Minggu, 18 November 2012

MEMBELI KEBAHAGIAAN


Kita telah berada dalam zaman instan. Makanan instan menjadi menu harian anak muda, orang bisa meraih kakayaan secara instan, bisa mendongkrak popularitas dengan instan, memeroleh jabatan prestesius juga dengan instan, bahkan diyakini orang bisa mendulang kebahagiaan dengan instan. Budaya instan telah melumuri kebudayaan bangsa, walhasil perlahan-lahan generasi ini tidak pernah tahu bagaimana bertahan memeluk kebahagiaan dalam kondisi perubahan yang amat ganas.

Semua dimensi instan itu—katanya—bisa diraih hanya dengan uang. Seakan uang bisa membeli segala bentuk yang rasanya sulit dicapai dalam waktu singkat. Makanya, orang berkejar-kejaran untuk menumpuk kekayaan, sehingga dia menganggap dirinya layak menjadi pribadi bahagia oleh karena pundi-pundi kekayaan yang dihimpun.

Apalagi, kita kini mendapati realitas menjamurnya lembaga penjual kebahagiaan, sehingga orang berduyun-duyun untuk membeli kebahagiaan. Apa lembaga yang menjual kebahagiaan yang dikemas dengan spiritualitas? Itulah disebut dengan lembaga training yang membimbing dan memandu orang dengan cepat untuk meraih kebahagiaan.

Karena itu, kita tak bisa menutup mata, jika pada saat ini menjamur lembaga pelatihan yang menjual cara-cara meraih kebahagiaan secara instan. Yang mengikuti pelatihan ini bukan kelompok level ekonomi rendah, tetapi kalangan elite, eksekutif muda, pengusaha-pengusaha sukses yang melulu diburu oleh pencapaian demi pencapaian. Mereka mengikuti training spiritual, cara mendekat pada Allah sehingga bisa mudah meraih kebahagiaan.

Guru saya mengemukakan, kebahagiaan tidak berkait dengan ilmu, tetapi ahwal yang menyala dalam diri manusia. Kebahagiaan bukan ilmu, sehingga siapa yang mengerti tentang bagaimana bahagia tidak dijamin bahagia. Belum tentu orang yang tahu bahagia memeroleh kebahagiaan. Kebahagiaan itu sebuah kesadaran yang menjadi suluh terang dalam jiwa manusia.

Kebahagiaan bagaikan pelita yang terus menyala, sehingga kesadaran itu selalu menjagakan kebahagiaan yang lalai. Kebahagiaan adalah kondisi batin yang hanya bisa diperoleh oleh orang yang hatinya bersih. Jika hati manusia masih dipenuhi kecintaan terhadap duniawi, dia telah menjauh dari medan magnet kebahagiaan. Yang membuat orang bahagia adalah terjaganya kesadaran (awareness), dan yang membuat orang dijerat derita karena munculnya kelalaian. Yang membuat orang selalu sadar, ketika merasakan kehadiran Allah, dan yang membuat orang lalai ketika diselimuti khayalan duniawi. Bukankah orang hanya merasakan kebahagiaan tak terbatas, manakala Allah telah bersinggasana di hatinya. Dan Allah tidak akan bersinggasana di hati yang berjejal dengan hasrat duniawi.

Hati tidak boleh ditempati dua cinta, kalau hatimu menghadap pada materi, maka kau membelakangi Allah. Akan tetapi, kalau hatimu menghadap pada-Nya, berarti kau membelakangi materi. Kala Anda menghadapkan hati pada Allah dengan khusyuk, sontak memancar indah kebahagiaan dari dalam dada Anda. Karena kebahagiaan itu hanya diperoleh orang yang hatinya selalu connecting dengan Allah. Kikislah segala hasrat dalam hati pada selain Allah, manusia merasa cukup dengan kebahagiaan itu sendiri. Akan tetapi, kalau Anda masih terikat sekali pada selain-Nya, berarti Anda sedang menyediakan diri dalam jebakan penderitaan.
Kebahagiaan hanya bisa dibeli dengan cinta, yang dalam cinta ada ketulusan dan kerendahan hati. Dengan bermodalkan keduanya, manusia bisa menyerap dan mengakses kebahagiaan setiap saat. Insya Allah…
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar