Diam-diam setiap orang ingin dirinya diketahui. Seakan
mendapatkan sensasi tersendiri tatkala dia menjadi maskot terkenal di hadapan
orang lain. Memang, masuk akal, kalau orang tidak mau menunjukkan kemampuannya
di hadapan orang lain, dia tak akan pernah mendapatkan penilaian.
Siapa yang terampil mempromosikan dirinya, justru akan
lebih mudah meraih pengakuan dan apresiasi dari orang lain. Menunjukkan
kemampuan sah-sah saja, agar kemampuan yang tersimpan padanya bisa menjelmakan
manfaat yang luas bagi orang lain. Hanya saja, tatkala orang terjebak
memamerkan dirinya, demi kebesaran,
keagungan, dan selalu meraih pujian dari orang lain, justru dia tidak akan
pernah bisa menumbuhkan jiwanya menjadi dewasa.
Kita sedang disuguhi media social yang bisa menyebarkan
dengan cepat citra yang ditunjukkan oleh kita. Walau tak jarang citra yang
dibangun bukan kesejatian dirinya, hanya berupa polesan palsu yang sepertinya
identik dengan kita. Mengapa orang yang suka pamer, diam-diam akan digerogoti
kesusahan? Karena dia sering tampil dengan bukan aslinya.
Yakinilah setiap orang menyukai keaslian, itu adalah
pantulan jiwa yang menyukai keaslian. Hadir dengan keaslian akan menghadirkan
ketenangan dan kebahagiaan bagi batin. Hanya saja, kita sering kali kita tidak
tampil sama pada saat sepi dan dalam kondisi ramai. Jika sholat sendirian,
mungkin kita memilih surat-surat pendek, sehingga bisa mempercepat sholat. Akan
tetapi, kalau bersama jamaah, kita akan memilih surat-surat panjang, diharapkan
akan menghadirkan kesan di hati orang lain, bahwa kita bisa menghafal
al-Qur’an.
Mengapa pribadi yang pamer tidak menemukan kebahagiaan?
Karena dia telah menggantungkan kebahagiaan pada penilaian orang lain. Jika
orang malah memberikan penilaian yang tak sesuai dengan diharapkan, dia akan
dihinggapi perasaan kecewa, dan jika diberikan penilaian yang baik, dia masih
kurang dengan pujian yang lebih dari itu. Makanya, orang pamer telah menunda
kebahagiaan, dan bahkan dia tak akan pernah bisa menyerap kebahagiaan sejati
dalam hidupnya.
Pamer ingin memproyeksikan dirinya sebagai yang sempurna,
sehingga orang memujinya. Jika pujian itu membuat orang bahagia, pertanyaan
selanjutnya mengapa banyak artis yang telah mencapai puncak popularitas,
hidupnya malah seperti dibelenggu rantai penderitaan? Ada seorang artis papan
atas yang telah berhasil menyihir jutaan bahkan miliaran manusia, dia terjatuh
pada narkoba. Mengapa jatuh
menggunakan barang haram itu? Pastinya karena dia belum menemukan kepuasan
dengan berbagai pujian yang didapatkan. Dia akan selalu tampil sempurna di
hadapan orang lain, kendati sejatinya jiwanya sendiri ingin tampil apa adanya.
Dia mengalami benturan ke dalam. Siapa yang bisa mencerap ketenangan tatkala
“pertempuran” di medan dirinya belum usai?
Selain manusia tak akan pernah bisa tampil sempurna
terus-menerus, mustinya di perjalanan ada pendatang baru yang akan meruntuhkan
popularitasnya. Mungkin kecerdasan melebihi dirinya. Suaranya lebih merdu
ketimbang dirinya. Kehadiran pendatang baru akan membikin kondisi dirinya
seakan-akan hancur. Bukankah pasar memiliki trend setiap saat? Dulu ada seorang
artis yang sangat dieluk-elukkan karena goyangan yang memikat, lantas datang
generasi baru yang lebih mempesona lagi goyangannya, sudah hilang semua
kebanggaan yang meluapi emosinya, bahkan berubah menjadi petaka yang
bertubi-tubi.
Dari situ bisa dirajut simpulan, orang tak akan
pernah bisa menenun kebahagiaan dengan pamer. Bahkan andaikan orang memanen
pujian oleh sebab pamer tersebut, pada saatnya tiba kehangatan pujian akan
membakar dirinya bagaikan neraka. Bukankah tak jarang orang yang pada mulanya
dipuja dan disanjung, lalu ditendang oleh caci-maki?
Sifat pamer ternyata tidak hanya mewabah di
kalangan artis, atau ibu-ibu yang memerkan perhiasan yang melekat di tubuhnya.
Bahkan anak muda, agamawan, dan tokoh-tokoh yang ingin dikenal sering
memposting fotonya di media sosial. Setiap hari, setiap jam, bahkan setiap
menit ingin disebar agar semua orang mengetahuinya.
Sifat pamer—sudah mafhum—membuat amal seorang tak
diterima oleh Allah, kendati kelihatannya amalnya sangat baik, tetapi buruk di
hadapan Allah. Bukankah Allah hanya menilai dimensi batin dari amal tersebut.
Walau dhahirnya sepertinya baik, tetapi batinnya jelek, justru akan membuat
amal itu sangat jelek.
Perlu ditancapkan di hati, Allah tak membutuhkan
amalmu, tetapi membutuhkan hati yang bersih. Bahkan sejatinya, semua kewajiban
dan kesunnahan disematkan pada manusia tidak ada tujuannya kecuali untuk membersihkan
hati. Memang, hanya hati bersih yang layak diterima oleh Yang Maha Suci. Adapun
amal yang disertai riya’, mengadung kekotoran. Mungkinkah Allah mau menampani
amal yang kotor. Allah bukan pengemis yang menunggu amalmu. Allah tak akan
pernah berkekurangan walau Anda tak sedikit pun beramal pada-Nya. Pun Allah tak
akan bertambah kemuliaan-Nya lantaran amal yang Anda suguhkan pada-Nya. Sejatinya
amal yang diperintahkan padamu untuk kebaikanmu sendiri. Jika Anda berbuat
baik, kebaikan akan kembali padamu dalam bentuk kebahagiaan batin. Dan perbuatan
buruk akan memantulkan keburukan di hati berupa penderitaan batin.
Jika Anda hidup tanpa pamer—tulus—dalam menjalankan
aktivitas ritual atau sosial, justru Anda akan menemukan ketenangan seketika
itu pula. Pamer dan riya’ sepertinya membuat Anda meraih kebanggaan lewat amal
yang Anda lakukan. Padahal dengan pamer, Anda telah membajak kebahagiaan. Anda harus
menunggu kebahagiaan setelah apa yang menjadi pamrih tiba. Tatkala pamrih tak tercapai,
justru Anda sedang memasung dirimu dalam penderitaan. Maukah Anda senantiasa
dibayangi oleh kesenangan semu yang diproyeksi oleh pikiran Anda sendiri?
Setelah Anda mengenali bahaya pamer atau riya’, tak
ada sikap lain yang perlu dipilih saat Anda beramal kecuali ikhlas. Ikhlas artinya
kosong dari kepentingan apapun kecuali karena dan untuk Allah SWT. Kalau hidupmu,
amalmu, dan ibadahmu dipersembahkan sepenuhnya pada Allah, justru Anda akan
selalu mencerap kebahagiaan dan kepuasan batin setiap momen. Ikhlas sendiri
hanya bisa dirasakan oleh orang yang telah lepas kebergantungannya pada
makhluk. Hanya bergantung kokoh pada Allah SWT.
Sepanjang hati masih terpaut pada makhluk, orang
tak akan pernah bisa merasakan lezatnya ikhlas. Ikhlas sebatas kata dan
retorika tanpa makna yang menerangi batin. Tawakkal menjadikan Allah sebagai
tambatan satu-satunya. Kalau hatimu menambatkan diri pada Allah maka hatimu
akan kuat, tak mudah diterjang oleh masalah apapun. Adapun dengan ikhlas, Anda berhasil
memproduksi makna indah dalam setiap amal yang Anda lakukan.
Hanya dengan ikhlas, amal perbuatanmu menjadi
bersih. Juga bergizi. Kalau bergizi kendati sedikit akan memberikan kepuasan
bagi batin. Apalagi banyak dan bergizi.
Khalili Anwar, Penutur dari Jalan Cahaya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar