Minggu, 27 Maret 2011

KAFIR DALAM CINTA

Manusia telah dianugerahi cinta hakiki di lubuk hatinya. Cinta itulah yang mengilhami manusia menuju istana kebahagiaan. Namun, kendati jiwa telah lekat dengan cinta, kebanyakan manusia salah tafsir tentang cinta, karenanya mereka sering dikendalikan oleh hawa nafsu. Yang subur adalah cinta yang menyeruak dari lubang hawa nafsu, bukan hati nurani. Tak ayal, cinta yang mengejawantah bukan cinta yang turut membuka gerbang kebahagiaan, malah mencaploknya ke dataran penderitaan.

Karena salah merespons seruan cinta yang bergema dari jiwa, mereka sering terjebak pada cinta yang bermula dari tarikan eksternal. Setiap keindahan, kenyamanan, dan kesenangan yang bersifat eksternal dipandang sebagai suatu yang harus dicintai. Mereka men-surfing kebahagiaan di tataran eksternal. Bagaimana mungkin orang bisa menggapai kebahagiaan lewat kondisi eksternal, bukankah di tataran eksternal selalu terbatas, membosankan, dan fana’. Memang, kalau orang melulu dipicu oleh ketertarikan eksternal, ia tidak bisa mereguk kebahagiaan abadi dan hakiki.

Betapa sering kita temukan orang yang mencintai harta benda, sehingga dia mengorbankan seluruh waktu dan tenaga untuk pencapaian harta benda itu. Kemewahan dan kemegahan yang dijanjikan harta benda, telah membuatnya lalai, dan tak tahu arah kemana perahu kehidupannya harusnya berlayar. Dia terus berputar-putar di tengah lautan ketidakpastian, dan digerogoti perasaan kurang yang terus-menerus. Bayangkan, 24 jam terasa kurang baginya untuk memburu harta, tak ayal seluruh waktu dihabiskan untuk mendulang harta yang melimpah, walau pada hakikatnya semakin mengempis dan mengurang.

Saya pernah bertanya pada seorang penjaga warung. Warung itu dijadikan pusat cangkruk anak muda. Memang, warung itu tidak pernah sepi dari remaja yang suka kongkow-kongkow. Dia selalu disibukkan dengan pengunjung yang datang. Saat sepi, saya mampir ke tempat tersebut, sembari memesan secangkir kopi.

“Bagaimana keadaan warungnya, rame ya mas?” tanyaku, “Alhamdulillah, tidak pernah sepi dari pengunjung, kendati tidak berdesak-desakan,”balasnya santun. “warung ini dibuka selama berapa jam sehari?”kembali kubertanya.
“24 jam mas, non stop,” katanya dengan gaya santai anak muda.
“emang yang jaga berapa orang mas?” selaku.
“ada 2 orang mas, jadi gantian pagi dan sore,” ucapnya.
“Bagaimana dengan ibadahnya, apa ada kesempatan?” tanyaku.
“Waduh mas, waktunya tidak cukup untuk beribadah,” katanya dengan dahi mengerut, walau terlihat tanpa beban.
“Mas, kita di dunia hanya sementara mas, hanya numpang ngombe, selebihnya kita di akhirat. Imbangilah mas investasi dunia dan akhirat,” kataku.
“Insya Allah Mas,”tanggapnya.

Kala otak dan hati telah tertembus virus duniawi, membikin orang lupa pada persoalan ukhrawi. Mereka melakukan itu, karena memandang duniawi lebih penting ketimbang ukhrawi. Bukankah duniawi sebagai tuntutan ril di hari ini. Semakin nampak peran kedudukan duniawi saat ini. Cinta akan menggerakkan orang padanya. Ketika orang mencintai dunia, maka dia akan selalu digerakkan untuk menambang sebanyak-banyaknya kekayaan duniawi.

24 jam yang disediakan Tuhan dirasa kurang bagi orang yang hanya tertuju pada duit dan duit. Betapa sering orang tidak bisa menikmati harta benda yang telah berada di genggaman. Dia hanya menyimpan seluruh perolehan harta itu di bank, sembari terus memburu harta sebanyak-banyaknya. Padahal tiada kenikmatan yang dianugerahkan pada manusia kecuali untuk dinikmati. Kenikmatan itu harusnya dinikmati sebagai kebutuhan sehari-hari, dinikmati untuk menumbuhkan kelembutan hati dengan memberikannya pada sesama. Kala orang telah terjebak dalam mencintai selain Allah, pasti dia tidak bisa mereguk kebahagiaan yang hakiki. Semuanya hanya sebuah ilusi yang karenanya ia gampang digerogoti perasaan bosan.
Kini, dengan uang yang dimiliki dia bisa membeli mobil yang paling mewah, tetapi berapa lama dia bisa menikmati keindahan mobil tersebut? Setelah lama dia menggunakan mobil tersebut, diam-diam menyembul rasa bosan, apalagi jika meluncur tipe mobil baru yang lebih mewah serta menawarkan kenyamanan super।

Jadi, orang tidak akan pernah menemukan kebahagiaan yang hakiki dan abadi pada suatu yang semu dan sementara। Maka hati ini sejatinya hanya mencintai satu, yakni Allah SWT. Sementara kecintaan pada dimensi lain sebagai ekspresi atau refleksi dari rasa cinta pada Allah. Itu berarti, mencintai dunia tidak terlarang, sepanjang cinta dunia itu didasari rasa cinta yang kuat pada Allah SWT. Bercintalah karena Allah, niscaya Anda tidak pernah disergap perasaan kecewa setiap saat.

Andaikan orang yang kau cintai tidak berperilaku seperti yang Anda harapkan, ketenangan tidak pernah terungkit dari hati Anda. Karena ketenangan Anda disandarkan pada Allah SWT. Ingat perasaan cinta pada sesuatu selain Allah, akan membawanya pada keadaan yang selalu dirundung perasaan cemas. Cemas, jika yang dicintai hilang dan lepas darinya. Kita terlalu mencintai harta, diam-diam mengalir perasaan cemas, bagaimana kalau hartanya itu lepas bahkan hilang. Kendati harta itu telah diamankan di bank, pasti sedikit ada kecemasan, bagaimana kalau bank itu mengalami pailit, sehingga tidak bisa memenuhi hak-hak nasabah dengan baik. Namun, berbeda orang yang mencintai sesuatu karena Allah, maka dia menyerahkan apa yang dicintai pada Allah, menyerahkan penjagaannya pada Allah. Bukankah benteng Allah begitu kokoh untuk menjaga setiap apa yang hendak dijaga.

Jadikan Allah sebagai poros kecintaanmu, dan perasaan cintamu yang lain tidak boleh lepas dari poros ini agar kau selalu selamat dalam bercinta. Ingatlah, kalau kau benar-benar mencintai Allah, maka kau selalu menyatu dengan kehendak Allah. Andaikan Anda lepas dari apa yang kau cintai, kau tidak pernah mengurangi stok cintamu pada Allah. Karena Allah melakukan seperti itu juga dilandasi cinta, hanya saja saking lembutnya rahasia dibalik perbuatan itu Anda belum mampu meradar makna cinta dibalik perbuatan tersebut. Pandanglah setiap realitas dengan cinta, maka rahasia-rahasia suci dari Allah akan mengalir dibalik realitas itu, sehingga Anda bisa terus menangguk air kearifan dimana saja. Insya Allah.

Khalili Anwar, Penutur dari Jalan Cahaya

Tidak ada komentar:

Posting Komentar