Nabi Muhammad adalah manusia yang
paling dimuliakan oleh Allah SWT. Ingatlah, kita boleh jadi menemukan kemuliaan
oleh karena apresiasi manusia sekitar kita. Bahkan seorang artis yang kerap
menjadi inspirator “kemaksiatan” dan memutus jejaring moralitas tak jarang
dimuliakan oleh banyak penggemar.
Disisi lain, ada seorang ulama’ yang
berjuang gigih untuk membangun moralitas, karena hanya berbuat suatu yang
“bersinggungan” dengan pemahaman orang awam—dan tidak bertentangan dengan spirit
nilai agama—tiba-tiba menerima lontaran cercaan dan makian dari berjuta-juta
manusia. Standar kemuliaan seseorang tidak bisa diukur dengan penilaian
manusia, hanya Allah saja yang bisa mentahbis dan menggelari kemuliaan pada
manusia.
Sayyidina Muhammad Saw menggapai
kemuliaan karena beliau memandang dirinya sebagai seorang hamba Allah. Jika
Nabi Ibrahim AS memandang dirinya sebagai khalilullah (kekasih Allah), Nabi
Musa AS menganggap dirinya sebagai kalimullah (orang yang bisa berbicara
langsung dengan Allah), dan Nabi Isa AS mengakui dirinya sebagai ruhullah (ruh
Allah), adapun Sayyidina Muhammad menyebut dirinya sebagai hamba Allah.
Sikapnya yang sangat rendah hati itulah mengantarkan Nabi Saw memeroleh
kedudukan yang sangat tinggi melampaui Nabi-Nabi sebelumnya di hadapan Allah.
Banyak cerita-cerita keajaiban
tawadhu’ yang menyertai cerita Nabi-Nabi terdahulu. Adalah Nabi Nuh AS yang
dengan perintah Allah SWT membuat perahu untuk menghadapi banjir bandang yang
akan membinasakan banyak kaum tersesat dan membangkang pada Allah SWT. Pada
saat banjir bah tiba melanda kaum ‘Ad, maka Allah mengabarkan pada semua
gunung, bahwa ada gunung yang akan dijadikan tempat berlabuhnya perahu
Nabi-Nya.
Semua gunung yang mendapati kabar
tersebut sangat percaya dan sombong, bahwa mereka akan menjadi tempat berlabuh
Nabi Nuh AS, akan tetapi gunung Judi yang lebih kecil ketimbang gunung yang
lainnya tak sempat berpikir akan dijadikan tempat berlabuhnya perahu Nabi Allah
itu. “siapa saya ini bisa dijadikan tempat berlabuh bagi Nabi Allah.” Sikapnya
yang betul-betul tawadhu’ ternyata menarik perahu Nabi Nuh AS untuk berlabuh di
gunung itu. Mungkin gunung lain mengaduh, tetapi begitulah Allah selalu
berpihak pada yang hatinya dipadati dengan kerendahan hati.
Adalah gunung Tursina yang dikenal
sebagai tempat dialog antara Nabi Musa AS dengan Allah SWT, dia berpikir,
“siapa saya ini bisa dijadikan tempat berdialog Allah dengan hamba yang
digelari Kalimullah?” Adapun gunung lainnya tatkala mendengar kabar tersebut,
berkeyakinan bahwa ialah yang akan menjadi tempat dialog Nabi Musa AS dengan
Allah SWT. Dan Allah memilih gunung yang menyediakan dirinya dengan spirit tawadhu’
sebagai tempat dialog antara Allah dan Nabi Musa AS.
Alkisah Nabi Yunus AS yang tenggelam
ke laut, yang kemudian ditelan oleh ikan hiu. Anda tahu, bahwa ikan hiu
tersebut, ternyata ikan yang paling tawadhu. Pada saat Allah mengabarkan
tentang adanya hamba-Nya yang dimuliakan akan tenggelam ke laut dan akan
ditangkap oleh ikan, maka seluruh ikan berlagak angkuh, merasa bahwa mereka
yang sangat layak untuk dijadikan penjaga Nabi Allah tersebut. Kecuali ada satu
ikan yang dengan kerendahan hati berkata, “siapa saya ini jika perutnya dijadikan
tempat tinggalnya Nabi Allah?” ternyata ikan hiu yang amat rendah hati ini menjadi
ikan yang perutnya bisa menjaga Nabi Yunus AS.
Hanya orang-orang mulia yang akan
dipertemukan dengan yang mulia, dan kemuliaan seorang itu tercermin oleh spirit
kerendahan hatinya. Sejak saat kita berusaha mengasah kerendahan hati kita,
dengan berusaha menyingkap di hadapan diri kita sendiri perihal kehinaan dan
kelemahan kita. Betapa kita hanyalah makhluk yang diadakan Allah, andaikan
Allah tidak berkehendak maka kita tidak akan pernah ada. Jika keberadaan kita
amatlah bergantung pada “kebijaksanaan” Allah, lantas apakah patut kita
bersikap sebagai sosok yang sombong lagi membanggakan diri. Seberapa besarkah
jasa kita, sehingga menjadi sosok yang patut berlaku sombong?
Jika Anda merenungi butiran pasir yang
kecil, tidak memiliki arti apa-apa, tetapi karena dia berada dihempaskan oleh
gelombang besar dan ditarik ke tengah dan palung laut, maka dia kemudian
dikirimkan ke kerang untuk kemudian diproses menjadi mutiara. Pasir yang tak
berarti apa-apa, ternyata menjelma sebagai barang yang sangat mahal setelah
menjadi mutiara. Anda melihat batu karang yang kokoh berada di lautan, hanya
tetap menjadi karang yang siap terus dihantam gelombang. Maka, kecilkan dirimu
seperti kecilnya pasir, insya Allah Anda akan diproses menjadi mutiara bagi
kehidupan ini.
Khalili Anwar, Penutur dari jalan
Cahaya
Aamiin,
BalasHapusBarokalloh..
BalasHapusAllahu akbar
BalasHapus