Selasa, 10 November 2009

MENYEGARKAN KEMBALI PIKIRAN YANG LAYU



Sebulan lebih saya tak mengekspresikan perasaan dan gagasan jernihku lewat tulisan. Terasa ada kerinduan yang membuncah dari hati ini, untuk kembali bisa bertemu komputer sederhanaku, agar bisa menghaturkan kebajikan-kebajikan yang pernah kulihat, pernah kualami, atau pernah kurasakan saat bergaul dengan beberapa sahabat. 

Sebulan lamanya, saya berusaha mengondisikan hati untuk melewati hari-hari di medan tafakkur disertai adanya sebuah dorongan yang kuat di hati ini untuk mewakafkan diri di jalan dakwah secara ikhlas, dikala banyak orang meninggalkan medan dakwah ini. Jalan dakwah memang jalan sunyi yang ditempuh sedikit orang, jalan yang harus bisa menumbuhkan keikhlasan, dan tantangannya adalah bagaimana mengikis sikap tidak ikhlas yang cenderung melintas dari hati dan pikiran. Hanya saya yakin, Allah Maha Tahu usaha saya untuk melewati jalan-jalan yang sarat tantangan tersebut. 

Saya pun makin mantap untuk menekuni dakwah melalui keterampilan menulis dan berbicara di depan umum. Semoga dua keterampilan tersebut dialiri spirit Ilahi juga kerinduan yang tak pernah surut pada Rasulullah Muhammad SAW yang sapatutnya dijadikan model dari zaman ke zaman. Kendati demikian, saya menyadari bahwa menulis dan berbicara hanyalah pantulan dari perasaan (dzauq) yang membuncah di rongga hati ini. Semoga Allah menuntun pembicaraan saya, dan semoga pembicaraan itu terlahir dari kejernihan perilaku batin ini. Sungguh, orang yang sering menulis dan berbicara, namun tak selaras dengan semangat batin dan sikap hidupnya, maka tulisan dan pembicaraan yang diungkapkan hanya menambah kesempitan bagi jiwanya. Kemudian, bagaimana orang yang jiwa dan hatinya sempit dan gelap bisa menghadirkan kelapangan dan pencerahan pada orang lain. Bukankah hanya orang yang punya lampu yang bisa menerangi kegelapan? bukankah hanya orang yang punya air yang bisa memberikan air? Dan bukankah hanya orang yang punya uang yang bisa memberikan uang? Berarti, hanya orang yang memiliki pencerahan di dalam hatinya yang bisa menyuguhkan pencerahan ke hati orang lain. 

Memang, cara efektif untuk bisa memberi pencerahan adalah dengan berusaha memenuhi diri dengan pencerahan lewat perenungan dan mendekati orang-orang yang telah mendapati pencerahan dalam hidupnya. Membaca Qur’an sembari merenungi pesan-pesannya, juga bisa lewat membaca buku-buku yang mengandung pencerahan amat penting untuk memantik pencerahan dalam hati sendiri. 

Mana yang terpenting dari semua itu. Semuanya penting. Ya kalau kita bertanya mana yang penting dari semua itu, memang semuanya penting. Namun, ada yang amat penting dan menjadi perihal primer dari semuanya adalah al-Qur’an yang hidup, yakni guru, yang tak hanya sebatas menginspirasi kita lewat kata, tetapi juga lewat perilaku dan sikap hidup yang dipantulkan. Guru amatlah penting selaku tempat bercermin sekaligus hati bagi seorang murid. Bukankah ketika hati baik, insya seluruh organ menjadi baik adanya. Ketika guru yang dijadikan cermin hidup berkarakter baik, insya Allah murid pun terpandu ke jalan kebajikan seperti yang ditempuh para suci. Bagi saya, guru adalah sumber mata air jernih yang mengalir, sementara hatiku dipenuhi kotoran yang terpercik dari comberan. Alangkah baiknya, kalau aku membasuh lekat-lekat kotoran dengan mandi di sumber yang jernih tersebut, sehingga mendapati wajahku yang penuh kotor berubah menjadi bening dan jernih. 

Dari situ, bisa dimaklumi bahwa guru adalah pemandu ruhani yang bisa memasukkan nilai-nilai indah ke dalam hati. Sehingga keterampilan yang melekat pada diri bisa menjadi lebih bermakna dan menebarkan manfaat yang lebih luas lagi. Beberapa kali guru yang mulia sering meyakinkan saya untuk tetap menekuni dunia tulis menulis. Semoga spirit beliau senantiasa mamantul di setiap ekspresi kalam dan qalam saya. 


Khalili Anwar, Penutur dari Jalan Cahaya

Tidak ada komentar:

Posting Komentar