Sabtu, 10 Oktober 2009

SOSOK MUDA YANG MENGAGUMKAN

Selama bergaul dengan masyarakat Perumahan Puncak Mutiara Sengkaling, Malang, saya mendapati kenyataan indah yang selalu membuat hati ini bahagia. Di sana, saya bersua dengan sosok yang berhiaskan tawadhu’ mendalam, namun memancarkan spirit izzah yang menjelma dari bongkahan jiwanya. Semakin hari saya melihat akhlaknya bersinar, tak ayal saya pun merasa malu dengan perilakunya yang begitu anggun dan mempesona. Saya mungkin bisa mempesona orang lewat kata-kata yang padat dengan muatan makna, namun penampilan dan sikap hidup yang ditunjukkan seperti telah menutupi pesona kata-kata yang kukatakan. Begitulah, kata-kata akan tertutupi cahaya penampilan dan sikap hidup. Mengapa kata-kata bisa kalah terhadap perbuatan dan sikap hidup? Ya, karena kata-kata hanya berupa ilmu yang potensial, sementara perbuatan atau sikap hidup sebagai realisasii ilmu itu sendiri. 

Saya masih berkutat dengan kata-kata, sementara dia telah berhasil merealisasikan kata-kata menjadi fakta. Saya menekankan pentingnya menumbuhkan rasa kasih sayang pada sesama, terlebih anak yatim, yang tidak punya tempat bersandar untuk memenuhi hidupnya, kecuali hanya terus memanggil Allah.. Allah… Allah. Sementara dia telah berhasil memungut anak yatim piatu, dan sekarang berhasil menyekolahkannya ke tingkat SMA tanpa meminta bantuan pada siapapun. Ia menanggung biaya hidup anak yatim dengan kemampuan ekonomi sendiri. Sebuah potret hidup yang amat menakjubkan. 

Ketika melihat sikap hidupnya yang begitu bersinar, saya tergerak untuk bisa belajar banyak tentang prinsip hidup yang mendasarinya dalam mengarungi tantangan yang begitu keras. Kendati saban harinya dia menekuni bisnis yang amat keras, selain jadi dosen di UNMUH Malang, tapi pancaran wajahnya tak pernah terlihat sebagai pribadi yang keras, malah kulihat ada keteguhan yang memancar dari wajahnya. Cahaya kelembutan pun selalu memantul di setiap tutur kata dan perilakunya. Dia pernah berkata penuh akrab pada saya, bahwa dia berproses dengan kehidupan yang pasang surut, yang telah membentuk jiwanya makin kuat dan tegar. Memang, dari situ kedewasaan hidupnya bisa terbentuk, sehingga dia tak pernah sedikit pun khawatir hidup yang dijalani, karena meyakini jaminan Allah. 

Hampir setiap hari, dia menghadiri pengajian yang saya asuh. Perasaan yang mengalir di batinku, “orang ini telah berhasil melampaui setiap kata-kata yang kuucapkan, dia hadir sebatas memantapkan semangat tawadhu’ terhadap siapapun.” Dia begitu terbuka belajar terhadap siapapun sepanjang selaras dengan prinsip-prinsip hidup yang diyakini. Keterbukaan dalam menerima ide-ide baru dan pencerahan positif, membuatnya makin tumbuh berkembang sebagai pribadi matang. Saya meneliti setiap kata yang terlontar dari lisannya, tak pernah sedikit pun menyinggung dan menghakimi orang lain. Saya merasakan betap pikiran dan hatinya begitu jernih dan bening, sehingga kata-kata yang diungkapkan, selalu menghadirkan keteduhan dan kesejukan bagi yang mendengarkan. 

Di usianya yang sudah kepala 3, dia terus berusaha menggali potensinya secara maksimal. Di tengah kesederhanaan hidupnya, dia amat suka berbuat dermawan pada siapapun, sembari memiliki rasa hormat yang mendalam pada siapapun, tak terkecuali pada saya yang hadir sebagai tamu di masyarakat tersebut. 

Di hari kedua, saya sampai ke perumahan tersebut, dia diperkenalkan oleh salah satu jamaah pada saya. Mulanya dia terkesan pendiam, tetapi memancarkan kharisme yang positif. Beberapa jam, dia mengantarkan spring bed ke kamar penginapan, sehingga sempat terbetik di pikiranku, “Waduuh jadi tidur terus nich, mujahadah jadi gagal ya.” Kendati demikian saya tetap bersyukur, dengan perhatian yang diberikan olehnya. Sejak saat itu, saya terdorong untuk mengerti orang ini dari dekat. Makanya pada saat kunjungan ke rumah-rumah jamaah, saya mengkhususkan lawatan ke rumahnya terdahulu, saya berbincang banyak hal dengan dia. Saya menyinggung tentang pentingnya seorang guru yang akan menjadi pemandu untuk mencapai pengenalan pada Allah SWT. “Walau pun al-Qur’an sudah bisa dipelajari secara digital, buku-buku berlimpah, internet menyediakan sekian pengetahuan keagamaan, audio-visual yang memudahkan orang belajar agama lebih cepat, ada satu hal yang amat penting dari itu semua, yakni guru,” ujarku 

“Sebanyak apapun pengetahuan kita, tanpa dibimbing guru yang dekat pada Allah SWT, maka pengetahuan itu hanya menjadi pengetahuan semata, tidak tumbuh menjadi kesadaran yang indah di dalam hati kita. Nabi Muhammad mencerap ruh wahyu dengan belajar pada Malaikat Jibril, karena itu umat Nabi SAW juga harus belajar pada buku yang hidup, yakni guru” “lebih dari itu, sesungguhnya kerangka ilmu itu tersebar di berbagai perangkat pengetahuan, buku, audio-visual, internet, dan bahkan bisa kita cerap melalui televisi, namun sesungguhnya ruh ilmu itu terpendam di dada setiap guru.”

Memang, sosok yang mengagumkan ini setiap harinya tak pernah lepas dari buku. Dia selalu membaca buku untuk menyegarkan dan meluaskan cakrawala berpikirnya. Setelah kukatakan kata-kata itu, dia pun mengiyakan, betapa sesungguhnya belajar tanpa guru seperti orang punya peta, tanpa pemandu arah, niscaya cenderung akan membuatnya tersesat. Ada sebagian jamaah yang menimpali, “bukankah ketika orang belajar tanpa guru, yang mengajari mereka adalah setan.” “benar sekali,” sahutku. 

Saya pun beralih pada tema yang lain, saya memperkenalkan siapa diri saya. Saya memberitahukan bahwa saya bukanlah seorang penceramah atau dai, saya hanya tukang jual kripik singkong, yang biasa mengantarkan kripik dari toko ke toko, dari sekolah ke sekolah. Adapun saya mendapatkan tugas berdakwah, sebenarnya hanya belajar untuk bisa menjalani proses tarbiyah menurut Nabi SAW. Rasulullah menggunakan pola mengajar ilmu dari sanad ilmu yang benar, menyucikan hati agar terpantul akhlak yang luhur, dan terakhir memiliki tanggung jawab untuk berdakwah. Artinya, berdakwah sebagai tugas dari majelis yang menerapkan pembelajaran ala Rasulullah Muhammad SAW. Berdakwah tidak harus berbicara di depan umum dengan cara menggebu-gebu, namun mempraktikkan ilmu dalam pergaulan sehari-hari juga bagian dari dakwah. Bahkan dakwah lewat pergaulan antar pribadi lebih efektif, ketimbang berbicara di massa yang berjubel. 

Mendengar saya hanyalah seorang sales kripik singkong, tentu saja dia menanggapi amat antusias, karena dia memang mendukung anak-anak muda yang hendak menekuni dunia wirausaha. Ia pun bercerita, berbisnis seperti menjadi bagian dari petualangan yang dijalani sejak kuliah. Saat masih mahasiswa dia pernah mendirikan bisnis rental komputer, sekarang dia menekuni bisnis loundry dengan memberdayakan anak-anak muda, juga bisnis perumahan. Memang, berbisnis harus menjadi semangat yang harus menyala di hati anak muda, demi bisa mewujudkan kebangkitan bagi bangsa ini. Ketika dia berbicara bisnis terasa ada getaran antusiasme yang saya tangkap, namun bisnis yang telah menjadi mindset dalam dirinya adalah bisnis yang berlandaskan akhlak islami. Walau dia seorang pebisnis tak pernah nampak dari guratan wajahnya bahwa dia seorang yang berorientasi duniawi. Karena saya menyaksikan sendiri, hampir sebagian materi kekayaannya diperuntukkan membantu sesama, dan bahkan saya dengar dari salah satu jemaah disana, dia salah satu tokoh yang berperan dalam pendirian Mushalla yang saya tempati. Inilah sosok pebisnis yang dididik dengan ruh iman. 

Khalili Anwar, Penutur dari Jalan Cahaya

Tidak ada komentar:

Posting Komentar