Kamis, 15 November 2012

INILAH THE LIFE UNIVERSITY




Kita dilahirkan ke dunia sebagai peserta ujian, entah kita berhasil melampaui beragam materi ujian atau tidak. Jika Anda berhasil melampaui beragam ujian yang telah Allah bentangkan di dunia ini, maka Anda berhak menyandang sosok yang sempurna. Artinya, jika Anda berhasil melampaui beragam materi ujian tersebut maka Anda bisa menggapai peringkat kemuliaan melebihi malaikat, tetapi kalau Anda gagal menggarap ujian tersebut, derajatmu bisa turun lebih rendah ketimbang binatang.
 
Sadarilah saudaraku, Allah menciptakan Anda tidak main-main, namun dilandasi tujuan yang nyata. Karenanya, seketika manusia terlahir ke dunia langsung menyandang gelar khalifah. Gelar khalifah janganlah dijadikan ajang kebanggaan bagi diri, karena gelar ini menyimpan ujian yang luar biasa, yang menuntut pertanggung-jawaban dua peran sekaligus, yakni sebagai hamba dan khalifah Allah. Di sisi lain, bagaimana Anda mengukuhkan hubungan vertical dengan Allah, berikut menyemen hubungan horizontal dengan sesama manusia dan makhluk lainnya.
 
Kalau menggapai kedigdayaan di dunia, orang harus bekerja keras dan menyiapkan dengan tenaga yang ekstra, bagaimana orang bisa menggapai kesempurnaan di akhirat, tentu dia harus melewati berbagai ujian dari Allah untuk mengukur keimanan pada-Nya. Janganlah Anda menganggap sebagai orang beriman kalau belum pernah merespons dengan positif aneka ujian yang dialami. Apalagi sering mengeluhkan ujian yang menghantam Anda. Mengeluh bukan karakter sikap orang beriman, tetapi sikap orang kafir, yang selalu terhalang dari rahmat Allah.
 
Bagaimana mungkin orang bisa menyerap kebahagiaan, sementara dia sendiri membentuk penghalang yang tebal untuk bisa menyentuh cahaya kebahagiaan. Penghalang itu adalah keluhan tanpa henti. Padahal, dia sadar dia tidak akan bisa meraup kebahagiaan lewat mengeluh, malah yang diperoleh adalah kegelapan batin.
 
Ujian menjadi suatu keniscayaan yang bakal dialami oleh manusia. Bagaimana manusia mengalami kenaikan tingkat tanpa sebuah ujian. Dan orang-orang tidak pernah sepi dari ujian, bahkan mereka selalu berlangganan ujian, sementara hati mereka ditata dengan spirit kelembutan dalam menghadapi aneka persoalan yang menghantamnya. Semakin tinggi peringkat kemuliaan seseorang, maka semakin tinggi kualitas ujian yang dihadirkan padanya.
 
Berkait dengan ujian, manusia mendapatkan dua ujian, yakni ujian normative dan ujian empirik. Seperti halnya pelajar, dia akan mendapatkan ujian tertulis dan ujian praktikum—praktik lapangan. Marilah kita urai dua ujian penting yang bakal dialami oleh manusia, bagaimana kiranya cara efektif untuk meresponsnya?

Pertama, ujian normative. Ujian berkait kelindan dengan perintah-larangan. Kalau Anda ingin merasakan kebahagiaan dalam hidup ini, maka Anda tidak boleh berselisih dengan perintah-perintah Allah. Seperti halnya, orang yang hendak membeli sepeda motor, maka pabrik sepeda motor itu amat paham bagaimana cara kerja dan penggunaan sepeda motor secara standard, sehingga tidak mudah rusak. Pun yang paling paham perihal kita adalah Pencipta kita, yakni Allah SWT. Jika Anda selalu selaras dengan perintah Allah, berikut menjauhi larangan-Nya, insya Allah Anda akan merasakan kebahagiaan.
 
Karena itu, berkait dengan perintah-larangan ini, Anda harus bersikap patuh dan tulus ikhlas. Kepatuhan yang disertai ketulusan tatkala merespons perintah-larangan berperan melahirkan kebahagiaan di hati kita. Kepatuhan yang tulus ikhlas itu akan melahirkan takwa, bukankah dalam ketakwaan manusia akan bisa meraih keberuntungan dan kebahagiaan.
 
Kepatuhan pada perintah dan larangan Allah perlu disertai spirit muhasabah, mungkinkah ada amal ibadah yang masih kurang sempurna dipersembahkan pada Allah. Mungkinkah shalat, puasa, atau sedakah kita masih bolong. Banyak perintah-larangan Allah yang kerapkali diabaikan dan diremehkan. Walau kita telah mengerjakan ibadah dengan benar, namun sudahkah ibadah kita disertai ketulusan. Bukankah Allah hanya menerima amal yang tulus? Jika Anda berhasil menegakkan ibadah dengan kepatuhan dan ketulusan, Anda telah dilahirkan sebagai sosok yang bertakwa pada Allah. Sosok yang bertakwa akan bisa memeroleh kebahagiaan setiap saat, lantaran telah mampu menjalin hubungan yang positif dan efektif dengan Allah dan manusia.
 
Kedua, ujian empirik. Banyak manusia yang sukses menempuh ujian normatif, tetapi gagal menghadapi ujian empirik. Mengapa demikian? Kalau ujian normatif yang sudah pasti, tetapi ujian empiric penuh ketidakpastian, bahkan tak terduga sebelumnya. Bayangkan, ada orang yang pada mulanya tenang, dikitari oleh kekayaan melimpah, berada dalam kemakmuran, tiba-tiba seluruh kekayaannya hangus ditelan dalam waktu yang sangat cepat. Ada orang yang tak disangka—karena ditemukan keluarganya adem-ayem, tenteram, dan sakinah—tiba-tiba meledak pertengkaran yang berujung pada perceraian. Lantas bagaimana menyikapi kenyataan yang tiba-tiba menghampiri kita? Bukankan realitas itu di luar rencana kita? Kalau ibadah mahdah kita mengikuti waktu, tetapi ibadah sosial ini sudah yang kadang di luar perencanaan kita. Siapa yang berhasil menyikapi dengan cara terbaik apa yang tidak direncanakan, insya Allah dia akan mendapatkan kemuliaan di sisi Allah.
 
Sikap sebagai adalah respons spontan atas apa yang terjadi. Sejalan dengan sabda Rasulullah Muhammad Saw, “Sabar terlihat pada pukulan pertama.” Kalau ada orang yang misalnya, difitnah lalu kemudian balas memfitnah orang tersebut, begitulah kualitas sikap orang tersebut, kendati pada akhirnya dia mengakui kesalahan yang dilakukan. Kualitas manusia dilihat ketika berada dalam kondisi abnormal. Nelayan yang terampil tidak bisa diukur pada saat gelombang dalam kondisi tenang, tetapi bisa dilihat ketika gelombang dalam kondisi turbulensi. Dia masih mampu berpikir tenang, walau sedang berada dalam kondisi crowded.

Kita bisa menjejaki sebuah kisah dimana pada saat itu ada seorang wali sedang menumpangi sebuah kapal. Kapal yang ditumpangi hampir saja oleng dan karam saking besarnya gelombang yang menghantamnya. Seluruh penumpang kapal tersebut teriak histeris, tetapi sang ulama ini terlihat tenang dan damai. Beliau tenang dalam tidurnya, sembari beliau mendapati mimpi untuk membaca shalawat munjiyat. Maka dibacalah shalawat munjiyat, walhasil keadaan kembali normal.
 
Yang perlu kita fokus dari kejadian tersebut bukan perihal berkat shalawat munjiyat tersebut yang membuat kondisi kapal kembali tenang, tetapi sikap ulama yang amat tenang di saat badai gelombang yang dahsyat. Dari situ, kita bisa melihat kualitas manusia.
 
Kunci sukses untuk menghadapi realitas yang kerap di luar dugaan kita adalah ridha. Dalam kacamata ridha, Anda akan bisa meneropong semua realitas begitu indah. Ya, orang yang ridha telah berhasil melihat realitas apa adanya, tidak lagi tertuju pada bungkus realitas tersebut. Sikap batin seperti ini ditaburi spirit doa, “Ya Allah perlihatkan yang benar sebagai mana adanya.” Padahal tidak ada dibalik setiap realitas itu kecuali Yang Maha Benar, Allah SWT. Bagaimana kau tidak bersikap ridha dengan seluruh realitas yang disana ada Dia? Karena Dia adalah kebaikan mutlak dan full cinta. Dia menyuguhkan realitas di hadapan Anda dengan cinta, adakah yang keliru dari yang dicintai?
 
Kalau begitu ukuran kesuksesan orang dalam menghadapi realitas yang terus berubah ini adalah berserah diri yang dicerminkan dari sikap ridha pada seluruh realitas yang menghampiri dirinya, entah baik atau buruk. Karena baik dan buruk itu hanya menurut pandangan manusia, adapun apapun yang datang dari Allah hanya kebaikan semata-mata.
 
Jika manusia memeroleh penderitaan, karena kesalahan menafsirkan realitas. Dia mempersepsi realitas adalah buruk semata-mata. Kalau orang mempersepsi realitas itu buruk, maka yang didapatinya keburukan, berbentuk penderitaan di dalam batin. Orang akan memeroleh apa yang disangkanya, dan ketahuilah siapa yang menyangka realitas itu berarti menyangka Allah. Karena dibalik realitas itu adalah Allah. Sepertinya dibalik lukisan itu adalah sifat pelukis. Kalau Anda mencela realitas, berarti Anda mencela pencipta realitas itu sendiri, seperti halnya siapa yang mencela lukisan berarti mencela pelukisnya. Tetapi, kalau Anda ridha dengan segenap realitas yang menghampirimu, berarti kau menerima Allah secara utuh. Siapa yang menerima Allah secara utuh, dia layak menggapai keridhaan Allah, yang keridhaan Allah itu lebih agung daripada surga.

Jika hidup ini sebagai universitas yang di dalamnya berhimpun aneka ujian, baik dari aspek materi atau aspek empirik, tentu saja bagi yang berhasil melampaui ujian itu dengan gemilang berhak memeroleh gelar prestesius. Orang yang berhasil meraih pretasi dahsyat kedua-duanya berhak memandang Allah, karena mereka telah bersifat dengan sifat Allah.
 
Karena itu, inilah saatnya Anda berlomba-lomba untuk mengisi kebaikan dari waktu ke waktu, dan sadarilah bahwa setiap saat Allah mencatat sikap yang melintas dalam hati Anda, pada saatnya nanti semuanya akan diperhitungkan untuk mengukur kelayakan Anda di hadapan Allah. Insya Allah.

Khalili Anwar, Penutur dari Jalan Cahaya 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar