Sabtu, 13 Juni 2009

Batas belajar Mencari Kebenaran.....

Ilmiah... sebingkah kata yang begitu akrab di telinga saya semenjak “menyusu” ilmu di Pesantren Annuqayah. Pesantren ini menampung ribuan santri, terletak di ujung barat Sumenep, Jawa Timur. Di pesantren ini, kreativitas menulis puisi, prosa, cerpen, dan esai betul-betul digalakkan, seakan menjadi kultur harian yang kental mewarnai perbincangan dan penampilan ilmiah para santri. Saking kuatnya kesan ilmiah itu, kadang nasi yang sedang dilahap dianalisa secara ilmiah. Kata sebagian santri, “nasi pun mengandung filsafat.” Awal mula mendengar kata ilmiah, begitu asing di telinga ini... terkesan perkara yang menuntut berpikir keras dan menggerakkan orang untuk bersua dengan kemurnian jiwanya. Mungkin hanya sosok yang memiliki kepekaan yang bisa menuturkan perkara ilmiah dengan apik. Kendati masih terlihat begitu asing dengan dunia intelektual, tetap saja harus ikut menekuni dunia menulis dan berdebat ilmiah. Dari pesantren itu, saya bertemu dengan pemikiran besar yang disajikan Gus Dur, Ahmad Wahib, Dawam Raharjo, Cak Nur, Cak Nun, Alwi Shihab, Muhammad Sobary, Quraish Shihab, Moeslim Abdurrahman, Annamarie Schammel, Sachico Murata, dan deretan sosok intelektual lainnya yang membedah Islam dengan pisau analisa yang amat tajam dan mendedah dengan kejernihan berpikir yang mengagumkan. 

Saya pun tersihir oleh pemikiran mereka yang begitu memukau tentang Islam yang inklusif. Membaca deretan pemikiran mereka, terekam kehalusan akal budi dan kejernihan berpikir, dan saya menyimpulkan, itulah makna dari intelektual. Tanpa saya sadari, saya tengah menelusuri lorong-lorong terang pemikiran pemikir besar yang dijelmakan dalam bentuk tulisan ilmiah. Sejak saat itu, saya terus bergulat, berperang, berdebat, bahkan bercinta dengan teks. Teks mencurahi ide-ide bernas, menerobos tradisi-tradisi yang kaku, dan berusaha mempola perubahan dengan keindahan. Karena itu, tak aneh pemberontakan lewat intelektual lebih mengena bagi orang-prang cerdas, ketimbang kekuatan anarkis. Itulah yang diyakini para pemikir-pemikir handal yang masuk dalam kancah aktivitas intelektualisme. 

Namun, pengetahuan ilmiah tanpa didasari pengetahuan agama yang mendalam, cenderung menyeret orang ke ranah kesombongan intelektual. Padahal mereka menyadari, pemikiran mereka terbatas dan terbukti kalah bila dibenturkan dengan pemikiran lain yang lebih mengakar ke dalam. Kita insya Allah bisa menggali dan menemukan kebenaran sejati, jika bisa memadukan ilmu dan agama. Filsafat berguna guna membuka eksistensi kebenaran, dan agama menjadi sumbu penggerak guna menyapa kebenaran tersebut. 

Bagi saya, potensi berpikir yang rumit-rumit tersebut lama terkubur, karena sejak menginjakkan kaki di dunia perguruan tinggi lebih sering dipertemukan dengan teks-teks yang praktis, pelatihan-pelatihan praktis, dan membuat dimensi harus disajikan secara sederhana. Kesederhanaan, katanya, gampang dipahami dan dimengerti oleh orang lain. Makanya saat jadi mahasiswa, saya lebih gandrung dengan daras pemikiran praktis, kendati mendalam, seperti karya Andreas Harefa, Gede Prama, Paulo Preire, serta buku motivasi yang dirajut dengan kata-kata yang amat sederhana, sehingga bisa dimengerti oleh khalayak yang lebih luas. Sejak saat itu, saya berpisah dengan pemikir besar, berikut mulai keranjingan dengan inspirasi para motivator yang memberikan sajian sukses belajar secara instan, menjadi pebisnis hebat, dan sebagainya. 

Dan usai kuliah, saya kembali merindukan pemikiran mengakar ke dalam. Hanya saja pilihan yang saya ambil bukan pemikiran radikal bernuansa filsafat. Saya tergerak membaca karya-karya berdaras sufi. Kendati bukan pelaku sufi sejati, saya terus terang semakin hari menyukai karya-karya sufi yang menyajikan sebuah pola guna menggapai kebenaran dengan penyucian hati. Ketika hati suci, menurut para sufi, orang bakal bisa melihat, bahkan mengalami kebenaran yang sejati. Mereka meyakini kebenaran bermukim di dalam diri kita, tidak berada di luar dirinya. Yang membuat manusia terhalang memeroleh kebenaran, lantaran hatinya masih kotor. Apa tanda hati kotor? Hati yang kotor cenderung dihinggapi riya’, dengki, dan sombong. Hanya orang yang berusaha mengikis riya’, dengki, dan sombong itulah yang insya Allah bakal memeroleh cahaya kebenaran yang hakiki. 

Orang bisa memeroleh kebenaran, bukan sebatas wacana, tetapi berkait dengan pengalaman ruhani. Pengalaman ruhani ini masih rindu ingin saya jalani....

Hanya sebuah tutur....

Khalili Anwar, Penutur dari Jalan Cahaya

Tidak ada komentar:

Posting Komentar