Selasa, 26 April 2011

TELAGA CINTA

Kehidupan di bumi tak akan berlangsung tanpa tersedianya air. Hasil riset mengemukakan, 80% tubuh manusia terdiri dari air. Itu artinya, air tak bisa dipisahkan dari kehidupan manusia, bahkan kehidupan bumi ini terus terjaga lantaran adanya air yang diturunkan Allah.
Seperti diurai pada tulisan sebelumnya, air hanyalah metafor dari cinta. Jika bumi ini tidak dialiri spirit cinta, masihkah di bumi ada kehidupan. Tak bisa dibayangkan kalau Arsy berada di atas air. Singgasana Allah berada di atas air (cinta)

“dan Dia-lah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, dan adalah singgasana-Nya (sebelum itu) di atas air, agar Dia menguji siapakah di antara kamu yang lebih baik amalnya…” (QS. Hud [11]: 7)

Maka, kalau hati kita ingin dijadikan ‘arsy Allah, jadikanlah hati dipenuhi dengan cinta tanpa syarat dan tanpa batas.

Bayangkan, bagaimana potret sebuah negara—sebagai lingkup yang kecil—yang miskin dengan cinta, niscaya akan timbul kerusakan dan demoralisasi di berbagai lapisan masyarakat. Pejabat sudah saling curiga diantara pejabat, pengusaha juga mencurigai sesama pengusaha, di masyarakat juga merebak distrust terhadap pejabat publik. Ketercukupan materi tanpa disertai cinta, kehidupan berjejal dengan kebencian, karena seluruh masyarakat berorientasi individualisme. Dampaknya, gunung kebahagiaan negeri gampang tergerus. Bahkan boleh jadi akan menyeruak kekacauan sosial yang tak tertangguhkan.

Kini, di sebuah negara yang hampir mengalami kerusakan di setiap struktur, dirasa perlu kebangkitan spirit cinta, agar masyarakat Indonesia bisa kembali mereguk kebahagiaan dari telaga cinta. Cinta dirintis oleh orang-orang yang telah dianugerahi cinta, yakni yang telah memeroleh kedekatan cinta pada Allah SWT, seperti ulama’. Ulama selaku hati (pusat kekuatan spiritual) umat dan bangsa dituntut rajin mengakses air cinta agar nantinya bisa mendonasikan kasih. Bukankah hanya hati yang telah tergenangi kasih yang bisa berbagi kasih dengan kehidupan? Serupa dengan orang yang punya uang yang bisa berbagi uang.

Ketahuilah, keagungan pribadi manusia bertaut dengan keluasan medan cintanya. Jiwa yang telah digenangi spirit cinta, akan terbang tinggi, dan semakin jauh dari gravitasi duniawi. Manakala manusia terlalu cinta pada duniawi, berarti tidak akan terpantik rasa kasihnya pada kehidupan. Lenyapnya cinta duniawi dalam hatinya akan membawa orang terbang menuju istana-istana kebahagiaan dan kemuliaan. Keagungan jiwa manusia bergantung seberapa jauh dirinya dari gravitasi duniawi, tidak terikat dengan duniawi. Kehidupan duniawi telah berada dalam kekuasaannya.

Bangsa ini mengenal gelar-gelar agung yang disematkan pada tokoh-tokohnya, seperti Hamengku Buwono, Paku Alam, Raden, Ngabai dan beberapa gelar lainnya. Hamengku Buwono berarti pemangku jagat. Inilah sosok yang bisa mengemong jagat, dan jiwanya telah dibasuh sehingga luntur dari kotoran keakuan. Paku Alam, salah satu gelar yang disematkan pada Kanjeng Sunan Giri, sosok yang diserahi sebagai tiang jagat. Beliau dihadirkan sebagai pemelihara agar kehidupan tetap berjalan secara seimbang. Raden berasal dari kata roh adi, atau jiwa yang besar.

Siapapun yang merasa mendapatkan julukan Raden harusnya memiliki jiwa besar, dan hidup yang dijalani bukan untuk dirinya, tetapi dipersembahkan bagi kehidupan. Andaikan kita menemukan ada seorang bergelar Raden, namun hidupnya hanya dibaktikan bagi diri dan keluarganya, berikut menutup diri dengan lingkungan sosial, maka tanpa disadari gelar raden telah tercopot darinya. Pribadi yang telah bergelar Raden adalah sosok orang berjiwa besar, yang tak gampang menyerah dengan keadaan. Memiliki semangat membaja untuk menggapai cita-cita hidup yang mulia.

Orang yang berjiwa besar serupa dengan rumah besar yang bisa memasukkan banyak orang. Kalau hanya kamar kecil, tentu saja hanya sedikit orang yang bisa masuk ke ruang tersebut. Andaikan dia membongkar kamar itu, kemudian disulap menjadi aula yang begitu besar, makin banyak orang yang bisa berhimpun di ruang itu. Seorang raden tidak hanya memiliki jiwa seluas aula pertemuan, tetapi memiliki jiwa seluas ruang yang mampu merengkuh seluruh kehidupan.
Raden bisa juga disebut sebagai Adiatma, yakni jiwa yang besar. Kebesaran jiwa bukan terkait dengan prestasi-prestasi yang digapainya, tetapi seberapa luas medan cinta yang menghias hatinya, terlihat semakin luas medan kontribusinya bagi kehidupan. Ia pun gampang memaafkan orang, tidak pernah menyimpan kebencian apalagi dendam di dalam hati. Adiatma memancarkan kekuatan cinta pada bangsa, bahkan seluruh umat.

Adapun yang lebih agung dari Adiatma adalah Mahatma, berarti jiwa yang agung. Boleh jadi, secara fisik dia bukanlah masuk orang gagah, tetapi cintanya meresap ke seluruh bangsa. Ia tidak ingin meletup kezaliman di medan kemanusiaan, sehingga tergerak untuk berjuang menghapus segala bentuk kejahatan di dunia dengan cara-cara kelembutan. Sosok ini tak sempat berpikir tentang dirinya, dia tetap menjalani hidup supersederhana, sembari dia memancarkan kasih tanpa batas pada kehidupan. Bahkan dia memilih menghadirkan cinta pada orang yang nyata-nyata menebar kezaliman.

Dia meyakini menghapus penjajahan tidak harus dengan kekerasan, dengan kelembutan pun bisa menyingkirkan penjajahan, terlebih jiwa penjajah yang melekat di hati manusia. Serupa dengan cahaya yang melulu hadir untuk menerangi kehidupan, walhasil dengan sendirinya kegelapan menjadi sirna. Jiwa Mahatma lekat dengan waliyullah yang hatinya hanya digenangi kasih sayang tanpa batas pada kehidupan. Dia telah menjelma sebagai telaga-telaga kecil yang tersambung pada telaga besar, yakni telaga Sayyidina Muhammad Saw yang air cintanya merembes ke seluruh semesta.

Peringkat yang lebih agung dari Mahatma adalah Wijayatma, jiwa successful, sosok yang telah berbalutkan cahaya kesempurnaan. Jiwa ini meliputi Nabi Muhammad Saw. Inilah telaga al-Kautsar yang kita kenal lewat hadist. Dimana kala mereguk telaga al-Kautsar ini, maka manusia tidak akan lagi dilanda kehausan. Telaga al-Kautsar semacam telaga cinta Rasulullah Muhammad Saw yang memenuhi jagat semesta, hanya manusia-manusia yang telah dihinakan yang gagal mereguk telaga cinta Sayyidina Muhammad Saw.

Diriwayatkan, telaga al-Kautsar tersambung dengan telaga Haudh yang ada di luar surga, dan digambarkan pula bahwa di pinggir telaga al-Kautsar tersedia cangkir-cangkir untuk menyauk air yang ada di telaga al-Kautsar. Ketahuilah, telaga Haudh juga bersumber dari telaga al-Kautsar, itulah telaga Nabi Muhammad Saw. Orang yang telah digenangi cinta, berarti dia telah tersambung dengan telaga cinta semesta, Dialah Nabi Muhammad Saw. Walau demikian, seluruh air itu akhirnya akan bermuara pada laut, itulah yang disebut dengan lautan ketunggalan (bahrul wahdah), Allah SWT.

Jika manusia telah meminum telaga Haudh, maka dia tak akan lagi tertimpa kehausan. Siapa yang bakal ditimpa penderitaan, jika hatinya hanya dipenuhi cinta dan kasih sayang. Bukankah cinta turut menghapus seluruh kegelisahan, kecemasan, dan kedukaan bagi setiap manusia? Yang terbit dari cinta hanya kebahagiaan tanpa batas.

Bagaimana kita bisa mereguk air telaga Haudh itu. Kita bisa mereguk telaga haudh (cinta) tersebut dengan cara menanggalkan keakuan, karena yang membendung kita untuk bisa mereguk cinta itu hanyalah keakuan. Demi bisa menjebol bendungan keakuan, maka air cinta itu akan mengalir deras ke dalam hati kita. Kian terkikis keakuan, semakin banyak cinta yang mengalir ke hati kita, pun semakin banyak kasih sayang yang bisa kita donasikan pada sesama dan kehidupan. Ketahuilah telaga Haudh itu berada dalam diri kita sendiri, di saat kita telah digenangi air cinta. Dan kalau kita telah digenangi cinta, maka kita bisa mengalirkan cinta pada hati yang lain, berikut menginspirasi orang untuk bisa menemukan telaga cinta di dalam dirinya sendiri.

Kini tugas kita, menjebol keakuan, agar kita tersambung dengan telaga cinta Nabi Muhammad Saw, sehingga kita bisa menjadi telaga-telaga kecil yang turut merembeskan cinta kemana-mana.

Syaikh Muhammad Dhiyauddin Qushwandhi
Pentranskripsi: Khalili Anwar

Tidak ada komentar:

Posting Komentar