuat jahat padanya। Ada seorang ulama yang dikecam dan dicaci maki seorang yang bersebrangan, karena menganjurkan tradisi Maulidur Rasulullah SAW. Orang yang mencaci maki tersebut tidak sepakat bahkan menganggap maulidur rasul sebagai suatu tradisi bid’ah. Maka suatu ketika sang ulama bertemu dengan orang itu di sebuah pertemuan, seusai mengungkapkan salam, ulama itu langsung mencium tangan orang tersebut, dengan penuh kerendahan hati. Sontak, orang itu menangis tersedu-sedu, bagaimana mungkin ulama besar mencium tangannya, sementara puteranya sendiri saja tidak pernah mencium tangannya. Inilah sebuah formula akhlak indah yang dicontohkan Sayyidina Muhammad SAW.


Mari kita teguhkan kesabaran dengan kesabaran yang berlipat-lipat, disana sedang menunggu rahmat Allah yang begitu luas, keridhaan-Nya.

Syaikh Muhammad Dhiyauddin Qushwandhi
Ditranskripsi: Khalili Anwar

Tidak ada komentar:

Posting Komentar