Minggu, 27 Maret 2011

BENARKAH KITA TENGAH MENUHANKAN AGAMA?

Agama serupa gudang yang menyimpan kebajikan. Ya, setiap agama mengajarkan pemeluknya untuk berbuat bajik di dalam hidupnya. Kasih, cinta, dan kelembutan menjadi pengajaran agung yang disajikan agama. Agama terasa begitu sakral, suci, kudus, karenanya energi keburukan tak boleh menyelubungi agama.

Tiada cela yang bisa mengendus agama, karena agama sendiri telah mengalami kemurnian. Kendati demikian, agama bukanlah tujuan yang harus diagung-agungkan, sehingga kita terjebak menuhankan agama. Agama sebagai kanal yang disediakan Tuhan agar hamba-Nya kembali pada-Nya dengan keadaan murni berbusanakan cinta.

Kita tidak berhenti di agama sebagai sebuah istilah dan jalan, namun apa yang menjadi maksud agung dibalik kehadiran agama? Betapa sering orang cekcok karena perbedaan cara pandang dalam agama. Agama hadir tidak sebatas disadari sebagai ikon ruhani, tetapi menjadi medan kudus yang harus dialami dan direguk saripatinya.

Agama menjadi alat yang menunjukkan jalan Anda menuju Tuhan Yang Maha Agung. Serupa kendaraan, agama digunakan saat orang berjalan menuju alamat yang dituju. Mungkinkah orang masih menggunakan kendaraan, apalagi bertempat tinggal di kendaraan tersebut, kala sudah sampai pada tujuan. Karenanya saat orang berada di akhirat, ibadah sebagai jalan menuju Tuhan sudah tidak ada lagi. Yang ada sekadar medan pertanggungjawaban akan amal perbuatan manusia saat di dunia. Untuk itu, kita tidak perlu mengklaim apik dan tidak apiknya agama, tetapi apa capaian yang direguk dari agama? Adakah perubahan perilaku? Sudahkah sirna kezaliman di dalam kehidupan kita? Andaikan kezaliman dan keingkaran masih sering menjejali kepribadian kita, berarti cahaya agama belum bersinar di hati kita.

Kita menemukan sosok manusia yang bertengkar soal agama, bahkan berani melakukan kekerasan demi agama. Dia berpikir bahwa kekerasan yang dilatari agama bisa membuat wajah agama kian anggun dan memesona? Malah dengan perilaku kekerasan yang dipraktikkan para pemeluknya membuat agama kian menakutkan, sehingga orang semakin apati dengan agama. Agama itu indah, kudus, anggun, dan menyejukkan hati, kalau ada orang tidak mendapatkan manfaat apa-apa dari agama, bahkan membuat kesan agama itu hanya sumber keangkuhan, maka agama tak lagi hadir sebagai solusi jitu bagi umat.

Tak jarang, kelompok pencari masih penasaran—di tengah matinya ruh agama dalam kehidupan—mungkinkah ada agama lain yang bisa memandu umatnya menuju jalan kebahagiaan yang hakiki. Kini, banyak orang menghias agama hanya sebatas permukaan semata-mata, sehingga mudah berubah-ubah. Dia tidak berusaha menguak agama di kandungan terdalamnya, yang disana ada spirit cinta, kasih, dan kelembutan. Semua orang akan menemukan keteduhan di dalam naungan pribadi yang telah disepuh agama. Kini, kita menghadapi sebuah era paradoksal, semakin banyak orang yang bisa menghafal hadist dan al-Qur’an, hanya saja kita menemukan sedikit sekali orang yang hatinya disepuh hadist dan al-Qur’an agar bisa menjadi tempat berlindung orang yang terjerat kesengsaraan batin.

Munculnya aliran kepercayaan baru yang menyempal dari Islam, serupa dengan Ahmadiyah versi Qodian, Wahidiyah, Bestari berikut aliran nyentrik lainnya, hanya sebagai demonstrasi rasa penasaran yang menyelinap di hati mereka, mungkinkah ada ajaran selain Islam yang bisa memberikan solusi efektif di akhir zaman. Mengapa mereka disusupi distrust terhadap Islam? Lantaran, para pemeluk Islam, terlebih orang yang dipercaya menjaga nilai-nilai agama, ternyata tidak memiliki komitmen kuat untuk menegakkan agama dalam kehidupan.

Tak jarang, kita temukan kyai, alih-alih komitmen terhadap nilai-nilai, mereka cenderung komitmen terhadap materi duniawi. Orang bisa mereguk kedamaian manakala telah berhasil melepaskan diri dari keterikatan duniawi? Sementara kyai yang begitu terikat dengan kehidupan duniawi yang semu ini, justru dia keluar dari gerbang kedamaian menuju gerbang kesengsaraan. Kalau demikian, bagaimana orang yang tidak digenangi kedamaian di hatinya bisa berbagi kedamaian pada kemanusiaan?

Andaikan merebak aliran baru, kyai tidak hanya berteriak keras menentang ajaran tersebut, tetapi harus bisa menggali akar permasalahan meruyaknya serbaneka aliran tersebut. Boleh jadi, kharisma ulama kini telah memudar, lantaran memiliki spirit serupa pebisnis dan pengusaha yang mengarahkan hidupnya untuk menangguk uang sebanyak-banyaknya.

Selain itu agama hanya menjadi simbol-simbol luaran, belum menghunjam sebagai spirit agung dalam setiap jiwa manusia। Kita terpesona dengan cangkang agama, dan menganggap setiap cangkang mewakili mutiara. Padahal, tidak setiap cangkang berisikan mutiara. Ketika agama sudah lepas dari ruhnya, berupa cinta, niscaya agama tidak kembali memiliki kekuatan.

Untuk itu, agama tak hanya mengandung syariat, tetapi juga hakikat. Kini, orang repot mengurus syariat agama, tetapi tidak berusaha menyelam kemurnian agama yang menghidupkan. Apa kiranya pesan yang terliput dalam shalat, sudahkah kita merealisasikan pesan murni yang terkandung dalam shalat berupa syukur? Sudahkah kita berlatih mengekspresikan syukur di setiap berkunjungnya realitas?

Demi bisa menguatkan kembali spirit agama, kita dituntut menghidupkan hakikat agama। Karena itulah, ruh agama। Ruh agama itu mewujud sebagai akhlak. Orang yang telah mencapai hakikat agama, perlahan-lahan akan mengalami pertumbuhan pesat, yang kemudian melahirkan buah, yakni akhlak yang mulia. Jika buah agama berupa akhlak telah menghias kehidupan pribadi mukmin, insya Allah setiap perilaku yang ditampilkan hanya kelembutan dan memesona setiap orang. Hanya orang-orang berbuah yang gampang memesona orang untuk mengikuti jalan yang ditempuhnya. Nabi pun menebarkan agama tak hanya dengan retorika belaka, dikombinasi dengan akhlak yang luhur. Betapa banyak orang yang terpikat masuk Islam lantaran kemuliaan dan keagungan akhlak yang membalut pribadi Nabi Muhammad Saw. Insya Allah.


Khalili Anwar, Penutur dari Jalan Cahaya

Tidak ada komentar:

Posting Komentar