Senin, 12 Oktober 2009

DARI GUNUNG HINGGA TAUHID



Sepanjang Ramadhan saya banyak belajar. Belajar pada bunga yang sedang merekah indah, gunung yang menunjukkan kelembutan dibalik keagungannya, air yang terasa dingin, mengalirkan kesejukan keseluruh pori-pori. Kurasakan semua keadaan yang mengitari diriku tanpa resistensi sedikit pun. Ketika saya berusaha menyelami beberapa ayat Tuhan apa adanya, dan meninggalkan pikiran yang dualitas, seolah ada cerapan-cerapan nutrisi mengalir ke dalam kalbu. Karena itu pencerahan memendar dari momen ke momen. Pandanganku terpaku pada gunung puteri tidur, yang di bawah kaki sang putri berdiri kukuh gunung paderman. Dua gunung tersebut menggambarkan kepatuhan seorang anak pada sang bunda. 

Saya selalu ingat nasihat guru kami yang mulia, saat puasa tiba, layaknya dijadikan momen merenungi ayat-ayat Tuhan baik yang tergulung dalam Qur’an atau tergelar di alam ini, agar bisa mendulang hikmah suci. Bukankah ketika orang bisa mendulang hikmah, berarti dia mendapati yang banyak? Sebagaimana firman Allah, “Allah menganugerahkan hikmah kepada siapa yang Dia kehendaki. Dan barangsiapa yang dianugerahi al-Hikmah itu, ia telah benar-benar dianugerahi al-Hikmah itu, ia benar-benar telah dianugerahi karunia yang banyak. Dan hanya orang-orang yang berakallah yang dapat mengambil pelajaran (dari firman Allah). (QS. Al-Baqarah [2]:269)

Setiap hari saya selalu mencari obyek yang bisa direnungi, demi bisa mengenal Allah lebih dekat lagi. Bukankah dari merenung kita bisa menyalakan pelita dalam hati kita sendiri? Dan ketika hati telah bercahaya, berdampak pada kecermatan menangkap hikmah dibalik setiap peristiwa dan kejadian yang meruyak. 

Saat hari-hari pertama, berada di Malang, saya berusaha menyibak tabir rahasia dibalik gunung puteri tidur. Ada sedikit sentilan, andaikan ada orang yang bertanya gunung apa yang paling tinggi, tak ayal pikiran kita akan tertuju pada gunung Himalaya atau Everest, namun sesungguhnya gunung yang tertinggi adalah gunung puteri tidur, kata sebagian sahabat. “Tidurnya saja sudah tinggi, apalagi kalau ia terbangun dan berdiri dari tidurnya” canda sang sahabat. Ingatlah, guyonan ini tak perlu direnungkan.

Andai saya tak menghayati gunung tersebut, saya mungkin tak menemukan makna sakral yang melekat. Gunung yang ditumbuhi pohon, mampu menyerap air hujan dan memprosesnya, mengalirkan ke sungai, kemudian dibawa ke lautan. Ketika manusia telah berhasil menghujamkan iman di dadanya, maka dia akan menemukan kearifan yang mengembang indah. Di gunung tersebut tumbuh rerimbun tanaman yang menawarkan kesejukan bagi mata, dan matahari yang bersinar terik terserap pepohonan yang berjejer indah menghias gunung. Sehingga rasa panas yang potensial menyengat kulit tidak terasa, bahkan suasana alam terus berlingkup dalam suasana dingin.  

Kehadiran gunung menguatkan bumi, agar tak gampang mengalami goncangan. Memang, gunung memberikan manfaat yang besar untuk keberlangsungan hidup manusia. Bayangkan, andaikan Allah menciptakan bumi tanpa dipaku gunung, mungkin banjir bandang sering terjadi di dunia. Dalam pandangan ruhaniku, gunung adalah iman. Ketika iman tegak kokoh berdiri, maka manusia bakal mudah tersambung dengan Rasulullah SAW, dan manakala orang telah tersambung dengan Rasulullah, niscaya akan dihantarkan pada pengalaman ketuhanan yang lebih mendalam. Gunung adalah potret pribadi beriman. Gunung sebagai gambaran tegaknya iman yang mengalir ke sungai cinta pada Rasulullah SAW, kemudian dibawa ke lautan tauhid. Iman yang kokoh mengarahkan kecintaannya pada Rasulullah yang digambarkan sebagai sungai, dan Rasulullah Saw akan membimbing mereka kepada Allah, lautan penyerahan diri. Kita harus berproses agar bisa menggapai kebersatuan dengan Allah SWT. Dengan cara apa? Ya selalu berusaha menguatkan iman di dada, kemudian memancarkan cinta suci pada Rasulullah SAW, insya terbimbing untuk bisa menggapai pencerahan yang hakiki dalam hidup ini. Puncak pencerahan adalah penyatuan dengan Allah SWT dalam ikatan tauhid.  
 
Begitulah, lewat gunung saya berpikir rentetan makna yang tersimpul di dalamnya. Saya merasa gunung telah memberikan pelajaran agung, bagaimana pribadi beriman berhasil membebaskan dirinya hingga bisa menyatu dengan samudera luas. Melalui keyakinan kukuh yang mengakar kuat dalam diri, harus berhasil menyalakan spirit cinta, berujung pada pertalian atau kebersatuan dengan Allah, berupa kristal-kristal tauhid. Citra orang yang telah menyatu dengan Allah, adalah selalu berserah diri atas setiap ketentuan Allah yang menghinggapinya. Tak ada lagi sekat yang membatasi antara dia dengan Allah, karena dia sendiri telah berhasil meruntuhkan tembok keakuan yang kerapkali menghalangi perjumpaan seorang hamba dengan Sang Khaliq, antara seorang pencinta dengan Yang Dicintai. Orang yang telah sampai pada samudera tauhid, bersemai dari jiwanya penyerahan diri tanpa reserve. 


Khalili Anwar, Penutur dari Jalan Cahaya

Tidak ada komentar:

Posting Komentar