Kamis, 22 Oktober 2009

MALAM PURNAMA SEMPURNA


Tepat malam 15 Ramadhan, hatiku berbunga-bunga menyambut bulan yang memendarkan cahayanya yang purnama. Saat itu, bibirku tak henti-henti melantunkan salawat Nuril Anwar, sambil menghayati kehadiran Rasulullah SAW sebagai sosok yang selalu dipersonifikasi sebagai rembulan. Kupandangi lekat-lekat, bulan itu ternyata dalam keadaan duduk tasyahud, seperti berdialog dan menyaksikan Tuhan dengan seluruh kemuliaanNya yang sempurna. 


Tak luput, kulihat bunga-bunga, pohon-pohon, dan pelangi seakan turut memanjatkan tasbih menyambut rembulan yang terus memancarkan sinarnya yang sempurna. Aku pun berada dalam suasana dialog dengan purnama malam bersama seluruh jagat semesta yang khusyuk karena terpesona pada cahaya rembulan. Kala menatap rembulan, saya terus mengingat Rasulullah SAW yang telah berperan sebagai penerang yang nyata bagi kehidupan. Lantaran kehadiran Rasulullah SAW di jagat semesta inilah, begitu terasa adanya kehidupan rahmat yang memancar di setiap kisi-kisi kehidupan yang kualami. 

Hatiku berbunga-bunga menatap purnama, seakan cahaya rembulan itu menjadi dambaan setiap makhluk termasuk diri ini. Saya pun bertanya, mungkinkah cahaya rembulan yang begitu sempurna itu bisa menghiasi langit-langit hati yang gelap ini? Bisakah cahaya purnama itu terbit dari kesadaran terdalam ini? Bisakah diri ini menjadi rembulan yang kemana-mana hanya bisa menebarkan cahaya kelembutan? 

Dari sinar rembulan, saya menatap kelembutan Allah, yang gampang membuat orang terpesona dan masuk ke dunia spiritual yang amat dalam. Memang, manusia hanya bisa memandangi rembulan dengan cermat, tidak bisa melihat matahari. Bahkan ketika manusia berusaha menatap matahari yang memancarkan teriknya, niscaya matanya akan silau. Dan rembulan sendiri sebagai ekspresi dari cahaya matahari. Kedudukan rembulan di hadapan matahari, seperti kedudukan hamba yang paling terpuji Rasulullah Muhammad SAW di hadapan Allah SWT. Karena itu, untuk bisa mengenali matahari, maka manusia harus mengenali rembulan terlebih dahulu. 

Dalam pandangan ruhaniku, matahari adalah perlambang sifat jalal Allah, dan rembulan adalah perlambat sifat jamal Allah. Makanya, tak aneh untuk mengekspresikan kelembutan cinta, sepasang kekasih selalu menggunakan simbol rembulan bersama cahayanya yang memukau. Karena sinar cahayanya yang lembut, sebagai simbol kasih sayang dan keindahan Allah SWT. Karena itu, Rasulullah SAW yang dilahirkan sebagai mahkota kehidupan bersematkan citra kepribadian yang lemah lembut dan penuh belas kasih.  

Dakwah Rasulullah Saw benar-benar menggunakan kepekaan hati, dan adapun modus kekerasan (tegas) hanya dipergunakan ketika menghadapi orang kafir yang berlaku dzalim dan menyerang Islam. Rasulullah SAW menjalani dakwah lebih sering menggunakan cara-cara kelembutan dan kasih sayang, tak ayal jika para sahabat sering merasa tenteram dan dimabuk cinta kala bertemu Rasulullah SAW. Tak ada sedikit pun sikap Rasulullah SAW yang menyakiti sahabat, semua perilaku beliau terpandu dengan akhlak qur’ani. Senada dengan jawaban siti Aisyah ketika ditanya sahabat perihal akhlak Rasulullah, dia berkata semua perilaku Rasulullah SAW menakjubkan, dan berakhlak dengan akhlak al-Qur’an. 

Begitulah, akhlak Rasulullah seindah rembulan purnama, tak sedikit pun terlihat cecat yang melekat padanya. Purnama hanya sebatas simbol keindahan akhlak Rasulullah SAW, namun pada hakikatnya rembulan itu tidak bisa mewakili keindahan akhlak Rasulullah SAW yang sempurna. Kalau kita begitu kagum dan terperangah dengan bulan purnama, niscaya akan lebih terperangah ketika melihat langsung cahaya akhlak Rasulullah SAW yang berkilau-kilau, yang siap membuat siapapun terpesona memandangnya. 

Ketika melihat purnama malam, terasa api kerinduan menggelora dari hati ini. Mungkinkah saya berjumpa dengan Rasulullah SAW, merasakan ditatap oleh beliau? Merasakan belaian kelembutan beliau? Saya benar-benar ingin bertemu dengan beliau, semoga pertemuan agung itu bisa kurasakan sepanjang hayat saya. Bukankah ada dari para kekasih Allah yang bisa bertemu dan bertatap muka langsung dengan Rasulullah SAW. Mungkinkah orang yang serba terbatas ini bisa bertemu dengan beliau? Sungguh, diri ini begitu terbatas dalam segala hal, ibadah terbatas, ilmu terbatas, keyakinan terbatas, bahkan kezuhudan terbatas. Mungkinkah diriku pantas bertemu dan berdialog secara intim dengan Rasulullah SAW yang menjadi pijar cahaya rembulan bagi kehidupan ini. Apakah Rasulullah berkenan menemui diri yang papa dan hina ini atau tidak, terpenting saya terus memenuhi hati dengan kerinduan tanpa akhir pada Rasulullah SAW, sang rembulan yang terus bercahaya. 

Khalili Anwar, Penutur dari Jalan Cahaya

Tidak ada komentar:

Posting Komentar