Minggu, 03 April 2011

INSPIRASI DARI LANGIT


Langit identik dengan ketinggian. Ada slogan umum yang masih membekas, “gantungkan cita-citamu setinggi langit.”Orang yang memandang langit tanpa batas akan selalu terpancari perasaan optimis. Demi menatap langit, seakan seluruh kegelisahan, keresahan, dan kesusahan yang menyumbat hati ini terlepas dan terbang. Kita belajar optimisme dari ketinggian langit, dan warna langit tak berubah. Mungkin dipenuhi mendung hitam dan putih. Aneka warna itu tidak turut mempengaruhi keaslian langit. Langit tetap hadir dengan warna aslinya yang luas. Otentisitas langit tak pernah bisa dijarah oleh mendung yang menghampirinya. Hanya saja, penglihatan kita terhijab untuk memandangi kemurnian langit oleh karena kehadiran mendung itu.


Selain itu, langit sebagai simbol ruang tanpa batas. Mungkinkah orang mengukur batas langit? Ketakterbatasan langit bisa menampung sekian juta gemintang dan berbagai galaksi. Langit memendam kekayaan yang amat berharga, walau dia sendiri tidak pernah terikat dengan suatu yang menempel padanya. Dia tetap merasa nyaman dengan wajah aslinya berwarna biru. Dialah ruang yang zuhud tidak lekat dengan pernak-pernik, tetapi hiasan-hiasan indah menyelimuti langit, seperti gemintang, bahkan pancaran sinar matahari turut memantulkan warna memukau pada langit.

Selain tinggi, ruang tak terbatas, langit melambangkan terang terus tanpa dihiasi kegelapan, dan langit tidak pernah bisa dipengaruhi keadaan di luar dirinya. Kegelapan hanya menghuni bumi, sementara langit hanya dihuni oleh terang cahaya. Terang cahaya telah menjadi kekayaan langit, karenanya bumi membutuhkan tentara “terang” berupa cahaya matahari, rembulan, dan gemintang yang notabena berasal dari langit.
***
Dari uraian sekilas tentang sifat-sifat langit tersebut, kita berusaha menginternalisasi jiwa langit ke medan kesadaran kita. Bukankah manusia sebangsa mikrokosmos yang menyimpan seluruh khazanah makrokosmos. Manusia harusnya bisa mengaktualisasikan jiwa semesta plus, agar bisa menanjak menuju maqam yang tinggi dan luhur.

Pertama, langit lambang ketinggian. Ketahuilah manusia berasal dari ketinggian (surga), kemudian diturunkan ke bumi agar mereka menekuni pendakian menuju ketinggian kembali. Jadi, manusia berasal dari bibit unggul tanpa kecuali, hanya saja apakah manusia bisa menumbuhkan bibit unggul dan luhur itu agar bisa kembali memasuki istana ketinggian, memasuki kembali kuil-kuil surga yang begitu indah. Orang yang menguak karakter “ketinggian” dalam dirinya, niscaya dia tidak terlalu melekat dengan materi duniawi. Kita mendapatkan kehidupan surgawi (di hati) setelah mampu melepaskan diri dari jeratan-jeratan duniawi.
Kalau ditelusuri dari cikal-bakal kejadian, seluruh manusia berasal dari ruh yang tinggi (ruhul ‘aliyyah) yang ditiupkan, yakni ruh Allah. Kalau kita bisa mengoptimalisasi ruh Ilahi yang tertiup ke dalam diri kita, insya Allah kita selalu dihiasi kebahagiaan setiap saat. Namun, jika kita memilih melekatkan hati dengan kehidupan duniawi yang serba semu ini, niscaya kita akan selalu menderita.

Dalam konteks ini, Anda perlu memahami perbedaan orang yang kaya, dan orang yang terikat hatinya dengan kekayaan. Perbedaan orang yang mencari dunia dengan orang yang terikat hatinya dengan kekayaan duniawi. Sehingga tidak menyangka orang yang kaya raya dipandang sebagai orang yang berorientasi harta duniawi, dan orang miskin tidak berorientasi duniawi. Orientasi itu melekat di hati dan terlahir dari cara pandang. Kendati orang kaya raya, namun hatinya tidak melekat dengan kehidupan duniawi, sejatinya dia sedang terbang menuju cakrawala. Sebaliknya, kendati orang dijerat kemiskinan, tetapi hatinya melekat dengan kehidupan duniawi, dia tetap landing di bumi, dan tidak akan pernah terbang menuju langit kesadaran yang tinggi. Jadi, kalau kau hendak terbang menuju langit ketinggian, maka lepaskan keterikatan hati pada kehidupan duniawi menuju kesadaran akan Ilahi. Berangkat dari kesadaran duniawi melintasi kesadaran akhirat, dan puncaknya menuju kesadaran Ilahi. Hati manusia yang dipantik kesadaran Ilahi selalu berada dalam kebahagiaan tanpa batas. Hanya orang yang telah terbang menuju kesadaran langit (ketinggian) yang bakal bersentuhan dan mengalami kebahagiaan.

Kedua, ruang tak terbatas. Ruang langit tak bisa disentuh dan diukur, tetapi dia bisa memasukkan seluruh hiasan di sisinya. Begitulah, lukisan dari rahmat Allah. Rahmat Allah itu tanpa batas, hanya saja kebanyakan manusia menangkap rahmat Allah seluas rumah yang berdiri di bumi. Andaikan manusia belajar pada ruang yang menghias bumi ini, kita sama-sama bisa mengambil pelajaran betapa tidak terbatasnya rahmat Allah. Kalau kita meyakini betapa luasnya rahmat Allah, maka stamina hidup kita tidak akan terkikis oleh sikap pesimisme. Manusia yang bergantung pada dirinya sendiri akan gampang disalak pesimisme bahkan frustasi. Namun, bagi orang yang bergantung sepenuhnya pada Allah, niscaya akan selalu terbang dalam cakrawala optimisme tanpa batas.

Pikiran perlambang bumi yang dijadikan alat untuk mengungkap khazanah yang ada di bumi. Karena pikiran manusia didesain terbatas, manusia sering membatasi keluasan rahmat Allah, walhasil kebahagiaan yang direguk juga terasa begitu terbatas. Tak jarang pula, kita menemukan manusia yang terpasung kehidupan diri yang amat sempit, seakan tak ada ruang yang tersedia baginya untuk mereguk udara kebahagiaan.

Kalau kita terpasung oleh ukuran bumi, maka kita melihat bumi telah di-kavling oleh manusia. Seakan rahmat telah dibagi-bagi sesuai dengan kemampuan masing-masing. Dan bagi orang yang tidak memiliki rumah, berarti dia tidak mendapati rahmat Allah. Peng-kavling-an bermula dari kesepakatan-kesepakatan yang terbentuk diantara manusia. Sehingga kita menemukan, ada orang yang memiliki rumah yang banyak, dinilai sebagai orang yang mendapatkan rahmat Allah yang banyak. Adapun gelandangan, pengemis, dan pengamen yang tidak memiliki hunian dinilai orang yang tidak mendapati rahmat Allah. Apakah berarti rahmat Allah hanya bisa dikeruk oleh orang kaya, dan orang miskin minus rahmat Allah. Rahmat Allah begitu luas—seluas langit dan seluas ruang—dan tanpa disadari kita selalu dipayungi rahmat Allah.

Belajar dari langit, rahmat Allah itu tak terbatas. Kini, bergantung seberapa luas hati manusia menerima rahmat Allah. Jika hatinya telah dipersempit, rahmat Allah tidak bisa menghuni hati manusia. Kalau rahmat Allah tak terbatas, harusnya hati kita juga dibuat luas tak terbatas, agar rahmat Allah bisa dicakup hati kita. Bukankah Allah pernah berfirman dalam hadist Qudsi, “Aku tak bisa dicakup oleh bumi, Aku hanya bisa dicakup oleh hati hamba-Ku yang beriman.”

Buatlah hati kita seluas langit, maka rahmat Allah akan mengalir dan menggenangi hati kita.

Ketiga, langit melambangkan terang terus dan terus terang. Siang-malam hanya dirasakan oleh penduduk bumi. Dan siangnya matahari membutuhkan tentara langit berupa matahari, ketika matahari tenggelam, malam merangkak meliputi bumi. Bergantinya malam bukan berarti matahari tidak lagi memancar, matahari tetap memancarkan sinarnya, hanya tertutup, sehingga bumi tidak mendapati pancaran matahari. Adapun di langit, manusia selalu berada dalam keadaan terang. Jika hatimu telah mendapati kesadaran (langit), maka kau tidak akan pernah diharu-biru oleh keadaan cuaca yang berada di sekitarmu.

Ketahuilah, nikmat-musibah, sehat-sakit, untung-rugi, dipuji-dicaci serupa putaran siang-malam yang datang silih berganti. Kalau hati manusia masih terjebak dengan keadaan luar yang silih berganti ini, berarti masih lekat dengan kesadaran bumi. Dia selalu dipingpong oleh keadaan. Berbeda halnya, orang yang hatinya tak lagi melekat dengan kesadaran bumi (materi duniawi), dia selalu berada dalam keadaan damai. Dia menyadari, siang dan malam bukan suatu yang kekal, mengalami pergantian terus-menerus, dan berkunjung silih berganti. Mengapa kita terlalu risau dengan suatu yang tidak kekal?

Manakala kesadaran manusia telah dipendari karakter langit, maka dia tak lagi berjungkir balik dalam susah-senang. Ia telah berhasil melampaui keadaan dualitas, yang tersisa dan mengkristalisasi dalam hatinya hanya damai. Hati menjadi tenang karena selalu dipendari cahaya terang yang tak pernah redup. Bahkan hati telah menjadi pusat cahaya yang terus menerangi, sebagaimana dari langit cahaya mengalami terbit.

Keempat, langit tidak berubah. Sejak diciptakan hingga sekarang, langit tetap berwarna biru. Kendati berkali-kali dihinggapi awan hitam, ia tidak ikut hitam. Dan andaikan dihinggapi awan putih, langit tak bisa dibekasi warna putih. Warna putih dan hitam hanya menyelimuti langit, tapi tidak akan pernah merubah warna langit yang cerah. Berarti, langit tak bisa disulap warnanya berubah lantaran dicat. Langit tak tersentuh perubahan warna. Dia selalu hadir dengan jiwanya yang otentik. Langit tetap cerah bagi dirinya, dan membuat cerah bagi orang yang memandangnya. Jika Anda bisa menginternalisasi jiwa langit, maka kau tidak akan pernah diperkuda oleh kenyataan dualitas yang hadir.

Ketahuilah, pada sejatinya hati manusia itu berada dalam kondisi damai, yang membuat hati tidak damai, karena terpengaruh pada sisi eksternal, berupa dualitas yang disuguhi keadaan bumi. Namun, kalau manusia tak terikat dengan kondisi dualitas tersebut, maka yang tersisa hanya terang, dan itu berarti dia telah bersama dengan kemurnian dirinya yang tak pernah berubah. Ya, kemurnian yang tak pernah berubah seperti warna langit yang tak pernah berubah.

Langit sebagai simbol dari kesadaran ruhani yang berpusat pada hati manusia. Karena itu, kita ciptakan hati yang bersih sebersih langit, tak tersentuh pengaruh di luar dirinya. Hati telah merengkuh kedamaian dan terang yang holistik. Hati yang mendapatkan maqam ketinggian, yakni tidak melekat dengan materi duniawi, luas, selalu terang, dan selalu tampil otentik sebagai kombinasi karakter yang mewakili sifat-sifat langit. Semoga Allah menghias hati kita dengan jiwa langit. Insya Allah.

Khalili Anwar, Penutur dari Jalan Cahaya

Tidak ada komentar:

Posting Komentar