Sabtu, 17 November 2012

MATERIALISME MERASUKI DOMAIN AGAMA






Materialisme tak sebatas bersemi di mall, kafe, bursa saham, dan jejaring ekonomi lainnya, malah wahana yang paling sakral telah terjalari penyakit materialisme. Sejatinya, bukan karena tempatnya berwajah materi, tetapi cara pandang manusia yang semakin menjurus pada materialisme. Bukankah paradigma atau cara pandang akan selalu mengilhami orang untuk berbuat senafas dengan paradigma yang melekat pada dirinya.
 

Kalau Anda seorang santri, menghormati ulama lantaran ilmu dan haibah yang menghiasinya. Bagi pencopet yang dilihat bukan keagungan ilmunya, mata mereka lebih tertuju pada kantong gamis si ulama, siapa tahu disana ada uang yang bisa dijarah. Kita mendapati sebuah ruangan besar yang sarat dengan karya lukis. Bagi pelukis, pastinya menaruh takjub pada lukisan yang terpampang di aula tersebut, bagi seorang arsitek yang diperhatikan adalah desain bangunannya, adapun seorang reporter lebih memperhatikan apa kiranya situs yang bisa dijadikan berita segar.

Materialisme telah menjejakkan kakinya ke seluruh sektor kehidupan, bahkan merembes ke ranah agama. Bayangkan, kita temukan banyak pelatihan yang berkesan agamis dijual dengan harga yang mahal. Tanpa kita berfikir buruk ihwal pelatihan tersebut, tetapi setidaknya banyak orang mencari penghidupan melalui lahan-lahan agama. Seolah peluang mendulang materi di lahan lainnya sudah kian menyempit.

Orang mengajarkan tentang ikhlas, tetapi tidak mengajari dengan ikhlas. Ada titik paradoksal antara pengetahuan yang disampaikan dengan hal (kenyataan) memadati ruang batinnya. Ada orang mengajari khusyuk, tetapi belum pernah merasakan khusyuk, bahkan merasa ada kegelisahan yang menggedor hatinya setiap saat. Anda bisa menguji kondisi batin orang, tatkala memeroleh musibah yang tiba-tiba mendepak dirinya. Jika dia tidak bisa menghadapi dengan ketenangan jiwa, maka sejatinya dia belum mencapai posisi hati yang tenang (muthmainnah).

Capaian pencerahan tidak dilihat seberapa buku yang diterbitkan, tetapi seberapa tenang menghadapi turbulensi yang menghadang dirinya, dan seberapa luas sebaran ketenangan yang diinspirasikan pada orang lain. Makin banyak orang yang memeroleh ketenangan dan kebahagiaan hidup melaluinya, berarti dia telah menebarkan kemanfaatan yang besar bagi umat.

Bukankah ketenangan atau kebahagiaan sebagai inti harapan setiap manusia? Jika Anda menjadi kanal memperkaya kebahagiaan di hati manusia, berarti kau telah dipilih Allah sebagai orang yang mulia. Karena kau telah dijadikan kanal untuk memeroleh tujuan hakiki setiap manusia, bahkan seluruh makhluk.

Kau tidak bisa menebar kebahagiaan pada manusia atau seluruh makhluk, jika cintamu menyempit. Cintamu hanya sebatas diri, keluarga, atau kaum yang berada dalam tanggung jawabmu, maka kau tidak bisa menebar lebih luas dari pada itu. Anda bisa membahagiakan manusia, jika kau memiliki stok cinta yang luas untuk kemanusiaan ini. Kemana-mana kau tidak menebar kekecewaan dan kedengkian, tapi mengalirkan cinta Allah yang meluas ke seluruh semesta ini.

Cinta itu menggerakkan orang untuk membahagiakan orang yang dicintai. Seperti hal seorang suami yang sangat mencintai istrinya, maka dia selalu tergerak untuk mencari pelbagai cara yang kiranya bisa membagikan kebahagiaan bagi istrinya. Bahkan dia mungkin mengorbankan seluruh hidupnya untuk membahagiakan istrinya. Kecintaan yang amat besar terhadap istri menjadi ukuran kebahagiaan yang bakal Anda dapatkan. Kau amat bahagia, jika Anda mendapati istri yang Anda cintai sedang dalam zona bahagia.
 
Materi tidak identik dengan kebahagiaan
 
Tak jarang orang terjebak dalam persepsi, kebahagiaan identik dengan kekayaan materi. Siapa yang bisa mendulang kekayaan yang melimpah dan meruah, meraih jabatan prestesius, dengan ladang bisnis yang meluas adalah orang yang paling bahagia. Kita tidak bisa memungkiri, Jepang menjadi deretan negara yang makmur secara ekonomi, tetapi mengapa “peristiwa bunuh diri” tidak pernah sepi di negara itu.

Kalau kebahagiaan itu identik dengan kekayaan, harusnya disana orang merasakan ketenteraman dan kemakmuran yang sejati. Tetapi, mengapa mereka terus mencari-cari dimana sejatinya kebahagiaan itu bersembunyi? Kebahagiaan hanya diperoleh oleh hati yang bersih dari harapan-harapan duniawi. Makin besar keinginan Anda terhadap materi dunia, maka makin gelaplah hati Anda. Akan tetapi, kalau hati ini dibersihkan dari “kecintaan” dan “kemelekatan” terhadap harta duniawi, insya Allah kebahagiaan dengan sendirinya memancar dari dalam hati Anda.

Ada orang yang menghabiskan uang miliaran rupiah untuk rekreasi. Melalui rekreasi itu—diharapkan—bisa menghirup kebahagiaan yang murni melalui pantai, situs-situs wisata yang menarik, dan sebagainya, tetapi ternyata uang miliaran tersebut hangus dan tak berarti apa-apa untuk menyuntikkan kebahagiaan dalam hati. Anda tak bisa memeroleh kebahagiaan dengan kebanggaan dan kesombongan diri, karena sifat tersebut malah menghalangi masuknya kebahagiaan dalam hati Anda. Kalau dengan kekayaan Anda yang terdongkrak malah menimbulkan kesombongan, maka Anda tak bisa mengakses kebahagiaan, kecuali hanya sempah kesenangan. Materi akan mengucurkan kebahagiaan pada Anda, ketika Anda barengi dengan sikap rendah hati (tawadhu’) dan ikhlas dalam menjalani hidup ini.

Jalan mendapati kebahagiaan berangkat dari sikap batin. Kalau batin Anda selalu dihiasi sikap positif dan mulia, insya Allah Anda akan selalu berada dalam zona bahagia setiap saat. Cara Anda merespons kenyataan tersebut akan mentransmisikan kebahagiaan dalam hati Anda, karena kebahagiaan tidak berkait kelindan dengan realitas yang ada diluar, tetapi berkait sekali dengan respons yang terlahir  dari dalam hati. Katanya, orang yang memeroleh nikmat akan selalu bahagia, belum tentu dia bahagia, jika tidak merespons kenyataan “nikmat” tersebut dengan jiwa syukur. Katanya, setiap orang yang ditimpa musibah itu pasti mengalami penderitaan, belum tentu jika dia ridha dengan musibah yang menimpanya—karena disertai perspektif bahwa semua datang dari Allah dan apapun yang datang dari Allah menyimpan kebaikan—justru dia akan selalu bahagia.
Ringkasnya, kebahagiaan tidak bertempat di luar diri Anda, sehingga kau harus berusaha menariknya. Kebahagiaan telah bersemi dalam diri Anda, tinggal Anda menyala pelita kebahagiaan itu dengan selalu tersambung pada Allah SWT. Makanya, orang beriman akan selalu merasakan kebahagiaan tatkala mengingat—menyadari akan kehadiran Allah……

Tidak ada komentar:

Posting Komentar