Rabu, 14 Oktober 2009

SOSOK MUSLIMAH



Bertegur sapa dan bergaul kendati hanya selintas, tetap saja membekaskan kesan yang indah di dalam hati. Keindahan ini tidak bertaut dengan keindahan yang menguap dari hawa nafsu, namun berasal dari kesadaran terdalam. Saya terus berusaha meraba cermin indah dari setiap sosok yang kutemui agar bisa membersihkan dan menghias hati ini. Kadang-kadang saya merasa malu dengan pancaran akhlak dan kontribusi orang-orang sekitar saya. Salah satunya yang membuat saya terhenyak saat melihat sikap hidup mulia yang ditampilkan seorang ibu. Saya memanggil perempuan itu dengan Bunda Farhan, dikarenakan kami merasa amat diperhatikan dan dihormati beliau sekeluarga. Bunda ini punya 3 anak puteri yang paling tua, Nur Laili, ada di bangku SMP, putri kedua, Amelia, kelas 1 SD, dan putri ketiga, Anissa, masih baru berada di bangku TK. Pada mulanya, saya menganggap Bunda Farhan sebatas ibu rumah tangga yang mencurahkan tenaganya guna mendidik dan membimbing anak-anaknya, juga melayani suaminya. Namun, dibalik kesederhanaan yang ditampilkan, dia ternyata sosok hafidzah yang begitu pandai dan luwes bergaul dengan ibu-ibu yang berada di sekitar perumahan Sengkaling. Bunda Farhan bersama keluarga menempati perumahan tersebut beberapa minggu sebelum puasa. Sebelumnya, beliau bersama keluarganya tinggal di Sidoarjo.

Yang menakjubkan di hati saya, kendati Bunda ini beberapa minggu tinggal di perumahan itu, begitu gampang berbaur dengan ibu-ibu yang lain. Dan dia selalu berusaha menebarkan aura kebajikan pada ibu-ibu, agar bisa mengaji al-Qur’an dengan baik dan benar lewat aktivitas tadarus. Semangat berbagi kebajikan itulah yang membikin saya menaruh kekaguman pada orang ini. Saya optimis, dia menjadi pelopor dakwah bagi kalangan ibu-ibu, bahkan saking padatnya kegiatan ibu-ibu yang ada di Sengkaling pada bulan puasa, saya menaruh harapan, bisa jadi akan berdiri masjid megah dan sekolah di perumahan tersebut. Bermula dari keyakinan, ketika ruh jihad telah menyusup ke dalam hati setiap umat, insya Allah dakwah sekaligus fasilitas dakwah bakal gampang terealisasi. Sebagian jamaah berujar, “Kami bersyukur beberapa bulan ini komunitas perumahan mendapatkan keberkahan dengan hadirnya orang-orang saleh, seperti keluarga pak Dhiya’ (guru kita yang mulia) dan keluarga Pak Farhan. Semoga ini menjada isyarat baik bagi perumahan Sengkaling, menjadi perumahan yang lebih agamis.” Kata Pak Moga menaruh harapan selaku aktivis dakwah di perumahan tersebut.

Memang, di perumahan banyak orang-orang saleh yang selalu fokus melayani umat, tanpa pamrih sedikit pun. Saya mengenal ada Ustadz Nur, seorang hafidz, lantunan al-Qur’an-nya terasa begitu syahdu menyusup hati. Hanya saja Ustadz Nur belum bisa terlibat aktif di Mushalla. Jika ada waktu kosong, beliau shalat berjamaah. Mungkin aktivitas dakwahnya padat.

Kembali ke Bunda Farhan. Sosok ini begitu telaten mengajari ibu-ibu, bahkan dia berazam melahirkan ustadzah yang bisa mendidik anak-anak TPQ yang selama ini tidak terkelola dengan baik, kalau tidak mau disebut terlantar. TPQ tidak mengalami kemajuan, karena masih ditangani dengan cara konvensional, tanpa menggunakan metode belajar al-Qur’an yang mudah dan cepat, selain ustadzah-nya tidak benar fokus memberikan perhatian terhadap pertumbuhan anak didik di TPQ tersebut. Saya hanya bisa mendukung langkah yang bakal dirintis Bunda Farhan, karena saya belum merasakan kejituan metode yang dipergunakan. Adapun metode yang dipergunakan Bunda Farhan dalam mendidik anak-anaknya adalah metode UMMI. Saya melihat perkembangan anaknya yang masih kelas 1 sudah bisa membaca al-Qur’an Juz.

Selain mengajari ibu-ibu mengaji, dia juga mengundang ustadz yang bisa mengajari ibu-ibu tarjim al-Qur’an, dengan harapan para ibu tidak hanya bisa mengaji al-Qur’an dengan fasih, juga memahami makna yang terkandung di dalamnya, sehingga akan terbangun semangat untuk merenungi (tadabbur) atas ayat yang tersirat dalam al-Qur’an tersebut. Tarjim al-Qur’an memadukan kegiatan belajar bahasa Arab dan mengkaji al-Qur’an. Tujuan pamungkasnya, bagaimana ibu-ibu bisa belajar al-Qur’an secara menyeluruh, tidak hanya mengaji tetapi juga bisa mengkaji al-Qur’an.

Selain aktivitas tadarus, menerjemah, dan mengkaji al-Qur’an, Bunda Farhan juga mengadakan pengajian ibu-ibu yang dihadiri salah satu dosen dari UNMUH, Malang. Saat pertama kali ketemu dosen ini, saya begitu antusias lantaran ada orang yang mau mengisi pengajian di sebuah Mushalla kecil. Saya sempat berbincang sebentar dengan ustadz tersebut, kemudian dia segera membuka pengajiannya. Saya menguping kajian-kajiannya di dalam kamar. Hanya saja, saat masuk ke materi pembicaraan, dia banyak menjlentrehkan tentang taghut, dengan gampang mengalamatkan klaim-klaim syirik pada saudara muslim yang lain. “meletakkan tulisan doa di daun pintu itu syirik, meminum air doa itu syirik, juga meminta tombo ke Ponari syirik,” kata si ustadz.

Aneka ucapan yang berbau syariat begitu kental berikut menyalahkan praktik pemahaman kelompok lain membuat hati tidak basah dan sejuk, malah semakin kering dan panas. Uraian-uraiannya yang tidak pernah menyentuhkan kesegaran ke dalam batin, membuat diriku tergerak untuk berbicara dengan Bunda Farhan.

Terlintas dari pikiranku sebuah peristiwa, dimana ada komunitas NU yang membangun Mushalla di sebuah perkampungan. Hanya karena kesadaran agama komunitas itu menyusut, masuklah kawan salafi (bukan salafiyah) untuk memakmurkan masjid tersebut. Karena uraian-uraiannya yang sering menyalahkan kalangan NU, maka semua aktivis Salafi yang tinggal di Masjid tersebut diusir oleh warga. Saya tak berharap komunitas muslim Sengkaling terpecah lantaran perbedaan pandangan.

Sehari selepas pengajian itu berlalu. Tepat habis shalat dhuhur, saya minta izin ke Pak Farhan untuk bersilaturrahim ke rumahnya. Pak Farhan mempersilahkan dengan senang hati. Namun, sekitar jam 2, saat saya mengajari adik-adik TPQ, saya dipanggil Bunda Farhan. “Katanya Abi, antum mau silaturrahim ke rumah selepas Ashar. Mohon ma’aaf, saya nanti mau silaturrahim ke sahabat saya, dan sudah kadung janjian, “katanya.

“Ya rencananya, hanya ingin silaturrahim, ada hal yang hendak disharing-kan,” ujarku.

“Apa ya, maaaf kalau saya bersama keluarga ada kesalahan,”dengan jiwa merendah.

Saya pertama-tama menyinggung perkembangan tadarus ibu-ibu, dan masa depan pendidikan al-Qur’an di Mushalla. Beliau berbicara begitu antusias, dan saya mendengarkan sambil menunduk ta’dzim. Setelah beliau berbicara panjang lebar tentang mengaji al-Qur’an, saya pun masuk pada perkara inti yang hendak kuungkapkan.

“Pada hari jumat kemarin, saya mendengarkan ceramah dari ustadz yang didatangkan dari UNMUH. Sebagian besar materinya baik, hanya saja ada beberapa catatan yang perlu dikoreksi. Saya kira semua hujah yang diungkapkan beliau bisa benar menurut sumber yang diperoleh.” “Namun, suatu hal yang perlu dikritisi ketika menyinggung ritual pandangan golongan lain keliru, dan hanya golongannya saja yang benar. Saya yakin Muhammaddiyah menjalani ritual keagamaan berdasar pandangannya sendiri yang bersumber dari al-Qur’an dan hadist, NU juga memiliki pandangan sendiri yang bersumber dari al-Qur’an, hadist, dan Qiyas.” Lanjutku

“Pun bisa jadi golongan yang lain punya pemahaman sendiri. Perbedaan dalam umatku adalah rahmat, sabda Rasulullah SAW. Bagaimana perbedaan ini mencitrakan bangunan Islam yang indah. Bukan perbedaan dijadikan ajang saling menuding kesalahan kelompok lain. Kita semua ingin melihat Islam yang bersatu, rekat, dan rukun karena sikap kedewasaannya memandang perbedaan yang menghiasinya.”Kataku

“Apa perihal yang tidak berkenan bagi ustadz?”tanyanya

“Saya sempat terhenyak ketika seorang ustadz mengomentari praktik-praktik keagamaan yang dipandang syirik. Meletakkan tulisan doa di daun pintu disebut syirik, meminum air doa disebut syirik, mungkin berziarh ke kubur syirik. Menurut pandangan ahli tauhid yang disebut syirik adalah menganggap ada selain Allah yang bisa memberikan manfaat secara independent. Jika kita mengganggap air itu yang membuat kita sembuh, itu syirik, atau karena tulisan itu yang membuat kita selamat, berarti syirik. Bahkan ketika seorang pasien mengalami kesembuhan, berpikir karena dokter yang memeriksa atau obat yang dikonsumsi yang membuat sembuh. Itu pun syirik. Dalam pandangan saya syirik tidak melekat pada benda-benda, tetapi ada di pikiran. Bunda mungkin pernah mendengar penemuan terakhir Prof. Ermuto perihal kekuatan air. Dia meneliti ketika air dimarahi, maka memunculkan butir-butir kristal yang jelek, namun ketika dilontarkan kata yang penuh belas kasih, kristal-kristalnya menjadi membaik. Apalagi ketika dibacakan al-Qur’an kristalnya menjadi amat baguuuus. Dari penelitian tersebut, terasa ada hubungan yang menarik antara doa dan air. Dan saya pernah mendengar sabda Rasulullah SAW, “Sesungguhnya doa bisa merubah takdir,” uraiku.

“Sebenarnya ustadz kemarin menjelaskan tentang syirik tersebut agar orang hati-hati. Mungkin bagi orang yang tauhidnya sudah kuat, tidak perlu mendapatkan nasihat seperti itu. Saya juga berlatar keluarga NU, saya suka dengan tahlil, hanya kurang sreg ketika tahlil harus mengeluarkan banyak biaya untuk memberikan makan orang yang tahlil. Zikir (jahr) juga sepaham,” selorohnya

“Saya hanya kasihan pada umat, apalagi mushalla ini baru aktif beberapa tahun. Kita berharap kebersamaan dan kebersatuan jamaah jangan dikoyak lantaran didera hasrat untuk memperuncing perbedaan yang ada. Rasulullah SAW selalu mengedepankan akhlak dalam berdakwah, dan kita harus betul-betul berusaha meramu perbedaan sebagai keindahan yang menyejukkan. Ada yang qonut atau tidak saat subuh, tak perlu dipermasalahkan. Mereka punya standar pemahaman sendiri-sendiri. Kalangan NU bermazhabkan imam Syafi’ie, tetapi kalau mau melacak sejarah, sejatinya tahlil tidak difatwakan Imam Syafi’I, tetapi difatwakan Imam Hanafi. Sudah saatnya kita luwes menghadapi perbedaan, berikut menonjolkan kebersamaan,”tuturku.

“ya terima kasih atas sarannya ustadz. Saya berusaha menjaga kebersamaan itu. Sebenarnya, saya juga tidak mengerti latar belakang ustadz itu (yang memberikan ceramah), saya hanya diperkenalkan teman saya saat taklim.” Kata bunda Farhan.

“Maaf bunda, jika perkataan saya menyinggung perasaan bunda. Tetapi itu semua bermula dari semangat untuk bisa mempersatukan komunitas muslim Sengkaling ini, hingga makin rukun dan akrab satu sama lain,” kataku.

“Jazakallah, atas masukannya. Semoga saran tersebut jadi kebaikan bagi jamaah yang ada di sini,” ujar Bunda Farhan.

Saya pun melanjutkan mengajari adik-adik TPQ, dan Bunda Farhan pun melanjutkan aktivitas tadarusnya. Saya berharap saran yang kusampaikan akan dilanjutkan pada ustadz yang kumaksud. Alhamdulillah, seminggu setelah pengajian itu berlalu. Ustadz itu hadir, memberikan pengajian kembali. Materi pengajian lebih soft dan umum, dan tidak lagi menyinggung perbedaan yang ada. Semoga kerukunan diantara umat tetap terjaga di perumahan Sengkaling.

Saban ada kesempatan, Bunda Farhan selalu menanyakan seputar persoalan agama pada saya. Dan saya menjawab sebatas yang kuketahui. Saya berharap dia bersama keluarga akan menjadi sparring partner bagi guru kita yang mulia untuk menegakkan dakwah di perumahan tersebut.

Khalili Anwar, Penutur dari Jalan Cahaya

Tidak ada komentar:

Posting Komentar