Minggu, 06 September 2015

PAMER


Diam-diam setiap orang ingin dirinya diketahui. Seakan mendapatkan sensasi tersendiri tatkala dia menjadi maskot terkenal di hadapan orang lain. Memang, masuk akal, kalau orang tidak mau menunjukkan kemampuannya di hadapan orang lain, dia tak akan pernah mendapatkan penilaian.

Siapa yang terampil mempromosikan dirinya, justru akan lebih mudah meraih pengakuan dan apresiasi dari orang lain. Menunjukkan kemampuan sah-sah saja, agar kemampuan yang tersimpan padanya bisa menjelmakan manfaat yang luas bagi orang lain. Hanya saja, tatkala orang terjebak memamerkan dirinya, demi kebesaran, keagungan, dan selalu meraih pujian dari orang lain, justru dia tidak akan pernah bisa menumbuhkan jiwanya menjadi dewasa.

Kita sedang disuguhi media social yang bisa menyebarkan dengan cepat citra yang ditunjukkan oleh kita. Walau tak jarang citra yang dibangun bukan kesejatian dirinya, hanya berupa polesan palsu yang sepertinya identik dengan kita. Mengapa orang yang suka pamer, diam-diam akan digerogoti kesusahan? Karena dia sering tampil dengan bukan aslinya.

Yakinilah setiap orang menyukai keaslian, itu adalah pantulan jiwa yang menyukai keaslian. Hadir dengan keaslian akan menghadirkan ketenangan dan kebahagiaan bagi batin. Hanya saja, kita sering kali kita tidak tampil sama pada saat sepi dan dalam kondisi ramai. Jika sholat sendirian, mungkin kita memilih surat-surat pendek, sehingga bisa mempercepat sholat. Akan tetapi, kalau bersama jamaah, kita akan memilih surat-surat panjang, diharapkan akan menghadirkan kesan di hati orang lain, bahwa kita bisa menghafal al-Qur’an.

Mengapa pribadi yang pamer tidak menemukan kebahagiaan? Karena dia telah menggantungkan kebahagiaan pada penilaian orang lain. Jika orang malah memberikan penilaian yang tak sesuai dengan diharapkan, dia akan dihinggapi perasaan kecewa, dan jika diberikan penilaian yang baik, dia masih kurang dengan pujian yang lebih dari itu. Makanya, orang pamer telah menunda kebahagiaan, dan bahkan dia tak akan pernah bisa menyerap kebahagiaan sejati dalam hidupnya.

Pamer ingin memproyeksikan dirinya sebagai yang sempurna, sehingga orang memujinya. Jika pujian itu membuat orang bahagia, pertanyaan selanjutnya mengapa banyak artis yang telah mencapai puncak popularitas, hidupnya malah seperti dibelenggu rantai penderitaan? Ada seorang artis papan atas yang telah berhasil menyihir jutaan bahkan miliaran manusia, dia terjatuh pada narkoba. Mengapa jatuh menggunakan barang haram itu? Pastinya karena dia belum menemukan kepuasan dengan berbagai pujian yang didapatkan. Dia akan selalu tampil sempurna di hadapan orang lain, kendati sejatinya jiwanya sendiri ingin tampil apa adanya. Dia mengalami benturan ke dalam. Siapa yang bisa mencerap ketenangan tatkala “pertempuran” di medan dirinya belum usai?
Selain manusia tak akan pernah bisa tampil sempurna terus-menerus, mustinya di perjalanan ada pendatang baru yang akan meruntuhkan popularitasnya. Mungkin kecerdasan melebihi dirinya. Suaranya lebih merdu ketimbang dirinya. Kehadiran pendatang baru akan membikin kondisi dirinya seakan-akan hancur. Bukankah pasar memiliki trend setiap saat? Dulu ada seorang artis yang sangat dieluk-elukkan karena goyangan yang memikat, lantas datang generasi baru yang lebih mempesona lagi goyangannya, sudah hilang semua kebanggaan yang meluapi emosinya, bahkan berubah menjadi petaka yang bertubi-tubi.

Dari situ bisa dirajut simpulan, orang tak akan pernah bisa menenun kebahagiaan dengan pamer. Bahkan andaikan orang memanen pujian oleh sebab pamer tersebut, pada saatnya tiba kehangatan pujian akan membakar dirinya bagaikan neraka. Bukankah tak jarang orang yang pada mulanya dipuja dan disanjung, lalu ditendang oleh caci-maki?
Sifat pamer ternyata tidak hanya mewabah di kalangan artis, atau ibu-ibu yang memerkan perhiasan yang melekat di tubuhnya. Bahkan anak muda, agamawan, dan tokoh-tokoh yang ingin dikenal sering memposting fotonya di media sosial. Setiap hari, setiap jam, bahkan setiap menit ingin disebar agar semua orang mengetahuinya.

Sifat pamer—sudah mafhum—membuat amal seorang tak diterima oleh Allah, kendati kelihatannya amalnya sangat baik, tetapi buruk di hadapan Allah. Bukankah Allah hanya menilai dimensi batin dari amal tersebut. Walau dhahirnya sepertinya baik, tetapi batinnya jelek, justru akan membuat amal itu sangat jelek.

Perlu ditancapkan di hati, Allah tak membutuhkan amalmu, tetapi membutuhkan hati yang bersih. Bahkan sejatinya, semua kewajiban dan kesunnahan disematkan pada manusia tidak ada tujuannya kecuali untuk membersihkan hati. Memang, hanya hati bersih yang layak diterima oleh Yang Maha Suci. Adapun amal yang disertai riya’, mengadung kekotoran. Mungkinkah Allah mau menampani amal yang kotor. Allah bukan pengemis yang menunggu amalmu. Allah tak akan pernah berkekurangan walau Anda tak sedikit pun beramal pada-Nya. Pun Allah tak akan bertambah kemuliaan-Nya lantaran amal yang Anda suguhkan pada-Nya. Sejatinya amal yang diperintahkan padamu untuk kebaikanmu sendiri. Jika Anda berbuat baik, kebaikan akan kembali padamu dalam bentuk kebahagiaan batin. Dan perbuatan buruk akan memantulkan keburukan di hati berupa penderitaan batin.

Jika Anda hidup tanpa pamer—tulus—dalam menjalankan aktivitas ritual atau sosial, justru Anda akan menemukan ketenangan seketika itu pula. Pamer dan riya’ sepertinya membuat Anda meraih kebanggaan lewat amal yang Anda lakukan. Padahal dengan pamer, Anda telah membajak kebahagiaan. Anda harus menunggu kebahagiaan setelah apa yang menjadi pamrih tiba. Tatkala pamrih tak tercapai, justru Anda sedang memasung dirimu dalam penderitaan. Maukah Anda senantiasa dibayangi oleh kesenangan semu yang diproyeksi oleh pikiran Anda sendiri?

Setelah Anda mengenali bahaya pamer atau riya’, tak ada sikap lain yang perlu dipilih saat Anda beramal kecuali ikhlas. Ikhlas artinya kosong dari kepentingan apapun kecuali karena dan untuk Allah SWT. Kalau hidupmu, amalmu, dan ibadahmu dipersembahkan sepenuhnya pada Allah, justru Anda akan selalu mencerap kebahagiaan dan kepuasan batin setiap momen. Ikhlas sendiri hanya bisa dirasakan oleh orang yang telah lepas kebergantungannya pada makhluk. Hanya bergantung kokoh pada Allah SWT.
Sepanjang hati masih terpaut pada makhluk, orang tak akan pernah bisa merasakan lezatnya ikhlas. Ikhlas sebatas kata dan retorika tanpa makna yang menerangi batin. Tawakkal menjadikan Allah sebagai tambatan satu-satunya. Kalau hatimu menambatkan diri pada Allah maka hatimu akan kuat, tak mudah diterjang oleh masalah apapun. Adapun dengan ikhlas, Anda berhasil memproduksi makna indah dalam setiap amal yang Anda lakukan.

Hanya dengan ikhlas, amal perbuatanmu menjadi bersih. Juga bergizi. Kalau bergizi kendati sedikit akan memberikan kepuasan bagi batin. Apalagi banyak dan bergizi.

Khalili Anwar, Penutur dari Jalan Cahaya


Tidak ada komentar:

Posting Komentar