Senin, 16 Agustus 2010

MARAH




Puasa mendidik upaya pengendalian hawa nafsu, baik yang berbentuk nafsu wadhab (keserakahan), atau nafsu syahwat. Betapa banyak orang berhasil mengendalikan dan mengontrol orang lain, tetapi gagal mengontrol dirinya sendiri. Diam-diam mengalir kebanggaan di hati kala berhasil melumpuhkan atau menguasai orang lain dengan kekuatan hujah atau kekuasaan formalnya. Tetapi, dia sendiri mengalami kerapuhan batin, karena kerap mengalami kekalahan dengan dirinya sendiri.

Mungkin ada yang bangga ketika orang bisa memarahi bawahannya, dan bahkan merasa menang sehingga orang mengikuti apa yang diperintahkan dengan nada marah tersebut. Padahal, kalau ditelusuri lebih mengkristal, sesungguhnya orang marah telah mengalami cedera batin, mengapa demikian? Karena letupan kemarahan itu bukan berasal dari hati nurani yang lembut bercahaya, namun menyembur dari hawa nafsu yang selalu menggerakkan manusia pada keburukan.

Ada laki-laki memohon pada Rasulullah SAW, “nasihatilah Aku,” katanya. Rasulullah SAW bersabda, “janganlah kau marah!, diulang berkali-kali. Beliau bersabda,”Janganlah kau marah.” (HR. Bukhari).

Memetik sabda Nabi Agung tersebut, betapa posisi kedewasaan ruhani seseorang terlihat dari kemampuannya mengendalikan kemarahan yang kapan saja bisa meledak. Jika orang belum bisa mengendalikan kemarahan, artinya gampang menebar kemarahan dimana-mana, berarti dia belum menggapai kedewasaan secara ruhani. Bukankah sikap marah berasal dari karena terbatasnya pikiran mencari jalan keluar terbaik, yang bisa menyentuh orang lain. Marah sebagai jalan yang kerap ditempuh orang-orang dangkal, lantaran tak bisa menyampaikan hujah yang bisa memantik kesadaran bagi orang lain.

Kala manusia gampang marah, niscaya tidak menghiasi batinnya dengan kelembutan, malahan jiwa terus ditumbuhi kekasaran dan kemeranggasan. Ketika jiwa kasar dan angkuh telah tumbuh di lahan batin manusia, niscaya dia tidak bisa mencerap spirit keindahan dan kebahagiaan hakiki yang tersedia dalam batin manusia. Bila orang punya jiwa kasar, dia tidak bisa merespons sisi kelembutan yang melekat pada setiap orang. Bukankah hanya yang berjiwa kasar yang selalu bertemu dan menyapa kekasaran, dan jiwa lembut hanya bisa menangkap dimensi kelembutan yang tumbuh dari lubuk kedalaman dirinya. Orang terjebak dalam kemarahan demi kemarahan, sejatinya dia telah ditaklukkan dan dikendalikan kekuatan nafsu yang luar biasa.

Apa saja bahaya yang akan menjangkiti hati orang yang punya kebiasaan marah? Marah adalah kekuatan api, yang bisa membakar batin manusia sendiri, dan menjulurkan kebakaran hingga keluar dirinya. Kala orang yang dimarahi punya kekuatan redam dan sejuk dalam memadamkan api kemarahan, api kemarahan itu tidak bisa membakar orang tersebut. Namun, andai orang yang dijadikan obyek kemarahan tersebut tidak memiliki kekuatan air yang sejuk, maka akan mudah dilalap bakaran api kemarahan tersebut, menjelma pada perselisihan dan permusuhan yang amat sengit.

Ketahuilah orang yang dadanya selalu dibakar kemarahan, niscaya tidak bisa menemukan ketenangan. Bagaikan orang yang tersekap di rumah yang sempit dan panas, dia akan selalu didera kegelisahan, kesesahan, dan tidak pernah bisa istirahat dalam ketenangan. Siapa yang kerasan bermukim di rumah yang panas, apalagi rentan mengalami kebakaran yang bisa melalap seisi rumah, sehingga orang hanya melihat kegelapan di rumah “hati” kebakaran tersebut. Padahal pikiran dan hati yang gelap itulah yang kerap menggerakkan manusia melakukan kekerasan dan bahkan pembunuhan.

Adalah hidup dua keluarga bertetangga dengan strata ekonomi yang berbeda, satunya seorang pengusaha yang berhasil mengelola bisnisnya secara cemerlang, dia memiliki mesin yang bisa menernak uang secara produktif. Sebelahnya, hidup seorang pegawai yang punya prestise hidup luar biasa. Ikon pegawai menjadi kebanggaan bagi orang ini, tetapi kehidupan ekonominya biasa-biasa saja, tak bisa mengejar kesejahteraan yang telah didulang sang pengusaha tersebut. Merasakan realitas hidup yang kontras tersebut, membuat hati si pegawai ini mengerut.

Kerutan-kerutannya itu menggumpal membikin hati makin kasar, sehingga timbul kedengkian, kemarahan, bahkan dendam dengan melejitnya kesuksesan yang diperoleh pengusaha tersebut. Demi meluapkan kemarahan tersebut, suatu ketika keluarga dari pengusaha itu lewat ditepi jalan, dengan kalap, si pegawai menabrakkan sepedanya ke sang nenek, beberapa menit nenek yang ditubruk tersebut langsung tewas. Demikianlah hasilnya kalau kemarahan membimbingnya menjadi dendam kesumat yang telah menjadi raja dalam dirinya, hanya dengan sedikit pancingan api, maka api yang lebih besar langsung melalap seluruh bangunan. Memang ketika kacamata manusia sudah gelap, maka dia akan terus tertipu dan ditipu oleh keadaan, bahkan menganggap seluruh keadaan hanya kegelapan tanpa cahaya.

Kala orang dijangkiti kemarahan, dia tidak bisa melihat cahaya rahmat Allah, yang ada hanya kutukan yang menggelapkan jiwanya sendiri. Memang, marah melahirkan Naar (api), dan mengendalikan kemarahan akan bisa mengelola Naar (api) menjadi Nuur (cahaya). Kita sekarang berusaha mengelola potensi api menjadi cahaya. Bagaimana caranya bisa mengendalikan medan hati agar tak tersentuh kemarahan yang tak terkontrol.

Pertama, memproduksi cahaya dalam diri. Agar api melenyap dari dalam kesadaran kita, maka kita harus banyak memproduksi cahaya. Bagaimana cara memproduksi cahaya? Sering mempraktikkan zikirullah. Bukankah zikir menjelmakan cahaya. Setiap cahaya selalu memendarkan keteduhan dan ketenangan setiap jiwa. Bukankah hanya orang yang sering berzikir yang bakal bisa menjaring ketenangan dalam hidupnya, yang berarti tidak gampang terbakar kemarahan. Makanya, kita bisa menemukan orang yang ahli zikir itu selalu berada dalam keteduhan, tidak sering menyemburkan “rasa panas” pada lingkungan sekitarnya.

Lho, kok ada orang yang sudah terbiasa berzikir, masih kerap dijangkiti energi marah, berarti belum benar-benar mengkristalisasi zikir hingga ke relung hati yang dalam. Zikir hanya menjadi ritual yang terungkap lewat lisan, tidak terpatri hingga ke batin yang lembut. Kendati, demikian kita terus mempratikkan zikir dari lisan hingga dalam bentuk kehadiran hati (hudhuril qolbi). Ketika zikir telah memendari hati, insya Allah yang memenuhi ruang batin hanya kelembutan, tanpa kemarahan. Kendati kemarahan itu meletup, pasti masih berada dalam kendali hati yang bersih.

Kedua, mencari tempat bercermin yang lebih rendah dalam hal duniawi. Marah berkunjung karena kita sering bertemu dengan orang yang kuat, yang gampang menebar dan melemparkan bola api kemarahan dimana-mana. Bayangkan, sang majikan begitu gampang melemparkan marah pada karyawan atau pelayannya. Mengapa mereka gampang marah, karena menganggapi si karyawan sebagai yang butuh dan bergantung padanya. Kita akan mudah melemparkan kemarahan jika menganggap orang lain sebagai bawahan kita. Lebih daripada itu, mungkin kita sering bergaul dengan orang elite yang turut menyumbang kegersangan hati. Karena itu, perlu kiranya membangun jalinan kasih dengan orang-orang lebih rendah secara duniawi, seraya berharap bisa melembutkan hati. Kala hati sudah lembut, maka ekspresi yang keluar memantulkan cahaya. Bergaul dengan orang yang bermukim di tepi jalan, sambil berjualan, tanpa pernah kehilangan senyum yang menghias bibirnya.

Bertemu dengan orang-orang yang berada di bawah kita dalam tataran duniawi akan menumbuhkan bibit kelembutan yang berada dalam hati.

Sekarang, kita terus mengasah kelembutan dalam diri, sembari perlahan-lahan mengikis potensi marah yang kerap menyeruak dari dalam hati.

Khalili Anwar, Penutur dari jalan Cahaya

Tidak ada komentar:

Posting Komentar