Minggu, 06 September 2015

KUASA KERENDAHAN HATI



Nabi Muhammad adalah manusia yang paling dimuliakan oleh Allah SWT. Ingatlah, kita boleh jadi menemukan kemuliaan oleh karena apresiasi manusia sekitar kita. Bahkan seorang artis yang kerap menjadi inspirator “kemaksiatan” dan memutus jejaring moralitas tak jarang dimuliakan oleh banyak penggemar.

Disisi lain, ada seorang ulama’ yang berjuang gigih untuk membangun moralitas, karena hanya berbuat suatu yang “bersinggungan” dengan pemahaman orang awam—dan tidak bertentangan dengan spirit nilai agama—tiba-tiba menerima lontaran cercaan dan makian dari berjuta-juta manusia. Standar kemuliaan seseorang tidak bisa diukur dengan penilaian manusia, hanya Allah saja yang bisa mentahbis dan menggelari kemuliaan pada manusia.

Sayyidina Muhammad Saw menggapai kemuliaan karena beliau memandang dirinya sebagai seorang hamba Allah. Jika Nabi Ibrahim AS memandang dirinya sebagai khalilullah (kekasih Allah), Nabi Musa AS menganggap dirinya sebagai kalimullah (orang yang bisa berbicara langsung dengan Allah), dan Nabi Isa AS mengakui dirinya sebagai ruhullah (ruh Allah), adapun Sayyidina Muhammad menyebut dirinya sebagai hamba Allah. Sikapnya yang sangat rendah hati itulah mengantarkan Nabi Saw memeroleh kedudukan yang sangat tinggi melampaui Nabi-Nabi sebelumnya di hadapan Allah.

Banyak cerita-cerita keajaiban tawadhu’ yang menyertai cerita Nabi-Nabi terdahulu. Adalah Nabi Nuh AS yang dengan perintah Allah SWT membuat perahu untuk menghadapi banjir bandang yang akan membinasakan banyak kaum tersesat dan membangkang pada Allah SWT. Pada saat banjir bah tiba melanda kaum ‘Ad, maka Allah mengabarkan pada semua gunung, bahwa ada gunung yang akan dijadikan tempat berlabuhnya perahu Nabi-Nya.

Semua gunung yang mendapati kabar tersebut sangat percaya dan sombong, bahwa mereka akan menjadi tempat berlabuh Nabi Nuh AS, akan tetapi gunung Judi yang lebih kecil ketimbang gunung yang lainnya tak sempat berpikir akan dijadikan tempat berlabuhnya perahu Nabi Allah itu. “siapa saya ini bisa dijadikan tempat berlabuh bagi Nabi Allah.” Sikapnya yang betul-betul tawadhu’ ternyata menarik perahu Nabi Nuh AS untuk berlabuh di gunung itu. Mungkin gunung lain mengaduh, tetapi begitulah Allah selalu berpihak pada yang hatinya dipadati dengan kerendahan hati.

Adalah gunung Tursina yang dikenal sebagai tempat dialog antara Nabi Musa AS dengan Allah SWT, dia berpikir, “siapa saya ini bisa dijadikan tempat berdialog Allah dengan hamba yang digelari Kalimullah?” Adapun gunung lainnya tatkala mendengar kabar tersebut, berkeyakinan bahwa ialah yang akan menjadi tempat dialog Nabi Musa AS dengan Allah SWT. Dan Allah memilih gunung yang menyediakan dirinya dengan spirit tawadhu’ sebagai tempat dialog antara Allah dan Nabi Musa AS.

Alkisah Nabi Yunus AS yang tenggelam ke laut, yang kemudian ditelan oleh ikan hiu. Anda tahu, bahwa ikan hiu tersebut, ternyata ikan yang paling tawadhu. Pada saat Allah mengabarkan tentang adanya hamba-Nya yang dimuliakan akan tenggelam ke laut dan akan ditangkap oleh ikan, maka seluruh ikan berlagak angkuh, merasa bahwa mereka yang sangat layak untuk dijadikan penjaga Nabi Allah tersebut. Kecuali ada satu ikan yang dengan kerendahan hati berkata, “siapa saya ini jika perutnya dijadikan tempat tinggalnya Nabi Allah?” ternyata ikan hiu yang amat rendah hati ini menjadi ikan yang perutnya bisa menjaga Nabi Yunus AS.

Hanya orang-orang mulia yang akan dipertemukan dengan yang mulia, dan kemuliaan seorang itu tercermin oleh spirit kerendahan hatinya. Sejak saat kita berusaha mengasah kerendahan hati kita, dengan berusaha menyingkap di hadapan diri kita sendiri perihal kehinaan dan kelemahan kita. Betapa kita hanyalah makhluk yang diadakan Allah, andaikan Allah tidak berkehendak maka kita tidak akan pernah ada. Jika keberadaan kita amatlah bergantung pada “kebijaksanaan” Allah, lantas apakah patut kita bersikap sebagai sosok yang sombong lagi membanggakan diri. Seberapa besarkah jasa kita, sehingga menjadi sosok yang patut berlaku sombong?

Jika Anda merenungi butiran pasir yang kecil, tidak memiliki arti apa-apa, tetapi karena dia berada dihempaskan oleh gelombang besar dan ditarik ke tengah dan palung laut, maka dia kemudian dikirimkan ke kerang untuk kemudian diproses menjadi mutiara. Pasir yang tak berarti apa-apa, ternyata menjelma sebagai barang yang sangat mahal setelah menjadi mutiara. Anda melihat batu karang yang kokoh berada di lautan, hanya tetap menjadi karang yang siap terus dihantam gelombang. Maka, kecilkan dirimu seperti kecilnya pasir, insya Allah Anda akan diproses menjadi mutiara bagi kehidupan ini.

Khalili Anwar, Penutur dari jalan Cahaya

3 komentar: