Rabu, 04 November 2009

IKHLAS SEPERTI AKAR



Andaikan pohon, buah dari sikap hidup kita adalah syukur dan akarnya adalah ikhlas. Buah memantulkan semangat syukur, sehingga tak ada yang dilakukan kecuali memberi, tanpa meminta sedikit pun terhadap kehidupan. Adapun ikhlas adalah prinsip akar yang sejatinya memiliki peran yang amat besar bagi pertumbuhan pohon hingga menghasilkan buah.

Dalam ulasan sederhana ini, saya hendak menguak semangat ikhlasnya akar. Bagaimana akar sebagai simbol ikhlas. Ingatlah, ikhlas adalah wajah kembar dari kesabaran. Dalam usahanya dia terus berusaha memberi tanpa pamrih, dan tak pernah memperlihatkan diri sebagai yang amat berjasa terhadap pertumbuhan pohon hingga mencapai pembuahan. Bahkan ketika pohon semakin besar dan tinggi akar makin menghunjam ke tanah, demi bisa meneguhkan posisi pohon. Namun, ketika sudah berbuah, mungkin perhatian orang terlepas pada akar, dan hanya tertuju pada buah.

Buah diperkenalkan kemana-mana, ke banyak orang, tergelar di pasar tradisional, pun bisa melanglang ke gerai-gerai supermarket, supermall, sementara akar tetaplah menghunjam ke tanah sembari berusaha meneguhkan pohon agar sanggup menghaturkan buah kembali. Saking ikhlasnya akar, dia tak pernah sedikit pun mau terlihat sebagai yang berjasa, hingga pohon itu ditebang, akar pun tak mau terlihat, bahkan dia masih berusaha menyalurkan energi positif agar pohon yang sudah tumbang bisa tumbuh kembali. Seperti akar jambu, kendati pohonnya sudah ditebang, dia berusaha menumbuhkan pohon kembali. Betapa akar memiliki jasa yang amat penting bagi pertumbuhan pohon, tetapi tidak pernah sedikit pun terbersit untuk pamer dan menunjukkan sebagai yang paling berjasa. Dia hanya ingin terus memberi dalam kesunyian dan kerendahan dirinya di tanah.
***
Perlu kiranya kita belajar pada kearifan akar untuk peneguhan keikhlasan. Semakin banyak memberi, bukan makin mendongak, malahan makin merendahkan diri. Mengapa mereka merendahkan diri? Karena merasa bahwa ia dianugerahi peluang untuk memberi bukan lantaran usahanya tetapi oleh karena rahmat Allah. Memang, manusia hanya sebatas alat peraga Allah untuk menyalurkan cinta dan kasih sayang-Nya. Tak sepatutnya orang bersikap pamer dan haus pujian dengan aneka jasa yang dipersembahkan. Bahkan terus menghadapkan hatinya pada Allah dengan semangat ikhlas yang utuh, sembari menyadari semua kekuatan untuk bisa memberi bukan karena datang dari dirinya, tetapi karena kasih sayang Allah. Lebih dari itu, terbetot dalam kesadaran, apa yang diberikan dan sifat dermawan hingga dia bisa memberi bukanlah kehendak personal semata, namun merasa telah didesain dan dirancang oleh Allah SWT. Andaikan Allah mau, bisa jadi kita tak diberi kemampuan memberi apapun, bahkan walau yang diberikan ada, kadang kita tercegah untuk memberi karena sifat kelembutan berupa dermawan dan belas kasih belum menyusup ke dalam hati ini. Terbukti, ada orang yang telah menjalani hari-hari sebagai pengemis dari pintu ke pintu, sehingga tak terilhami sedikit pun untuk memberi pada sesama, lantaran dia masih kekurangan dan berjungkir-balik untuk sekadar bisa mengais makanan sehari-hari.

Selain itu, ada orang yang telah dianugerahi kekayaan yang berlimpah, namun tak disaluri sifat belas kasih dan dermawan, hingga kekayaan harta menjadikan jiwanya makin sempit, tak pernah terbersit sedikit pun untuk memberi pada sesama, bahkan dia didera rasa haus untuk bisa menumpuk dan menimbun harta sebanyak-banyaknya. Walau dia kaya secara lahiriah, tetapi miskin secara ruhani. Tak ada sifat qanaah dalam hatinya, akibatnya dia terus diterpa rasa khawatir, takut harta yang diperoleh hilang, juga didorong semangat untuk mendapat lebih banyak lagi. Pun, andai dia memberi tak jarang disertai harapan untuk mendapatkan lebih banyak. Spirit ikhlas tidak tertanam kuat dalam hatinya, padahal tanpa ikhlas orang akan berada dalam keadaan batin yang goyah. Seperti pohon tanpa akar.

Kita pasti mendamba sebagai pohon yang berakar, sehingga hari-hari kita terus diselimuti semangat keikhlasan yang tak terbatas. Bukankah hanya dalam semangat ikhlas orang melulu mencerap kebahagiaan yang hakiki, karena saat ikhlas manusia tengah “bergandengan” dengan Allah SWT. Makanya, begitu bahagia orang-orang yang hatinya diluapi spirit ikhlas. Pekerjaan orang ikhlas adalah memberi, dan kebahagiaan memantul saat bisa memberi. Dan lebih bahagia lagi, ketika pemberian itu hanya diketahui Allah SWT. Dari waktu ke waktu kita harus terus memproses diri agar tersaluri spirit ikhlas, dan selalu bergerak untuk memberi lebih banyak tanpa disertai kehendak sedikit pun untuk mendapatkan pujian dan sanjungan. Karena orang yang terpana dan silau dengan pujian dan sanjungan, akan mengalami kegoyahan iman. Dan orang yang memberi tanpa disertai ikhlas, berarti memberi tanpa disertai iman. Padahal hanya amal yang disertai iman yang bakal meneguhkan jiwa dekat pada Allah SWT.

Khalili Anwar, Penutur dari Jalan Cahaya

Tidak ada komentar:

Posting Komentar